02 Artikel PDF
02 Artikel PDF
02 Artikel PDF
Oleh
Drs. ISAK MUNAWAR, MH
Persoalan valuta atau mata uang telah lama dibicarakan oleh para cendekiawan
muslim berabad-abad lamanya, sehingga banyak yang mengomentari bagaimana hukum
tukar-menukar (jual beli dalam arti umum) valuta ini.
Pengertian Sharf
Sharf secara etimology adalah penambahan, penukaran, pemindahan atau suatu
bentuk transaksi jual beli. Wahbah Al-Zuhaily 1 menyatakan bahwa arti pokok sharf
adalah al-ziyadah artinya penambahan atau pertumbuhan.
Selain itu sharf dalam matan hadis diartikan dengan ‘ibadah yang diajurkan,
sebagaimana terdapat dalam hadis :
ً( أي ﻻ ﻧﻔﻼً وﻻ ﻓﺮﺿﺎ1) «ًﻣﻦ اﻧﺘﻤﻰ إﻟﻰ ﻏﻴﺮ أﺑﻴﻪ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ اﷲ ﻣﻨﻪ ﺻﺮﻓﺎً وﻻ ﻋﺪﻻ
ً ﻣﺼﻮﻏﺎً أو ﻧﻘﺪا، أو اﻟﻔﻀﺔﺑﺎﻟﻔﻀﺔ أو اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ، أي ﺑﻴﻊ اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ:ﺑﻴﻊ اﻟﻨﻘﺪ ﺑﺎﻟﻨﻘﺪ ﺟﻨﺴﺎً ﺑﺠﻨﺲ أو ﺑﻐﻴﺮ ﺟﻨﺲ
Artinya “perjanjian jual beli suatu valuta (mata uang) dengan valuta yang lainnya
baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, seperti jual beli emas dengan emas, perak
dengan perak atau emas dengan perak dan perak dengan emas, baik berupa emas perak
perhiasan maupun sebagai alat tukar. 3
Menurut Ulama Al-Hanabilah dan Al-Syafi’iyah 4 sharf adalah :
1
Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV halaman 356.
2
Ibid
3
Lihat ‘Ala’u Al-Din Al-Kasany, Bada’iu Al-Shana’iy, Juz V halaman 215.
4
Lihat Mughni Al-Muhtaj Juz III halaman 25 dan Ghayah Al-Muntaha Juz II halaman 59
2
5
Lihat Ibnu Abidin Hasyah Al-Dasuqy, Juz II halaman 3.
6
Wahbah Al-Zuhaily, loc.cit.
7
Agustianto, Artikel Fikih Mu’amalah, 2011
3
negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa, demikian pula dalam hal ekportir
komoditi suatu negara ke negara yang lain selalu membutuhkan devisa untuk alat bayar.
Dasar Hukum Akad Sharf.
Akad sharaf termasuk salah satu akad jual beli yang dibolehkan sesuai firman
Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275 :
Artinya “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Yang menjadi dalil kebolehan akad sharf dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan jual beli (tukar menukar) dan mengharamkan riba’,
ayat tersebut merupakan jawaban terhadap anggapan orang-orang Jahiliyah dengan
menyatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba’8
Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi menegaskan dalam buku Masa’il Fiqhiyah 9 bahwa
Forex (perdagangan valas) diperbolehkan dalam Hukum Islam, secara umum
berdasarkan Firman Allah Surat al-Baqarah ayat 275 sebagaimana tersebut di atas.
Demikian pula dasar hukum yang membolehkan jual beli sharf dalam hadis adalah
sebagaimana hadis riwayat Muslim, yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudry dari
Abu Hurairah dan hadis Abu Ubadah bin al-Shamid, ia berkata :
ِ ِ ِ ِ ِ واﻟ ِْﻔ ﱠ،ﺐ ِ ِ ُ ﺎل رﺳ
ُ َواﻟْﻤﻠ، َواﻟﺘ ْﱠﻤ ُﺮ ﺑِﺎﻟﺘ ْﱠﻤ ِﺮ، َواﻟ ﱠﺸﻌ ُﻴﺮ ﺑِﺎﻟ ﱠﺸﻌﻴ ِﺮ، َواﻟْﺒُـ ﱡﺮ ﺑِﺎﻟْﺒُـ ﱢﺮ،ﻀﺔُ ﺑِﺎﻟْﻔﻀﱠﺔ
ْﺢ َ ِ ﺐ ﺑِﺎﻟ ﱠﺬ َﻫ ُ »اﻟ ﱠﺬ َﻫ:ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﻮل اﷲ ُ َ َ َﻗ
« إِذَا َﻛﺎ َن ﻳَ ًﺪا ﺑَِﻴ ٍﺪ،ﻒ ِﺷﺌْﺘُ ْﻢ
َ ْﻴﻌﻮا َﻛﻴ ُ ِ ﻓَﺒ،ﺎف
ُ ََﺻﻨ ْ ﻓَِﺈذَا ا ْﺧﺘَـﻠَ َﻔ، ﻳَ ًﺪا ﺑِﻴَ ٍﺪ،اء ﺑِ َﺴ َﻮ ٍاء
ْ ﺖ َﻫ ِﺬ ِ ْاﻷ ِ ِ ِ ِ ﺑِﺎﻟ ِْﻤﻠ
ً َﺳ َﻮ، ﻣﺜْ ًﻼ ﺑﻤﺜْ ٍﻞ،ْﺢ
Artinya “Telah bersabda Rasulullah SWA “emas (hendaklah dibayar) dengan emas perak dengan
perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, sama sama
8
Lihat Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adlim Al-Syahir bi Tafsir
Ibnu Katsir, (Bairut: Bairut: Dar Al-Thayyibah Li Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1999) Juz I halaman 709.
9
Hasan, M. Ali, Masa’il Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga keuangan, Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada 1996
4
dan sejenis, haruslah dilakukan secara kontan (yad bi yad), maka apabila berbeda jenisnya jualah
sekehendak kalian dengan syarat kontan”.10
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Muslim juga dari Aby Said Al-Khudry11:
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan dari Malik bin Aus bin
Al-Hadatsani 12:
Hadis-hadis tersebut menekankan tukar menukar barang dengan barang, atau mata
uang dengan mata uang disyaratkan kualitas dan kuantitasnya sama, serta dilakukan
secara tunai, misalnya emas yang kualitasnya 19 karat dengan kuantitas berat 50 gram
tidak boleh ditukarkan dengan emas yang kualitasnya 24 karat dengan kuantitas 50
gram, demikian pula dengan mata uang, dan apabila jenisnya berbeda dari segi kuantitas
dan kualitas, boleh dilakukan dengan syarat dilakukan secara tunai. Sebab apabila
dilakukan tidak secara tunai kedua jenis mata uang tersebut sangat mungkin nilai
tukarnya akan berubah sewaktu-waktu, sehingga akan merugikan pihak lain.
10
Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1587
11
Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1584
12
Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1586
13
Emas dalam hadis tersebut adalah emas sebagai alat tukar.
5
« ﻳﺪاً ﺑﻴﺪ، واﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ ﻣﺜﻼً ﺑﻤﺜﻞ، ﻳﺪاً ﺑﻴﺪ،اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ ﻣﺜﻼً ﺑﻤﺜﻞ
Artinya “ menjual belikan emas dengan emas secara sama dan kontan demikian
pula menjual belikan perak dengan perak”.
Dalam hadis lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama, menyatakan jual beli
valuta secara tangguh hukumnya riba’, sebagai mana hadis yang diriwayatkan Muslim15
dari Muhammad bin hatim bin Maimun, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Amrin dan dari
Aby Al-Minhal:
ِ ﻗَ ْﺪ ﺑِ ْﻌﺘُﻪُ ﻓِﻲ اﻟ ﱡﺴ:ﺎل ُ ﻓَـ ُﻘﻠ،َﺧﺒَـ َﺮﻧِﻲ ِ ٍ ِ ِ ٌ ﺎع َﺷ ِﺮ
،ﻮق َ َ ﻗ،ﺼﻠُ ُﺢ ْ َ َﻫ َﺬا أ َْﻣ ٌﺮ َﻻ ﻳ:ْﺖ ﺎء إِﻟ ﱠ
ْ َﻲ ﻓَﺄ َ ﻓَ َﺠ،ْﺤ ﱢﺞَ أ َْو إِﻟَﻰ اﻟ،ﻳﻚ ﻟﻲ َوِرﻗًﺎ ﺑِﻨَﺴﻴﺌَﺔ إِﻟَﻰ اﻟ َْﻤ ْﻮﺳ ِﻢ َ َ ﺑ:ﺎل َ َﻗ
،ﻴﻊ َﻫ َﺬا اﻟْﺒَـ ْﻴ َﻊ ِ ِ
ُ ِﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟ َْﻤﺪﻳﻨَﺔَ َوﻧَ ْﺤ ُﻦ ﻧَﺒ
ِ َ ﻓَـ َﻘ،ُ ﻓَﺴﺄَﻟْﺘُﻪ،ب
َ ﻗَﺪ َم اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ:ﺎل َ
ٍ اء ﺑْ َﻦ ﻋَﺎ ِز
َ ﺖ اﻟْﺒَـ َﺮ
ُ ﻓَﺄَﺗَـ ْﻴ،َﺣ ٌﺪ
َ ﻚ ﻋَﻠَ ﱠﻲ أَ ِﻓَـﻠَ ْﻢ ﻳُـﻨْﻜِ ْﺮ ذَﻟ
َوَﻣﺎ َﻛﺎ َن ﻧَ ِﺴﻴﺌَ ًﺔ ﻓَـ ُﻬ َﻮ ِرﺑًﺎ،ْس ﺑِ ِﻪ ٍِ
َ » َﻣﺎ َﻛﺎ َن ﻳَ ًﺪا ﺑَﻴﺪ ﻓَ َﻼ ﺑَﺄ:ﺎل َ ﻓَـ َﻘ
Artinya “Aby Al-Minhal mengatakan ‘Syuraik telah menjual mata uang kepada saya dengan cara
ditangguhkan sampai pada musim tertentu atau sampai musim haji tertentu, kemudian seseorang
(shahabat) mendatangi saya, kemudian ia bertanya kepada saya, saya jawab perkara ini tidaklah patut, ia
juga mengatakan sungguh saya telah menjualnya di pasar tertentu dan tidak ada yang mengingkari
seorangpun. Setelah itu saya mendatangi Al-Bara’ bin ‘Azib dan saya bertanya kepadanya, ia menjawab
(ketika) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama memasuki kota, dimana kami sedang mengadakan perjanjian
jual beli seperti ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda ‘apabila dilakukan secara kontan, maka
jual beli ini tidak apa-apa, dan apabila dilakukan secara tangguh, maka hal itu riba’”
Oleh karena itu dalam perjanjian jual beli valuta yang dilakukan dengan tidak
secara tunai, menurut ulama Al-Hanafiyah hukumnya fasid, Sedangkan menurut ulama
yang lain hukumnya batal karena tidak memenuhi syarat qabadl.
Substansi kontan dalam hal ini adalah serah terima valuta dilakukan secara
bersamaan, pada saat yang sama dan dalam majelis akad yang sama, sebelum kedua
belah pihak yang melakukan akad berpisah secara nyata, yaitu masing-masing pihak
berpisah badan dari majelis akad, salah satu pihak pergi ke satu tempat dan pihak yang
lainnya pergi ke tempat lainnya, atau salah satu pihak pergi dari majelis akad,
sedangkan yang lainnya tetap di majelis akad. Bila kedua belah pihak menetap pada
14
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Derektorat
Hukum Bank Indonesia. Penelitian tentang Prinsif-prinsif Hukum Islam Dalam Transaksi Ekonomi pada
Perbankan Syari’ah (Jakarta 2003) halaman 99-101
15
Hadis riwayat Muslim, nomor 1589
6
majelis yang sama walaupun dalam waktu yang cukup lama tidak dapat ditetapkan
berpisah badan. Demikian pula bila kedua belah pihak pergi bersamaan dari majelis
akad ke suatu tempat yang cukup jauh juga tidak dapat ditetapkan berpisah badan16
2. Motif atau tujuan pertukaran mata uang adalah dalam rangka mendukung transaksi
komersial bisnis pada sektor riil.
Pertukaran valuta dalam hal ini bukan bertujuan bisnis untuk mendapatkan
keuntungan dari perubahan nilai mata uang tertentu secara spekulasi, melainkan sebagai
pendukung perdagangan barang dan jasa antar bangsa, atau dibutuhkan sebagai nilai
tukar yang hanya berlaku pada negara tertentu saja.
3. Keseimbangan dan kesamaan kualitas mata uang dalam jual beli valuta yang
sejenis.
Apabila terjadi jual beli valuta (mata uang) yang jenisnya sama disyaratkan
ukuran dan jumlah nilai tukarnya sama, walaupun kuantitasnya berbeda. Seperti boleh
menukarkan uang lembaran seratus ribuan dengan nilai satu juta dengan uang lembaran
lima ribuan dengan nilai satu juta juga. Kecuali kedua valuta yang diperjual belikan
memiliki nilai tukar berbeda, seperti rupiah dengan dolar, dengan real, dengan ringgit
dan lain sebagainya. boleh menjual satu dolar dengan dua belas ribu rupiah misalnya
dengan cara kontan sesuai hadis riwayat Muslim dari ‘Ubadah bin Al-Shamat
Rasulullah bersabda17:
Artinya “emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan
syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam dalam keadaan seimbang dan sama,
bila jenis-jenis ini berbeda, jual belikanlah sesuai kehendakmu, bila dilakukan secara
kontan”.
4. Terhindar dari jual beli yang disyaratkan adanya hak khiyar.
Akad sharf atau perjanjian jual beli valuta tidak diperbolehkan menyertakan unsur
syarat hak khiyar, baik terhadap masing-masing pihak maupun terhadap salah satu
pihak. Sebab qabadl dalam akad ini merupakan syarat pokok, sedangkan dalam akad
jual beli yang didalamnya terdapat khiyar syarath akan menghalangi peralihan hak
kepemilikan sebelum syarat tersebut terpenuhi. Oleh karena itu adanya hak khiyar
dalam perjanajian jual beli valuta akan merusak serah terima secara kontan. Misalnya
A setuju membeli mata uang asing dengan rupiah dengan syarat B sebagai penjual harus
melakukan prestasi tertentu.
16
Ala’u Al-Din Al-Kasany, Bada’iu Al-Shana’i, Juz V halaman 215.
17
Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1587
7
Sedangkan dalam fatwa DSN-MUI18 terdafat empat syarat untuk berlakunya jual
beli mata uang, yaitu:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada Kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama
dan tunai (taqabbudl).
4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat bertransaksi dan secara tunai.
Bila tidak demikian, pertukaran mata uang hukumnya riba yang diharamkan
dalam Syari’ah Islamiyah.
Uang dalam pandangan Islam bukanlah komoditas dan tidak boleh dijadikan
sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas uang telah
dijadikan komoditas perdagangan. Menurut Taqiyudin Al-Nabhani dalam buku Al-
Nidzam al-iqtishad al-Islam,19 mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada barang
dan jasa, demikian pula menurut Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku Ilaj Al-
18
Lihat Fatwa MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang.
19
Al-Nabhani, Taqiyudin, Al-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam, (Bairut: Dar Ummah, Cet VI,
2004) halaman 362
8
dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan
jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial dan sektor riel berada dalam keseimbangan
dan homogen. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Pemisahan antara sektor finansial dan sektor riel, berakibat ekonomi dunia rawan krisis,
khususnya negara-negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi
tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan
spekulasi mata uang yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya
negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang
beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil. Bagi spekulan, tidak
penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata
uang selalu berfluktuasi demi keuntungan sesaat. Tidak jarang mereka melakukan
rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu
peristiwa politik yang minimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut,
secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah
meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah secara semu ini,
akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan
ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepaskan rupiah sekaligus dalam jumlah
besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan
meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin
menarik bagi para spekulan untuk bermain.
perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan
garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan
biyadin). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat
secara kontan.”
Oleh karena itu perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan
dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan
istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. 20 Emas dan perak
sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya Rupiah kepada
Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada US Dolar kecuali sama jumlahnya
(misalnya pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama).
Hal yang demikian dapat menimbulkan Riba Fadhl seperti yang dimaksud dalam
larangan hadits di atas. Namun bila berbeda jenisnya, seperti Rupiah dengan Dolar atau
sebaliknya maka dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar)
dengan catatan harus kontan/spot (taqabudh fi’li) atau yang dikategorikan spot
(taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku sebagaimana yang
dikemukakan Ibnu Qudamah21
Kriteria ‘tunai’ atau ‘kontan’ dalam jual beli valuta dikembalikan kepada
kelaziman dan mekanisme pasar yang berlaku saat itu meskipun hal itu melewati
beberapa jam penyelesaian (settlement-nya) karena proses teknis transaksi. Harga atas
pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli
atau harga pasar (market rate). Nabi bersabda: “Perjualbelikanlah emas dengan perak
kalian asalkan secara kontan” dan dalam hadits Ibnu Umar Rasulullah memberikan
penjelasan bahwa ketentuan kontan tersebut fleksibel selama dalam toleransi waktu
yang lazim, tidak menimbulkan persoalan dan tetap dalam harga yang sama pada hari
transaksi (bisi’ri yaumiha). Sebagaimana hadis riwayat Abu dawud dari Ibnu ‘Umar,
beliau berkata saya menjual ibil (hitam) dengan baqi’i (belang), saya menjual dengan
beberapa dinar dan saya mengambil beberapa dirham, dan demikian pula sebaliknya,
saya mengambil ini dari ini dan saya memberikan ini dari ini, kemudian saya menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama yang sedang berada di rumah Hafshah ra. kemudian
saya bertanya ‘wahai Rasulallah saya menjual ibil dengan baqi’i, saya menjual beberapa
dinar dan mengambil beberapa dirham, saya menjual beberapa dirham dan mengambiul
beberapa dinar, saya mengambil ini dari ini dan memberikan ini dari ini ?’, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallama menjawab
ِ ِ
ْ َﻣﺎ ﻟ،ْﺧ َﺬ َﻫﺎ ﺑِﺴ ْﻌ ِﺮ ﻳَـ ْﻮﻣ َﻬﺎ
ٌَﻢ ﺗَـ ْﻔﺘَ ِﺮﻗَﺎ َوﺑَـ ْﻴـﻨَ ُﻜ َﻤﺎ َﺷ ْﻲء ُ ْس أَ ْن ﺗَﺄ
َ َﻻ ﺑَﺄ
Artinya “tidak mengapa engkau mengambilnya dengan penentuan harga hari (itu
juga), sebelum keduanya berpisah dan diantara kamu berdua ada sesuatu”22
20
Ibnu Mundzir, Al-Ijma’ halaman 58
21
Ibnu Qadamah, Al-Mughni, Juz IV halaman 41
22
Ibnu Qadamah, ibid, Juz IV halaman 38.
11
23
Dr. Al-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh:112, Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal Al-
Mashrafiyah, 372, Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah
24
Lihat, International Journal of Islamic Financial Services, I:1,1999 dan Kumpulan Fatwa
Dewan Syariah Nasional-MUI; 2002
12
pada saat tertentu dengan harga jual atau beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa
transaksi. Contohnya dengan margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli harus
menyerahkan dana US$100.000. Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur
dalam ketentuan BI dengan minimal cash margin 10%. Dalam sehari dealer maupun
bank dapat melakukan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran
dan perhitungan untung-ruginya dilakukan secara netto saja. Jadi, jual beli valas yang
dilakukan bukan untuk memilikinya, melainkan semata-mata menjadikannya sebagai
komoditas untuk spekulasi. Jual beli valuta seperti ini dilarang dalam hukum Islam,
karena bentuk perdagangan ini bukan perdagangan pada sektor riil dan termasuk
perdagangan yang mengandung unsur praktek spekulasi.
Kedua, transaksi futures yaitu transaksi valas dengan perbedaan nilai antara
pembelian dan penjualan future yang tertuang dalam future contracts secara simultan
untuk dikirim dalam waktu yang berbeda. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1
Januari 2008. A akan menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per US$ pada 30 Juni
2008, tidak peduli berapa kurs di pasar saat itu. Di satu sisi transaksi ini dapat
dipandang sebagai spekulasi, paling tidak berunsur maysir, meskipun di sisi lain para
pelaku bisnis pada beberapa kasus menggunakannya sebagai mekanisme hedging
(melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). Ulama kontemporer
menolak transaksi ini karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yaitu ada uang ada
barang (dalam hal ini ada rupiah ada dollar). Oleh karena itu, transaksi futures tidak
dapat dianggap sebagai transaksi jual beli, tetapi dapat ditransfer kepada pihak lain.
Alasan kedua penolakannya adalah hampir semua transaksi futures tidak dimaksudkan
untuk memilikinya, hanya nettonya saja sebagaimana transaksi margin trading.
Ketiga, transaksi option (currency option) yaitu perjanjian yang memberikan hak
opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual beli valuta asing,
tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang
ditentukan dalam kontrak, dengan kurs yang terjadi pada saat realisasi tersebut.
Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A memberikan hak kepada B
untuk membeli dollar AS dengan kurs Rp 9.350 per dolar pada tanggal atau sebelum 30
Juni 2008, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah uang
untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa ada kewajiban pada pihak B. Transaksi ini
disebut call option. Sebaliknya, bila A memberikan hak kepada B untuk menjualnya
disebut put option. Ulama kontemporer memandang hal ini sebagai janji untuk
melakukan sesuatu (menjual atau membeli) pada kurs tertentu, dan ini tidak dilarang
syariah. Namun jelas saja transaksi ini bukan transaksi jual beli melainkan sekadar
wa’ad (janji). Yang menjadi persoalan secara fiqih adalah adanya sejumlah uang
sebagai kompensasi untuk melakukan janji tersebut atau untuk memiliki khiyar (opsi)
jual maupun beli. Transaksi option dapat menjadi lebih rumit. Misalnya A dan B
membuat kontrak pada 1 Januari 2008. Perjanjiannya A menjual US$ 1 juta dengan kurs
Rp 9.350 per dolar kepada B. Transaksi ini lunas. Pada saat yang sama A juga
memberikan hak kepada B untuk menjual kembali US 1 juta pada tanggal atau sebelum
30 juni 2008 dengan kurs Rp 9.500 per dolar. Hal ini akan gugur dengan sendirinya bila
13
kurs melebihi Rp 9.500 per dolar, itu pun bila syarat berikutnya terpenuhi. Transaksi
bentuk ini menurut fatwa MUI25 hukumnya haram, karena di dalamnya mengandung
unsur maysir atau spekulasi, selain itu sebagaimana di jelaskan di atas dalam pandangan
Syari’ah transaksi jual beli valuta tidak boleh mengandun unsur khiyar syarath.
Keempat, adalah transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar
suatu mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati dalam
rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa mendatang. Singkatnya,
transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan penjualan secara bersamaan
sejumlah tertentu mata uang dengan dua tanggal penyerahan yang berbeda. Pembelian
dan penjualan mata uang tersebut dilakukan oleh bank yang sama dan biasanya dengan
cara “spot terhadap forward” Artinya satu bank membeli tunai (spot) sementara
mitranya membeli secara berjangka (forward). Salah satu contoh transaksi swaps adalah
bila bank A dan bank B membuat kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar
pada kurs Rp 9.500 per dolar pada 1 Januari 2008. B menempatkan US$ 1 juta. A
menempatkan Rp 9,5 miliar, terlepas dari kurs pasar saat itu. Ulama kontemporer juga
menolak transaksi ini karena kedua transaksi itu terkait (adanya semacam ta’alluq) dan
merupakan satu kesatuan sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI.
Sebab, bila yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan lagi transaksi
swaps dalam pengertian konvensional.
25
Lihat Fatwa MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002.
14
Adapun jenis transaksi forward pada perdagangan valas yang sering disebut
transaksi berjangka pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu
dengan sejumlah mata uang tertentu lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan
datang dan kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan
penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Jenis transaksi ini hukum
fiqihnya dapat dirumuskan bahwa bila transaksi forward valas dilakukan dalam rangka
kebutuhan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi), gharar
(uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi seperti digunakan
untuk tujuan hedging (lindung nilai) yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk
mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs yang timbul karena adanya
transaksi ekspor-impor atau untuk mendukung kegiatan trade finance. Di samping itu,
transaksi berjangka inipun hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang mampu dan dapat
menjamin penyediaan valuta asing yang dipertukarkan maka bila tindakan tersebut
dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama untuk sama-sama melakukan
pertukaran di masa mendatang dengan kurs (nilai tukar) pasti pada saat kontrak dan
sebenarnya transaksinya secara efektif dalam perspektif fiqih tetap bersifat tunai pada
waktu jatuh tempo maka hal itu tidak menjadi masalah selama tidak ada ta’alluq dan
hanya bersifat janji (wa’ad) tanpa disertai adanya komitmen kompensasi karena terdapat
maslahat bagi kedua belah pihak dan tidak ada dalil satupun yang melarang hal itu. Hal
ini sejalan dengan pendapat Imam Al-Syafi’i26 dan Ibnu Hazm27 Menurut Ulama yang
lain transaksi semacam ini dilarang karena di dalamanya terkandung unsur bay’u al-
dayin bi dayin28 atau disebut dengan bay’u al-kala’i. Sebagaaimana hadis :
ُ َرَوا. « ﻳَـ ْﻌﻨِﻲ اﻟﺪﱠﻳْ َﻦ ﺑِﺎﻟﺪﱠﻳْ ِﻦ،ِ ﻧَـ َﻬﻰ َﻋ ْﻦ ﺑَـ ْﻴ ِﻊ اﻟْ َﻜﺎﻟِ ِﺊ ﺑِﺎﻟْ َﻜﺎﻟِﺊ- ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ
َ - َو َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ »أَ ﱠن اﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ
ٍ ِﺿﻌ
.ﻴﻒ َ ﺎدٍ َإِﺳﺤﺎ ُق واﻟْﺒـ ﱠﺰار ﺑِِﺈﺳﻨ
ْ ُ َ َ َْ
Artinya “Hadis dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama
melarang bentuk jual beli al-kali dengan al-kali, yaitu jual beli hutang dengan hutang.
Hadis diriwayatkan Ishaq dan Al-Bazar, akan tetapi isnadnya dla’if.29
KESIMPULAN
Tukar menukar barang dengan barang, atau mata uang dengan mata uang yang
sama nilai kualitas, kuantitasnya harus sama, serta dilakukan secara tunai, misalnya
emas yang kualitasnya 19 karat dengan kuantitas berat 50 gram tidak boleh ditukarkan
dengan emas yang kualitasnya 24 karat dengan kuantitas 50 gram, demikian pula
dengan mata uang, dan apabila jenisnya berbeda dari segi nilai kualitas, boleh dilakukan
26
Iman al-Syafi’iy, Al-Umm Juz III halaman 32
27
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz VIII halaman 513
28
Lihat Wahbah Al-Zuhaily.
29
Lihat Subul Al-Salam, Juz II halaman 61.
15
dengan kuantitas yang berbeda dengan syarat dilakukan secara tunai. Sebab apabila
dilakukan tidak secara tunai kedua jenis mata uang tersebut sangat mungkin nilai
tukarnya akan berubah sewaktu-waktu, sehingga akan merugikan pihak lain. Kebolehan
menjual belikan mata uang bukan untuk spekualisi, melainkan untuk menunjang bisnis
dalam sektor real, terutama untuk kebutuhan bisnis ekspor impor.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Dr. Al-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh, Mesir Bairut Dar Ilmiyah 1998
2. Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal Al-Mashrafiyah, Bairut Dar Al-Kutub, 1996
3. Yusif Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah, 1994.
4. Iman al-Syafi’iy, dalam Al-Umm, Bairut Dar Al-Fikr, 1987.
5. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Dar Fikr T.th.
6. Al-Nabhani, Taqiyudin, Al-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam, Bairut: Dar
Ummah, Cet VI, 2004.
7. Dan lain-lain.