Komunikasi Politik

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 34

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325686538

PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK

Article · June 2018

CITATION READS
1 6,846

1 author:

Mirza Shahreza
Universitas Muhammadiyah Tangerang
23 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Political Communication View project

Environmental Communication View project

All content following this page was uploaded by Mirza Shahreza on 11 June 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK

Mirza Shahreza

mirzashahreza@gmail.com

"Ada tiga macam prinsip dalam kehidupan dan keberadaan manusia: 1. Pemikiran; 2.
Ujaran; dan 3. Tindakan. Asal muasal konflik terjadi antara diriku dengan 'liyan' adalah
karena aku tidak mengatakan apa yang kumaksudkan, dan aku tidak melakukan apa yang
kukatakan." (Martin Buber, 1878 – 1965).1

A. Politisasi Komunikasi

Dalam praktiknya, komunikasi politik secara sengaja atau tidak disengaja


sering menjadi pembicaraan atau obrolan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab,
dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi
(aksioma komunikasi), dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan
kajian komunikasi politik. Misalnya berbagai penilaian dan analisis orang awam
berkomentar soal kenaikan bahan bakar minyak (BBM), ini merupakan contoh
tindakan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM
sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.
Begitu pula bila pada masa-masa Pemilu atau pesta demokrasi seperti yang
terjadi pada Pileg, Pilpres dan Pilkada di Indonesia, hampir semua media mulai
dari cetak, elektronik dan media baru ramai membicarakan segala aspek masalah
politik.
Komunikasi politik bisa dikatakan berbeda dengan politik komunikasi,
penempatan kata yang dipindahkan akan bermakna sangat berbeda cara
memahaminya. Kalau komunikasi politik artinya adalah politik sebagai pesan-
pesan komunikasi, yaitu bagaimana politik yang berkaitan dengan pengaruh,
kekuasaan, kewenangan, nilai, ideologi, kebijakan umum, distribusi kekuasaan
menjadi pesan yang disampaikan secara sirkular dari pengirim (komunikator
politik) kepada penerima (komunikan), audiens atau khayalak politik.

1 filsuf eksistensialis asal Austria, Martin Buber (1878 – 1965), Konsistensi antara pikiran, ujaran, dan tindakan
merupakan fondasi dari hubungan antar-manusia. Dalam kenyataan konsistensi ketiganya tidak selalu mudah
dilakukan, atau justru malah direkayasa sehingga tak kunjung bisa konsisten atau seolah-olah konsisten. Akibatnya,
komunikasi antar-manusia menjadi terdistorsi dan mengakibatkan konflik. Komunikasi antara pemimpin dan rakyat
akan terjalin dengan baik manakala konsistensi dari tiga prinsip tsb terpelihara dan terus menerus dipertahankan, dikutip
dari status Facebook Muhammad AS Hikam diakses pada February 6 at 7:06am
(https://www.facebook.com/mashikam/posts/10205871706375563?pnref=story)

1|Page
Sedangkan “Politik Komunikasi” maksudnya mengkaji komunikasi dari aspek
politiknya, contohnya setiap peristiwa komunikasi yang bermuatan politik
terjadi seperti pertemuan non formal antara petinggi partai politik, forum-forum
di sidang-sidang komisi di DPR, shilahturahmi politik Partai Golkar, kunjungan
PKS (partai oposisi) ke Istana Presiden lalu menyebut partainya sebagai oposisi
yang loyal, pidato tokoh politik, politisasi media, seperti juga peristiwa adanya
sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bersamaan pertemuan Presiden
Jokowi dengan para pelawak di Istana yang bisa jadi sebuah pesan yang
bermuatan politik untuk disampaikan kepada khalayak untuk mempengaruhi
opini publik, dan berbagai peristiwa lainnya.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkrit sebenarnya
telah dilakukan oleh siapa saja: pedagang sayur, mahasiswa, dosen, tukang ojek,
penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi
Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah
belaka. Berbicara tentang komunikasi politik (political communication) perhatian
kita langsung pada konsep komunikasi dan konsep politik. Sehingga pengertian
utama adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor
politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan
pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi
politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai
komunikasi organisasi karena sifatnya yang merupakan komunikasi yang terjadi
di lembaga resmi atau formal sehingga terjadi komunikasi antara atasan dan
bawahan secara vertikal dan juga antara sejawat atau rekan di dunia politik
secara horizontalnya.
Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang
lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah,
atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam
setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor
parlemen. Untuk mengetahui lebih jauh komunikasi politik, maka sebaiknya kita
fahami dulu pengertian dua konsep yang membentuk kajian komunikasi politik,
yaitu kajian komunikasi dan politik.

1. Komunikasi

Dan Nimmo (1978) menjelaskan komunikasi adalah pengalihan informasi


untuk memperoleh tanggapan; pengordinasian makna antara seseorang dengan
khalayak; saling berbagi informasi, gagasan, atau sikap; saling berbagi unsur-
unsur perilaku, atau modus kehidupan melalui perangkat aturan; proses
penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu
atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak
langsung.
Berbagai definisi komunikasi dari para pakar komunikasi dikaji dan
didiskusikan, antara lain: “Who says what in which channel to whom and with what
effects – Siapa mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa dan dengan

2|Page
pengaruh apa” (Harold Lasswell, 1948) dan “Saling berbagi informasi, gagasan,
atau sikap” (Wilbur Schramm, 1974). Dibahas pula tentang fungsi, jenis,
komponen, dan proses komunikasi secara umum. Unsur-unsur komunikasi
yaitu Komunikator/Sender (Pengirim pesan), Encoding (Proses penyusunan ide
menjadi simbol/pesan), Message (Pesan), Media/Channel (Saluran), Decoding
(Proses pemecahan/penerjemahan simbol-simbol), Komunikan/Receiver
(Penerima pesan), dan Feed Back/Effect (Umpan balik, respon, atau pengaruh).
Laurence J. Peter dalam bukunya “Piramida Peter: Mungkinkah kita
Mencapai Puncaknya”, komunikasi didefinisikan:2

“The cognitive development of any individual organism is functionally dependent on that


organism’s substantive comprehension of the variables involved in the dynamic process
of symbolic transmission we typically rever to as communication”.

Terjemahannya adalah: perkembangan kognitif setiap organisme individual


tergantung secara fungsional pada besarnya pemahaman organisme tadi tentang
variabel-variabel yang terlibat dalam proses dinamis dari transmisi simbolis
yang pada khususnya kita sebut sebagai komunikasi.3
Dari penjelasan definisi tersebut menggambarkan bahwa komunikasi
secara umum dikatakan pengetahuan terbangun oleh setiap organisme yang
berarti komunikasi bukan saja dilakukan oleh manusia tapi setiap organisme
yang ada di alam semesta ini juga terkoneksi dengan suatu komunikasi. Ada
saling ketergantungan antara satu sama lain berdasarkan fungsinya dan
karakteristik khas masing-masing variabel dalam suatu proses yang dinamis
terkait dengan pengiriman simbol-simbol yang memiliki arti ada makna tertentu
dalam suatu sistem kehidupan. Antara organisme yang ada di alam seperti
tumbuhan, hewan dan manusia saling mengirim pesan satu sama lain. Warna
hijau adalah krolofil yang bentuk simbol yang ditangkap oleh manusia sehingga
dengan keragamannya (variabel4), manusia akhirnya terus mempelajari fungsi-
fungsi daripada tumbuhan seperti ada yang menjadi makanan, ada yang menjadi
obat bahkan ada yang berfungsi sebagai racun.

2 Laurence J. Peter, Piramida Peter: Mungkinkah kita Mencapai Puncaknya,Penerbit Erlangga, 1986, hlm. 65 (dari
sebuah kursus di The U.S. Army Logistics Management Centre di Fort Lee, New Jersey).

3 Komunikasi adalah proses berbagi makna secara berkesinambungan dan dinamis di antara pelaku-
pelaku komunikasi melalui lambang-lambang verbal maupun non verbal, bermedia maupun tidak, dimana
masing-masing pihak dapat saling memberikan pengaruh secara timbal balik. Variabel-variabel
komunikasi adalah: Pengirim (source, sender, encoder, communicator, who), Penerima (receiver,
audience, decoder, destination), Pesan (message, speech, says what), Saluran (channel, media), Konteks
(context, setting), Umpan balik (feedback), Gangguan (noise), Hasil akhir (effect).
4
Variabel adalah konsep yang memiliki variasi atau memiliki lebih dari satu nilai. Dalam penelitain
kuantitatif dapat diramalkan atau diprediksi apabila hubungan antarvariabel tertentu dapat diketahui.
Pedoman dalam menentukan variabel yang saling berhubungan adalah proposisi, teori, dan hipotesis.
Contoh variabel dan variasi nilainya: jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), mahluk hidup (manusia,
hewan, tumbuhan) dan sebagainya (Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2011, hlm 55-56).

3|Page
Begitu pula manusia terhadap hewan, dari bentuk tubuh, karakteristik
seperti herbivora, karnivora memiliki makna atau simbol yang akhirnya
diterjemahkan oleh manusia menjadi berbagai macam fungsi seperti kuda
dengan tenaga kuat dan bentuk punggung yang lurus horizontal membentuk
pengetahuan manusia menjadikannya kendaraan yang bisa ditunggangi,
sehingga mempercepat waktu jarak tempuh manusia dari tempat satu ke tempat
lainnya, dan juga hewan lainnya ada yang digunakan untuk membantu
membajak tanah, menjadi makanan, dan peran karivora yang menjaga
keseimbangan mata rantai kehidupan. yang menjadi misteri adalah bagaimana
persepesi atau kesadaran tumbuhan dan hewan terhadap manusia, apakah
mereka hanya mengandalkan insting atau naluri saja? Pemahaman ini akan lebih
kompleks dan dinamis pada komunikasi antar manusia. Seperti halnya mahluk
hidup lainnya manusia diciptakan dengan perbedaan yang berpasangan atau
berfungsi saling melengkapi dalam suatu keseimbagan komunikasi. Manusia
terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan perbedaan karakteristik, fisik,
bahasa, suku bahkan sampai kepada perbedaan ideologi, dan keyakinan. Semua
perbedaan tersebut berdasarkan wahyu Ilahi5 dirancang semata-mata adalah
untuk saling mengenal satu sama lain. Akhirnya perbedaan tersebut semata-
mata untuk saling melengkapi dalam satu sistem kehidupan. Saling mengenal
akan memasuki tahap saling memahami selanjutnya saling menghargai dan
menghormati, itulah yang disebut toleransi.
Selanjutnya yang menjadi tantangan ummat manusia di dunia ini adalah
tertuju kepada Sang Komunikator Utama (Tuhan) yang sudah ditakdirkan
manusia terbatas oleh kemampuan panca indra untuk membuktikannya kecuali
sampai tahap Keimanan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Plotenus: 6

“Tuhan adalah suatu realitas yang terakhir, suatu spirit yang juga luhur, bahwa Tuhan
itu diluar dari segala gambaran yang terbatas. Panggilan (approach) yang paling dekat
ialah menyebutkan bahwa Tuhan yang Tunggal itu adalah Penyebab yang Tidak
Terbatas, yang dari Dialah terjadi segala sesuatu”.

Plotinus terkenal sebagai komentator dari buku-buku Aristoteles yang


memberikan corak keagamaan / spiritual bagi ajaran-ajaran Aristoteles yang
sangat rasionalistik tersebut. Maka muncullah faham yang dinamakan Theology
of Aristotle.

2. Politik

Adalah kajian tentang kekuasaan (power) atau seni memerintah. Dibahas


dan didiskusikan berbagai pendapat tentang definisi politik, antara lain Harold

5 Al-Hujurat, 49/13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
6 Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1970, hlm 63.

4|Page
D Laswell7 dalam bukunya “Who gets what, when, and how”, ilmu politik adalah
ilmu tentang kekuasaan. Lalu David Easton mendefinisikan politik sebagai
berikut:

“Political as a process those developmental processes through which person acquire


political orientation and patterns of behavior”8

Dalam definisi ini David Easton menitikberatkan bahwa politik itu


sebagai suatu proses di mana dalam perkembangan proses tersebut seseorang
menerima orientasi politik tertentu dan pola tingkah laku. Easton juga
mengatakan “Authoritative allocation of values – alokasi nilai-nilai secara
otoritatif/sah/sesuai dengan kewenangan”. G.E.G Catlin mengatakan politik
adalah “Kekuasaan dan pemegang kekuasaan”, dan Joyce Mitchell mengatakan
“Pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk
masyarakat seluruhnya”, Di dalam Kamus Analisa Politik, Jack Plano dkk
mendefinisikan politik sebagai “Seni memerintah”; “Penggunaan pengaruh,
perjuangan kekuasaan, dan persaingan alokasi nilai-nilai dalam masyarakat dan
“Proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan , khususnya dalam negara; Seni dan
ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional;
Hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara;
Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
di masyarakat.
Dan Nimmo9 mengartikan politik sebagai kegiatan orang secara kolektif
yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Dalam
berbagai hal orang berbeda satu sama lain, yaitu dari sisi jasmani, bakat, emosi,
kebutuhan, cita-cita, inisiatif, perilaku, dan sebagainya. Nimmo juga
menjelaskan, kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan,
dan percekcokan. Jika mereka menganggap perselisihan itu serius, perhatian
mereka dengan memperkenalkan masalah yang bertentangan itu, dan
selesaikan; inilah kegiatan politik.
Selanjutnya penulis10 akan melihat melalui perspektif Timur dalam hal
politik, berdasarkan buku yang ditulis Erwin I. J. Rosenthal, “Political Thought in
Medieval Islam”,11 terdapat tulisan yang khusus mengenai pemikiran Ibnu Sina
yang ditulis dengan kata “the synthesis”, yang merupakan prinsip sesudah
melalui fase-fase thesis dan antithesis. Synthesis atau perpaduan tersebut adalah:

a. Perpaduan antara falsafah dengan agama, rasio dengan wahyu;


b. Perpaduan antara akhlaq, ekonomi, dan politik;

7 Varma, S.P, Teori Politik Modern, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1995, hlm 258
8 Sumarno, A.P.Dimensi-Dimensi Komunikasi Politik. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989:8
9 Dan Nimmo ,Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media). Terjemahan: Tjun Surjaman. Cetakan III,

Remadja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 8.


10
Mirza Shahreza, M.I.K
11 Cambrige books online: http://ebooks.cambridge.org/ebook.jsf?bid=CBO9780511735332
5|Page
c. Perpaduan antara hukum (syari’ah) dengan Nomoi, hukum-hukum
agama dengan hukum-hukum negara;
d. Perpaduan antara politik dan mistik, dan umumnya antara jasmani,
akal, dan rohani.
e. Perpaduan berbagai ide kenegaraan menjadi “Negara Adil Makmur.”

Ibnu Sina (Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina) sebagai filsuf yang
banyak membaca filosofi Yunani, sangat mengagumi dan menggunakan prinsip-
prinsip politik dari Plato, yang bersandarkan pada rasio, dan juga sebagai
seorang muslim yang ta’at dia juga meyakini akan kaidah-kaidah yang
bersandarkan kepada Wahyu. Ditangan Ibnu Sina kedua prinsip dan kaidah
tersebut dipertemukan dan menjadi satu di dalam teori politik. Ibnu Sina
selangkah lebih maju dari gurunya, Al-Farabi yang lebih fokus kepada faham-
faham politik Yunani, maka Ibnu Sina menguji dan memadukan faham politik
Yunani dan kaidah Islam sehingga menjadi suatu prinsip yang saling
melengkapi. Ibnu Sina juga menyatukan tiga bidang yang sangat penting yaitu:
akhlak (etika), ekonomi dan politik, Rosenthal menyebutkan hal ini secara
terperinci, sebagai berikut:12

“I have observed that in his Aqsam Al-‘Ulum (Division of the Sciences) he distuinguished
between three practical sciences: Ethics, as taught by Aristotle in Nicomachean Ethics;
Economics, as set out in Bryson and dealing with the thosehold and its management; and
Politics, which is taught by Plato and Aristotle. His K. al-siyasa is devoted to ethics and
to economics, the regimen of the household, which comprises the master of the family, his
wife, children and servants”.

Saya sudah memperhatikan dalam bukunya “Fi Aqsam Al-‘Ulum (tentang


pembagian ilmu), Ibnu Sina memperbedakan 3 macam ilmu praktis: 1. Ilmu
etika, sebagai yang diterangkan oleh Aristoteles dalam bukunya “Nicomachean
Ethics”; 2. Ilmu ekonomi, sebagai diuraikan oleh Bryson, dan dibaginya kepada
rumah tangga negara dan soal manajemen; 3. Ilmu politik, yang diterangkan oleh
Plato dan Aristoteles. Bukunya “kitab As-Siyasah” difokuskan kepada etika dan
ekonomi, aturan belanja negara, yang dibandingkan sebagai istri, anak-anak dan
pembantu.
Sebagai seorang filsuf Ibnu Sina lebih banyak menggunakan buku
“Nomoi” (Hukum) dari Plato, yang memberikan dasar-dasar bagi perundang-
undangan; dan sebagai seorang muslim lebih mengutamakan akan hukum
“syari’ah” yang diajarkan Islam, yang merupakan kaidah-kaidah penting bagi
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Rosenthal menggambarkan
bahwa para sarjana politik Islam memegang teguh pendirian ini, dan lebih
mengutamakan syari’ah pada saat-saat penting dan terakhir, dia mengatakan:13

12
Abidin Ahmad. OP. Cit. 28
13
Abidin Ahmad. OP. Cit. 30
6|Page
“Tetapi disana realisasi pemikiran muslim masih tetap dibiarkan, dimana suasana
syari’ah dengan prinsipnya, “mengenal dan mencintai Tuhan didalam menta’ati segala
perintah-Nya”, adalah jauh lebih mendalam daripada suasana “Nomos” (Hukum)
dengan prinsipnya, “Kenallah dirimu”.

Filosof Muslim dan Yunani mengakui bahwa tanpa hukum tidaklah


mungkin ada negara, dan bahwa prilaku yang tidak sesuai dengan hukum akan
merusak negara. Apabila hukum ditinggalkan akan mengakibatkan masalah
yang serius kepada ketentraman rakyat, moral, masalah keyakinan dan
keimanan yang benar atau lurus. Selanjutnya Rosenthal juga menegaskan:14

“In the state under the Shariá such deviations will cause error, heresy and schism, and
prove the undoing of the state. In Platos’s ideal state the Nomos it will lead to a
transformation of the best, or the perfect constitution, into a bad of imperfect constitution,
and so also of their respective citizens”

Terjemahannya adalah: “Dalam negara yang berjalan menurut syariáh, dapat


menjauhkan dari perbuatan dosa, pendurhakaan dan keingkaran beragama.
Sedangkan dalam negara ideal Plato yang berjalan menurut Nomoi, adalah
memimpin supaya berubah kepada kebaikan, atau konstitusi yang sempurna
(yang dipraktekkan) daripada konstitusi yang jelek atau tidak sempurna, dan
begitu juga berkenan dengan masing-masing warganya”.
Perpaduan antara hukum-hukum syariáh dengan hukum-hukum negara
ini, dilanjutkan dalam pandangannya mempertemukan seorang Nabi sebagai
“pembawa” hukum-hukum syariáh dengan seorang Filsuf sebagai “pembawa”
pemikiran-pemikiran hukum-hukum negara. Tetapi perpaduan yang
dikemukakannya sangat jauh berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh
gurunya, Al-Farabi. Al-Farabi mensyaratkan bahwa seorang kepala Negara yang
dicitakannya haruslah bersifat sebagai seorang Nabi dan sekaligus bersifat
seorang Filsuf yang dinamakannya “failosuf an-nabi”. 15 Dalam konsepsi yang
dikemukakannya “Al-‘aqlu wan nubuwah”, maka Ibnu Sina berpendapat jauh
berbeda dari hal tersebut. Ibnu Sina tidak mensyaratkan bahwa seorang kepala
Negara harus mempunyai sifat-sifat yang begitu tinggi dan begitu murninya,
yang didalam praktek kenyataan sangat sukar mendapatkannya, Rosenthal
mengemukakan pandangan Ibnu Sina mengenai kepala Negara adalah:

“The caliph must possess noble virtues like courage, temperance and right conduct (Husn
tadbir).”

Menurut Ibnu Sina: seorang Kepala Negara (Khalifah) memiliki sifat- sifat
kebajikan yang terpuji, seperti keberanian, kesederhanaan, dan pemimpin yang
jujur (husnut tadbier).16 Sifat-sifat yang merupakan wujud dari sifat-sifat Nabi

14
Ibid.
15
Abidin Ahmad. OP. Cit. hlm 31
16
Ibid. hlm 37
7|Page
yang dijadikan rujukan atau panutan (uswatun hasanah), yaitu: Shidiq, Tabligh,
Amanah, dan Fathonah.17

B. Pertemuan Komunikasi dan Politik: “Komunikasi Politik”

Menurut Andrik Purwasito18, inti dari politik adalah “sistem kompetisi”,


sehingga studi komunikasi politik juga harus berkembang karena dalam
menggunakan komunikasi sebagai alat politik selalu disesuaikan dengan
perkembangan zaman atau apa yang terjadi pada zaman itu agar komunikasi
sebagai alat politik dapat sesuai dengan sistem kompetisi pada suatu zaman dan
dapat memberi pengaruh.

Pada akhirnya banyak pernyataan ahli politik yang menunjukkan


kedekatan antara komunikasi dan politik seperti yang dikatakan ahli dibawah
ini:

Gambar 2.1: Argumen ahli kaitan ilmu politik dan komunikasi

Pendapat kedua ahli tersebut sangatlah luar biasa karena apapun yang di
katakan merupakan hasil kajian dan mempunyai dasar keilmuan yang kuat,
yang pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan untuk mengembangkan
bidang baru yaitu komunikasi politik sebagai bidang studi yang mandiri.
Menurut Blake dan Haroldsen (1975), komunikasi politik digolongkan
sebagai salah satu bentuk (form) komunikasi diantara Sembilan bentuk yang lain,

17
Akan dibahas secara rinci di bab. 8 (Etika Komunikasi Politik).

18 Lihat Andrik Purwasito, Pengantar Studi Politik, Surakarta: UNS Press,2011. hlm 4.
8|Page
yaitu: komunikasi intra-personal, komunikasi antar personal, komunikasi
organisasi, rumor, komunikasi massa, komunikasi medio massa, telekomunikasi
dan komunikasi non-verbal. Di dalam organisasi Internasional Communication
Association, komunikasi politik merupakan salah satu divisi bersama tujuh divisi
lainnya, yaitu: sistem informasi, komunikasi-antarpribadi, komunikasi massa,
komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi instruksional, dan
komunikasi kesehatan. Sehingga komunikasi politik sudah mendapatkan tempat
menjadi kajian penelitian khusus seperti yang disebut oleh Galnoor dengan
istilah field of inquiry.19
Penulis meyakini bahwa kajian komunikasi politik merupakan puncak
atau fase tertingi dari kajian bidang komunikasi, pertama karena komunikasi
politik sudah menyentuh kepada bidang kekuasaan dan sistem politik, berbicara
sistem politik yang tertinggi adalah kajian sistem kekuasaan tertinggi yang ada
di bumi, yaitu “Negara” (State), dan kedua, komunikasi politik adalah
pembicaraan yang sudah mencapai tahapan yang serius, fokus dan sungguh-
sungguh karena berkaitan masalah makro kehidupan bangsa dan negara yang
tujuan dan dampaknya untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan,
beradab (moral) dan sejahtera. Kembali kepada pemahaman piramida khalayak
komunikasi politik, semakin keatas semakin sedikit orang-orang yang berperan,
berambisi, dan yang terpanggil untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Semakin
kebawahan khalayak komunikasi politik semakin tidak terlalu perhatian dengan
masalah politik. Seperti yang telah digambarkan dalam piramida yang teratas
adalah elit opinion lalu dipertengahan ada attentive public dan yang paling
terbesar adalah general public.20
Faktanya bisa kita lihat pada dua Pemilu terakhir (2009 dan 2014) di
Indonesia bahwa angka masyarakat yang tidak memilih atau yang disebut
golongan putih (golput) berkisar antara 30 – 40 % dari jumlah yang mempunyai
hak pemilih atau Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kekuatan besar tersebut akan
menjadi sasaran untuk dikendalikan demi kepentingan kekuasaannya
komunikator politik (elite opinion dan attentive public), kekuatan besar itulah yang
disebut opini publik. Dari zaman ke zaman sudah terbukti dasyatnya opini
publik sampai dapat menggulingkan kekuasaan di beberapa negara, seperti
revolusi Prancis, tumbangnya Orde Baru tahun 1998, tergulingnya rezim
Presiden Husni Mubarok di Mesir yang ternyata digerakkan juga melalui media
sosial.
Menurut Arbi Sanit, komunikasi politik diabdikan kepada kepentingan
kaum politisi yang secara struktural adalah bagian utama dari kaum elit yang
porsinya disekitar 3-5 % penduduk.21 Begitu pula Walter Lippmann menyebut
dengan istilah kelompok sosial tertinggi dari mereka yang memegang
kepemimpinan masyarakat dalam arti luas (Great Society), berbeda dengan
kelompok sosial lain yang sebagian besar opini merupakan sumber langsung
dari tangan pertama untuk urusan lokal dalam “masyarakat tingkat tinggi ini”

19
Lihat Zulkarimein Nasution, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 24
20 Lihat hlm 3 bab I, mengenai khalayak komunikasi politik.
21 Arbi Sanit (2002), Politik, Demokrasi & Manajemen Komunikasi, Yogyakarta: Galang Press, 2002, hlm. 52

9|Page
keputusan-keputusan besar mengenai perang dan damai, strategi sosial dan
pembagian kekuasaan politik, merupakan pengalaman yang dekat sekali dengan
pengalaman pribadi.22 Bisa dikatakan komunikasi politik adalah komunikasi
tingkat tinggi yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang
baik emosional, intelektual dan spiritual. Kematangan tersebut merupakan
proses perjalanan yang telah dilalui seseorang dari pengalaman hidup, asam
garam, manis pahitnya sudah dilalui sehingga tercetaklah orang tersebut dengan
kompetensi yang layak memasuki dunia politik. Berdasarkan hadits Nabi
Muhammad yang mengatakan, “Idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris
saa’ah.” Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka
tunggulah kiamat.23 Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menjelaskan bahwa
apabila hukum yang berkaitan dengan agama seperti pemerintahan dan
rangkaiannya berupa kepemimpinan, peradilan, fatwa, pengajaran dan lainnya
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, yakni apabila (pengelolaan
urusan) perintah dan larangan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah kiamat, sebab hal itu sudah datang tanda-tandanya. Ini menunjukkan
dekatnya kiamat, sebab menyerahkan urusan dalam hal amar (perintah)
dan nahi (larangan) kepada yang tidak amanah, rapuh agamanya, lemah
Imannya, dan (mengakibatkan) merajalelanya kebodohan, hilangnya ilmu dan
lemahnya ahli kebenaran untuk pelaksanaan dan penegakannya, maka itu
adalah sebagian dari tanda-tanda kiamat. 24
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Plato bahwa negara harus dikuasai
oleh para ahli pikir atau filsuf, sosok yang menurutnya mengerti persoalan
secara benar dan tahu yang baik dan buruk.25 Karena bisa dibayangkan
bagaimana bila yang mengkomunikasikan masalah politik ini adalah orang yang
tidak bersih hati dan pemikirannya, yaitu akan terjadi konflik yang keras dan
penyimpangan akibat penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Kekuasaan
yang besar pada negara merupakan hal yang seharusnya. Individu akan menjadi
liar, tidak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan besar.
Negara harus mengendalikan dan mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional
kepada rakyatnya. Ukuran keberhasilan kekuasaan bukan saja dilihat dari
hebatnya pembangunan dan kemajuan secara suprastruktur dan infrastruktur
saja, tapi yang terpenting adalah mewujudkan manusia atau rakyat yang
bermoral atau berakhlaq mulia. Moral ini harus di awali dari keteladanan
pemimpin yang akhirnya dicontohkan, diperintahkan dan dibiasakan kepada
bawahan dan rakyatnya sehingga diharapkan melahirkan masyarakat yang
beradab dan berakhlak mulia.
Memahami pertemuan dua bidang disiplin ilmu ini bisa ditelusuri dari
genetik formula dari para ahli terutama dari formula Aristoteles dan Harlod D
Laswell yaitu:

22 Walter Lippmann, Opini Umum, Jakarta: 1998, hlm. 49-50


23
HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah
24
Al-Munawi, Faidhul Qadir, juz 1, Darul Fikr, Beirut, cetakan 1, 1416H/ 1996M, hal 563-564
25 Umaruddin Masdar, dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Yogyakarta: LKIS, 1999, hlm. 11
10 | P a g e
1. Who says what to whom (Aristoteles).
2. Who says what to in which channel to whom with what effect (Lasswell).
3. Who gets what, when, and how (Harold Laswell).

Ketiga gagasan atau ide dari dua tokoh tersebut terdapat koneksitas dalam
terbentuknya pertemuan dari dua disiplin ilmu yaitu ilmu komunikasi dan ilmu
politik. Maka penulis berusaha untuk memadukan konsep-konsep diatas
menjadi suatu formula baru hasil dari perpaduan ketiganya. Berdasarkan tiga
formula tersebut maka dapat digambarkan pada model dibawah ini:

Gambar 2.2: Kolerasi 3 formula Aristoteles dan Harold D Laswell

Penjelasan model diatas adalah suatu gambaran keterkaitan antara komponen-


komponen yang membentuk kajian komunikasi politik. Berawal dari formula
Aristoteles yang secara sederhana mengenai komunikasi, suatu proses dimana
ada pengirim pesan (sender) atau komunikator yang menyampaikan sebuah
pesan (massage) kepada penerima pesan (receiver). Lalu proses komunikasi
tersebut disempurnakan kembali oleh Laswell dengan menambahkan
komponen media (to in which channel) dan efek dari terpaan dari pesan
diterimanya. Selanjutnya Laswell juga menjabarkan komponen yang merupakan
proses komunikator “who” yang mengarah kepada kepentingan politik dengan
rumusan yang menghubungkan komponen “gets what” dan “how”. Makna dari
dua komponen tersebut adalah upaya untuk mendapatkan suatu kekuasaan dan
cara mendapatkannya. Proses mendapatkan kekuasaan (who gets what), kapan
dan bagaimana mendapatkannya (when and how) adalah masuk dalam ranah
Ilmu politik.
Proses tersebut terjadi di dalam sistem politik yang akan mengurai suatu
peristiwa bagaimana hubungan dan interaksi antara komunikator politik atau
lembaga politik yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam rangka membuat

11 | P a g e
pesan politik (memperoleh, mempertahankan dan menyelenggarakan
kekuasaan) melalui saluran-saluran yang biasa digunakan untuk penyampaian
pesan politik kepada komunikan politik atau penerima pesan politik (khalayak
politik), sehingga akan muncul efek (pengetahuan, perasaan, tindakan) dan
sampai terjadi umpan baik yang ditujukkan kembali ke komunikator politik
(dukungan atau penolakan). Komunikasi politik bisa dikatakan akan mengalami
serangkain siklus pembicaraan, mulai pembicaraan ringan, sedang dan krusial.
Pembicaraan ringan tejadi bila masih terdapat satu pandangan dan kepentingan
dalam bentuk konsultasi. Lalu menjadi pembicaraan yang sedang bila terjadi
perbedaan pandangan tapi masih satu kepetingan dalam bentuk diskusi dan
melakukan kompromi dan negosiasi, selanjutnya terjadi pembicaraan yang
krusial, yang akhirnya melahirkan pembicaraan yang berbalut dengan
perdebatan, emosi dan saling menghujat. Hal ini bila terjadi perbedaan
pandangan dan perbedaan kepentingan. Sehingga akan muncul model
komunikasi politik seperti berikut ini:

Gambar 2.3: Model Komunikasi Politik

Alasan kenapa dikatakan komunikasi politik adalah fase tertinggi


komunikasi dan menyeluruh (konfrehensif), karena proses komunikasi politik
melalui fase-fase mulai dari komunikasi intrapersonal, antarpersonal,
komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa, komunkasi
antar budaya, komunikasi internasional. Komunikasi politik merupakan
komunikasi yang kompleks dan multi komunikasi, yang kalau dijabarkan
berdasarkan fase-fasenya adalah sebagai berikut:

12 | P a g e
1. Fase komunikasi intra personal: berawal dari niat seseorang pada saat
akan masuk ke dalam sistem politik. Tujuan dari politik pada dasarnya
adalah untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketentraman dan
keadilan pada seluruh rakyat. Pada fase intra personal adalah proses
perenungan, bertanya kepada diri sendiri: “apakah niat saya baik atau niat
salah dalam berpolitik?”, apakah saya murni mewakili hati nurani yang
berpihak pada kebenaran dan kepentingan orang banyak (rakyat) atau
hanya berpihak kepada kelompok atau hanya golongan tertentu saja.
Kalau niatnya memang murni, ikhlas dan karena sebuah pengabdian
apalagi menyakini bahwa berpolitik adalah amanah dari Tuhan maka
hasilnya pasti adalah kebaikan, sebaliknya bila niatnya salah, mungkin
hanya ingin mengejar nafsu berkuasa dan motivasi materi maka hasilnya
pun bisa tidak baik. Maka memang betul bahwa segala amal perbuatan
adalah berdasarkan niatnya, bila niatnya baik maka hasil pekerjaannya
pasti baik, dan bila niatnya sudah jahat pasti hasil atau pekerjaannya
penuh dengan kejahatan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
permufakatan jahat, penindasan, hedonisme, kesewenang-wenangan,
bahkan sampai berbuat melanggar hukum, norma dan kode etik.
2. Fase komunikasi antar personal: fase ini biasanya setelah kita
mempunyai niat dan memiliki sebuah gagasan, maka kita biasanya akan
mencari sesorang untuk berbagi dan menyalurkan ide atau gagasan
tersebut. Kondisi ini akan menghasilkan komunikasi diadik dan akan
terjadi sebuah dialetika atau komunikasi dua arah yang saling
memberikan pengaruh. Biasanya tahap ini sangat berpengaruh dengan
ideologi politik apa yang akan dijadikan dasar dalam berpolitik praktis.
Dalam komunikasi antarpribadi segala sesuatu bisa terjadi antara
peneguhan suatu hubungan atau malah mengakhiri suatu hubungan. Jadi
dalam konteks politik kepentingan akan lebih mendominasi dan
hubungan bisa sangat dinamis. Kondisi ini bisa terjadi antara suami-istri,
keluarga, sauadara, sahabat, kerabat atau teman sekolah, kantor atau
dalam wadah yang hanya dilakukan secara diadik. Komunikasi antar
personal juga bisa memahami karakteristik antar politisi dari pertemuan
yang dilakukan dengan tatap muka langsung dengan suasana informal
atau dengan sengaja membangun hubungan secara personal dalam ruang
lingkup kepentingan politik, seperti membangun koalisi yang diawali
pertemuan para pemimpin partai, atau kandidat pemilihan eksekutif
yang mencari pasangan dalam pencalonannya. Dalam konteks
komunikasi antarpribadi sejarah Indonesia telah memberikan sebuah
gambaran bagaimana persahabatan bisa bertambah kuat atau malah
terpisah karena masalah ideologi politik yang dianut. HOS Cokro
Aminoto memiliki murid-murid yang pernah tinggal bersama-sama dan
sangat akrab (indekos) dirumah beliau, yaitu Sukarno (nasionalis),
Semaun (komunis) dan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (Islam) yang
akhirnya persahabatan mereka terpisah dan berjalan masing-masing
berdasarkan prinsip, ideologi dan keyakinannya masing-masing, bahkan

13 | P a g e
menjadi musuh bagi satu dan lainnya. Lalu keharmonisan Proklamotor,
Sukarno dan Hatta yang akhirnya berpisah dan berseberangan karena
perbedaan cara pandang. Dan akhir tragis dari pemimpin yang
dijatuhkan bawahan atau teman-teman seperjuangan seperti yang
kejatuhan Soekarno dan Suharto, suatu akhir yang tidak baik dari sebuah
kesetiaan antarpersonal atau pengorbanan perasaan dari sikap politik,
tidak ada keakraban dan kehangatannya karena sudah dipisahkan
dengan garis tegas suatu ideologi.
3. Fase komunikasi kelompok: fase ini adalah dimana terjadi keterlibatan
antara antara 3 (tiga) atau lebih dalam diskusi atau pembicaraan politik.
Keterlibatan dalam diskusi dengan pola lebih dari 3 sampai 20 orang akan
menjadi suasana dalam diskusi terbatas dan mendalam dalam
merumuskan dan membangun pandangan politik. Kondisi ini bisa terjadi
dalam diskusi di ruang kelas, ruang kuliah, pertemuan dalam sebuah
perkumpulan kecil, arisan, dan sebagainya. Biasanya pertemuan yang
intens akan menghasilkan gagasan politik seperti yang terjadi pada
kelompok-kelompok perumus AD/ ART organisasi, panitia formatur,
atau kelompok-kelompok sepeti kelompok Petisi 50,26 kelompok 9 tokoh
itu diundang untuk diminta menjadi anggota Komite Reformasi oleh
presiden Suharto pada tahun 1998.27
4. Fase komunikasi organisasi: Dalam menyalurkan gagasan sampai
kepada komunikasi kelompok yang akhirnya membentuk perkumpulan
yang legal dan formal maka terjadilah bentuk komunikasi organisasi,
ketika seseorang masuk menjadi anggota atau menjadi pengurus sebuah
partai, menjadi bagian dari institusi lembaga negara, atau lembaga-
lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Lembaga bantuan hukum (LBH) yang berbadan hukum resmi. Di dalam
organisasi terdapat komunikasi dari atas kebawah dan dari bawah keatas
(vertikal) dan kepada sesame atau sejawat (horizontal).
5. Fase komunikasi massa: fase ini cukup efektif dalam penyebaran
sosialisasi politik, iklan politik, publikasi karena penyebarannya yang
serentak dan jangkauan yang luas. Walaupun sifatnya hanya linear
(searah) banyak politisi yang menggunakan saluran ini secara masif
terutama politisi dan juga pemilik media, terjadi monopoli dalam

26 Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap
lawan-lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan Keprihatinan" dan
ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution,
mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin dan mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap
dan Mohammad Natsir. Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai
pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara
Pancasila; Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya"; Soeharto menyetujui
tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi; dan bahwa prajurid dianjurkan
untuk "memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto" (wikipedia.org/wiki/Petisi_50).

27 Rabu, 20 Mei 1998. Di Gedung DPR/MPR, Senayan, ribuan mahasiswa berdemonstrasi, menuntut reformasi dilaksanakan.
Termasuk, meminta Soeharto turun dari kursi presiden. Di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman
Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf Amin.
Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, karena diajak Nurcholish. Sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril
niscaya dibutuhkan (http://news.liputan6.com/read/2052549/21-mei-1998-soeharto-lengser-sebelumnya-terjadi-apa-di-istana).

14 | P a g e
pemberitaan di media berdasarkan ideologi pemiliknya. Kita bisa lihat
dari peristiwa Pilpres di tahun 2014 dimana pemberitaan yang sangat
bersebrangan antara TV One dan Metro TV terkait perspektif pemilik
media tersebut.
6. Fase komunikasi antar budaya: fase ini akan terjadi sejak terjadi pada fase
komunikasi kelompok dan di dalam organisasi. Semakin banyak dan luas
pertemuan dengan orang yang berbeda dari sisi karakter, adat-istiadat,
bahasa, dan juga agama, maka diperlukan sekali kemampuan atau
kecerdasan dalam berkomunikasi antar budaya. Perbedaan akan terjadi
pada rapat-rapat, negosiasi, saat berkompromi dan berkonsusu, begitu
pula saat kampanye ke daerah tertentu yang memang pasti sangat kental
dengan adat istiadat, kebiasaan yang ada di daerah. Komunikasi antar
budaya diperlukan agar dapat meminimalisir kesalahpahaman
(misunderstanding) masalah perbedaan budaya dan karakteristik.
7. Fase komunikasi di dunia virtual: komunikasi ini menjadi sebuah trend
baru di era digital. Komunikasi yang dimaksud adalah mulai munculnya
internet dimana jejaring komunikasi tidak lagi terikat ruang dan waktu.
Dengan pemanfaatan dan pengelolaan satelit dan gelombang
eletromagneti yang ada di alam semesta. Kemajuan di era tahun 2000an
yang sangat penting adalah ditemukannya smartphone yang terakses
dengan jaringan internet. Sehingga Komputer yang besar mulai dari
sebesar rumah lalu mengecil menjadi Komputer pribadi (Personal
Computer) yang hanya digunakan dirumah, lalu muncul Komputer jinjing
(laptop) yang bisa dibawa kemana-mana sampai Komputer mengalami
metamorphosis menjadi Komputer yang digengam di tangan
(smartphone). Di smartphone yang otomatis selalu dibawa kemana saja oleh
penggunanya membuat komunikasi di dinia virtual terus berlangsung.
Ada beberapa model aplikasi yang tertanam di smartphone mulai dari
Blackberry Massenger (BBM) yang sangat trend pada saat kampanye
Barrack Obama dengan cara broadcast, lalu muncul Whatsup (WA) yang
akhirnya dibeli oleh pemilik Facebook, begitu pula banyak bermunculan
aplikasi yang serupa seperti Line, cocotalk, telegram dan lain-lain.
Fenomena komunikasi kelompok pun berkembang di media ini, bukan
saja mengubah komunikasi ujaran (verbal) menjadi komunikasi tulisan
(ketikan) tapi muncul grup-grup WA yang bersifat tematik untuk
membahas masalah-masalah, atau sekedar sharing, pembahasan semi
rapat terjadi di grup-grup yang ada di media virtual tersebut. Begitu
banyaknya para politisi memiliki account di media sosial, sehingga
memudahkan masyarakat untuk mengetahui segala informasi mulai dari
gagasan, ide, sikap, pendapat, gaya berkomunikasi sampai info mengenai
keseharian para politisi. Bagi para politisi juga bisa menjadikan saluran
media sosial sebagai penghubung atau penyambung lidah kepada
masyarakat. Sering terjadi statement para politisi di kutip dan disiarkan
kembali ke media massa terutama di televisi atau dikutip kembali di
media online. Proses ini bisa dikatakan komunikasi 3 tahap. Pertama,

15 | P a g e
posting politisi di media sosial (facebook, twitter, youtube, Instagram dan
lainnya) lalu tahap kedua, media massa atau media online mengutip
kembali dan disiarkan, dan ketiga informasi tersebut diakses atau di
tonton oleh masyarakat.
8. Fase komunikasi internasional: fase ini dimana seorang politisi akan
berinteraksi dari sistem politik nasional ke sistem politik internasional.
Komunikasi internasional sangat diperlukan berkaitan dengan eksistensi
negara di pergaulan internasional. Komunikasi politik internasional juga
dijelaskan oleh W. Philip Davison dan Alexander George, sebagai
berikut:28

“By international political communication we refer to the use by national states


of communication to influence the political relevant behavior of people in the
nation states. Thus we include the propaganda and information activities of most
government agencies especially the state and Defence Departments and certain
aspects of diplomatic communication, but we interested principally in
international education or in religious missionary activities.

By “communication” we refer to the transfer of meaning, whether by written,


spoke or pictorial symbols, or by various types of action”, is thus the summary
term which includes many of the activities subsumed under the term
“negotiation”, “propaganda”, “political warfare”, and “psychological warfare”
(An Online Study of International Political Communication).

"komunikasi politik internasional kami mengacu pada penggunaan untuk


kepentingan komunikasi nasional, untuk mempengaruhi perilaku relevan
dengan masalah politik masyarakat di negara (dalam negeri). Dengan
demikian kami menyertakan propaganda dan kegiatan informasi instansi
pemerintah yang paling berperan terutama negara dan Departemen
Pertahanan dan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan komunikasi
diplomatik, tapi kami tertarik pada prinsipnya dalam pendidikan
internasional atau aktivitas misi agama.

"Komunikasi" kami mengacu pada transfer makna, baik oleh tertulis (non
verbal), berbicara (verbal) atau simbol bergambar, atau dengan berbagai
jenis tindakan", ianya istilah ringkasan yang mencakup banyak kegiatan
termasuk "negosiasi","propaganda","politik Perang", dan "Perang
psikologis" (Online studi internasional politik komunikasi).

Jadi komunikasi politik internasional digunakan untuk mempengaruhi


prilaku komunikasi politik di dalam negeri. Isu-isu yang relevan
digunakan kekuatan politik baik suprastruktur dan infrastruktur untuk
mengatur komunikasi politik di dalam negeri seperti kenaikan harga

28
Soedomo, Kerja Sama ASEAN DiTinjau dari Segi Komunikasi Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm 199.

16 | P a g e
minyak dunia, peperangan di Suriah, gelombang pengungsi, masalah
tenaga kerja Indonesia (TKI), dan sebagainya. Mekanisme komunikasi
Internasional seperti dicontohkan oleh Soedomo pada komunikasi politik
ASEAN, yaitu ada secara formal dalam bentuk: 29

1. Pertemuan kepala-kepala pemerintahan ASEAN (ASEAN summit


meeting);
2. ASEAN ministerial meeting;
3. Pertemuan menteri-menteri ASEAN;
4. Pertemuan pejabat-pejabat senior ASEAN (senior official meeting).

Ada juga pertemuan yang secara informal yang dilakukan dalam bentuk
kunjungan-kunjungan incognito atau pembicaraan di seputar peristiwa
tertentu di mana kebetulan para kepala pemerintahan ASEAN hadir.
Komunikasi yang bersifat informal ini ternyata cukup efektif untuk
memecahkan berbagai permasalahan antara negara-negara ASEAN,
sehingga berbagai ganjalan dan konflik kepentingan yang ada dapat
dipecahkan dan diselesaikan tanpa melalui komunikasi yang bersifat
formal.

Selanjutnya penulis akan menjabarkan bebrapa definisi komunikasi para


ahli atau para pakar baik yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang
sudah dipublikasikan dalam tulisan ilmiah dan buku. Seperti halnya definisi
komunikasi yang sangat beragam, begitu pula komunikasi politik didefinisikan
beragam berdasarkan sudut pandang dan konteks yang berbeda. Berikut
beberapa definisi dari para pakar komunikasi politik di bawah ini:

Tokoh Definisi Komunikasi Politik Key Word


“All of the functions performed in the political
Gabriel system, political socialization and recruitment, Sistem politik
Almond interest articulation, interest aggregation, rule
(1960)30 making, rule application, and rule adjudication,
are performed by means of communication.”

(Komunikasi politik merupakan proses


penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat
keenam31 fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini

29
Ibid, hlm 199-200.

30 Gabriel A. Almond, Introduction: A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond dan
James. S Coleman (eds), The Politics of the Developing Areas, Princeton NJ: Princeton University Press, 1960, hlm. 3-
64.
31
1) Artikulasi kepentingan (penyampaian tuntutan dan dukungan); 2) Agregasi kepentingan (pengelompokan
ataupun pengkombinasian aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan undang-undang); 3) Komunikasi politik
(penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dalam konteks politik); 4) Pembuatan peraturan
(pengkonversian rancangan undang-undang menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); 5)
17 | P a g e
berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat
secara inherent di dalam setiap fungsi sistem
politik).

Harold D Orientasi komunikasi politik telah menjadikan dua Nilai, tujuan,


Laswell hal sangat jelas: antisipasi
 Pertama, bahwa komunikasi politik selalu
(1948)32
berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai
tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu sendiri dibentuk di
dalam dan oleh proses perilaku yang
sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan
 Kedua, bahwa komunikai politik bertujuan
menjangkau masa depan dan bersifat
mengantisipasi serta berhubungan dengan masa
lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian
masa lalu.
“Communicatory activity considered political by
Richard R. virtue of its consequences, actual, and potential, Konsekuensi
dan akibat,
Fagen (1966)33 that it has for the funcioning of political sistem politik
systems”.

(Aktifitas komunikasi yang bersifat politis yang


akibat-akibatnya, baik nyata maupun terpendam,
dapat menjadikan sistem politik berjalan secara
fungsional. Fagen memberikan penekanan pada
konsekuensi atau akibat dari aktifitas komunikasi
politik berkaitan sistem politiknya).

Wilber A. komunikasi politik adalah “peranan Proses politik


Chaffee (1975)34 komunikasi dalam proses politik”.
Dan Nimmo “Communication (activity) considered political
(1978)35 by virtue of its consequences (actual or potential) Konflik
which regulate human conduct under the
condition of conflict”.

(Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi


politik berdasarkan konsekuensinya (aktual
maupun potensial) yang mengatur perbuatan
manusia dalam kondisi konflik. Dan Nimmo
memberi tekanan pengaturan manusia yang
dilakukan di bawah kondisi konflik).

Pelaksanaan peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke tingkat warganegara), dan;
6) Pengawasan peraturan (pengawasan jalannya penerapan undang-undang di kalangan warganegara).

32
Varma, S.P, Teori Politik Modern, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1995, hlm 258
33 Richard R. Fagen, Politics And Communication, Boston: Little Brown, 1966, hlm 3
34
Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research, Mahwah, New Jersey, London:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004, Introduction XIII
35Dan Nimmo, Political Communication and Public Opinion in America, California: Goodyear Publishing Company,
Santa Monica, 1978, hlm 7
18 | P a g e
Robert G. “Political communication refers to any exchange
Meadow of symbols or messages that to a significant extent Simbol-simbol
pesan
(1980)36 have been shaped by or have consequences for the
political system”.

(Meadow memberi penekanan bahwa simbol-


simbol atau pesan yang disampaikan itu secara
signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi
terhadap sistem politik).

Mark Roelofs Komunikasi Politik adalah politik yang berbicara atau Berbicara
dan Dean C. untuk menempatkan masalah ini, lebih tepatnya
aktivitas politik (politisasi) berbicara.
Barnlund
(1970)37
Pengertian Komunikasi Politik adalah penghubungan
pikiran politik yang hidup di dalam masyarakat, baik Penghubungan
Rusadi pikiran politik
itu pikiran intern golongan, asosiasi, instansi ataupun
Kantaprawira di masyarakat
sektor kehidupan politik pemerintah. Rusadi melihat
(1993)38 komunikasi politik dari sisi kegunaannya.

Astrid S. Komunikasi Politik adalah komunikasi yang


Soesanto diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh Mengikat &
sedemikian rupa, sehingga pada masalah yang Sanksi
(1985)39 (terminolgi
dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat
mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ilmu hukum)
ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.

Dari kata "Mengikat" dan "sanksi" memberi isyarat


bahwa disiplin ilmu hukum telah memperkaya
formulasi pengertian komunikasi politik, karena
kedua kata tersebut adalah terminologi yang biasa
digunakan dalam kajian ilmu hukum.

Jack Plano, dkk komunikasi politik adalah penyebaran aksi, makna,


atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu Penyebaran
(1989)40 dalam
sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi aksi, makna
Kamus analisa seperti komunikator, pesan, dan lainnya. (pesan)
politik
Alwi Dahlan komunikasi politik merupakan bidang atau disiplin
(1990)41 yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikai Perilaku dan
yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau kegiatan
berpengaruh terhadap perilaku politik. politik

36 Robert G. Meadow, Political Communication Research in the 1980s, Journal of Communication


Volume 35, Issue 1, March 1985, hlm 137
37 Soemarno AP, Komunikasi Politik, Jakarta, Universitas Terbuka, 2009, hlm 1.17

38 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1993, hlm. 14

39 Astrid, S. Soesanto, Komunikasi Sosial di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1980, hlm 2.
40
Jack Plano, Milton Greenberg, The American Political Dictionary 11th Edition
41 Dalam Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm 29.
19 | P a g e
Alfian “komunikasi politik berperan mentransmisikan
(1991)42 nilai-nilai budaya politik yang bersumber dari Transmisi
pandangan hidup atau ideologi bersama nilai-nilai
budaya politik
masyarakatnya kepada generasi penerusnya dan
mempekuat proses pembudayannya dalam diri
generasi yang lebih tua. Jadi, budaya politik itu
terpelihara dengan baik, bahkan mungkin
berakar dan terus berkembang dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Komunikasi politik yang
ada menjadi bagian integral dari budaya politik
tersebut”

Maswardi Rauf Komunikasi Politik adalah sebagai objek kajian ilmu


(1993)43 politik, karena pesan-pesan yang diungkapkan dalam Pesan-pesan
proses komunikasi mempunyai ciri-ciri politik yaitu bercirikan
berkaitan dengan kekuasaan politik negara, politik
pemerintahan dan juga aktivitas komunikator dan
komunikan dalam kedudukan sebagai pelaku
kegiatan politik.

“Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi


Miriam partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam Fungsi partai
pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya politik
Budiardjo
sedemikian rupa –penggabungan kepentingan
(1993)44 (interest aggregation) dan perumusan kepentingan
(interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi
public policy.”

“Political communication as pure discussion about the


Brian McNair allocation of public resourses (revenues), official authority Alokasi
(who is given the power to make legal, legislative and sumber daya
(2003)45 executive decision, and official sanctions (what the state publik
reward or punishes).”

Komunikasi politik menurut McNair secara


substantif membahas tentang alokasi sumber daya
publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai
kekuasaan dan ekonomi, petugas yang memiliki
kewenangan untuk memberi kekuasaan dan
keputusan dalam pembuatan undang-undang atau
aturan, apakah itu legislatif atau eksekutif, serta
sanksi-sanksi, apakah dalam bentuk penghargaan
atau hukuman.

42 Alfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm 9
43
Maswadi Rauf, Komunikasi Politik Masalah Sebuah Bidang Kajian Dalam Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 20
44
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm 163.
45
Brian McNair , An Introduction to Political Communication: Communication and society, Psychology
Press, 2003, hlm. 3
20 | P a g e
Pippa Noris Komunikasi politik adalah proses interaksi bagi proses
(2004)46 perpindahan informasi di antara para politisi, media interaksi
berita dan publik. Proses ini bekerja menuju ke bawah
dari lembaga pemerintah kepada warga, secara
horisontal menghubungkan aktor politik dan
bergerak ke atas dari opini publik ke arah kekuasaan.
Soemarno AP Komunikasi politik adalah suatu proses dan kegiatan- Proses, sistem
(2008)47 kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang politik, sikap
terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan &prilaku
menggunakan seperangkat symbol-simbol yang politik
berarti.

Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-


contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup
nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan
menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional,
hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political
communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti
ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas. Dalam
substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik,
baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasif
dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik
propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye
politik, semiotika politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan
dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan. Ketika kita
berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan berbicara
masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan
segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu
kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan
masalah sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini
komunikasi politik memberikan peluang untuk para mahasiswa atau praktisi
mempelajarinya guna memperkaya khasanah keilmuan dan mempertajam daya
analisis.

C. Dimensi Komunikasi Politik

Komunikasi politik dibagi menjadi empat dimensi waktu:

1. Pada masa sebelum Pemilu (election): saat mau meraih dan


memperebutkan kekuasaan. Komunikasi politik adalah dalam kondisi

46
Pippa Noris, Political Communications, Encyclopedia of the Social Sciences, Harvard University:
http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Political%20Communications%20encyclopedia2.pdf
47
Sumarno AP, Materi Pokok Komunikasi Politik, Jakarta: Universitas Terbuka, 2009, hlm. 1.18
21 | P a g e
tensi yang sangat tinggi karena merupakan ajang kompetisi atau
persaingan yang melibatkan para politisi yang berseberangan. Kampanye
pemilu dengan waktu yang hanya kurang lebih 1 tahun sebelum pemilu
akan diwarnai dengan janji-janji politik, visi dan misi kandidat serta
banyak ditemui upaya-upaya untuk mempengaruhi masyarakat mulai
dari cara yang baik (sosialisasi, edukasi politik, melibatkan partisipasi
sosial, dan lainnya) sampai dengan cara yang tidak baik seperti kampanye
hitam, propaganda, agenda setting media, dan juga kampanye negatif.
Semua upaya pada saat kampanye bertujuan untuk menang dan saling
menjatuhkan atau mengalahkan lawan-lawan politiknya. Fenomena unik
mengenai kampanye negatif, yaitu data-data yang memang berdasarkan
fakta yang kurang baik (negatif) dari masa lalu kandidat (portofolio), yang
hanya dimunculkan pada saat menjelang pemilu. Contoh pada saat
Megawati dan Prabowo berpasangan maju dalam pencapresan pada
tahun 2009 tidak ada isu HAM dimunculkan oleh pihak PDI Perjuangan,
namun pada saat PILPRES 2014 muncul isu HAM karena pada saat itu
PDI Perjuangan bersebrangan dengan Gerindra.
2. Pada saat melaksanakan kekuasaan: dimensi ini adalah komunikasi saat
berkuasa atau mendapat legitimasi kekuasaan. aktor politik sangat
berperan dalam mengelola komunikasi politik demi menjalankan
kekuasaannya. Penguasa atau Pejabat yang terpilih mempunyai
kewajiban untuk memenuhi janji-janji politiknya pada saat pemilu.
Presiden yang merupakan jabatan hasil dari sebuah pemilihan umum
akan mengalami proses komunikasi politik yang penuh warna konflik
kepentingan dengan unsur lembaga kekuasan lainnya seperti Legislatif
yang merupakan lembaga perwakilan rakyat (hasil dari pemilu juga)
berkaitan dengan input dan output dalam sistem politik. Akan terjadi lobi-
lobi politik, negosiasi, kompromi, konsensus dalam menjalankan fungsi
regulatif, pengawasan, penetapan anggaran, penetapan jabatan publik,
dan lain-lainnya.
3. Pada saat ingin mempertahankan kekuasaan: dimensi ini akan terjadi
pada saat pejabat atau penguasa akan mempertahankan atau memperoleh
jabatannya kembali pada saat masa jabatannya akan berakhir. Secara
undang-undang Presiden dibatasi hanya 2 periode, berbeda dengan
legislatif yang tidak mengatur mengenai pembatasan tersebut. Pentaha
atau incumbent akan mengelola komunikasi politik dari pesan-pesan
politik mengenai kesuksesan atau keberhasilan program yang telah
dilaksanakan. Kepercayaan publik atau masyarakat menjadi hal yang
penting dalam memelihara citra diri nya. Program yang bermanfaat dan
berpihak kepada kepentingan umum menjadi senjata ampuh dalam
menjaga sebuah reputasi positif, begitu pula pada saat terjadi benturan
konflik baik secara internal maupun eksternal di lingkungan lembaga
22 | P a g e
kekuasaan. Lalu bagaimana mensikapi dan menghadapi kritik dan
demonstrasi dari masyarakat akan menjadi penilaian penting. Akan ada
semacam refleksi dan evaluasi yang menjadi data atau pesan politik yang
menggambarkan perjalanan selama berkuasa.
4. Pada saat mengkritisi kekuasaan (oposisi): pada dimensi ini biasa terjadi
bila kandidat atau partai politik yang kalah dalam pemilu. Ide-ide,
gagasan, visi dan misi yang menjadi janji-janji politik ada yang terkubur
sejalan dengan kekalahannya, dan ada yang memilih untuk tetap
memperjuangkan keyakinannnya biasanya menjadi oposisi dari penguasa
baik di parlemen maupun di pemerintahan. Hal ini memang sangat alami
(natural) di negara demokrasi sebagai “check and balancing” pada sistem
kekuasaan. Penguasa yang sangat berkuasa juga tidak baik maka perlu
penyeimbang dalam kekuasaannya itulah peran oposisi. Oposisi yang
hebat pun akan mendorong pemerintahan yang hebat pula. Fakta unik
boleh dikatakan politik itu dinamis adalah kata halus dari makna politik
itu adalah masalah kepentingan. Menurut Joseph A. DeVito dalam
bukunya Komunikasi Antar Manusia (2011), mengatakan:48

“kaum politisi adalah lawan kita atau kawan kita, opsi ini tidak mencakup semua
kemungkinan yang ada. Kaum politisi mungkin saja berada di pihak kita untuk
masalah-masalah tertentu dan menjadi lawan kita dalam masalah yang lain, atau
mungkin juga bersifat netral.”

Pada pemilu 2014 melahirkan 2 kubu (koalisi), yaitu Koalisi Merah Putih
(KMP) yang dipelopori oleh Partai Gerindra dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH). Koalisi memang tidak ada aturan atau undang-undang yang
mengatur bagiamana mekanismenya. Bisa dikatakan hanyalah pertalian
pertemanan, atau kelompok dalam dunia politik. KMP pernah
mendeklarasikan koalisi permanen pada awalnya, namun politik
memang bersifat pragmatis dan oportunis. Akhirnya secara faktanya
terjadilah dengan istilah MUNTABER, yaitu mundur, teratur, dan
bertahap. Mulai dari Partai Amanah Nasional (PAN) menyatakan
dukungan kepada pemerintah tapi dengan masih sungkan mengatakan
tidak keluar dari KMP (pada awalnya), lalu ada Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar) yang karena
perpecahan internalnya diibaratkan berdiri di dua kubu (kaki satu ke
KMP dan kaki kedua ke KIH) yang pada akhirnya setelah ada pencairan
ketegangan karena kepentingan tertentu seperti pilkada, mereka dengan
bangga mendeklarasikan bergabung dengan pemerintah (KIH) terutama

48
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antar Manusia, Karisma Publishing Group (bahasa Indonesia), 2011,
hlm. 142

23 | P a g e
Golkar pada saat acara Silahturahmi Partai Golkar. Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) juga pernah melakukan kunjungan ke Istana Presiden dan
bertemu dengan Presiden Jokowi dengan istilah silahturahmi politik dan
menyatakan sebagai “oposisi yang loyal.” Sehingga mungkin sampai hari
saat penulisan buku ini penulis melihat KMP tinggal hanya partai
Gerindra, PKS, PBB dan Perindo saja, dari yang dikatakan koalisi
permanen yang awalnya terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS,
PBB, Partai Golkar dan partai baru yaitu Partai Persatuan Indonesi
(Perindo) yang terakhir bergabung. Sementara Demokrat menjadi partai
yang penuh dengan perhitungan, kehati-hatian, selalu melihat situasi,
kondisi dan toleransi terhadap suatu dinamika politik yang terjadi, ibarat
mengikuti bagaimana angin berhembus. Disinilah bisa menjadi
pembelajaran bagaimana memahami logika politik ternyata tidak ada
yang permanen dalam dunia politik bagi para pelajar, mahasiswa dan
masyarakat umum. Sesuatu yang pasti sama dalam fase kehidupan
manusia adalah dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali
(setelah wafat). Seharusnya tujuan yang mulia harus dapat
mempersatukan perbedaan-perbedaan yang hanyalah kepentingan sesaat
di dunia ini.

D. Bentuk-Bentuk Komunikasi Politik

Menurut Arifin (2003), terdapat beberapa bentuk komunikasi politik yang


dilakukan oleh komunikator infrastruktur politik untuk mencapai tujuan
politiknya yaitu:49

1. Retorika, berasal dari bahasa Yunani – Rhetorica, yang berarti seni


berbicara, asalnya digunakan dalam perdebatan-perdebatan di ruang
siding pengadilan untuk saling mempengaruhi sehingga bersifar kegiatan
antarpesona. Kemudian berkmbang menjadi kegiatan komunikasi massa
yaitu berpidato kepada khalayak. Ada tiga jenis retorika menurut
Aristoteles dalam karyanya Retorika, (a) retorika diliberitif yaitu
dirancang untuk mempengaruhi khalayak dalam kebijakan pemerintah,
yang difokuskan pada keuntungan atau kerugian jika sebuah kebijakan
diputuskan atau dilaksanakan; (b) retorika forensik, yang berkaitan
dengan keputusan pengadilan; (c) retorika demonstratif, yang
mengembangkan wacana yang dapat memuji atau menghujat.
2. Agitasi Politik, dari bahasa Agitare artinya bergerak atau menggerakan,
dalam bahasa inggris agitation. Menurut Harbert Blumer agitasi
beroperasi untuk membangkitkan rakyat kepada suatu gerakan politik,

49
Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdaakarya, 2010, hlm. 37

24 | P a g e
baik lisan maupun tulisan dengan merangsang dan membangkitkan
emosi khalayak. Dimulai dengan cara membuat kontradiksi dalam
masyarakat dan menggerakan khalayak untuk menentang kenyataan
hidup yang dialami selama ini (penuh ketidakpastian dan penuh
penderitaan) dengan tujuan menimbulkan kegelisahan dikalangan massa.
Orang yang melakukan agitasi disbut agitator yang oleh Nepheus Smith
disebut sebagai orang yang berusaha menimbulkan ketidakpuasan,
kegelisahan atau pemberontakan orang lain. Ada agitator yang sikapnya
selalu gelisah dan agresif, ada juga yang lebih tenang, cenderung pendiam
tetapi mampu menggerakan khalayak dengan ucapan dan tulisannya.
3. Propaganda, berasal dari kata latin propagare (menanamkan tunas suatu
tanaman) yang pada awalnya sebagai bentuk kegiatan penyebaran agama
khatolik pada tahun 1822 Paus Gregorius XV membentuk suatu komisi
cardinal yang bernama Congregatio de Propaganda Fide untuk
menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa. Propagandis
adalah orang yang melakukan propaganda yang mampu menjangkau
khalayak kolektif lebih besar, biasanya dilakukan politikus atau kader
partai politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan sugesti
kepada khalayak dan menciptakan suasana yang mudah terkena sugesti,
di negara demokratis menurut W. Dobb dipahami sebagai suatu usaha
individu atau kelompok yang berkepentingan untuk mengontrol sikap
kelompok individu lainnya dengan menggunakan sugesti. Sedangkan
Harbert Blumer, suatu kampanye politik dengan sengaja mengajak,
mempengaruhi guna menerima suatu pandanganm sentiment atau nilai.
4. Public Relations (PR) Politics, yang tumbuh pesar di Amerika Serikat
setelah Perang Dunia II, sebagai suatu upaya alternative dalam
mengimbangi propaganda yang dianggap membahayakan kehidupan
sosial dan politik, presiden Theodore Rossevelt (1945) mendeklarasikan
pemerintahan sebagai square deals (jujur dan terbuka) dalam melakukan
hubungan dengan masyarakat dan menjalin hubungan timbal balik secara
rasional. Sehingga tujuannya untuk menciptakan hubungan saling
percaya, harmonis, terbuka atau akomodatif antara politikus, professional
atau aktivis (komunikator) dengan khalayak (kader, simpatisan,
masyarakat umum).
5. Kampanye Politik, adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan
orang atau kelompok (organisasi) dalam waktu tertentu untuk
memperoleh dan memperkuat dukungan politik dari rakyat atau pemilih.
Menurut Rogers dan Storey (1987) (dalam Venus, 2004:7), merupakan
serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan
menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan
secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu, sehingga berbeda
dengan propaganda, dimana kampanye cirinya sumber yang
25 | P a g e
melakukannya selalu jelas, waktu pelaksanaan terikat dan dibatasi, sifat
gagasan terbuka untuk diperdebatkan khalayak, tujuannya tegas, variatif
serta spesifik, modus penerimaan pesan sukarela dan persuasi, modus
tindakannya diatur kaidah dank ode etiknya, sifat kepentingan
mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak.
6. Lobi Politik, istilah lobi sendiri sesungguhnya tempat para tamu
menunggu untuk berbincang-bincang di hitel, karena yang hadir para
politikus yang melakukan pembicaraan politik (political lobbying) terjadi
dialog dengan tatap muka (komunikasi antarpersonal) secara informal
namun penting. Karena hasil lobi itu biasanya ada kesepahaman dan
kesepakatan bersama yang akan diperkuat melalui pembicaraan formal
dalam rapat atau siding politik yang akan menghasilkan keputusan dan
sikap politik tertentu. Dalam lobi politik pengaruh dari pribadi seorang
politikus sangat berpengaruh seperti komptensinya, penguasaan masalah
dan charisma. Lobi politik adalah gelanggang terpenting bagi
pembicaraan para politikus atau kader politik tentang kekuasaan,
pengaruh, otoritas, konflik dan consensus.
7. Lewat Media Massa, menurut MacLuhan sebagai perluasan panca indra
manusia (sense extention theory) dan sebagai media pesan (the medium in the
message) dalam hal ini pesan politik untuk mendapatkan pengaruh,
kekuasaan-otoriras, membetuk dan merubah opini public atau dukungan
serta citra politik, untuk khalayak yang lebih luas atau yang tidak bisa
terjangkau oleh bentuk komunikasi yang lain.

E. Tujuan Komunikasi Politik

Secara umum, tujuan komunikasi politik adalah penyampaian pesan-


pesan politik dalam sebuah sistem politik tertentu (Negara) oleh komunikator
politik kepada komunikan politik. Namun, secara khusus para ilmuan
memberikan batasan yang eksplisit tentang tujuan komunikasi politik ini sebagai
berikut:50

1. Citra Politik, karena menurut Robert (1977)51, bahwa komunikasi tidak


secara langsung menimbulkan pendapat dan perilaku tertentu, tetapi
cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya
tentang lingkungan, citra (image) adalah gambaran seseorang (figure) yang
tersusun melalui persespsi yang bermakna melalui kepercayaan, nilai dan
pengharapan. Menurut Dan Nimmo52, citra politik terjalin melalui pikiran

50
Ibid, hlm 39
51
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, Jakarta: Media Sejahtera, 2003, hlm 105
52
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm 6-7
26 | P a g e
dan perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan
pemahaman terhadap peristiwa politik tertentu.
2. Pendapat Umum, yang diterjemahkan dari bahasa inggris public opinion
dikenal pada awal abad ke-18 menurut Alquin menganggap bahwa suara
rakyat adalah suara Tuhan “vox populi, vox dei”, William Albig53, pendapat
umum adalah hasil interaksi antara orang-orang dalam suatu kelompok,
sedang Whyte menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat mengenai suatu
masalah yang menyangkut kepentingan umum sehingga bisa dicirakan
sebagai : (a) pendapat, sikap, perasaan, ramalan, pendirian dan harapan-
harapan dari individu, kelompok dalam masyarakat tentang maslaah
yang berhubungan dengan kepentingan umum atau persoalan sosial; (b)
hasil interaksi, diskus, atau penilaian sosial antarindividu berdasarkan
pertukaran pikiran secara sadar dan rasional; (c) pendapat umum akan
dapat dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh media massa; (d) bisa
dilakukan pada penganut paham demokratis.
3. Partisipasi Politik, menurut Kevin R Hardwick sebagai perhatian dari
warga negara yang berupaya menyampaikan kepentingan-
kepentingannya terhadap pejabat publik; sedang Meriam Budiardjo54
mengartikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta
aktif dalam memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Atau menurut Samuel P
Huntngton sebagai kegiatan warga negara yang bertindak secara pribadi
atau kolektif dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan
keputusan oleh pemerintah, secara spontan atau terorganisasi, mantap
atau sporadis secara damai atau kekerasan, legal atau illegal dan efektif
atau tidak efektif. Bosa berupa (a) Agregasi kepentingan (interest
aggregation fungtion), pada fungsi ini terdapat proses penggabungan
kepentingan, untuk kemudian dirumuskan dan disalurkan
kepada pemegang kekuasaan atau pemerintah yang memegang
kekuasaan dan yang berwenang untuk dijadikan kebijakan public, (b)
fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation fungtion), pada fungsi
ini terjadi proses sintesis aspirasi individu-individu sebagai anggota
kelompok berupa ide, pendapat yang kemudian dijadikan pola dan
program politik.
4. Sosialisasi Politik, menurut David Easton dan Jack Dennis sebagai suatu
proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi
politik dan pola-pola tingkah laku. Kemudian Robinson oleh Alexis S
Tan55, merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat
dengan proses belajar pemahaman terhadap peristiwa politik.

53
Arifin. OP. Cit. hlm 116
54
Deden Faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang: UMM Press, 2002, hlm 185
55
Rochayat Harun dan Sumarno AP, Komunikasi Politik, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm 82
27 | P a g e
5. Pendidikan Politik, adalah sebagai usaha menanamkan, merubah atau
mempertahankan sistem nilai politik atau orientasi politik dengan
mengaktifkan proses sikap, perilaku, sistem berfikir, pandangan
seseorang atau kelompok, baik kader, simpatisan, dan masyarakat umum,
yang dilakukan oleh politikus. Professional dan aktivis (sebagai
komunikator politik) atau oleh lembaga (organisasi) seperti partai politik.
6. Rekrutmen Politik, yaitu suatu usaha untuk mengajak kepada individu-
individu masuk ke dalam orientasi dan nilai politik, yang pada akhirnya
secara kongkrit menjadikan anggota politik baik simpatisan sampai kader
politik dan pengurus organisasi politik.

Daftar Pustaka

Achmad, Mudlor. (tanpa tahun). Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-ikhlas.


Adji, Oemar Seno. 1973. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Erlangga.
Ahmad, Zainal Abidin. 1974. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina. Jakarta: Bulan
Bintang.
Alfian. 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Al-Ghazali, Imam. 1995. Ringkasan Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani.
Almond, Gabriel dan James S. Coleman [Eds.]. 1960. The Politics of the Developing Areas.
Princeton University Press.
Almond, Gabriel dan Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Alonso, Sonia. 2011. The Future of Representative Democracy. Cambridge University Press.
Arifin, Anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera.
_______________. 2011. Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan
Komunikasi Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Bahm, Archie J. 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan.
Yogyakarta: Kanisius.
Bambang S. dan Sugianto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: Penerbit
Grahadi.
Barker, Ernest. 1962. The Politics of Aristotle. Oxford University Press.
28 | P a g e
Bastian, Indra. 2007. Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik. Jakarta: Erlangga.
Benedict, Ruth. 2006. Patterns of Culture. Mariner Books.
Berg-Schlosser, Dirk dan Ralf Rytlewski [Eds.]. 1993. Political Culture in Germany.
Palgrave Macmillan.
Bertalanffy, Ludwig Von. 2003. General System Theory: Foundations, Development,
Applications. George Braziller Inc.
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Blake, Reed H. dan Edwin O. Haroldsen. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Terjemahan
oleh Hasan Bahanan. Surabaya: Papyrus.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cangara, Hafied. 2011. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Chilcote, Ronald H. 1981. Theories of Comparative Political Economy. Westview Press.
Dahl, Robert A. dan Bruce. 2002. Modern Political Analysis. Pearson.
DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Karisma Publishing.
Diamond, Larry. 2003. Dinamika Konsolidasi Demokrasi. Yogyakarta: IRE Press.
Djafar, Massa. 2015. Krisis Politik & Proposisi Demokratisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Dovring, Karin. 1987. Harold Dwight Lasswell: His Communication With a Future. K.
Dovring.
Easton. David. 1965. A Framework for Political Analysis. Prentice-Hall, Inc.
_______________. 1965. Systems Analysis of Political Life. John Wiley & Sons Ltd.
Erikson, Robert dan Kent L. Tedin. 2014. American Public Opinion: Its Origins, Content and
Impact. Routledge.
Fagen, Richard R. 1966. Politics and Communication: An Analytic Study. Little Brown &
Company.
Faturohman, Deden dan Wawan Sobari. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Malang: UMM
Press.
Ferrari, G.R.F. 2005. City and Soul in Plato's Republic. The University of Chicago Press.
Han, Sam dan Kamaludeen Mohamed Nasir. 2015. Digital Culture and Religion in Asia.
Routledge.
Hastuti, Sri [Ed.]. 2011. New Media: Teori dan Aplikasi. Surakarta: Lindu Pustaka.
Heryanto, Gun Gun dan Irwa Zarkasy. 2011. Public Relations Politik. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

29 | P a g e
Hikmat, Mahi M. 2010. Komunikasi Politik: Teori dan Praktik (Dalam Pilkada Langsung).
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Jakarta: Gema
Insani Press.
Jefkins, Frank. 2004. Public Relations (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.
Johari, Jagdish Chandra. 1972. Comparative Politics. Sterling Publishers.
Kaid, Lynda Lee (Ed.). 2004. Handbook of Political Communication Research. Routledge.
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Klosko, George. 2012. History of Political Theory: An Introduction: Volume I: Ancient and
Medieval. Oxford University Press.
Langeveld, M.J. 1959. Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.
Lasswell, Harold D. 1936. Politics: Who Gets What, When, How. Peter Smith Pub Inc.
Lasswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. 2013. Power and Society: A Framework for
Political Inquiry. Transaction Publishers.
Lippmann, Walter. 1998. Opini Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
_______________. 1993. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Makmurtono, Agus dan Munawir. 1989. Etika (Filsafat Moral). Jakarta: Wira Sari.
Manheim, Karl. 1987. Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat.
Jakarta: Bina Aksara.
Masdar, Umaruddin [et al.]. 1999. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik.
Yogyakarta; LKiS.
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication (Communication and
Society). Routledge.
Mulyana, Deddy. 2013. Komunikasi Politik, Politik Komunikasi: Membedah Visi Dan Gaya
Komunikasi Praktisi Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasuka. 2005. Teori Sistem Sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-Ilmu Agama
Islam. Jakarta: Kencana.
Nasution, Zulkarimien. 1990. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nimmo, Dan. 2001. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
_______________. 2006. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Terjemahan
oleh Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

30 | P a g e
Nurdin, Muslim [et al.]. 1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV. Alfabeta.
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Olii, Helena. 2007. Opini Publik. Jakarta: PT. Indeks.
Pasiak, Taufiq. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan
Quran dan Teori Neurosains Mutakhir. Bandung: PT. Mizan Publika.
Patterson, Kerry dan Joseph Grenny. 2005. Crucial Conversations - Strategi Menghadapi
Percakapan Berisiko Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Peter, Laurence J. 1986. Piramida Peter: atau Mungkinkah kita Mencapai Puncaknya. Jakarta:
Erlangga.
Plano, Jack C., Robert E. Riggs dan Helena S. Robin. 1989. Kamus Analisa Politik. Jakarta:
Rajawali.
Purwasito, Andrik. 2011. Pengantar Studi Politik. Surakarta: UNS Press.
R. G. Meadow. 1985. Political Communication Research in the 1980s. Journal of
Communication. Volume 35 Issue 1.
Ranney, Austin. 1992. Governing: An Introduction to Political Science. Prentice Hall College.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun [Eds.]. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Reksosusilo, Stanislaus. 2005. Diktat Kuliah Filsafat Cina. Malang: STFT Widya Sasana.
Rogers, Everett M. 2004. 'Theoritical Diversity in Political Communication'. In Lynda Lee
Kaid (Ed.), Handbook Handbook of Political Communication Research. Routledge.
Rosenthal, Erwin Isak Jakob. 2009. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory
Outline. Cambridge University Press.
Ruck, Anne. 2008. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ruslan, Rosady. 2005. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Sanit. Arbi. 2002. Politik, Demokrasi dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Galang Press.
Sastropoetro, Santoso. 1990. Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Shahreza, Mirza. 2017. Komunikator Politik Berdasarkan Teori Generasi. Journal of
Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 1, 33-48.
Shahreza, Mirza dan Korry El-Yana. 2016. Etika Komunikasi Politik. Tangerang:
Indigomedia.
Sobur, Alex. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama
Press.
Soemarno dan Rochajat Harun. 2006. Komunikasi Politik: Sebagai Suatu Pengantar.
Bandung: Mandar Maju.

31 | P a g e
Soemarno. 1989. Dimensi-Dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
_______________. 2009. Materi Pokok Komunikasi Politik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2007. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Strauss, William dan Neil Howe. 1991. Generations: The History of America's Future, 1584
to 2069. William Morrow & Co.
_______________. 1993. 13th Gen: Abort, Retry, Ignore, Fail? Vintage.
_______________. 2000. Millennials Rising: The Next Great Generation. Vintage.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik.
Bandung: Nuansa Cendekia.
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Centre For Moderate Muslim
Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Susanto, Astrid, S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta.
Suwardi, Arsono [et al.]. 2002. Politik, Demokrasi & Manajemen Komunikasi. Yogyakarta:
Galang Press.
Syah, Sirikit. 2014. Membincang Pers: Kepala Negara dan Etika Media. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Tabroni, Roni. 2012. Komunikasi Politik Pada Era Multimedia. Bandung: Simbiosa
Rekatama.
Tamburaka, Apriadi. 2013. Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. Jakarta:
Rajawali Pers.
Thompson, George Carslake. 2012. Public Opinion and Lord Beaconsfield (Volume 1). Ulan
Press.
Tocqueville, Alexis de. 1990. Democracy in America, Volume 1. Vintage.
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss. 2001. Human Communication: Konteks-Konteks
Komunikasi (Buku 1). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umary, Barnawie. 1993. Materia Akhlak. Solo: Ramadhani.
Varma, SP. 1995. Teori Politik Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Weber, Max [et al.]. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. Oxford
University Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
(Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika.
Wibowo, Eddi [et al.]. 2004. Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta: YPAPI.
Wiseman, H. Victor. 1966. Political Systems : Some Sociological Approaches. Praeger.
32 | P a g e
View publication stats

Young, Oran R. 1968. Systems of Political Science (Foundations of Modern Political Science
Series). Prentice-Hall.
Yu-Lan, Fung. 2007. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

33 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai