Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PEMBAGIAN AIR DAN HUKUMNYA

(Studi Komparasi Empat Madzhab Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Empat
Madzhab (Bidayatul Mujtahid)

Dosen Pengampu: Ustadz Abdul Wafi Muhaimin, MA.

Disusun Oleh:
Zaini Syahir

KONSENTRASI FIQH LINGKUNGAN HIDUP (FIQH AL BI’AH)


MA’HAD ‘ALY PONDOK PESANTREN TERPADU
AL MUSTHAFAWIYAH

Jl. Cikopo Selatan Kp. Coblong Desa Sukakarya Kecamatan Megamendung


Kabupaten Bogor Jawa Barat
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syariat Islam memiliki kandungan seluruh ketentuan yang ada
hubungannya antara manusia dengan Tuhan (vertical relationship) dan antara
manusia dengan sesama makhluk (horizontal relationship). Diantara hubungan
manusia dengan Tuhan adalah hubungan ibadah, artinya ibadah adalah menjadi
sebab hikmah diciptakannya makhluk. Firman Allah:
‫وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Salah satu ibadah yang menjadi rukun Islam kedua adalah salat lima
waktu. Di dalam melaksanakan salat, seorang mukallaf dituntut melaksanakan
syarat-syaratnya terlebih dahulu. Adapun salah satu syarat shalat adalah
thaharah (bersuci). Thaharah (bersuci) baik dari hadats ataupun najis menjadi
syarat yang pertama sebelum melaksanakan ibadah salat.1 Dalam kebanyakan
kitab-kitab fiqh-pun yang menjadi bahasan awal adalah tentang thaharah.2 Di
dalamnya membahas tentang wudhu dan lain-lain yang berkaitan dengan
thaharah. Di dalam kitab-kitab fiqh-pun ketika membahas tentang wudhu,
pertama kali yang di bahas adalah mengenai air.3
Alquran sendiri menyebut istilah (‫ )ماء‬dalam bentuk nakiroh (indefinite)
sebanyak 42 kali, dan (‫ (الماء‬dalam bentuk ma’rifat (definite) sebanyak 17 kali.4
Hal ini mengisyaratkan bahwa air, menurut Alquran merupakan sumber

1
Zainuddin al Malibari, Fathul Muin Bi Syarh Qurrat al 'Ain Bi Muhimmat al Diin (Beirut: Dar Ibn
Hazm, 2004), h. 40
2
Muhammad bin Qasim al Ghazzi, Fath al Qarib al Mujib, (Surabaya: al Haramain, t.t), h. 3., Misal
juga Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiyah, 2013), h. 14.
3
Muhammad bin Qasim al Ghazzi, Fath al Qarib al Mujib, h. 3., Zainuddin al Malibari, Fathul
Muin Bi Syarh Qurrat al 'Ain Bi Muhimmat al Diin, h. 40. Mengecualikan dalam Bidayatul
Mujtahid, Ibn Rusyd membahas mengenai air pada bab ke dua. Lihat Muhammad bin Ahmad bin
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 28.
4
'Alami Zadah Faidhullah al Hasani, Fath al Rahman Lithalibi Ayat Alquran, (Beirut: Dar al Kutub
al Ilmiyah, 2012), h. 690-691.)
kekayaan alam yang sangat penting, berharga, dan memiliki daya guna serta
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, binatang, dan tumbuhan.
Dalam penjelasan eksistensi air, Alquran menggunakan beberapa kata
kunci yang bisa menjadi petunjuk tentang proses terjadinya air, daya guna air,
dan manfaat air bagi kehidupan manusia, yaitu:
Pertama, Alquran menggunakan kata kunci “‫ ”أنزل‬yang berarti
‘menurunkan’, dan kata ini diulang hampir sebanyak
penyebutan istilah ‫ الماء‬atau air dalam Alquran.5 Selain
menggunakan kata "‫ " أنزل‬Allah juga menggunakan kata
yang dekat maknanya dengan menurunkan, yaitu kata
“‫ ”صب‬yang berarti mencurahkan (air dari langit).6
Subjek yang menjadi pelaku kata menurunkan ini adalah
Allah yang diungkapkan dalam bentuk kata ganti Kami
atau Dia.
Kedua, Alquran menggunakan kata kunci asqa yang berarti
menyiram atau member minum. Sementara itu, yang
menjadi subjek kata asqa ini adalah Allah atau kata ganti
seperti Dia dan Kami (Allah). kata kerja asqa yang
berarti menyiram dan member minum mengandung dua
pengertian: Pertama, dengan air yang diturunkan dari
langit Allah menyiram tetumbuhan agar tumbuh subur.
Kedua, dengan air Allah member minum manusia dan
hewan sehingga keduanya mendapat kesempatan untuk
menjaga kelangsungan hidup dan mengembangkan
kualitas hidupnya.
Ketiga, Alquran menggunakan kata kunci ahya yang berarti
menghidupkan. Maksudnya bahwa tujuan Allah
menurunkan air dari langit ke bumi hingga sebagian air
tersebut tersimpan dalam perut atau permukaan bumi,

5
Contoh dalam QS. Al Baqarah: 164:
....‫وما أنزل هللا من السماء من ماء فأحيا به األرض بعد موتها‬.....
6
Contoh dalam QS. ‘Abasa: 25:
..‫وصببنا الماء صبا‬
bukan hanya untuk member minum manusia dan hewan,
serta menyiram tumbuhan, akan tetapi secara makro
untuk menghidupkan bumi agar bumi menghasilkan
manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia.
Dari beberapa singgungan Alquran mengenai air di atas kita dapat
mengetahui bersama bahwa air merupakan salah satu unsur yang sangat vital
dalam kehidupan, karena tanpa air kelangsungan hidup tidak akan dapat
bertahan. Kebutuhan air bersih merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan
manusia. Bagi seorang Muslim, air bersih atau air yang suci dan mensucikan itu
bukan hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga untuk wudlu dan mandi
junub. Musim kemarau adalah dampak terparah manusia membutuhkan air.
Dimusim kemarau terjadi kekeringan sehingga tanah-tanah menjai tandus, swah,
kebun, dan lading tidak bias ditanami. Para petani dan buruh tani mengalami
krisis ekonomi karena tanah mereka tidak berproduksi, sementara itu dimusim
hujan terjadi banjir yang menenggelamkan rumah, jalan, jembatan serta hasil
pertanian.
Disamping itu kajian fiqh khususnya mengenai bab air disampaikan
hanya sebatas formalitas dan amal ibadah rutinitas saja. Berangkat dari sini
penulis berharap masyarakat muslim pada umumnya setelah mengetahui
pembagian air berikut hukum-hukumnya yang dikomparasikan dari berbagai
madzhab mengerti dan paham betapa pentingnya menjaga air mutlak dan bersih.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, ada beberapa masalah yang akan
penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Air dan Pembagiannya
2. Kesepakatan Ulama Terkait Hukum Air
3. Perbedaan-Perbedaan Ulama Terkait Jenis Air dan Hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesepakatan Ulama Terkait Hukum Air
Salah satu tujuan Allah menciptakan air adalah untuk bersuci dari najis
dan hadats. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
.....‫وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به‬...
Artinya: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan
kamu dengan hujan itu.” (QS. Al Anfal: 11)
Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan riwayat mengenai ayat tersebut, yaitu
dari Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi turun pada
saat beliau berjalan menuju Badar, sementara orang-orang musyrik ada di
hadapan mereka dan antara mereka dengan mereka ada gundukan pasir, kaum
muslimin sangat kelelahan dan syaitan telah memasukkan rasa marah ke dalam
hati mereka, syaitan berbisik: “Kalian mengaku bahwa kalian adalah para
kekasih Allah, di tengah-tengah kalian ada Rasul-Nya, tetapi orang-orang
musyrik telah mengalahkan kalian dalam menguasai air dan kalian shalat dalam
keadaan junub.” Maka Allah menurunkan hujan deras kepada mereka, lalu kaum
muslimin bisa minum dan bersuci.7
Selain ayat tersebut, ada juga ayat yang berkenaan dengan perintah
tayammum ketika tidak menemukan air untuk bersuci dari hadats, firman Allah
SWT:
...‫ فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم‬....
Artinya: "... sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu)
itu.” (QS. An Nisa’: 43).
Begitu juga ayat:
‫ وأنزلنا من السماء ماء طهورا‬,‫وهو الذي أرسل الرياح بشرا بين يدي رحمته‬
Artinya: “Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari
langit air yang sangat bersih.” (QS. Al-Furqan: 48)

7
Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibn Katsir, vol. II (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2012), h.
266-267.
Kata “‫ ”طهورا‬pada ayat di atas berarti suci pada dirinya sendiri dan
menyucikan yang lain.8
Kemudian ditinjau dari sah dan tidaknya penggunaan air dalam bersuci,
Ulama mengklasifikasi air pada 3 bagian, yaitu:
1. Thahur (air suci mensucikan)
2. Thahir (air suci tidak mensucikan)
3. Mutanajjis9
Dari pembagian air inilah yang nantinya lahir hukum-hukum seputar air
dan penggunaannya yang menjadi kesepakatan (ittifaq) dan perbedaan (ikhtilaf)
diantara ulama.
Adapun yang menjadi kesepakatan (ittifaq) ulama mengenai air dan
hukumnya seperti berikut:10
1. “Semua ulama telah sepakat bahwa semua macam air adalah suci
dan mensucikan11 kecuali air laut menurut pendapat syadz yang
menentangnya pada kurun pertama, padahal pendapat mereka
terbantahkan dengan penamaan air mutlak yang mencakupnya,
demikian pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik,
Rasulullah bersabda tentang air laut:
‫هو الطهور ماؤه الحل ميتته‬
Artinya: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”12

8
Ahmad bin Muhammad as Showi, Hasyiyah as Showi ‘ala Tafsir Jalalain, vol. III (Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiyah, 2016), h. 71.
9
Abdurrahman al Jaziri, Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah, vol. I (Beirut: Dar al Fikr, t.t),
h. 28.)
10
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 28-29
11
Muhammad bin Ibrahim bin Al Mundzir, Al Ijma', (UEA: Maktabah al Furqan dan Ats Tsaqafiyah,
1999), h. 32. Lihat juga Al Ausath, vol. I, h. 246, 249
12
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal, vol. III (Beirut: Dar al
Fikr, t.t), nomor hadits: 7.237. Lihat juga Muhammad bin Isa, Sunan at Tirmidzi, vol. I (Beirut:
Dar al Fikr, 2001), nomor hadits: 69. h. 130. Redaksi hadits:

‫ ونحمل معنا القلي َل‬،‫ إنا نركب البحر‬,‫ يا رسول هللا‬:‫سأل رجل رسو َل هللا فقال‬: ‫أن المغيرة ابن أبي بردة سمع أبا هريرة يقول‬....
.‫ هو الطهور ماؤه الحل ميتته‬:‫ أفنتوضأ بماء البحر؟ فقال رسول هللا‬,‫ فإن توضأنا به عطشنا‬,‫من الماء‬

Semuanya dari riwayat Abu Hurairah. Di antara yang menilai shahih hadits ini adalah Imam al
Bukhari (dalam Tarikh al Kabirnya), Imam at Tirmidzi mengomentari status hadits ini dengan
“hasan shahih”, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Ibnu Hibban, al-‘Uqaili, Ibnul Mundzir, ath-
Thahawi, Ibnu Hazm, Ibnu Mundih, ad-Daruquthni, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnul ‘Arabi, an-
Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar, demikian pula hadits ini dinilai shahih
oleh Ahmad Syakir dan al-Albani. Lihat Abdullah bin Yusuf Az Zaila’i, Nashbur Rayah Li Ahadits
Walaupun hadits ini diperdebatkan keshahihannya akan tetapi
zhahir syara‘ justru mendukungnya.”
2. “Demikian pula ulama sepakat bahwa unsur yang bisa merubah
sifat air walaupun biasanya tidak bisa terpisah,13 mereka bersepakat
bahwa unsur tersebut tidak bisa menghilangkan sifat kesucian, dan
tetap mensucikan kecuali pendapat yang syadz tentang air Ajin14
dari Ibnu Sirin,15 pendapat ini pun dibantah dengan penamaan air
mutlaq yang mencakupnya.”
3. “Kemudian ulama juga sepakat bahwa air yang rasa, warna dan
baunya berubah karena najis tidak bisa digunakan untuk berwudhu
atau bersuci, begitupun jika yang berubahnya lebih dari satu sifat
yang disebutkan tadi.”16
4. “Ulama bersepakat bahwa air yang sangat banyak tidak menjadikan
mutanajjis sebab kejatuhan najis selama salah satu sifat (rasa, warna
dan bau) tidak berubah. Oleh karenanya air ini tetap dihukumi
suci.”17
“Inilah berbagai hal yang disepakati, lalu mereka berbeda pendapat
dalam enam masalah yang berlaku sesuai dengan kaidah dan ushul.”18
B. Perbedaan Ulama Mengenai Macam Air Dan Hukumnya
Setelah mengetahui apa-apa yang telah menjadi kesepakatan para
ulama mengenai macam-macam air dan hukumnya, maka selanjutnya Ibn Rusyd
dalam Bidayatul Mujtahid memaparkan beberapa hal yang menjadi perbedaan
diantara ulama dalam enam masalah.

al Hidayah, vol. I (Beirut: Muassasah Ar Royan, tt), h. 95 dan Ahmad bin Hajar Al ‘Asqalani,
Talkhishul Habir fii Takhriji Ahadits ar Rafi’i al Kabir, vol. I (Kairo: Dar al Misykat, tt), h. 9.
13
Seperti lumut misalnya. Lihat Wahbah az Zuhaily, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, vol. I (Beirut:
Dar al Fikr, 1985), h. 117.
14
Air yang berubah sifatnya karena terlalu lama tergenang. Lihat Ibn Qudamah, Al Mughni, vol. I
(Kairo: Dar al Hadits, 2002), h. 23.
15
Abu Bakr Muhammad bin Sirin al Bashri lahir 33 H/653-4 M, meninggal 110 H/729 M. Beliau
adalah seorang bekas budak yang ahli fiqh dan perawi hadits. Lihat Muhammad bin Ibrahim bin
Al Mundzir, Al Ijma’, h. 33.
16
Karena air dalam jenis ini termasuk air najis. Lihat Muhammad bin Ibrahim bin Al Mundzir Al
Ijma’, h. 33
17
Muhammad bin Ibrahim bin Al Mundzir Al Ijma’, h. 33.
18
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 29
C. Masalah Pertama: Air Yang Terkena Najis Tetapi Tidak Berubah Salah
Satu Sifatnya Baik Rasa, Warna Dan Bau.
Para ulama berbeda pendapat tentang air yang telah tercampur dengan
najis akan tetapi salah satu sifatnya tidak berubah:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa air tersebut tetap suci baik air
itu sedikit ataupun banyak, ini adalah salah satu riwayat Malik, dan
pendapat inilah yang dipegang oleh ahli zhahir.19
2. Sebagian ulama yang lain membedakan antara air banyak dan
sedikit, mereka berpendapat jika airnya sedikit maka air itu menjadi
najis, dan jika air itu banyak maka air itu tidak menjadi najis.20
“Merekapun berbeda pendapat mengenai batasan banyak dan
sedikitnya air:

19
Jika yang dijadikan istidlal adalah keumuman air dalam hadits:

‫إن الماء ال ينجسه شيئ إال ما غلب على ريحه وطعمه ولونه‬

Yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunannya jilid I halaman 174, hadits ini dinilai dhaif oleh
sekelompok ahli hadits. Sebab ada rawi yang bernama Risydin bin Sa’d yang dinilai ulama jarh
wat ta'dil sebagai matruk al hadits. Oleh karenanya Imam Malik berpendapat bahwa alif lam ( ‫ال‬
) pada lafadz ‫ الماء‬berfaidah lil ‘ahdi, karenanya konteks air pada hadits di atas adalah khusus yaitu
tentang air sumur Budho’ah yang notabene banyak (lebih dari dua qullah). Lihat Ali bin Sulthan
Muhammad al Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, vol. II (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah, 2001), h. 166. Hal ini diperkuat dengan hadits yang dishahihkan oleh Imam Ahmad, Al
Hakim, Yahya bin Main dan dihasankan oleh at Tirmidzi:

‫عن أبي سعيد الخدري قال قيل يا رسول هللا أتتوضأ من بئر بضاعة وهي بئر يلقى فيها الحيض ولحوم الكلب والنتن فقال رسول هللا‬
‫إن الماء طهور ال ينجسه شيئ‬

Lihat Muhammad Abdurrahman al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi, vol. I
(Beirut: Dar al Fikr, 2000) nomor hadits: 66.
20
Menurut madzhab as Syafi‘i dan riwayat yang terkenal dari Ahmad adalah bahwa air yang kurang
dari dua qullah menjadi najis bila terkena najis, baik air tersebut berubah atau tidak berubah. Jika
air banyak (lebih dari dua qullah), maka yang menjadi illat adalah taghayyurnya (berubahnya).
Berbeda dengan mayoritas, sebagian ashhab Syafi'iyah menganggap air sedikit meskipun
kejatuhan najis, selama tidak merubah salah satu sifat air maka ia tidak dihukumi mutanajjis jika
ada masyaqqat. Lihat Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, vol. I (Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiyah, 2006), h. 170. Sedangkan menurut Imam Malik dan riwayat kedua dari
Imam Ahmad, yang jadi acuan berubah adalah sedikit atau banyaknya air. Sedangkan menurut
madzhab Abu Hanifah, apabila air terkena najis maka tidak boleh berwudhu’ dengannya baik
airnya sedikit maupun banyak, kecuali bila air tersebut mencapai kadar yang menurut dugaan besar
najis tidak sampai kepadanya. Batasan tersebut adalah bila salah satu dari kedua tepinya
digerakkan tepi yang lainnya tidak bergerak. Lihat Ibn Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 45-46. Lihat
juga Muhammad bin Abdirrahman, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Ummah, (t.tp: Maktabah at
Taufiqiyah, t.t), h. 16.)
a. “Imam Abu Hanifah memberikan batasan bahwa yang disebut
air banyak adalah jika air itu berada dalam satu wadah (kolam)
lalu salah seorang menggerakkan21 salah satu tepinya maka
gerakan tersebut tidak akan sampai ke tepi yang lainnya.”22
b. “Imam Syafi‘i berpendapat bahwa batasan banyak adalah dua
qullah dengan ukuran qullah Hajar, tepatnya sama dengan lima
ratus rithl (pon).”
Ada dua cara dalam mengetahui apakah air sudah mencapai dua
qullah atau belum, yaitu:
Pertama : Dengan melihat pada ukuran wadah air. Perinciannya
sebagai berikut:
1. Apabila wadah yang digunakan berbentuk persegi
empat, maka panjang, lebar dan kedalaman wadah
tersebut adalah 1 ¼ Dziro’23. Apabila wadah yang
digunakan adalah wadah berbentuk persegi tiga, maka
panjang ketiga sisinya adalah 2 ½ dziro’ dan
kedalamannya adalah 2 dziro’.
2. Apabila wadah yang digunakan berbentuk lingkaran
maka lebarnya adalah 1 Dziro’ dan dalamnya 2 ½ Dziro’.
Kedua : melihat pada isinya, yaitu:
 Menurut Imam Nawawi : -+ 55,9 cm = 174,58 Liter
 Menurut Imam Ar Rofii : -+ 56,1 cm = 176,245 Liter
 Menurut Ulama Iraq : -+ 63,4 cm = 255,325 Liter
 Mayoritas Ulama : -+ 60 cm = 216 Liter

21
Ashhab Hanafi berbeda pendapat mengenai lafadz " ‫" تحريك‬, menurut Abu Yusuf, jika seorang
mandi di tepi ujung, sedang tepi ujung yang lain airnya tidak bergerak. Sedangkan menurut
Muhammad, lafadz ‫ تحريك‬adalah dengan berwudhu. Menurut pendapat lain digerakkan dengan
tangan. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, tahqiq, takhrij dan ta'liq Abdullah bin
Ibrahim az Zahim, (Riyadh: Dar Ibn al Jauzi, 2010), h. 152-153.
22
Dalam satu pendapat mengatakan yang dimaksud air banyak dalam ukuran adalah bila mencapai
10 dzira’ x 10 dzira’. Sedangkan jika kurang dari itu maka dihukumi air sedikit. Lihat Wahbah az
Zuhaily, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, h. 127.
23
1 dzira’ adalah 48 cm. Lihat Wuzarah al Auqaf al Kuwaitiyyah, Mausu’ah al Fiqhiyyah, vol.
XXXVIII (Kuwait: Dar al Safwat, 1998), h. 317. Lihat juga Muhammad bin Ahmad as Syirbini,
Mughni al Muhtaj ila Ma'rifati Ma'ani Alfadz al Minhaj, vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
2002), h. 266.
 Menurut versi keterangan dalam kitab Fathul Qodir
karya KH. M. Ma’shum Ali (Krapyak, Yogyakarta)
adalah 174,58 liter
 Menurut keterangan dalam kitab Ghoyatul Muna
Syarah Safinatun Naja karya Syaikh Muhammad bin
Ali Ba ‘Athiyyah 216 liter
 Menurut keterangan dalam kitab At Taqrirot As
Sadidah adalah 217 liter.
 Menurut keterangan dalam kitab Al Fiqhul Islami
Wa Adillatuh karya Syaikh Dr. Wahabah Az-
Zuhaily, adalah 270 liter.24
c. Ulama lainnya tidak memberikan batasan, akan tetapi mereka
berkata: “Bahwa najis dapat merusak air yang sedikit walaupun
salah satu sifatnya tidak berubah”, pendapat ini diriwayatkan
dari Imam Malik.25
d. Diriwayatkan pula bahwa kondisi air seperti ini26 adalah
dihukumi makruh.27
“Jadi pendapat Imam Malik tentang air yang terkena sedikit najis bisa
diringkas menjadi tiga pendapat:
Pertama, bahwa najis dapat merusak air.

24
Lihat Muhammad bin Ali Ba ‘Athiyah, Ghayatul Muna Syarh Safinatun Naja, (Amman: Dar al
Fath, 2004), h. 161., Hasan bin Ahmad al Kaff, At Taqrirat as Sadidah fi al Masail al Mufiidah,
vol. I (Surabaya: Dar al Ulum al Islamiyah, 2004), h. 62., Wahbah az Zuhaily, Al Fiqh al Islami
wa Adillatuhu, vol. I, h. 122, Ahmad bin Hajar al Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, vol.
I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011), h. 42.
25
Ini adalah pendapat ashhab Malik di Mesir, diantaranya Ibn al Qasim, Asyhab, Ibn Abdul Hakam.
Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, tahqiq, takhrij dan ta'liq Abdullah bin Ibrahim
az Zahim, h. 153.
26
air sedikit terkena najis sedikit yang tidak sampai merubah sifat air, namun hukum kemakruhan
yang dimaksud adalah hanya pada penggunaan ketika menghilangkan hadats atau najis saja, bukan
ketika digunakan pada selainnya. Lihat Wahbah az Zuhaily, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, vol.
I, h. 127-128.
27
Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, tahqiq, takhrij dan ta'liq Abdullah bin Ibrahim az Zahim, h. 154. Ibn Rusyd
menjelaskan batasan makruh adalah jika jiwa merasakannya jijik, artinya segala air yang dianggap
jijik saat diminum tentu tidak layak digunakan untuk beribadah kepada Allah, dan jika badan
merasa jijik menyentuhnya maka jiwa pun akan menjauhinya. Lihat Muhammad bin Ahmad bin
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 31.
Kedua, tidak merusaknya selama tidak merubah salah satu sifat air.
Ketiga, air tersebut adalah makruh.”28
C.I. Sebab-Sebab Perbedaan Ulama Dalam Masalah Pertama
“Sebab perbedaan pendapat adalah karena adanya kontradiksi
antara beberapa hadits yang menjelaskannya:
Pertama: hadits dari Abu Hurairah yang terdahulu, yaitu:
29
.......‫إذا استيقظ أحدكم من نومه‬
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya……”30
Demikian pula hadits Abu Hurairah yang shahih dari Nabi SAW,
beliau bersabda:
31
.‫ال يبولن أحدكم في الماء الدائم ثم يغتسل فيه‬
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian buang air kecil pada
air yang tergenang, kemudian dia mandi dengannya.”32
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Anas yang berbunyi:
‫ فلما فرغ أمر رسول‬,‫ فقال رسول هللا دعوه‬,‫ فصاح به الناس‬,‫أن أعرابيا قام إلى ناحية في المسجد فبال فيها‬
33
‫هللا بذنوب فصب على بوله‬

28
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 31.
29
Teks hadits secara lengkapnya:
‫ فإن أحدكم ال يدري أين باتت يده‬,‫إذا اس تيقظ أحدكم من نومه فليغسل يده قبل أن يدخلها اإلناء‬
HR. Al Bukhari, Shahih al Bukhari, vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1992), nomor hadits:
162, h. 263., Muslim, Shahih Muslim, vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2003), nomor hadits:
88, 278, h. 233., dll.)
30
Dari hadits ini dipahami bahwa sedikitnya najis bisa menjadikan air yang sedikit menjadi najis.
Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 29.)

31
HR. Al Bukhari, Shahih al Bukhari, vol. I, nomor hadits: 239, h. 346., Muslim, Shahih Muslim,
vol. III, nomor hadits: 95, 282, h. 187., At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, vol. I, nomor hadits: 68,
h. 129., An Nasai, Al Mujtaba Syarh Sunan an Nasai, vol. I (Beirut: Dar al Fikr, 1999), nomor
hadits: 58, h. 68.
32
Zhahir haditsnya dapat dipahami bahwa sedikitnya najis pada air yang sedikit bisa menjadikan air
itu najis. Demikian pula riwayat yang menjelaskan larangan mandi bagi orang yang junub dengan
air yang tergenang. Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, h. 29.
33
HR. Al Bukhari, Shahih al Bukhari, vol. I, nomor hadits: 221, 219, 6025, h. 324. Muslim, Shahih
Muslim, vol. I, nomor hadits: 99, 284, h. 236.
Artinya: “Sesungguhnya seorang Badui berdiri menuju pojok masjid lalu
ia buang air kecil di sana, orang-orang pun meneriakinya, kemudian
Rasulullah SAW bersabda: “Biarkanlah dia,” setelah selesai Rasulullah
SAW memerintahkan untuk mengambil satu ember air lalu disiramkan ke
(tempat) yang ada air seninya.”34
Demikian pula hadits Abu Sa‘id al-Khudri yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud:
‫عن أبي سعيد الخدري قال قيل يا رسول هللا أتتوضأ من بئر بضاعة وهي بئر يلقى فيها الحيض ولحوم الكلب‬
35
‫والنتن فقال رسول هللا إن الماء طهور ال ينجسه شيئ‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Said al Khudri, beliau berkata: ada
seorang yang bertanya: "Ya Rasulallah, apakah engkau berwudhu dari
sumur Budha‘ah, yaitu sebuah sumur pembuangan daging anjing, darah
haidh, dan kotoran manusia, lalu Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya air
itu tidak menjadi najis oleh sesuatu apa pun”.36
C.II. Thariqatul Jam'i (Jalan Pengkompromian Beberapa Hadits Yang
Kontradiktif)
“Para ulama berusaha mengkompromikan beberapa hadits ini, akan
tetapi mereka berbeda pendapat dalam cara pengkompromiannya, sehingga
timbullah beberapa pendapat:37

34
Zhahir dari hadits ini menunjukkan bahwa sedikitnya najis tidak membuat air yang sedikit menjadi
najis, karena maklum adanya bahwa tempat tersebut bisa suci dengan air satu ember. Lihat
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 30.
35
Ini adalah redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, vol. I
(Riyadh: Bait al Afkar ad Dauliyah, t.t), nomor hadits: 66, h. 32., At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi,
vol. I, nomor hadits: 66, hal. 128., sedangkan an Nasai, Sunan anNasai, vol. I, nomor hadits: 324,
h. 204. Sedangkan di dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibn Rusyd memakai redaksi riwayat Abu
Dawud nomor hadits 67:
‫ فقال النبي عليه‬,‫ والمحائض وعذرة الناس‬,‫ وهي بئر فيها لحوم الكالب‬,‫ إنه يستقي من بئر بضاعة‬:‫سمعت رسول هللا يقال له‬
‫ إن الماء ال ينجسه شيئ‬: ‫الصالة والسالم‬
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan menambahkan redaksi ‫ لك‬setelah lafadz
‫يستقي‬, lihat Sunan Abu Dawud, vol. I, nomor hadits: 67, h. 32.
36
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 30.
37
Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 30.
1. Sebagian ulama yang berpegang dengan zhahir hadits Badui dan
hadits Abu Sa‘id al-Khudri, berpendapat bahwa kedua hadits Abu
Hurairah38 menjelaskan dua hal yang tidak bisa dipahami oleh akal,
sehingga mengamalkannya merupakan ibadah, bukan karena air
tersebut menjadi najis.
2. Sementara ulama yang memakruhkan air yang sedikit tercampur
oleh sedikit najis, mengkompromikan berbagai hadits, mereka
memahami dua hadits Abu Hurairah dengan hukum makruh,
sementara hadits Badui dan Abu Sa‘id dipahami secara zhahir
(yakni boleh).39
3. Adapun as Syafi‘i, dan Abu Hanifah mengkompromikan hadits Abu
Hurairah dan hadits Abu Sa‘id dengan pemahaman bahwa yang
dimaksud dalam kedua hadits Abu Hurairah adalah air yang sedikit,
sementara yang dimaksud dalam hadits Abu Sa‘id adalah air yang
banyak. 40
C. III. Tarjih Ibn Rusyd Terhadap Beberapa Pendapat.

38
‫ إذا استيقظ أحدكم من نومه‬dan ‫ال يبولن أحدكم في الماء الدائم‬
39
Ini adalah pendapat masyhur dari madzhab Maliki dalam hal air sedikit ketika terkena najis dan
tidak merubah sifat air.
40
Imam Syafi‘i memahami dengan perbedaan ukuran tersebut berdasarkan sebuah riwayat dari
‘Abdullah bin ‘Umar dari Ayahnya, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dia
berkata:
‫ إن كان الماء قلتين لم يحمب خبثا‬:‫سئل رسول هللا عن الماء وما ينوبه من السباع والدواب؟ فقال‬
Lihat Sunan at Tirmidzi, vol. I, nomor hadits: 67, h. 129. Hadits ini dishahihkan oleh: As Syafi'i,
Ahmad, Abu 'Ubaid, Ishaq, Yahya bin Main, at Thahawi dan lain-lain. Lihat Bidayatul Mujtahid
wa Nihayatul Muqtashid, tahqiq, takhrij dan ta'liq Abdullah bin Ibrahim az Zahim, h. 158, Ibn
Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 41. Adapun Abu Hanifah memahami ukurannya itu dengan
menggunakan qiyas, yaitu bahwa tersebarnya najis dalam air dengan tersebarnya gerakan pada air
tersebut, lalu jika ada dugaan bahwa gerakan tersebut tidak akan tersebar pada seluruh bagian air
maka air tersebut tetap suci. Namun, hal yang aneh menurut penulis adalah jika Imam Abu Hanifah
menganggap hadits "qullataini" tersebut dhaif lalu menggunakan qiyas (seperti yang dikatakan
Ibn Rusyd) maka hal ini -menurut penulis- bertentangan dengan ushul madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa menggunakan hadits dhaif lebih utama dari pada qiyas. Lihat Dzafar Ahmad
al Utsmani, I'laus Sunan, vol. XIX (Beirut: Dar al Fikr, 2004), h. 95-96. Akan tetapi kedua
madzhab ini bertentangan dengan hadits Badui tadi, karena itulah Imam Syafi‘i membedakan
antara mengucurkan air kepada najis dan menimpakan najis ke dalam air, mereka berkata: “Jika
air tersebut dikucurkan kepada najis maka tidak menjadi najis seperti yang dikisahkan dalam hadits
Badui, dan jika najis yang ditimpakan ke dalam air maka air itu menjadi najis, seperti yang
dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah.” Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 30-31.
“Adapun pendapat yang paling utama menurut Ibn Rusyd dari
beberapa madzhab di atas adalah mengkompromikan antara berbagai hadits,
yaitu memahami hadits Abu Hurairah dan yang semakna dengannya dengan
makruh, sementara hadits Abu Sa‘id al-Khudri dan Anas dinilai sebagai
jawaz, karena penafsiran seperti ini bisa menetapkan makna zhahir dari
keduanya41. "Ketika seseorang terus-menurus mengucurkan air ke tempat
atau anggota badan yang terkena najis, secara otomatis air tersebut akan
merubahnya menjadi suci karena air dalam volume yang banyak, terlepas
apakah mengucurkan air yang banyak sekaligus atau sedikit demi sedikit,
artinya mereka berhujjah dengan sesuatu yang telah disepakati dalam
masalah yang diperdebatkan sementara mereka tidak merasakan hal itu,
padahal keduanya sangatlah jelas.”42
D. Masalah Kedua: Air Yang Berubah Sifatnya Sebab Tercampur Dengan
Benda Suci.
“Air yang tercampur za‘faran (kunyit) atau segala macam benda suci
yang biasanya bisa dipisahkan, jika semua itu bisa merubah salah satu sifat
air maka airnya tetap suci menurut mayoritas ulama, akan tetapi:
1. Air tersebut tidak mensucikan menurut Malik, Syafi‘i, dan salah
satu qaul Ahmad yang paling shahih.43
2. Air tersebut dapat mensucikan menurut Abu Hanifah.44 selama
perubahannya bukan dengan dimasak.”45

41
Maksudnya adalah kedua hadits Abu Hurairah bahwa najis memiliki pengaruh terhadap air.
42
Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 31.
43
Tidak ada riwayat dari keduanya yang bertentangan dengan pendapat ini. Adapun madzhab
Ahmad, Ibnu Qudamah berkata: “Ada beberapa riwayat yang berbeda dari Imam kami.
Diriwayatkan dari beliau bahwa Thaharah tidak sah dengan air tersebut. Pendapat ini juga
dinyatakan oleh Malik, as-Syafi‘i dan Ishaq. Al-Qadhi Abu Ya‘la berkata: “Pendapat inilah yang
paling sah. Inilah yang dipilih oleh teman-teman kami saat terjadi perbedaan riwayat.” Ada pula
riwayat dari beberapa pengikut Imam Ahmad yang berasal darinya seperti Abul-Harits, al-
Maimuni dan Ishaq bin Manshur tentang kebolehan berwudhu’ dengan air tersebut. Lihat Ibn
Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 21-22., Muhammad bin Abdurrahman al Utsmani, Rahmatul
Ummah fi Ikhtilaf al Aimmah, h. 15., Yahya bin Syaraf an Nawawi, Al Majmu' Syarh al
Muhadzdzab, Jilid I (Jeddah: Maktabah al Irsyad, t.t), h. 202.
44
Ini apabila perubahan tersebut terjadi tanpa dimasak. Adapun bila perubahannya karena dimasak
maka tidak boleh bersuci dengannya. Lihat Ibn Himam, Syarh Fath al Qadir, Jilid I (Beirut: Dar
al Kutub al Ilmiyah, 2002), h. 77., Abu Bakr bin Mas'ud al Kasani, Badai'u as Shanai' fii Tartib
as Syarai’, vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2003), h. 165., Ibn ‘Abidin, Radd al Muhtar
'ala al Durri al Mukhtar (Hasyiyah Ibni 'Abidin), vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2003), h.
196., Muhammad bin Abdurrahmanal Utsmani, Rahmat al Ummah, h.15.
45
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 31-32.
D.I. Sebab Perbedaan Pendapat
Diantara sebab-sebab perbedaan pendapat diantara ulama
dalam masalah kedua ini ialah karena tidak jelasnya cakupan nama air
mutlak untuk air yang tercampur (maksudnya apakah masih dikatakan
air mutlak jika tercampur dengan hal-hal seperti di atas tadi; za'faran
dll).46
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai air mutlak
apabila tercampur benda suci, maka ada dua pendapat, yaitu:
1. “Sebagian ulama yang menyatakan bahwa air yang
bercampur tersebut tidak masuk dalam kategori air mutlak,
akan tetapi dihubungkan kepada campurannya, kita sebut
air za‘faran atau lainnya, bukan air mutlak, menurut
mereka air ini tidak bisa digunakan untuk berwudhu’,
karena berwudhu’ hanya menggunakan air mutlak.”47
2. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa air bercampur
tersebut masih dalam kategori air mutlak, mereka
membolehkan berwudhu’ dengannya.”48
D.II. Tarjih Ibn Rusyd Dalam Masalah Kedua
Menurut Ibn Rusyd, “yang benar adalah tergantung banyak
dan sedikitnya campuran. terkadang karena banyaknya campuran,
maka air tersebut keluar dari kategori air mutlak seperti air cucian,
khususnya ketika hanya baunya saja yang berubah, karena itulah
sebagian ulama tidak menjadikan bau sebagai alasan tidak bolehnya
menggunakan air yang tercampur hal lain.49

46
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 32.
47
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 32. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, tahqiq, takhrij dan
ta'liq Abdullah bin Ibrahim az Zahim, hal. 165. Lihat juga Ibn Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 22.
48
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 32. Namun
dalam Fathul Qadir diterangkan meskipun Imam Hanafi tidak memungkiri akan qayyid yang
tercampur dalam air mutlak, selama air mutlak tersebut lebih dominan dari pada yang mencampuri,
dan selama penamaan tersebut masih disebut air -ketika disebutkan- maka air tersebut masih dapat
digunakan untuk bersuci. Hal ini berdasarkan bentuk umum (nakirah) lafadz ‫ ماء‬pada ayat ‫فلم تجدوا‬
‫ ماء فتيمموا‬. Jadi selama masih ditemukan air meski berubah salah satu sifatnya sebab benda suci,
maka tidak boleh tayammum. Lihat Ibn Himam, Syarh Fath al Qadir, vol. I, h. 78. Lihat juga Ibn
Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 21-22.
49
Berubahnya bau pada air adakalanya dua sebab:
Sementara Rasulullah SAW telah bersabda kepada Ummu
‘Athiyyah ketika memerintahkannya untuk memandikan (jenazah)
putrinya:
‫ إن رأيتن بماء و سدر و اجعلن في اآلخرة كافورا او شيئ من‬,‫إغسلنها ثالثا او خمسا او أكثر من ذلك‬
50
....‫كافور‬

Artinya: “Mandikanlah tiga kali atau lima kali atau lebih banyak, jika
kamu mau mandikanlah dengan air dan dua bidara, dan di akhir
gunakanlah (campuran air) kafur atau sedikit kafur,”51
E. Masalah ketiga: Air Musta‘mal Digunakan Untuk Thaharah
Air musta'mal menurut empat madzhab:52
1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi menyatakan apabila air yang
menyucikan ( ‫ ) طهور‬sudah dipakai maka statusnya menjadi suci
tapi tidak menyucikan ‫ طهور غير طاهر‬Air ini sah digunakan untuk
keperluan non-ibadah seperti minum, memasak, dan lainnya.
Dan tidak sah menggunakannya untuk keperluan ibadah seperti
wudhu, mandi besar (ghusl). Air suci baru dianggap musta'mal
dalam keadaan apabila berpisah dari anggota tubuh. Apabila air

1. Sebab ada sampah atau bangkai disamping air, sehingga bau sampah atau bangkai
mempengaruhi bau asli dari air.
2. Sebab kejatuhan sesuatu yang suci yang tidak dapat larut di dalamnya (bisa dipisahkan)
seperti kayu. Maka jika kedua sebab perubahan ini yang terjadi pada air oleh ulama masih bisa
digunakan untuk bersuci. Lihat Muhammad bin Idris as Syafi'i, Al Umm, vol. II, (Alexandria: Dar
al Wifa, 2001), h. 21. Lihat juga Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, tahqiq, takhrij dan
ta'liq Abdullah bin Ibrahim az Zahim, h. 167-168.
50
HR. Al Bukhari, dalam Ahmad bin Hajar al 'Asqalany, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, vol.
III (Kairo: Dar al Bayan, 2007), nomor hadits: 1254, 1253, 1257, 1258, 1259, 1261, 1263, h. 150-
158., Muslim, Shahih Muslim, vol. II, nomor hadits: 36-43,939, h. 646., at Tirmidzi, Sunan at
Tirmidzi, vol. II, nomor hadits: 992, h. 298.
51
(Ini adalah air yang tercampur, hanya saja campuran tersebut tidak menjadikannya keluar dari
kategori air mutlak. Inilah indikator pendapat yang dipilih oleh Ibn Rusyd dalam membedakan air
yang bercampur dengan sesuatu yang suci. Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 32.)
52
Lihat Abdurrahman al Jaziri, Kitab al Fiqh 'ala al Madzahib al Arba'ah, vol. I, h. 38-41
mengalir pada lengan dan tidak turun sedikitpun maka tidak
disebut musta'mal. Kalau tidak demikian, maka niscaya tidak
bisa menyucikan anggota tubuh yang lain.
2. Madzhab Maliki
Penggunaan air sehingga menjadi musta'mal dalam
madzhab Maliki ada dua:
Pertama, menggunakan air suci yang sedikit untuk
menghilangkan hadas, baik hadas kecil atau besar. Seperti
memakai air untuk wudhu atau mandi junub atau memakainya
untuk menghilangkan hukum najis, seperti air yang dipakai
untuk menghilangkan najis baik najis hissiyyah (ainiyah - yang
tampak), atau najis maknawiyah (hukmiyah - tidak tampak).
Kedua, menggunakan air untuk perkara yang memerlukan air
yang menyucikan ( ‫ ) الطهور الماء‬baik yang sifatnya wajib seperti
memandikan mayit atau memandikian (istri) kafir dzimi setelah
putusnya darah haid dan nifasnya supaya halal berhubungan
dengannya setelah menikahinya; atau yang tidak wajib seperti
wudhu bagi yang punya wudhu, mandi untuk jum'at atau dua
hari raya, basuhan kedua dan ketiga dalam wudhu. Apabila air
digunakan untuk itu, maka makruh digunakan lagi dengan dua
syarat:
Pertama, air mengalir pada anggota tubuh lalu setelah itu
menetes apabila dipakai untuk wudhu atau mandi besar.
Adapun apabila dipakai untuk menghilangkan najis
maka tidak disyaratkan seperti itu.
Kedua, air berpindah dari tempatnya pada anggota tubuh
terkena aliran air. Adapun apabila anggota tubuh
dicelupkan ke dalamnya maka tidak disebut air
musta'mal kecuali apabila digosokkan. Apabila orang
junub merendam diri di tempat perendaman air dan tidak
menggosok tubuhnya, maka airnya bukan musta'mal.
3. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi'i mendefinisikan air musta'mal
sebagai air sedikit yang digunakan untuk melakukan sesuatu
yang wajib secara hakiki (untuk orang mukallaf) atau non-hakiki
(bukan mukallaf) seperti menghilangkan hadas atau
menghilangkan najis. Yang dimaksud air sedikit adalah air yang
kurang dari dua qullah. Apabila seseorang berwudhu atau mandi
wajib dari air sedikit lalu ia mencelupkan tangannya untuk
membasuh tangan setelah membasuh wajah dengan tangannya,
maka air menjadi musta'mal. Air menjadi musta'mal dengan
beberapa syarat:
Pertama, digunakan untuk bersuci yang wajib, apabila
berwudhu untuk shalat sunnah atau menyentuh Alquran, dan
lainnya maka air tidak disebut musta'mal dengan mencelupkan.
Kedua, air itu berada pada basuhan pertama. Apabila membasuh
wajah di luar bejana satu kali, lalu meletakkan tangannya untuk
membasuh untuk kedua atau ketiga kalinya, maka air tersebut
bukan musta'mal.
Ketiga, air itu sedikit sejak awal. Apabila air itu awalnya dua
qullah atau lebih, lalu dipisah dalam satu wadah maka ia tidak
menjadi musta'mal dengan niat menciduk (ightiraf) padanya.
Sama dengan itu (bukan musta'mal) apabila air musta'mal yang
sedikit dikumpulkan sampai menjadi dua qullah, maka ia
menjadi banyak dan tidak apa-apa mencelupkan anggota tubuh
ke dalamnya.
Keempat, air terpisah dari tubuh. Apabila air mengalir pada
tangan dan belum terpisah darinya, maka air itu bukan
musta'mal.
Air yang digunakan untuk menghilangkan najis statusnya
musta'mal tidak najis. Tapi untuk sucinya ada beberapa syarat:
Pertama, terpisahnya air secara lahiriyah setelah
membasuh baju yang terkena najis, misalnya, tanpa
berubah salah satu sifatnya oleh najis setelah
menyucikan najis dari baju.
Kedua, berat air yang terpisah dari baju tadi tidak
bertambah dari tempat yang terkena najis setelah
gugurnya air yang diserap dan gugurnya kotoran yang
ada di baju pada air menurut kebiasanya. Contohnya,
baju yang terkena najis dicuci dengan air sepiring atau
sepanci penuh yang ukurannya 10 kati.53 Lalu baju
menyerap 1/10 nya dan kotoran baju ada 1/4 kati.
Apabila ukuran air yang terpisah ada 9 kati lebih 1/4
atau lebih sedikit maka air itu suci. Apabila tidak
(yakni airnya lebih dari 10 kati) maka air itu najis.
Ketiga, air mengalir pada najis saat menyucikannya.
Apabila tidak mengalir pada najis, dan tidak bercampur
dengan najis, maka tidak musta'mal.
4. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali mendefinisikan air musta'mal
sebagai air sedikit yang digunakan untuk menghilangkan hadas
atau menghilangkan najis di mana air itu terpisah tanpa berubah
dari tempat dengan basuhan ketujuh yang menyucikan. Air yang
terpisah dari tubuh sebelum basuhan ketujuh hukumnya najis.
Air yang terpisah dari tubuh setelah basuhan ketujuh hukumnya
musta'mal.
Benda terkena najis (mutanajjis) menurut madzhab
Hanbali tidak bisa suci kecuali dengan membasuh tujuh kali.
Mengenai air musta‘mal yang digunakan dalam thaharah para ulama
berbeda pendapat:54
1. Sebagian ulama tidak membolehkan bersuci dengannya dalam
berbagai keadaan, ini adalah pendapat Imam Syafi‘i, Imam Abu

53
Kurang lebih 3,5 liter. Satu rithl sekitar 0,35 liter. Lihat Muhammad bin Ahmad al Mahalli, Kanz
al Raghibin Syarh Minhaj al Thalibin, vol. I (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2006), h. 35.
54
Lihat Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 32.
Hanifah dan Imam Ahmad.55 Dalam madzhab Syafi'i, termasuk
hal yang dima'fu adalah jatuhnya percikan air musta'mal yang
sedikit pada air selama air musta'mal tidak melebihi dari air yang
terperciki.56
2. Sebagian ulama lain memakruhkannya, akan tetapi tidak
membolehkan tayammum selama air tersebut didapatkan, ini
adalah pendapat Imam Malik dan pengikutnya.57
3. 3. Sebagian ulama lainnya tidak melihat adanya perbedaan
antara air musta'mal dengan air mutlak, inilah pendapat yang
dipegang oleh Abu Tsaur, Dawud, dan para pengikutnya.58

55
Ini adalah riwayat masyhur dalam madzhab Imam Ahmad. Dalam riwayat lain beliau mengatakan
air musta'mal suci mensucikan (‫)طاهر مطهر‬, berdasarkan riwayat dari al Hasan, 'Atha', an Nakha'i,
az Zuhri dan Makhul. Lihat Ibn Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 31.
56
An Nawawi, Majmu' Syarh al Muhadzdzab, vol. I, h. 151.
57
Hal ini berdasarkan ayat:
…. ‫فلم تجدوا ماء فتيمموا‬
QS. An Nisa: 43

58
Mungkin golongan ulama ini berhujjah dengan:
1. Ayat:
‫وأنزلنا من السماء ماء طهورا‬
Air suci dan menyucikan pada ayat ini di sebut dengan lafazh ‫ طهور‬, berarti berulang-ulang
menyucikan, karena lafazh dengan wazan ‫ فعول‬bermakna berulang-ulang. Akan tetapi hal ini
dibantah oleh Imam an Nawawi dalam al Majmu' "Tidak dapat kita terima wazan ‫ فعول‬bermakna
berulang-ulang secara mutlaq, tetapi yang benar adalah sebagian memang benar seperti itu dan
sebagian yang lain tidak demikian. Ini masyhur di kalangan ahli Bahasa Arab". Lihat an Nawawi,
Al Majmu' Syarh al Muhadzdzab, vol. I, h. 212.
2. Hadits:
‫عليه وسلم في جفنة فجاء النبي _ اغتسل بعض أزواج النبي صلى ا‬
‫إني _ عليه وسلم ليغتسل أو يتوضأ فقالت يا رسول ا _ صلى ا‬
‫كنت جنبا فقال الماء ال يجنب‬
Akan tetapi al Abady Muhammad Asyraf mengatakan dalam 'Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi
Dawud: “Hadits ini dijadikan hujjah atas hukum mensucikannya air musta’mal. Hal tersebut
dijawab bahwa Nabi SAW dan isteri beliau hanya menciduk air dari bejana tersebut dan tidak
masuk membenam dirinya dalamnya, karena jauh kemungkinan mandi dalam bejana pada
kebiasaan. Dan ”fi” bermakna ”min”. Lihat Abadi Muhammad Asyraf, 'Aunul Ma'bud Syarh
Sunan Abi Dawud, vol. I (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), h. 60.)
E. I. Sebab-Sebab Perbedaan
"Sebab perbedaan pendapat: Adanya dugaan bahwa air musta‘mal
tidak termasuk dalam kategori air mutlak, bahkan sebagian dari mereka
melebihi batas sehingga menyatakan bahwa air musta‘mal lebih pantas
dinamakan air bekas cucian daripada air."59
E. II. Tarjih Ibn Rusyd
Dalam hal ini Ibn Rusyd lebih condong pada pendapat Imam Malik,
beliau mengatakan: "padahal diriwayatkan bahwa para sahabat berlomba-
lomba dalam mendapatkan air bekas wudhu’ Nabi SAW ,
(Redaksi haditsnya:
60
ِ ‫ي كَاد ْوا َي ْقتَتِل ْونَ َعلَى َوض ْوئِ ِه 􀈪 ن‬
‫ب 􀈪ال 􀈪􀈪 ض 􀈪اذَا ت ََو 􀈪 و‬
Juga hadits:
‫علَ ْينَا َرسول ا‬
َ ‫ف _ صلى ا_ – ِِ 􀈪خ ََر َج‬ ِ ‫ى 􀈪􀈪 عليه وسلم – بِ ْال َه‬
َ ، ِ‫اج َرة‬ َ ِ‫ت‬
‫ فَ َجعَ َل ال 􀈪􀈪 ض 􀈪بِ َوضوء فَت ََو‬، 􀈪 ‫ي‬َ ‫ض ِل َوضوئِ ِه فَيَت ََم 􀈪􀈪 ناس‬
ْ َ‫سحونَ 􀈪 خذونَ ِم ْن ف‬
‫ص‬َ ‫ َف‬، ‫ب 􀈪لى ال 􀈪 بِ ِه‬
ِ ‫ص َر 􀈪 عليه وسلم – ال _ ى – صلى ا 􀈪 ن‬ ْ َ‫ظ ْه َر َر ْك َعتَي ِْن َو ْالع‬
61
‫ َوبَيْنَ يَدَ ْي ِه َعنَزَ ة‬، ‫َر ْك َعتَي ِْن‬
Dengan demikian pastilah air musta'mal tersebut jatuh pada air yang
masih tersisa.62

Sementara Abu Yusuf mengeluarkan pendapat yang syadz, bahwa air musta‘mal adalah najis. Lihat
Ibn Qudamah, Al Mughni, vol. I, h. 32.
59
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 32.
60
Al Bukhari, Shahih al Bukhari, vol. I, nomor hadits: 189, h. 295
61
Al Bukhari, Shahih al Bukhari, vol. I, nomor hadits: 187, h. 295.
62
Menurut penulis, Ibn Rusyd berargumen dengan hadits tersebut adalah untuk membantah
pendapat bahwa air musta'mal disamakan dengan air cucian atau bahkan air yang dihukumi najis.
Lihat Ibn Hajar al 'Asqalany, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, vol. I, h. 354., Mahmud bin
Ahmad al 'Aini, 'Umdat al Qary Syarh Shahih al Bukhari, vol. III (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
2001), h. 155.

Anda mungkin juga menyukai