PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari
fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al-
Qairawani berkata
“Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran
Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu
saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali
ke Bashrah dan shalat di masjid Jami” Bashrah.
Beliau berbicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang
menyeleweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan
Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhunus atas
Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari
pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat
pada tahun 300 H.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari ?
2. Seperti apa karya-karya Abu Hasan Al-Asy’ari?
C.Tujuan
1. Menjelaskan riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari
2. Mengetahui karya-karya Abu Hasan Al-Asy’ari
BAB II
BIOGRAFI ABU HASAN AL-ASY’ARI
A. Riwayat Hidup
1
Beliau namanya adalah Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan
dari Abu Musa Al-asy’ar. Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah
dilahirkan pada tahun 873 M/ 260 H di Bashrah irak, dan wafat di Baghdad pada
tahun 935 M. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa
dan ketajaman pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah
dan kezuhudannya.
Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka
dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-
asyakir, al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan ke-padanya.
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah
puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran
Mu’tazilah
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid
Basrah bahawa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang
melatarbelakangi Al-asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adaalah pengakuan
Al-asy’ari telah bermimpi bertemu daengan Rasul sebanyak tiga kali, yaitu pada
malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela paham
yang telah diriwayatkan beliau.
B. KARYA
Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai bidang yang
bisa dibaca orang banyak. Dia menolak pendapat Aristoteles, golongan
materialitas, antropomorphist, golongan khawrij, golongan Murji’ah, dan terutama
golongan Mu’tazilah-Qadariyah.
Akan tetapi, fokus kegiatan Al-asy’ari adalah menyerang pikiran-pikiran
sesat yang ditujukan kepada orang-orang Mu’tazilah sperti Abu Ali al-Jubba’i,
Abul Hdzail, dll.
Ada empat kitab tulisannya yang terkenal dalam Ilmu Kalam, yaitu :
1. Maqalat al-Islamiyah wa ikhtilaf al-mushallin
Kitab ini menerangkan tentang pendapat-pendapat golongan Islam. Kitab ini
adalah kitab yang pertama kali ditulis tentang kepercayaan dan merupakan
2
sumber-sumber karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab terssebut
dibagi tiga bagian. Bagian pertama ; berisi pendapat macam-macam golongan
Islam. Bagian kedua ; berisi tentang pendirian-pendirian ahli hadis. Bagian
ketiga ; berisi tentang macam-macam persoalan ilmu kalam.
2. Al-Banah An Ushul al-Diniyyah.
Kitab ini menerangkan tentang dasar-dasar agama. Kitab ini menguraikan
tentang kepercyaaan Ahlussaunnah dan diawali Ahmad bin Hambal dan
meyebutkan kelebihan-kelebihannya, dengan memuji imam Ali.
3. Kitab Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
Kitab ini berisi bantahan-bantahan yang teratur dan sistematik dengan sorotan
yang tajam terhadap lawan-lawannya, orang-orang sesat dan hali bid’ah.
4. Risalah Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam
Kitab ini berisi perbincangan tentang pentingnya ilmu kalam,dengan
pendekatan Rasional, menjelaskan posisi kalam bahwa ia bukanlah yang ilmu
yang bid’ah.
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah,
Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’,
al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita-
bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal
Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-
naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-
Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus
Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi
Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar,
Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin, dan yang lainnya. Al-Imam Ibnu Hazm
Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Syeikh muhammad abduh menerangkan keagungan imam Al-asy’ari dalam
firqoh Ahlu sunah sebagai berikut.
“Dengan adanya kata sepakat antara orang-orang salaf dengan
golongan-golongan yang sehalauan dengan mereka untuk bersama-sama
menentang orang-orang zindiq dan pengikut-pengikutnya, maka perselisihan
diantara mereka menjadi memuncak”.
Hari- hari kemenangan silih berganti berada diantara merek. Namun
demikian, tidak menghalangi masing-masing pihak untuk memperdalam
3
ilmudan mengambil faedah tentang keilmuan satu pihak denganmpihak yang
lainnya, hingga datang Syaikh abul hasan A-asy’ari pada awal abad ke -4
hijriyah. Dia berjalan ditengah, yaitu antara keyakinan orang-orang salaf dan
keyakinan orang-orang yang menentangnya. Dia menetapkan pokok-pokok
kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal. Tetapi
orang-orang salaf meragukan kebenaran pendiriannya itu dan banyak
diantataranya yang menyaerangang akidahnya yang demikian it, sehingga
pengikut-pengikut madzhab Hambali mengkafirkan pendiriannyam itu dan
menghalalkan darah orang yang menganutnya. Sebaliknya kemudian beliau
dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama terkemuka , diantaranya seperti abu bakar
al-baqillani, imam haromain, dll.
BAB III
PEMBAHASAN
Beberapa waktu lamanya dia merenungkan dan mempertimbangkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadis. Ketika berusia 40
tahun, dia berkhalwat dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut.
Pada hari jumat., dia naik mimbar di masjid Basrah, secara resmi menyatakan
pendiriannya keluar dari Mu’tazilah :
“ Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku.
Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenali diriku sendiri. Aku
adalah fulan bin fulan. Dahulua aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah
mahluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa
perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat,
mencabut dan menolak paham-paham Mu’tazilah dan keluar daripadanya untuk
membongkar kesalahan-kesalahannya.”
4
Adapun sebab terpenting mengapa Al-asy’ari meninggalkan Mu’tazilah ialah
karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan
mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Sebagai seorang Muslim
yang mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an
dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya
semakin jauh dari kebenaran . Hal ini disebabkan karena mereka terlalu
menonjolkan akal pikiran.
Kejadian tersebut berlangsung berlarut-larut berkepanjangan, sedangkan dari
pihak penguasa pemerintahan Bani Umayyah tampaknya tidak berminat untuk
mencarikan penyelesaian, mendamaikan atau mencari titik temu perbedaan
pendapat itu, guna memberikan kepuasn semua pihak.
Telah banyak timbul simpang siur paham Washil bin Atho’ dan pengikut-
pengikutnya. Diantaranya mereka mempelajari filsafat dari buku-buku Yunani,
sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka mengira, bahwa memperkuat
kepercayaan agama dan menetapkannya dengan ilmu tanpa mengadakan
pembedaan apakah ia sesuai dengan pandangan akal ataukah dugaan belaka, adalah
termasuk pengabdian kepada Allah swt.
Pembicaraan tentang ilmu kalam, yakni dengan menghubungkannya kepada
pokok pemikiran tentang kejadian alam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an .
Kemudian timbullah masalah tentang Khalqul Qur’an. Apakah Al-qur’an itu
mahluk atau Azali, yang tidak ada permulaan. Oleh karena itu, banyak korban yang
mengalir darahnya dengan cara tidak wajar dan banyak pula ahli-ahli ilmu dan
orang-orang yang takwa mendapat bencana.
Perlu dijelaskan corak pemikiran Al-Asy’ari, karena terdapat dua corak
pemikiran yang tamapaknya berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Dia
berusaha mendekati ulama-ulama fiqih dari golongan sunni, sehingga ada orang
yang mengatakan bahwa Al-asy’ari itu bermadzhab Maliki dan yang lain lagi
mengatakan bahwa dia bermadzhab Hambali. Disamping itu, adanya keinginan Al-
asy’ari menjauhi madzhab-madzhab fiqih.
Dua corak pemikiran tersebut tidak bertentangan. Dia mendekati madzhab-
madzhab fiqih dalam soal-soal furu’. Sebagai orang yang pernah mengikuti paham
Mu’tazilah, Al-asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan
penggunaan argumentasinya . Dia juga menentang pendapat mereka yang
5
mengatakan bahwa penggunaan akal pikiran dalam membahas masalah-masalah
baru dan kenyataannya sahabat-sahabat nabi itu tidak dinyatakan sebagai ahli
bid’ah.
Akan tetapi, Al-asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan dalam
penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah, seperti mereka tidak
mengakui hadis-hadis Nabi sebagai dasar agama.
Dengan demikian, jelaslah keduudukan Al-Asy’ari sebagai seorang Muslim
yang benar-banar ikhlas membela kepercayaan, berpegang teguh kepada Al-Qur’an
dan hadis sebagai dasar agama, disamping menggunakan akal pikiran yang
tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat pemahaman nash-nash agama.
Imam Al-Asy’ari meninggal tahun 330 H/ 943 M . Sesudah meninggalnya,
beberapa tahun pahamnya mengalami keredupan, karena adanya pengikut-pengikut
yang agak condong ke rasionalisme. Karena itu timbullah pihak-pihak yang
menentangnya, yaitu pengikut madzhab Hambali, sehingga berdampak menurunnya
terhadap kegiatan mereka. Keadaan menjadi tertolong, ketika khalifah al-
mutawakkail dari bani Abbasiyah mulai berpihak kepada ajaran al-Asy’ari dan
kemudian berlanjut ketika Nizham al-muluk, sseorang mentri dari Bani Saljuk
mendirikan dua buah madrasah yang terkenal, yaitu Nizhamiyah di Naisabur dan di
Baghdad, yang mana hanya aliran Asy’ariah sajalah yang boleh diajarkan. Sejak itu,
aliran Asy’ariah menjadi aliran resmi negara. Paham Asy’ariah ini di anut oleh
umat Islam yang bermadzhab Syafi’i atau Maliki.
Di samping penunjang penguasa, yaitu Nizham al-muluk, maka kemajuan
aliran Asy’ariah ini dukung oleh ulama-ulama terkenal, antara lain Al-baqillani, Al
Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrudin Ar-Razi, Asy-syahratsani, dan As-sanusi.
6
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrim. Pada satu pihak, ia
berhadapan dengan klompok sifatiah (pemberi sifat), klompok mujassimah
(antropomorfis), dan klompok musyabbihah.
Menghadapi kelompok yang berbeda tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah), sperti
mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi
secara simbolis. selanjutnya beliau berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik
dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia pada umumnya.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya
(haqiqah) tidak terpisah dara esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda
dengan-Nya.
7
tidak Qodim ; serta pandangan Madzhab Hambali dan zahiriah yang
mengatakan bahwa Al-qur’an adalah kalam Allah. Bahkan zahiriah
berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-qur’an adalah
qadim. Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an terdiri atas kata
,huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak
qadim. Nasuton mengatakan bahwa Al-qur’an bagi Al-asy’ari tidak
diciptakan, sesuai dengan Q.S. An Nahl : 16.
“Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami
menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, jadilah ! maka jadilah
sesuatu itu. “
Melihat Allah
Al- asy’ari tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama
zahiriah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan
memercayai bahwa Allah bersemayam di ‘arsy. Selain itu, Al-asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah)
di akhirat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang
menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya.
Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-asy’ari tidak
sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang salah dan memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adlah penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah
mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-
asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
9
BAB IV
KESIMPULAN
10
11