Anda di halaman 1dari 22

KEBUTUHAN NUTRISI PADA PASIEN DI CRITICAL CARE UNIT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Program Studi Magister Keperawatan


Mata Kuliah Keperawatan Akut dan Kritis

Disusun oleh :

Sri Temu 22020117410019


Miftahul Jannah 22020117410036
Mika Agustiana 22020117410048
Akub Selvia 22020117410054
Andi Nurhikma 22020117410055
Debi Ariyanto 22020117410057

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2018
NUTRISI PADA PASIEN ICU

A. Pentingnya nutrisi di Intensive Care Unit


Sekitar 60% pasien di ICU menderita disfungsi usus karena kegagalan
pergerakan, disgestif, atau absopsi dari gastro intestinal (GI). Disfungsi GI seiring
dengan ketidakadekuatan intake dari kalori membuat pasien dengan penyakit
kritis kekurangan energi dan kehilangan masa tubuh. Malnutrisi pada pasien ICU
menimbulkan disfungsi imun, kelemahan otot pernafasan, kapasitas ventilasi yang
rendah, dan menurunkan toleransi GI. Karena hal tersebut, pasien beresiko
mengalami komplikasi seperti ketergantungan pada ventilator, gastro-oesophageal
reflux, aspirasi pulmonal, dan infeksi yang dapat mengarah ke sepsis, kerusakan
multi organ, bahkan kematian.
Malnutrisi merupakan sebuah permasalahan menetap di rumah sakit,
termasuk di Intensive Care Units (ICU). Pada pasien sakit kritis, konsep dari
supportive nutrition telah diganti dengan therapeutic nutrition.Pemberian Iso-
energic meningkatkan outcome pada pasien ICU. Idealnya, nutrisi enteral harus
dimulai sedini mungkin dan pro-kinetic agent dapat digunakan untuk
meningkatkan toleransi gaster di pasien kritis. ketika nutrisi enteral tidak
memungkinkan, nutrisi parental dapat diberikan untuk mencukupi kebutuhan
energi yang diperlukan pasien. Pemberian nutrisi parenteral membutuhkan
perawatan dan monitoring khusus.
Pasien kritis berpotensi mengalami malnutrisi yang disebabkan oleh
respon inflamasi, stress metabolik dan bed rest yang menyebabkan terjadi
katabolisme. Respon-respon ini juga dikombinasi dengan komplikasi yang
meningkatkan mordibilitas yang berhubungan dengan infeksi, multy-organ
dysfunction (moD), dan rawat inap yang berkepanjangan.

B. Tujuan dari nutrisi di ICU


Support nutrisi di pasien kritis ditujukan untuk terapi gabungan/ tambahan
untuk menyediakan dukungan pada pasien selama periode stress. Dukungan ini
mempunyai tiga tujuan utama menurut Sharada & Vadivelan (2014):
1. untuk menjaga masa tubuh
2. untuk mempertahankan fungsi imun
3. untuk mencegah komplikasi metabolik
Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan nitrogen,
juga menghindari masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding
syndrome seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas
hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.
Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis
adalah 25 kkal/kgbb dari berat badan ideal per hari. Harus diperhatikan bahwa
pemberian nutrisi yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat
pasien. REE dapat bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun sampai
30%, tergantung dari kondisi pasien.
Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses
penyembuhan luka, sintesis protein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger.
Disamping itu, serum glukosa dijaga antara 100 –200 mg/dL. Hiperglisemia tak
terkontrol dapat menyebabkan koma hiperosmolar non ketotik dan resiko
terjadinya sepsis, yang mempunyai angka mortalitas sebesar 40%. Hipofosfatemia
merupakan satu dari kebanyakan komplikasi metabolik yang serius akibat
Refeeding Syndrome.Hipofosfatemia yang berat dihubungkan dengan komplikasi
yang mengancam nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas jantung,
disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk
menghentikan penggunaan respirator.

C. Assessment status nutrisi pasien


Kriteria pasien yang beresiko malnutrisi:
1. Underweight patients (body mass index < 18.5)/ a recent loss of > 10% of
usual body weight.
2. Patients with poor intake for more than 5 days.
3. Patients having protracted nutrient losses due to the presence of fistula,
abscess, or wound.
4. Hyper-metabolic states.
5. History of alcohol abuse, use of drugs with catabolic properties.
6. Impoverishment, isolation, and advanced age (Sharada & Vadivelan,
2014)
Penilaian status gizi dilakukan dengan:
1. Pemeriksaan fisik
Meliputi pemeriksaan berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh
(BMI) yang dinilai bersama dengan pemeriksaan tanda-tanda kekurangan
nutrisi yang lain. Penurunan berat badan yang tidak disengaja selama penyakit
sering mencerminkan hilangnya lean body mass. Pengukuran ketebalan lipatan
kulit berguna untuk memperkirakan status penyimpanan lemak dalam tubuh,
karena 50% lemak tubuh ada di daerah sub-kulit. Ketebalan juga
memungkinkan penggambaran lemak dari massa otot. Ketebalan Triceps skin
fold (TSF) umumnya mewakili lemak keseluruhan tubuh. Ketebalan TSF
<3mm menunjukkan keletihan pembentukan lemak.
2. Uji biokimia
Albumin, transferin, pre-albumin dan retinol-binding protein (RBP) adalah
protein fase akut negatif. Creactive protein (CRP) dan ceruloplasmin positif
protein fase akut. Penilaian keseimbangan nitrogen adalah satu-satunya
parameter biokimia yang benar-benar mencerminkan visceral dan somatik
protein.
Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-
mediator inflamasi atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan
produksi “counter regulatory hormone”(misalnya katekolamin, kortisol, glukagon,
hormon pertumbuhan), sehingga menimbulkan efek pada status metabolik dan
nutrisi pasien. Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan
beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan
dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energi, seperti Body Mass
Index(BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor.
Pengukuran antropometrik termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold)
permukaan daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot
lengan atas (midarm muscle circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada
pasien sakit kritis karena ukuran berat badan cenderung untuk berubah.
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level
albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan
dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi
penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskular ke
interstitial, dan pelepasan hormon yang meningkatkan dekstruksi metabolisme
albumin. Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat
adanya suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi. Level serum
hemoglobin dan trace elements seperti magnesium dan fosfor merupakan tiga
indicator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indicator kapasitas
angkut oksigen, sedangkan magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan
pada jantung, saraf dan neuromuskular.

D. Tools screening/ assessment status nutrisi pasien ICU


Beberapa Screening Tools untuk assessment status nutrisi:
1. Malnutrition Universal Screening Tool (MUST)
2. Subjective Global Assessment (SGA)
3. Mini Nutritional Assessment (MNA)
4. Malnutrition Screening Tool (MST)
5. Nutritional Risks Screening 2002 (NRS-2002)
6. Nutrition Risk Index (NRI)
7. Short Nutritional Assessment Questionnaire (SNAQ)
8. NUTrition Risk in the Critically ill (mNUTRIC)
Berikut akan dibahas mengenai SGA dan NUTRIC
1. SGA
Tidak ada alat 'gold-standar' untuk penilaian nutrisi terutama pada pasien
yang sakit kritis. Pada penyakit kritis, respons metabolik dan kebutuhan energi
berbeda pada setiap pasien yang sakit kritis. Perubahan metabolik bersifat dinamis
pada pasien yang sama dan kebutuhan energi bervariasi dengan tingkat penyakit.
Masalah dalam menilai status gizi pada pasien yang sakit kritis adalah bahwa
history mungkin tidak memadai. Pemeriksaan fisik tidak dapat dilakukan atau
pasien dibius atau diventilasi atau sedang dalam pengobatan. Mungkin ada
parameter laboratorium yang bergantung pada status volume (ECV) yang
mungkin meningkat atau berkurang secara palsu atau memakan waktu.
Spesifisitas dan sensitivitas juga merupakan masalah yang dihadapi oleh
laboratorium.
Ada empat pertanyaan dasar yang dihadapi saat skrining risiko gizi.
Apakah BMI kurang dari 20,5? Apakah pasien kehilangan berat badan dalam 3
bulan terakhir? Apakah asupan makanan berkurang pada minggu lalu? Apakah
pasien sakit parah (dalam terapi intensif)? Jika jawabannya adalah ya untuk semua
pertanyaan, lanjutkan ke penilaian lebih lanjut. Parameter Penilaian Global
Subyektif adalah riwayat perubahan berat badan, riwayat perubahan pola makan,
gejala gastrointestinal persisten, efek kapasitas fungsional penyakit pada
kebutuhan nutrisi dan penampilan fisik. Berdasarkan parameter ini, pasien dapat
dikategorikan ke dalam gizi buruk, sedang atau dicurigai malnutrisi dan malnutrisi
berat. SGA berkorelasi dengan persentase penurunan berat badan, skor TSF,
MAMC, BMI, ICU, dan APACHE Il dan SAPS. Telah dikatakan bahwa SGA
sederhana, layak, dan dapat memprediksi mortalitas pasien dan lamanya tinggal di
ICU.
Penilaian global subyektif (SGA) adalah kuesioner klinis untuk menilai
status gizi berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik di samping tempat
tidur. Alat skrining ini tidak memerlukan data laboratorium. SGA memiliki nilai
diagnostik yang paling untuk pasien sakit kritis di antara alat skrining nutrisi yang
berbeda (Kubarak & Jensen, 2006)
Kuesioner SGA yang valid dan dapat diandalkan untuk pasien, diisi pada
hari masuk dan keluar ICU untuk setiap pasien di ICU oleh ahli diet. SGA adalah
alat penilaian nutrisi yang komprehensif yang murah dan cepat untuk
diintegrasikan. Tidak perlu evaluasi laboratorium. Kuesioner SGA menentukan
setiap pergantian dalam berat badan (selama 6 bulan dan 2 minggu sebelumnya),
asupan makanan, gejala gastrointestinal, kapasitas fungsional, dan permintaan
metabolik yang diasumsikan dari penyakit yang mendasarinya. Bagian kedua dari
kuesioner ini meneliti pengecilan otot, kehilangan lemak subkutan, dan adanya
ankle atau edema sakrum. Setiap aspek dari kuesioner diberi skor sebagai A, B,
atau C untuk menunjukkan tingkat malnutrisi. Skor A menunjukkan gizi yang
baik, B dilambangkan pada risiko malnutrisi atau sedikit sampai cukup gizi, dan C
menyiratkan malnutrisi berat (Mahdavi et al, 2008).
Sebuah RS di Iran telah mengaplikasikan SGA pada semua ICU
admittances dan menjadikannya praktik standar untuk mengidentifikasi
malnutrisi. SGA selesai dalam 24 jam setelah login. Ahli diet telah dilatih
sebelumnya sesuai dengan protokol yang dijelaskan oleh Sheean et al. Tidak ada
studi reliabilitas interrater formal yang dilakukan. SGA terdiri dari kriteria
berikut: asupan pra-masuk (dikategorikan sebagai tidak ada perubahan, menurun,
atau tidak bisa makan), adanya gejala GI (termasuk anoreksia, mual, muntah, dan
diare), penurunan berat badan, penilaian fisik (termasuk perubahan pemborosan
lemak, pengecilan otot, dan akumulasi cairan yang didefinisikan sebagai normal,
ringan hingga sedang, dan berat), dan penilaian fungsional (didefinisikan sebagai
tidak ada perubahan, penurunan kemampuan untuk menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari, atau berbaring di tempat tidur) dan kekuatan cengkeraman
rendah. Data antropometri, termasuk, tinggi, berat, dan BMI, dikumpulkan dari
catatan medis elektronik. Tiga pengukuran tangan-dynamometer berturut-turut
diperoleh dari pasien yang mampu dan bersedia untuk berpartisipasi
menggunakan tangan dominan yang dapat diidentifikasi sendiri pasien ketika
pasien sedang duduk di tempat tidur atau di kursi dengan siku ditekuk pada sudut
90 °. Pasien diperas dengan kekuatan maksimum selama 5 detik; kekuatan yang
diberikan tertinggi dicatat untuk masing-masing dari 3 pengukuran dan rata-rata
dihitung. Pasien diklasifikasikan sebagai berikut: normal (A), malnutrisi ringan
sampai sedang (B), atau malnutrisi berat (C) 7; untuk tujuan analitis, pasien
dengan skor B atau C diklasifikasikan sebagai kurang gizi.
Semua pasien yang dirawat di ICU dinilai oleh ahli diet menggunakan
SGA. Meskipun ada beberapa keterbatasan dalam penggunaan SGA di ICU, itu
dianggap sebagai alat yang paling berharga untuk menilai status gizi pada
populasi ini.
2. NUTRIC
Risiko NUTrisi dalam skor Kritis (NUTRIC), alat yang diperkenalkan oleh
Heyland dkk menggunakan metode penilaian unik untuk mengidentifikasi pasien
yang paling diuntungkan dari dukungan nutrisi agresif di ICU dengan
menghubungkan kelaparan, peradangan, dan hasil. Namun, alat ini tidak termasuk
penanda risiko gizi tradisional, seperti indeks massa tubuh (BMI), status berat
badan, asupan oral, atau penilaian fisik, dan mungkin memiliki aplikasi klinis
yang terbatas karena pengecualian variabel riwayat nutrisi.
Penilaian nutrisi mencakup kriteria berikut: penurunan berat badan tidak
disengaja baru-baru ini (5% dalam 1 bulan, 10% dalam 6 bulan), BMI <18,5 atau>
40, kehadiran disfagia / asupan makanan yang tidak memadai sebelum masuk,
atau penggunaan enteral nutrisi (EN) / nutrisi parenteral (PN). Pasien yang
memenuhi setidaknya 1 kriteria dianggap beresiko kekurangan gizi.
Skor NUTRIC dihitung untuk setiap pasien yang menggunakan usia,
jumlah komorbiditas, hari-hari dari rumah sakit ke ICU masuk, dan Fisiologi Akut
dan Evaluasi Kesehatan Kronis II (APACHE II) dan skor Sequential Organ
Failure Assessment (SOFA) dari masuk. Skor NUTRIC dihitung tanpa
menggunakan nilai interleukin (IL) –6; pencipta alat memungkinkan pengecualian
variabel ini ketika tidak tersedia secara klinis. Oleh karena itu, pasien
diklasifikasikan memiliki skor tinggi jika jumlahnya 5 atau lebih besar; pasien-
pasien ini diklasifikasikan memiliki risiko malnutrisi yang lebih tinggi. Skor yang
lebih tinggi (≥5) telah dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk; Selain itu, pasien
dengan skor ≥5 telah diusulkan untuk paling mungkin mendapat manfaat dari
terapi nutrisi agresif.
Pasien yang diidentifikasi pada risiko gizi menggunakan skor NUTRIC
memiliki rumah sakit terpanjang dan ICU LOS. Ini mungkin karena skor
NUTRIC mencakup keparahan penyakit, karena pasien ini juga memiliki skor
APACHE II dan SOFA lebih tinggi daripada pasien dalam kelompok lain.
Keparahan penyakit telah terbukti menjadi faktor utama yang berkontribusi
terhadap LOS. 12 Identifikasi yang akurat dari pasien ini memungkinkan
pemberian dukungan nutrisi yang lebih tepat dan tepat waktu, sehingga
menurunkan LOS. Selain itu, semua komponen alat ini dapat diperoleh secara
obyektif melalui tinjauan bagan tanpa perlu wawancara pasien atau keluarga.
Pencantuman keparahan penyakit mungkin merupakan komponen yang
diperlukan dalam mengidentifikasi pasien secara akurat pada risiko gizi di ICU.
Dari segi validitas wajah, skor NUTRIC cocok karena hanya mencakup
variabel yang terkait dengan tingkat keparahan penyakit yang tinggi, bukan
variabel klasik yang terkait dengan status gizi. Namun, karena validitas konten
yang terbatas dalam hal variabel gizi klasik (BMI, penurunan berat badan baru-
baru ini dan asupan makanan baru-baru ini), diperlukan bahwa validitas
prediksinya diuji dalam uji coba terkontrol secara acak (RCT) di mana pasien skor
tinggi diacak untuk dukungan nutrisi dan terbukti memiliki hasil klinis yang lebih
baik. Lebih jelas secara naluriah untuk mengobati pasien yang kekurangan gizi
dengan dukungan nutrisi daripada mengobati individu yang jelas memiliki banyak
alasan untuk kemerosotan mereka.
Satu kelemahan lain dari skor NUTRIC adalah kurangnya kriteria waktu-
eksposur eksplisit. Dukungan nutrisi akan diharapkan paling efektif di antara
pasien yang terkena tingkat keparahan penyakit yang tinggi (metabolisme stres)
untuk waktu yang lama. Perlu dicatat bahwa analisis tambahan dari interaksi
antara skor risiko tinggi dan kecukupan dukungan nutrisi dilakukan pada sebagian
pasien yang tinggal di ICU selama lebih dari 3 hari.
Selain itu, Heyland dkk. telah menyatakan bahwa IL-6 hanya
meningkatkan c-index oleh 0,007 (dari 0,776 ke 0,783), tidak secara klinis
maupun statistik yang berbeda. Oleh karena itu mereka menyarankan bahwa
dalam pengaturan di mana IL-6 tidak tersedia, ini dapat dibuang dari skor. Skor
yang disesuaikan ini disebut skor NUTRIC yang dimodifikasi (mNUTRIC).
Meskipun skor mNUTRIC tampaknya lebih mudah diterapkan daripada skor
NUTRIC, namun belum divalidasi secara luas.
Dalam kelompok ini, kinerja prediktif yang adil dari skor mNUTRIC
ditemukan mengenai mortalitas 28 hari berdasarkan kemampuan diskriminatif
(AUC 0,768; 95% CI 0,722-0,884). Hasil ini sejalan dengan studi validasi awal
oleh Heyland dkk. (AUC 0,783) dan baru-baru ini menerbitkan studi validasi skor
mNUTRICTable oleh Rahman dkk. (AUC 0,648) dan Mukhopadhyay dkk. (AUC
0,71), dalam populasi Kaukasia dan Asia. Selain hubungan antara skor mNUTRIC
dan mortalitas 28-hari, penelitian ini melaporkan kecukupan gizi yang tinggi
dikaitkan dengan penurunan mortalitas 28-hari pada pasien dengan skor
mNUTRIC tinggi (> 4). Karena parameter pemberian makanan tidak tersedia
dalam kelompok kami, kecukupan gizi tidak dapat dianalisis. Oleh karena itu,
hubungan antara kecukupan gizi, skor mNUTRIC dan kematian tidak dapat
dikonfirmasi oleh hasil kami. Studi validasi awal oleh Heyland dkk. menunjukkan
hubungan skor NUTRIC dengan durasi ventilasi. Namun, dalam kohort kami,
diskriminasi buruk dari skor mNUTRIC ditemukan sehubungan dengan durasi
ventilasi menggunakan 2 hari sebagai cutoff (AUC 0,666; 95% CI 0,616-0,796).

E. Kebutuhan Energi Pada Penderita Sakit Kritis


Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan
terapi nutrisi. Nitrogen secara kontinyu terakumulasi dan hilang melalui
pertukaran yang bersifat homeostatik pada jaringan protein tubuh. Keseimbangan
nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan formula yang mempertimbangkan
nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea nitrogen/UUN),
dan nitrogen dari protein dalam makanan:

Keseimbangan Nitrogen = ((dietary protein/6,25)- (UUN/0,8) +4)

Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah


nitrogen dalam makanan bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur
dengan. Faktor koreksi 4 ditambahkan untuk mengkompensasi kehilangan
nitrogen pada feses, air liur dan kulit. Keseimbangan nitrogen positif adalah
kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi nitrogen, dan menggambarkan
bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan dapat
mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif
ditandai dengan ekskresi nitrogen yang melebihi asupan. Kebutuhan energi dapat
juga diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict atau kalorimetri
indirek.
Persamaan Harris-Bennedict pada pasien hipermetabolik harus
ditambahkan faktor stres. Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan
kebutuhan energi dengan menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam
perhitungan energi expenditure pada pasien dengan sakit kritis hingga 15%.
Sejumlah ahli menggunakan perumusan yang sederhana “Rule of Thumb” dalam
menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari. Selain itu penetapan
Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan nutrisi.
REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan
kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering juga
disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau
BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu
mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti
infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise. Banyak metode yang tersedia
untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah kalorimetri yang dapat
dipertimbangkan sebagai gold standard dan direkomendasi sebagai metode
pengukuran REE pada pasien-pasien sakit kritis.
Tabel Rumus untuk memperkirakan kebutuhan energy

F. Makro Dan Mikro Nutrien Dalam Nutrisi


Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap
gram karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di
dalam diet sebaiknya berkisar 50% –60% dari kebutuhan kalori. Dalam diet,
karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat dicerna,
diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti glukosa dan
fruktosa;disakarida seperti sukrosa, laktosa dan maltosa;polisakarida seperti
tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna
seperti serat. Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk susunan
saraf pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal
sebagai glikogen. Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24 – 36 jam melakukan
puasa. Saat cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat
glukoneogenesis dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat. Oksidasi
glukosa berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan
oleh RQ (Respiratory Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak rantai
panjang. Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami glikolisis
anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk glukoneogenesis hati.
Kelebihan glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik menyebabkan
akumulasi glukosa dihati berupa glikogen dan lemak. Meskipun turnover glukosa
meningkat pada kondisi stres, metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam
proporsi yang sama. Oleh karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien
dewasa maksimal 5 mg/kgbb/menit. Lemak Komponen lemak dapat diberikan
dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian
lemak dapat mencapai 30% –50% dari total kebutuhan. Satu gram lemak
menghasilkan 9 kalori.
Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber energi, membantu
absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam lemak esensial,
membantu dan melindungi organ-organ internal, membantu regulasi suhu tubuh
dan melumasi jaringan-jaringan tubuh. Pemberian kalori dalam bentuk lemak
akan memberikan keseimbangan energi dan menurunkan insiden dan beratnya
efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah besar. Penting juga bagi
kita untuk memperkirakan komposisi pemberian lemak yang berhubungan dengan
proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA),
asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam lemak esensial
omega 6 dan omega 3 dan komponen antioksidan. Selama hari-hari pertama
pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan
pemberian infus selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain
Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium
Chain Triglyseride (MCT)/Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan
pemberiannya kurang dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma
sebaiknya dimonitor dan kecepatan infus selalu disesuaikan dengan hasil
pengukuran.
Protein (Asam-Asam Amino) Recommended Dietary Allowance (RDA)
untuk protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan
kalori. Para ahli merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram
nitrogen (6,25 gram protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini
didasarkan pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan
populasi pasien di ICU direkomendasikan sebesar 0,15 – 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini
sebanding dengan 1–1,25 gram protein/ kgbb/hari. Beratnya gradasi
hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat diberikan
nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari. Kepustakaan lain menyebutkan rata-
rata kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari.
Namun selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat menjadi 1,2 – 1,5
gram/kgbb/hari. Pada beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol,
misalnya kegagalan hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar
0,5 gram/kgbb/hari. Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa mencapai 1,5
– 2 gram protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan protein dari fistula
pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elwyn 21 yang hanya menggunakan
dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan kehilangan
nitrogen berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Disamping itu,
keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada pasien dengan luka bakar,
dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu normal.
Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika
mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.
Mikronutrien pada pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E,
K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam
folat yang lebih banyak dibandingkan kebutuhan normal sehari-harinya. Khusus
tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi pada TPN. Dialisis
ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin yang larut dalam air. Selain
defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi
defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper. Nutrisi Tambahan Nutrisi
tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada larutan nutrisi untuk
memodulasi respon metabolik dan sistim imun, walaupun signifikansinya belum
bisa disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth hormone,
glutamine,branched- chain amino acids (asam amino rantai panjang), novel lipids,
omega-3fatty acids, arginine, nucleotides. Namun perlu di waspadai khususnya L-
arginine yang sering disebut sebagai immune-enhancing diets, dapat
memperburuk sepsis, karena L-arginine akan meningkatkan NO yang dapat
meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas usus dan
gangguan integritas mukosa, serta gangguan respirasi. Heyland DK dkk.
menyimpulkan bahwa imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi
tidak berhubungan dengan mortalitas secara umum.
Substrat nutrisi (Sharada & Vadivelan, 2014):
1. Karbohidrat (diberikan sekitar 70% dari kebutuhan kalori)
2. Protein (dibutuhkan lebih banyak pada pasien kritis karena adanya
hipermetabolisme, protein yang dibutuhkan yaitu 1.2 s/d 1.6 g/kg/day
3. Lemak (30% kebutuhan energy harian disediakan dari lemak)
4. Cairan (dibutuhkan sekitar 30 ml/kgBB + penggantian untuk abnormal
losses. Tapi hal ini juga tergantung kondisi pasien dan penyakit yang
dialami)
5. Vitamin
G. Rute Nutrisi
Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi dengan
morbiditas minimal. Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan kerugian
tersendiri, dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari pasien.
Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral selalu lebih dipilih dibandingkan
parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan untuk kasus tertentu
kurang dapat diandalkan atau kurang aman. Nutrisi parenteral mungkin lebih
efektif pada kasus-kasus tertentu, asal diberikan dengan cara yang benar. Dalam
perawatan terhadap penderita sakit kritis, nutrisi enteral selalu menjadi pilihan
pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif berikutnya.
Jenis dukungan nutrisi dibagi menjadi dua:
1. Enteral
Nutrisi enteral yaitu memberikan nutrisi melalui tabung yang ditempatkan
di usus untuk memberikan formula cair yang mengandung semua nutrisi
penting. Nutrisi enteral mendukung integritas fungsional usus dengan
mempertahankan hubungan kuat antara sel intra-epitel, menstimulasi aliran
darah dan menginduksi pelepasan agen endogen tropik. Nutrisi enteral juga
mempertahankan integritas struktural saluran pencernaan dengan
mempertahankan ketinggian vili dan mendukung massa sekresi IgA yang
memproduksi sel-sel imun dari usus yang berhubungan dengan jaringan
limfoid.
Nutrisi enteral merupakan rute pemberian makan yang lebih disukai pasien
kritis yang membutuhkan support nutrisi. Dibandingkan dengan nutrisi
parenteral, infeksi morbiditas berkurang dengan nutrisi enteral, juga terjadi
pengurangan waktu rawat inap di rumah sakit dan pengurangan biaya
hospitalisasi.
Nutrisi enteral dapat diberikan melalui Nasogastrik (NG), Nasojejunal
(NJ), Gastrostomi endoskopi perkutan (PEG), Endoskopi jejunostomi
perkutan (PEJ), Radiologi dimasukkan gastrostomy (RIG), Gastrostomi bedah,
Bedah jejunostomy.
Indikasi untuk nutrisi enteral yaitu ketika pasien memiliki asupan oral
yang tidak memadai selama 1 - 3 hari,sedangkan Kontra-indikasi untuk nutrisi
enteral yaitu:
1. Circulatory shock
2. Complete mechanical bowel obstruction
3. Severe diarrhea
4. Entero-cutaneous fistulas
Komposisi enteral nutrisi:
1. Kepadatan kalori: 1 - 2 kilokalori / liter larutan makan
2. Osmolalitas: 280 - 1.100 mOsm / kg H2O
3. Protein: 35 - 40 gram / liter larutan pakan
4. Lipid: Mereka terdiri dari trigliserida rantai panjang yang diturunkan dari
minyak nabati
5. Serat
Upaya dilakukan untuk memberikan 50 - 65% dari tujuan kalori untuk
mencapai manfaat klinis enteral nutrisi selama minggu pertama rawat inap.
Enteral Nutrition harus dimulai segera setelah pasien diresusitasi dan
hemodinamik stabil.
Rejimen pemberian:
Tabung dimasukkan selama 12 - 16 jam di setiap 24 periode jam. Retensi
lambung pada pasien harus dipantau. Jika volume residu lambung 4 jam (GRV)
kurang dari 200 ml, pemberian makan melalui lambung bisa dilanjutkan. Elevasi
sandaran punggung 40 ° - 45 ° untuk mencegah aspirasi. Penggunaan kombinasi
eritromisin dan metoklopramid lebih efektif dalam meningkatkan outcome nutrisi
enteral.
Komplikasi pemberian makanan enteral
a) Oklusi tabung
b) Aspirasi
c) Diare
d) Refeeding syndrome: Sindrom refeeding mengacu pada pergantian elketrolit
dan cairan yang parah dan komplikasi metabolik yang terkait pada pasien
malnutrisi yang menjalani enteral nutrisi. Hal ini terjadi karena insulin
menyebabkan pengambilan glukosa intraseluler dan elektrolit lain, ditandai
dengan hipokalemia, hypophosphataemia dan hypomagnesaemia (Deane et al.,
2010).
Pasien yang memiliki asupan oral buruk selama lebih dari 5 hari dimulai pada
dukungan nutrisi 50% dari kebutuhan mereka untuk 2 hari pertama. Makanan
dapat dimulai pada 10 kkal / kg / hari dan bisa meningkat secara bertahap untuk
mencapai target energi di atas 4 – 7 hari.
e) Feed Intoleransi: dapat terjadi pada pasien dengan diabetes, gagal ginjal, sepsis,
dan pada pasien yang menggunakan obat seperti analgesik opioid dan agen anti-
kolinergik.

2. Parenteral
Adalah infus nutrisi lengkap ke dalam aliran darah melalui perifer / pusat
akses vena untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien. Tunjangan nutrisi parenteral
diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik. Terdapat
kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak
adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral pada
setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral
secepat mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus
secara kontinu dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis
harus dilakukan secara ketat.
Indikasi untuk nutrisi parenteral:
a. Jangka pendek (<14 hari): Pankreatitis berat, Mucositis pasca kemoterapi,
Fistula entero-kutaneus, Muntah yang tidak bisa ditarik
b. Jangka panjang (> 30 hari): Penyakit usus inflamasi, Radiasi enteritis,
Malabsorpsi kronis
Larutan nutrisi intravena
a. Larutan dekstrosa: digunakan untuk memenuhi persyaratan kalori dari
pasien. Dextrose, menjadi hiper-osmolar sebaiknya diberikan melalui
saluran vena sentral.
b. Larutan asam amino: terdiri dari 50% esensial dan 50% non-essential juga
terdapat asam amino semi esensial.
c. Emulsi lipid: mengandung droplet kolesterol danfosfolipid yang
mengelilingi inti rantai panjang trigliserida. Emulsi dapat diberikan
melalui vena perifer.
d. Elektrolit, mineral, dan elemen khusus.
Komplikasi pemberian makan parenteral yang dapat terjadi meliputi Infeksi
terkait kateter, Infus terkait karbohidrat ( Hiperglikemia, hypophosphataemia, dan
lipid hati), Lipid infus terkait (Oksidasi diinduksi cedera sel), Komplikasi GI
(Atrofi mukosa dan akalkulus) dan kolesistitis.

H. Nutrisi pada Berbagai Kondisi dan Penyakit (Escallon, 2003)


1. Nutrisi Pada Keadaan Trauma
Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena
hipermetabolisme yang persisten, yang mana akan menekan respon imun dan
peningkatan terjadinya kegagalan multi organ (MOF) yang berhubungan dengan
infeksi nosokomial. Pemberian substrat tambahan dari luar lebih awal akan dapat
memenuhi kebutuhan akibat peningkatan kebutuhan metabolik yang dapat
mencegah atau memperlambat malnutrisi protein akut dan menjamin outcome
pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada
TPN karena alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia.
Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen,
diare, keluarnya makanan dari selang naso gastrik. Pemberian TPN secara dini
tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi berat. Nutrisi pada Pasien
Sepsis Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE)pada minggu pertama
kurang lebih 25 kcal/kg/ hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat
secara signifikan. Kalorimetri indirek merupakan cara terbaik untuk menghitung
kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat nutrisi yang digunakan.
Pemberian glukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4 – 5
mg/kg/menit dan memenuhi 50 – 60% dari kebutuhan kalori total atau 60 – 70%
dari kalori non protein. Pemberian glukosa yang berlebihan dapat mengakibatkan
hipertrigliseridemia, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan
produksi CO2 yang dapat memperburuk insufisiensi pernafasan dan
ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis. Pemberian
lemak sebaiknya memenuhi 25 – 30% dari kebutuhan total kalori dan 30 – 40%
dari kalori non protein.
Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil dan limfosit,
menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia yang
dikarenakan oleh gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran alveolokapiler,
merangsang steatosis hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2. Dalam keadaan
katabolik, protein otot dan viseral dipergunakan sebagai energi di dalam otot dan
untuk glukoneogenesis hepatik (alanin dan glutamin). Kebutuhan protein melebihi
kebutuhan protein normal yaitu 1,2 g/kg/protein/hari. Kuantitas protein sebaiknya
memenuhi 15 – 20% dari kebutuhan kalori total dengan rasio kalori non protein/
nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.
2. Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)
ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
energi. Meski demikian kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan
REE (misalnya pada sepsis meningkat hingga 30%). Adanypenurunan toleransi
terhadap glukosa dan resistensi insulin menyebabkan uremia akut, asidosis atau
peningkatan glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan perhatian yang
hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin dimungkinkan
dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian lipid harus
dibatasi hingga 20 – 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah
penting karena osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2
yang rendah dan asam lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 –
1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi
(1,5 – 2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat dan mendapat terapi
menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens urea mingguan
yang lebih besar.
3. Nutrisi pada Pankreatitis Akut
Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa
pemberian nutrisi enteral dapat meningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi
parenteral pada pankreatitis akut berguna sebagai tambahan pada pemeliharaan
nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan peningkatan status nutrisi,
terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan berat. Pada
pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik
dapat mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi
hipokalorik sebesar 15 – 20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal
pada pasien-pasien non bedah dengan MOF. Pemberian protein sebesar 1,2 – 1,5
g/kg/hari optimal untuk sebagian besar pasien pankreatitis akut. Pemberian nutrisi
peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah teratasi dan enzim pankreas
telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan protein
dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan diberikan
lemak dengan hati-hati setelah 3 – 6 hari.
4. Nutrisi pada Penyakit Hati
Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus
diberikan dengan hati-hati untuk mencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih
dari 1 g/kg perhari. Pembatasan protein diperlukan pada ensefalopati hepatik
kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari, dosis ini dapat ditingkatkan dengan hati-hati
menuju ke arah pemberian normal. Ensefalopati hepatik menyebabkan hilangnya
Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan peningkatan
pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat
neurotransmiter. Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang
diperkaya dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa
memperburuk ensefalopati yang sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat
menurunkan glukoneogenesis sehingga terjadi hipoglikemia yang memerlukan
pemberian infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih dapat ditoleransi
dengan baik.
Daftar Pustaka:
Deane A, Chapman MJ et al. Bench-to-bedside review: The gut as an endocrine
organ in the critically ill. Critical Care 2010; 14: 228.
Escallon J et al. Nutrition in critical care. In: McCarnish M et al, editors. An
integrated approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed.
Pennsylvania: Elsevier; 2003.p.117-28.
Kubrak C, Jensen L. Malnutrition in acute care patients: a narrative review. Int J
Nurs Stud. 2007;44:1036-54. doi: 10.1016/j. ijnurstu.2006.07.015.
PubMed PMID: 16996065.
Mahdavi AM, Safaiyan A, Ostadrahimi A. Subjective vs objective nutritional
assessment study in children: a cross-sectional study in the northwest of
Iran. Nutr Res. 2009;29:269-74. doi: 10.1016/j.nutres.2009.03.009.
PubMed PMID: 19410979.
Makhija S, Baker J. The Subjective Global Assessment: a review of its use in
clinical practice. Nutr Clin Pract. 2008;23:405-9. doi:
10.1177/0884533608321214. PubMed PMID: 18682592.)
McClave SA, et al. Guidelines for the provision and assessment of nutrition
support therapy in the adult critically ill patient: Society of Critical Care
Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition (ASPEN). JPEN 2016;40(2):159–211.
Ryu SW, Kim IH. Comparison of different nutritional assessments in detecting
malnutrition among gastric cancer patients. World J Gastroenterol.
2010;16:3310-7. doi: 10.3748/wjg.v16.i26.3310. PubMed PMID:
20614488; PubMed Central PMCID: PMC2900724.
Sharada & Vadivelan. Nutrition in critically ill patients. Journal, Indian Academy
of Clinical Medicine Vol. 15, No. 3 & 4 July-December, 2014. JIACM
2014; 15(3-4): 205-9

Anda mungkin juga menyukai