RINGKASAN SKRIPSI
Oleh:
Tubagus Umar Syarif Hadiwibowo
09406241008
2013
I. Pendahuluan
Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak
melahirkan ulama ilmiah dan pejuang. Banten tidak hanya dikenal dengan
intelektualitas keulamaannya, tetapi juga dari segi pewacanaan masa
lampau, daerah ini menyimpan segudang sejarah yang banyak dikaji oleh
peneliti dari dalam maupun manca.Memotret perkembangan Banten yang
kini tengah menjadi salah satu daerah industri nusantara, tidak terlepas dari
sejarah yang menyelimuti sebelumnya. Sejak awal abad ke-16, pelabuhan
Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah
Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini
dikuasai oleh suatu kerajaan bercorak Hindu dan merupakan daerah vassal
dari Kerajaan Pajajaran, nama kerajaan itu terkenal dengan nama Banten
Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten Girang adalah Pucuk Umun.
Berkembangnya agama Islam secara bertahap di wilayah Banten pada
akhirnya menggantikan posisi politis Banten Girang sebagai kerajaan
bercorak Hindu. Era Kesultanan pun perlahan mulai menggoreskan tinta
sejarah di Tatar Banten.Penting untuk dikaji, adalah mengenai
perkembangan Kesultanan Banten sekitar abad ke-16 dan ke-17, yang
menurut kabar dari orang Perancis saat itu melihat Kesultanan Banten
sebagai kota kosmopolitan bersanding dengan Kota Paris, Perancis.
Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, memerintah tahun
1527-1570. Pada masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan Kesultanan
Banten diperluas ke Lampung hingga Sumatera Selatan. Pasca Maulana
Hasanuddin, Kesultanan Banten menunjukkan signifikansi kemajuan
sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Sultan Maulana Yusuf, sebagai
pengganti ayahnya, memimpin pembangunan Kesultanan Banten di segala
bidang. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan
infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah, perdagangan
dan pertanian.
Sultan Maulana Yusuf juga mencetuskan sebuah konsep
pembangunan infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe
baik karya-karya para sarjana dan peneliti maupun media cetak dan
media online (internet), yang langsung atau hanya terkait dengan
informasi mengenai topik penelitian.
Penulis melakukan observasi lapangan dengan mendatangi
langsung lokasi penelitian, diantaranya yaitu: Situs Kuno Banten
Girang, Keraton Surosowan, Masjid Agung Banten, Situ Tasikardi,
Pelabuhan Karangantu, Kampung dan Masjid Kasunyatan dan
Makam Sultan Maulana Yusuf di Pekalangan Gede, Banten.
Penulis juga melakukan pengamatan langsung dengan
mendatangani Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang
menyimpan benda-benda peninggalan penting pada masa
kesultanan Banten, baik itu berupa prasasti, keramik dan barang
pecah belah, peta-peta, uang kuno, dan lain sebagainya.
Lokasi penelitian diamati lebih awal guna memperoleh
gambaran tentang jejak-jejak masa lalu. Sehubungan dengan itu,
kenadziran Masjid Kasunyatan dan Makbaroh (tanah khusus/wakaf
untuk pemakaman) Panembahan Maulana Yusuf yang letaknya di
Kampung Kasunyatan, turut dikunjungi penulis untuk mendapatkan
data wawancara dari salah satu keturunan Sultan Maulana Yusuf,
yang juga menjadi Ketua Kenadziran Masjid Kasunyatan saat ini,
yaitu Tubagus Ali Ma’mun Isya. Meskipun bukan termasuk sumber
primer, data wawancara tersebut berguna untuk mengetahui secara
garis besar topik penelitian dari seorang ahli dan termasuk tokoh
lokal yang menjadi pemerhati sejarah dan kebudayaan Banten.
c. Verifikasi (Kritik Sumber)
Langkah selanjutnya setelah penulis berhasil mengumpulkan
sumber-sumber dalam penelitiannya, yaitu menyaring sumber-
sumber sejarah secara kritis. Langkah-langkah ini lazim disebut
juga dengan kritik sumber (verivikasi) yang berusaha untuk
menguji kebenaran dan ketepatan dari sumber sejarah, baik
1
Ovi Hanif Triana (Ed.), op.cit., hlm. 26.
sebelum masa Kesultanan, baik secara fisik maupun non fisik, pada
waktu bersubordinasi di bawah Kerajaan Tarumanegara. Setelah
Kerajaan Tarumanegara berakhir pada akhir abad ke-7, pengembangan
kota dapat ditelusuri dari penggalian yang dilakukan oleh arkeolog di
daerah pedalaman Kota Serang. Hasil penggalian membuktikan sudah
berdiri Kerajaan Banten Girang yang senantiasa terkena pengaruh ganda,
pengaruh Jawa dan Melayu (Claude Guillot, Lukman Nurhakim &
Sonny Wibisono, 1996:130).
Keraton KerajaanBanten Girang sebagai pusat kerajaan saat itu
dibangun pada tempat yang memiliki topografi dataran tinggi. Keraton
sebagai pusat kerajaan yang dibangun diatas topografi yang lebih tinggi
dari daerah bawahannya merupakan tiruan dari susunan gunung
Mahameru. Puncak Mahameru adalah tempat tinggal raja yang
melambangkan kekuatan dan kekuasaan.
Berdasarkan hasil ekskavasi atau penggalian di situs Banten
Girang, didapati fakta bahwa struktur infrastruktur kota Banten Girang
terdiri atas enam bagian, yaitu:
1. Kelunjukkan (pintu gerbang bagian utara),
2. Telaya (pusat kota),
3. Pandaringan (kolam dan lumbung),
4. Banusri (pasar),
5. Alas Dawa (pos pengawasan/pintukeluar bagian selatan)
6. Asam Reges.
Bata (batu terbuat dari tanah liat) dan kawis (karang) digunakan sebagai
bahan bangunan utama bagi pembangunan infrastruktur Kota Banten.
Konsep Simbolis. Kalimat Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan
Kawismenjadi ruh dansemangan dalam pengembangan Kota Banten
yang mensenyawakan unsur buatan (simbol dari bata) dan unsur alamiah
(simbol Karang) secara selaras.
C. Penerapan Konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis Pada
Pengembangan Infrastruktur Kesultanan Banten Tahun 1570-1580
baku bata dan karang juga menjadi unsur pendukung bagi pemerintahan
Maulana Yusuf dalam pengembangan kota perbentengan (gawe kuta
baluwarti) secara besar-besaran pada periode 1570-1580.
Penerapan konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan
Kawisdiwujudkan dalam membangun berbagai infrastruktur kota, yaitu:
1. Pengembangan Keraton Surosowan ,
2. Masjid Agung Banten dan Masjid Kasunyatan,
3. Pasar dan Pelabuhan,
4. Irigasi Pertanian dan Jaringan Air Bersih,
5. Jaringan Jalan dan Jembatan Rante,
(1) golongan raja-raja dan keluarganya (b) golongan elite (c) golongan
non elite, dan (d) golongan budak.
Tidak ketinggalan peran perempuan di Kesultanan Banten
merupakan unsur pendukung dalam lapisan sosial masyarakat. Peran
perempuan tersebut meliputi: sebagai ibu suri, penasehat sultan,
pemimpin politik (Dewan Perwalian), pengajar dan penyebar agama
Islam, pengawal keraton, pembawa bunga di makam keramat (bedhaya).
B. Penyediaan Pemukiman Masyarakat Berdasarkan Pengelompokkan
Lapisan Masyarakat
1. Pengelompokkan atas dasar ras dan suku, seperti: Pecinan, Pekojan,
Karoya, Kebalen, dan Bugis.
2. Pengelompokkan atas dasar sosial-ekonomi, seperti: Pamarican,
Pabean, dan Kagongan.
3. Pengelompokkan atas dasar status dalam. pemerintahan dan
masyarakat, seperti: Keraton, Kesatrian, Kawangsan, dan
Kawiragunaan.
4. Pengelompokkan atas dasar keagamaan, seperti: Kapakihan dan
Kasunyatan.
C. Pemukiman Kasunyatan Sebagai Pemukiman Agama
1. Pemukiman Agama di Kerajaan Islam.
a. Disebut juga Kauman, Pekauman, Kampung Santri, Desa
Pesantren, Kampung Arab, dan Kampung Pekojan.
b. Kenampakan umum di Kerajaan Islam, yang terdapat di dekat
masjid utama kesultanan (masjid gedhe).
2. Kasunyatan sebagai Kauman-nya Kota Banten.
a. Berarti sunyi, sunyata atau kenyataan, dan sunat (tempat
penyunatan para muallaf di Kesultanan Banten).
b. Tempat pembelajaran dan pendidikan agama Islam di
Kesultanan Banten.
V. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkembangan Banten sebelum
masa kesultanan ditunjukkan dengan keberadaaan Kerajaan Banten Girang
yang terlebih dahulu telah berdiri di Tatar Banten. Banten Girang yang
merupakan kerajaan bercorak Hinduistis telah dikenal sebagai kota
penghasil lada. Para pedagang pun berdatangan di kota yang terletak jauh
dari pelabuhan utama. Meski begitu, Banten Girang tetap saja ramai dan
terus didatangi oleh para pelaut asing dari berbagai daerah, seperti dari Cina,
India dan Eropa. Terbukti dengan peninggalan berupa pecahan keramik dan
mata uang kuno dari Cina yang didapatkan dari hasil penggalian di situs
Banten Girang pada tahun 1988-1992.
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati setelah berhasil
menaklukkan kerajaan Banten Girang yang bercorak Hindu, ia memberikan
nasihat kepada anaknya, Maulana Hasanuddin, untuk memindahkan Ibukota
kerajaan di Banten Girang ke Banten Lama. Disinilah awal kejayaan itu
disemaikan. Kesultanan Banten tumbuh bersemi sebagai kota bandar
terkemuka dengan hasil bumi utamanya, yaitu lada.Maulana Hasanuddin
menjadi sultan pertama Kesultanan Banten dan mulai membangun Keraton
Surosowan dan Masjid Agung Banten secara bertahap.
Perkembangan Kesultanan Banten menunjukkan signifikansinya
ketika pemerintahan dikendalikan oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580).
Anak kandung Maulana Hasanuddin ini memiliki kepribadian jasmani yang
kuat. dia merupakan manusia multidimensi yang selalu memimpin
pasukannya di garda terdepan. Dalam peperangan merebut Pajajaran (1579),
Maulana Yusuf menjadi panglima perang yang memimpin pasukannya.
Dalam melanjutkan misi dakwah, Maulana Yusuf menjadi pemimpin cum
ulama yang menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Banten. Dan
dalam pengembangan Kesultanan Banten, Maulana Yusuf menjadi teknokrat
yang mengembangkan Kesultanan Banten sebagai salah satu bandar utama
di Nusantara.
Daftar Pustaka
Buku-Buku:
A. Bagoes P. Wiryomartono. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di
Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik
Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Agus Sunyoto. (2012). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap
Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: Pustaka IIMaN bekerja
sama dengan LTN PBNU dan Trans Pustaka.
Arwan Tuti Artha & Heddy Shri Ahimsa. (2004). Jejak Masa Lalu: Sejuta
Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
Bambang Heryanto. (2011). Roh dan Citra Kota: Peran Perancangan Kota
Sebagai Kebijakan Publik. Surabaya: Brilian Internasional.
DE Graaf, H.J. & Pigeaud, TH. (2003). Kerajaan Islam Pertama Di Jawa:
Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti.
Dorleans, Bernard. (2006). Orang Indonesia & Perancis Dari Abad XVI
Sampai Dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Edi Sedyawati, dkk (Ed.). (2001) Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum.
Jakarta: Balai Pustaka.
Feby Nurhayati, Reny Nuryanti & Sukendar, Wali Sanga dan Profil dan
Warisannya. Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007,
Guillot, Claude., Lukman Nur Hakim & Sonny Wibisono. (1996). Banten
Sebelum Zaman Islam Kajian Arkeologis di Banten Girang (932?-
1526). Jakarta: Bentang.
J.S. Badudu & Sutan Muhammad Zain. (1996). Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lilie Suratminto dan Mulyawan Karim (Ed.). (2012). Kota Tua Punya
Cerita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Van Leur, J.C. (1960 ). Indonesian Trade And Society (Essays in Asian
Social and Economic History). Bandung: Sumur Bandung (formerly,
N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, The Hague (2nd. Edition).
Imam Solichudin, “Pelajaran dari Seba Baduy”, Fajar Banten, Rabu, 1Mei
2009, hlm. 7.
Ranta Soeharta, “Kebudayaan Banten: Masa Lalu dan Kekinian (1)”, Fajar
Banten, Jumat, 8 Januari 2010.
Sri Utami. (2007). “Proses Islamisasi di Jawa Barat pada masa Sultan
Hasanudin tahun 1525 – 1579.” Skripsi. Yogyakarta: UNY.
Internet:
Gambaran Umum Kecamatan Kasemen. Terdapat pada
www.bpbdserang01.page4.me/86.htm .com, diunduh pada tanggal 2
Juni 2013.
Peta Pusat Kesultanan Banten abad ke-16 berpola Gridiron (papan catur).
Tersedia pada http://www.sanderusmaps.com Diunduh pada tanggal
26 Juni 2013.
Sumber Lisan:
1. Wawancara KH. Tubagus Ali Makmun Isya, Ketua Kenadziran
Masjid Kasunyatan dan Makbaroh Sultan Maulana Yusuf, pada hari
Jumat, 7 Juni 2013.
2. Wawancara Drs. Sarimin Sumowidjojo (pensiunan guru, umur 76
tahun) di kediaman beliau, pada tanggal 17 Mei 2013.