Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

MIGRAIN

Pembimbing :
dr. Perwitasari Bustomi, Sp.S
dr. Eny Waeningsih, Sp.S, M.Kes

Disusun oleh :
Ilham Agustio
1102015094

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF
RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA
AGUSTUS 2019
REFEREAT
MIGRAIN

1.1 Definisi
Menurut International Headache Society (IHS), migrain merupakan gangguan
nyeri kepala berulang, dengan serangan berlangsung selama 4–72 jam dengan
karakteristik berlokasi unilateral, nyeri berdenyut (pulsating), intensitas sedang
atau berat, diperberat oleh aktivitas fisik rutin, dan berhubungan dengan mual
dan/atau fotofobia serta fonofobia.

1.2 Epidemiologi
Data nasional mengenai seberapa besar prevalensi migrain di Indonesia
sampai saat ini belum ada. Penelitian-penelitian mengenai migrain kebanyakan
dilakukan dengan sampel terbatas dan berbasis 9 rumah sakit (hospital based).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap penderita migrain kelompok usia 16
sampai 30 tahun mencatat prevalensi migrain sebanyak 43,5%, dimana prevalensi
wanita sebesar 53,5% dan pria sebesar 35,8%.
Migren diperkirakan dua sampai tiga kali lebih sering pada perempuan
daripada laki-laki dan paling sering terjadi pada perempuan berusia kurang dari 40
tahun, cenderung dijumpai dalam satu keluarga dan diperkirakan memiliki dasar
genetik. Sekitar 70% hingga 80% penderita migren memiliki anggota keluarga
dekat yang menderita nyeri kepala.

1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya migren masih belum diketahui secara pasti, diduga
sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi
sistem trigeminal vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala
primer. Namun ada beberapa faktor atau pemicu yang dapat menyebabkan
terjadinya migren, antara lain:

2
1. Riwayat anggota keluarga dengan riwayat nyeri kepala (faktor genetik
diyakini kuat berpengaruh terhadap munculnya migrain)
2. Perubahan hormon (esterogen dan progesterone) pada wanita, khususnya
pada fase luteal siklus menstruasi, kehamilan, menarke, menopause, dan
penggunaan kontrasepsi oral (penurunan kadar estrogen)
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah dan natrium nitrat),
vasokonstriktor (keju dan coklat), serta zat tambahan pada makanan
(monosodium glutamate/MSG dan pemanis buatan sakarin)
4. Stres berlebih, dan faktor psikologis lainnya seperti
5. Faktor fisik dan siklus tidur tidak teratur,
6. Rangsang sensorik (cahaya silau/berkedip dan bau menyengat),
7. Alkohol dan merokok

Gambar 2.1.Frequency of individual


triggers occurring at least occasionally (by
percentage)

1.3 Patofisiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan
terjadinya sakit kepala migraine. Tetapi dalam beberapa tahun belakangan
ini telah banyak penelitian yang menjelaskan patomekanisme terjadinya
migraine. Paling tidak ada 3 teori yang diyakini dapat menjelaskan
mekanisme migraine.

3
1. Teori Vascular

Teori vaskular, adanya gangguan vasospasme menyebabkan


pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi hipoperfusi otak yang
dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran frontal
berlanjutan dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai.

2. Teori Neurovascular-Neurokimia (Trigeminovascular)

Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan


merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga
melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada
reseptornya di sel mast meningens dan akan merangsang pengeluaran
mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga
bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan
peningkatan aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post
junctional site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi
impuls nyeri. Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan
mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin.
Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga
terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan kadar epinefrin dan
serotonin akan menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi
penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah di otak akan
merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang
maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial
yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migren.

4
3. Teori Cortical Spreading Depresion

Dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga


mudah terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave
depolarization oleh pottasium-liberating depression (penurunan pelepasan
kalium) sehingga menyebabkan terjadinya periode depresi neuron yang
memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi yang akan
menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.

5
1.4 Klasifikasi
Klasifkasi migrain berdasarkan konsensus PERDOSSI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia) yang merupakan adaptasi International
Headache Society:
 Migren tanpa aura
 Migren dengan aura
 Sindrom periodik pada anak yang pada umumnya menjadi prekursor
migraine
 Cyclical vomiting
 Migren Abdominal
 Vertigo paroksismal Benigna pada Anak
 Migren retinal
Dalam makalah ini, yang menjadi pembahasan pokok terutama migrain dalam
kelompok migrain tanpa aura dan migraine dengan aura.

1.6 Gejala Klinis


Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada setiap
individu. Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi
semuanya tidak harus dialami oleh setiap individu. Fase-fase tersebut antara lain
:11
1. Fase Prodromal.
Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya berupa perubahan
mood, irritable, depresi, atau euphoria, perasaan lemah, letih, lesu, tidur
berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti cokelat) dan
gejala lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari sebelum fase
nyeri kepala. Fase ini memberi petanda kepada penderita atau keluarga
bahwa akan terjadi serangan migren.

2. Fase Aura.
Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului atau

6
menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap selama 5-20 menit.
Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik, atau kombinasi
dari aura-aura tersebut. Aura visual muncul pada 64% pasien dan
merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi. Yang khas untuk
migren adalah scintillating scotoma (tampak bintik-bintik kecil yang
banyak) , gangguan visual homonym, gangguan salah satu sisi lapang
pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang bergerak pelan
(fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adanya scotoma
(fenomena negatif) yang timbul pada salah satu mata atau kedua mata.
Kedua fenomena ini dapat muncul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura
pada migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan kemudian diikuti
dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala, walaupun ada yang
melaporkan tanpa periode laten.

3. Fase nyeri kepala.


Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral, dan awalnya
berlangsung didaerah frontotemporalis dan okular, kemudian setelah 1-2
jam menyebar secara difus kearah posterior. Serangan berlangsung selama
4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada anak- anak berlangsung
selama 1-48 jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang sampai berat, dan
kadang-kadang sangat mengganggu pasien dalam menjalani aktivitas
sehari-hari.

4. Fase Postdromal.
Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi menurun, dan
terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa “segar” atau
euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya merasa deperesi
dan lemas.

7
Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara pada
penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodromal, fase
nyeri kepala, dan fase postdromal.

1.7 Diagnosis
Nyeri merupakan gejala yang sangat subjektif dan bervariasi tiap individu.
Oleh karena itu untuk dapat menegakkan diagnosis yang tepat dibutuhkan
kecermatan dalam anamnesis pasien. Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan
apabila terdapat tanda – tanda khas migren. Untuk dapat memudahkan
mengakkan diagnosis migraine digunakan kriteria diagnosis migren menurut
International Headache Society (IHS).
Adapun kriteria diagnosis untuk Migraine tanpa aura (common migraine)
adalah sebagai berikut :
A. Sedikitnya terdapat 5 serangan nyeri kepala, DAN memenuhi kriteria B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (belum diobati atau
sudah diobati namun belum berhasil)
C. Nyeri kepala disertai dua dari empat ciri-ciri berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang-berat
4. Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau aktivitas di luar kebiasaan
rutin (berjalan atau menaiki tangga)
D. Selama serangan nyeri kepala, minimal terdapat satu dari gejala berikut
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain
Migraine dengan aura (classic migraine). Aura sendiri diartikan sebagai
gejala disfungsi serebral fokal yang pulih menyeluruh dalam jangka waktu < 60
menit yang dapat terjadi sebelum serangan nyeri kepala (sebagian besar kasus),
pada saat serangan atau setelah serangan. Adapun kriteria diagnosis migraine
dengan aura, yaitu:

8
A. Sedikitnya dua serangan nyeri kepala yang memenuhi criteria B dan C
B. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel berikut :
1. Visual
2. Sensorik
3. Bicara dan/atau bahasa
4. Motorik
5. Batang Otak
6. Retinal
C. Sedikitnya dua dari empat karakteristik berikut :
1. Sedikitnya satu gejala aura yang berkembang secara bertahap selama ≥ 5
menit, dan/atau dua atau lebih gejala aura yang terjadi berurutan
2. Gejala aura berlangsung selama 5-60 menit
3. Sedikitnya satu gejala aura yang terjadi bersifat unilateral
4. Gejala aura bersamaan atau diikuti dengan gejala nyeri kepala sesuai
dengan criteria migrain tanpa aura
D. Tidak berkaitan dengan nyeri kepala akibat penyakit lain dan Transient
Ischemic Attack (TIA) telah disingkirkan.

1.8 Diagnosis Banding


Migrain termasuk nyeri kepala primer yang dimana penyebabnya belum
diketahui secara pasti. Untuk mendiagnosisnya pun menurut PERDOSSI cukup
dengan gejala klinis saja sesuai kriteria diagnosis yang telah ditetapkan. Sehingga,
butuh pengenalan lebih lanjut mengenai gejala dan tanda khas dari migrain agar
dapat membedakannya dengan nyeri kepala tipe lain. Berikut adalah tabel
perbandingan masing-masing nyeri kepala yang dipertimbangkan sebagai

9
Tipe Lokasi Umur Gejala Faktor
Klinik Pencetus
Migrain Fronto- Dewasa Nyeri Cahaya,
tanpa aura temporal muda, sedang- suara,
(uni- kadang berat, alkohol,
bilateral) anak-anak berdenyut gangguantid
ur
Migrain Sama Sama Sama Sama
dengan aura dengan atas dengan atas dengan atas dengan atas
+ gangguan
sensorik,
visual,
otonom
Cluster Orbito- Dewasa Nyeri hebat, Tidak
Headache temporal muda dan tidak diketahui
(Nyeri laki-laki berdenyut, pasti,
kepala dewasa lakrimasi, alkohol pada
kluster) (90%) rinore, beberapa
injeksio kasus
konjungtiva
Tension Fronto- Dewasa Tertekan, Kelelahan,
Type Oksipital, muda, usia terikat tali, stress psikis
Headache ( menyeluruh pertengahan, tidak
Nyeri kepala terkadang berdenyut,
ketegangan) anak-anak, berlangsung
wanita>pria berhari-hari,
bulan,
tahunan
Neuralgia Unilateral, Usia Nyeri Mengunyah,
Trigeminal mengikuti umumnya seperti berbicara,
persarafan 60-70 tahun tertusuk, menyikat

10
sensorik berat, dan gigi,
n.trigeminus muncul menyentuh
pada kepala mendadak area/lokasi
nyeri
Tabel 1. Diagnosis Banding Migrain

1.9 Tatalaksana
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor
resiko, terapi farmako dengan memakai obat dan terapi nonfarmako. Terapi
farmakologi dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi
preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmakologi juga dapat
bertujuan untuk abortif dan pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan
pada saat serangan akut yang bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan
disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau
profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan
beratnya nyeri kepala.
1. Terapi farmako migrain
a. Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesik nonspesifik yaitu
analgesi yang dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala,
dan atau analgesik spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesik nyeri
kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai analgesik
nonspesifik masih dapat menolong pada migrain dengan intensitas nyeri
ringan sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau berespons
buruk dengan OAINS pemberian analgesik spesifik lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat
diberikan saat serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada
saat fase prodromal. Fase prodromal migrain dihubungkan dengan
gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter dopamin dan
serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu penyerapan lambung di

11
samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan muntah.
Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan
parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.
1.a. Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesik nonspesifik adalah asetaminofen
(parasetamol), aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada
umumnya pemberian analgesik opioid dihindari. Beberapa obat OAINS
yang telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:
 Diklofenak.
 Ketorolak.
 Ketoprofen.
 Indometasin.
 Ibuprofen.
 Naproksen.
 Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang
berat. Kombinasi antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta
penambahan kafein dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan
dosis masing-masing obat yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi
efek samping obat. Mekanisme kerja OAINS pada umumnya terutama
menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa prostaglandin
dihambat.
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa.
Dosis obat harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila
satu OAINS tidak efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping
pemberian OAINS perlu dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Pada wanita hamil hindari pemberian OAINS setelah minggu
ke 32 kehamilan. Pada migrain anak dapat diberikan asetaminofen atau
ibuprofen.
1.b. Analgesik spesifik

12
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah
ergotamin, dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan
agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi
reseptor 5HT I B / 1 D. Di samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan
dengan reseptor 5-HT2, α1dan α 2- nonadrenergik dan dopamin.
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri
sedang sampai berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat
dipakainya analgesik spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan
pilihan sebagai antimigren. Ergot lebih murah dibanding golongan triptan
tetapi efek sampingnya lebih besar. Penyebab lain yang menjadi
penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk
oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE
diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila analgesik nonspesifik
kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis dan cara
pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin
dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain
sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak
terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit
pembuluh perifer (hati-hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal,
gagal hati dan sepsis. Efek samping yang mungkin timbul antara lain
mual, dizziness, parestesia, kramp abdominal. Ergotamin biasanya
diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak melebihi 10
mg/minggu.
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia
sehingga memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat
atau pasien yang tidak memberikan respon dengan analgesik nonspesifik
dengan atau tanpa kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg
dengan dosis maksimal dalam 24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain
adalah pasien, yang berisiko penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol, migrain tipe basiler. Efek

13
samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri dada non kardial,
disforia.
Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan,
naratriptan, rizatriptan) yang tidak ada di Indonesia sebenarnya
mempunyai respons yang lebih baik, rekurensi nyeri kepala yang lebih
rendah dan lebih dapat ditoleransi
Nama obat CaraPemberian NNT (95% Cl) :
 Sumatriptan 6 mg SC
 Rizatriptan 10 mg oral
 Eletriptan 80 mg oral
 Zolmitriptan 5 mg oral
 Eletriptan 40 mg oral
 Sumatriptan 20 mg intranasal
 Sumatriptan 100mg oral
 Rizatriptan 2,5 mg oral
 Zolmitriptan 2,5 mg oral
 Sumatriptan 50 mg oral
 Naratriptan 2,5 mg oral
 Eletriptan 20 mg oral
NNT: dalam 2 jam nyeri kepala menghilang
b. Terapi preventif
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya
serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu
episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang (kronis). Terapi
episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan
baik sehingga dapat diberikan analgesik sebelumnya. Terapi preventif
jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang
telah dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual.
Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun
tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai
tiga bulan.

14
Indikasi:
 Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan
 Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau
bulan
 Penyakit sangat mengganggu kuafitas/gaya hidup penderita.
 Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat
ditoleransi terhadap terapi abortif.
 Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.
 Terapi profilaksis lini pertama: calcium channel blocker (verapamil),
antidepresan trisiklik (nortriptyline), dan beta blocker (propanolol)
 Terapi profilaksis lini kedua: methysergide, asam valproat, asetazolamid.
 Mekanisme kerja obat-obat tersebut tidak seluruhnya dimengerti. Diduga
obat tersebut menghambat pelepasan neuropeptida ke dalam pembuluh
darah dural melalui efek antagonis pada reseptor 5-HT2. Satu jenis obat
profilaksis tidak lebih efektif daripada obat yang lain. oleh karena itu, bila
tidak ada kontraindikasi, verapamil lebih sering digunakan pada awal
terapi karena efek sampingnya paling minimal dibandingkan yang lain.
 Apabila dizziness tidak dapat dikontrol dengan satu obat, gunakan jenis
obat yang lain. Bila dizziness sudah terkontrol, obat diberikan terus
menerus selama minimal 1 tahun (kecuali methysergide yang memerlukan
interval bebas obat selama 3-4 minggu pada bulan ke-6 terapi). Obat dapat
diberikan ulang pada tahun berikutnya apabila dizziness muncul lagi
setelah terapi dihentikan.
Nama obat dan dosis
 Propranolol 40-240 mg/hari
 Nadolol 20-160 mg/ hari
 Metoprolol 50-100 mg/ hari
 Timolol 20-60 mg/ hari
 Atenolol 50-100 mg/ hari
 Amitriptilin 10-200 mg/ hari
 Nortriptilin 10-150 mg/ hari

15
 Fluoksetin 10-80 mg/ hari
 Mirtazapin 15-45 mg/ hari
 Valproat 500-1500 mg/ hari
 Topiramat 50-200 mg/ hari
 Gabapentin 900-3600 mg/ hari

16
c. Terapi non-farmako
Walaupun terapi farmakologi merupakan terapi utama migren, terapi
nonfarmakologi tidak bisa dilupakan. Pada kehamilan terapi nonfarmakologi
bahkan diutamakan. Terapi nonfarmakologi dimulai dengan edukasi dan
menenangkan pasien (reassurance). Pada saat serangan pasien dianjurkan
untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. Bila memungkinkan
beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin. Menghindari
faktor pencetus mungkin merupakan terapi pencegahan yang murah. Intervensi
terapi perilaku (behaviour) sangat berperan dalam mengatasi nyeri kepala yang
meliputi terapi cognitive-behaviour, terapi relaksasi serta terapi biofeedback
dengan memakai alat elektromiografi atau memakai suhu kulit atau pulsasi
arteri temporalis. Olahraga terarah yang teratur dan meningkat secara bertahap
umumnya sangat membantu. Beberapa penulis mengusulkan terapi alternatif
lain seperti meditasi, hipnosis, akupunktur dan fitofarmakologi. Pada migrain
menstrual dapat dianjurkan mengurangi garam dan retensi cairan.

1.7 Komplikasi
 Status migren
 Migren infarction
1.8 Prognosis
Pada umumnya migren dapat sembuh sempurna jika dapat mengurangi
paparan atau menghindari faktor pencetus,dan meminum obat yang teratur.
Tetapi berdasarkan penelitian dalam beberapa studi, terjadi peningkatan resiko
untuk menderita stroke pada pasien riwayat migren, terutama pada perempuan.

17
DAFTAR PUSAKA

Sjahrir, Hasan. 2 0 1 8 . D i a g n o s i s d a n P e n a t a l a k s a n a a n Nyeri Kepala.


Surabaya: Airlangga University Press.
Price, Sylvia dan Lorraine M.Wilson. 2014. Patofisiologi edisi 7. Jakarta: EGC.
Riyadina, Woro, Yuda Turana. 2014. Faktor Resiko dan Komorbiditas Migrain.
Jakarta: Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
Arifputera, Andy. Tiara Anindhita. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi 4.
Jakarta: Media Aesculapius.
Kelompok Studi Nyeri Kepala PERDOSSI. Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Airlangga University Press : 2018.
p. 1 – 44 3.
Hidayati, B. S. 2016. The Clinician’s Aprroach to the Management of Headache
Vol.02, No.02. Surabaya: Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Hartwig M WL. Nyeri. In: Price S WL, editor. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2015. p. 1063-101.
Harsono, 2016. Kapita Selekta Neurologi. 2nd ed. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 253-262.
Weatherall, M. W. 2015. The Diagnosis and The Treatment of Crhonic Migraine.
NCBI. Ther Adv Chronic Dis.; 6(3): 115–123.
Anurogo D. Penatalaksanaan migren. RS PKU Muhammadiyah Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, 2015.
Basuki, A. 2018. Kegawatdaruratan Neurologi. Bandung : FK UNPAD / RS.
Hasan Sadikin.

Anda mungkin juga menyukai