Anda di halaman 1dari 9

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

A. SHALAT JAMA’

1. SHALAT YANG BOLEH DIJAMA’

Shalat wajib sehari semalam ada lima, terdiri dari 17 raka’at, 17 ruku dan 34 sujud, dari jumlah masih
bisa ditambah lagi dengan shalat sunnah lainnya. Dari lima waktu Shalat wajid di atas yang boleh dijama’
hanya shalat dzuhur dan ‘ashar, lalu maghrib dan ‘isya’. Sedangkan shalat yang tidak boleh dijama’
adalah shubuh

2. JENIS SHALAT JAMA’

Pelaksanaan shalat jama’ dapat dilakukan dengan 2 cara:

a) Jama’ Taqdim

Jama’ taqdim adalah mengumpulkan atau menyatukan shalat dzuhur dan ‘ashar pada waktu dzuhur
(shalat ‘ashar dikerjakan pada waktu shalat dzuhur), dan menyatukan shalat maghrib dan ‘isya’ pada
waktu maghrib (shalat ‘isya’ dikerjakan ada waktu shalat maghrib)

b) Jama Ta’khir

Jama’ ta’khir adalah mengumpulkan atau menyatukan shalat ‘ashar dan dzuhur pada waktu ‘ashar
(shalat dzuhur dikerjakan pada waktu shalat ‘ashar), dan menyatukan shalat ‘isya’ dan maghrib pada
waktu ‘isya’ (shalat maghrib dikerjakan ada waktu shalat ‘isya’)

3. SEBAB BOLEHNYA JAMA’

Seseorang diperbolehkan menjama’ shalat wajib pada saat-saat tertentu dan karena sebab-sebab
tertentu, dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringanan). Adapun bentuk Rukhshah dalam safar
yaitu menjama' shalat.

a) Safar (Bepergian)

Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau dalam
perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuaan, dibolehkan menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’
taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’
shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW.

‫ب نواجلاعنشاَاء‬
‫ظجهار نسجيرر نوينججنملع بنجينن اجلنمجغار ا‬ ‫ظجهار نواجلنع ج‬
‫صار إانذا نكاَنن نعنلىَ ن‬ ‫صنلاة ال ظ‬ ‫نكاَنن نرلسوُلل ا‬
‫اا ينججنملع بنجينن ن‬

”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan
menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
b) Hujan

Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka
dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,

‫النبي صلىَ ا عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاَء في ليلة مطيرة‬

“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan
lebat.” (HR. Bukhari)

c) Sakit

Sakit merupakan cobaan dan ujian manusia, dan apabila seseorang sabar dalam menghadapi cobaan dan
ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka
akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’, karena bagi orang
yang sakit diperbolehkan menjama’ shalat, karena bagi orang yang sakit rasa kesulitan untuk melakukan
shalat, lebih susah dibandingkan dalam keadaan hujan, kasus lain misalnya wanita yang sedang
istihadhah (yang darahnya keluar secara terus menerus) sehingga kesulitan untuk terus menerus
berwudhu’, maka bagi mereka dibolehkan untuk menjama’ shalat.

Berdasarkan beberapa kasus di atas. Maka imam Ahmad, al-Qadhi Husen, al-Khath-thabi dan Mutawalli
dari golongan Imam Syafiiyah, membolehkan orang yang sedang sakit untuk menjama’ shalatnya, baik
jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, karena kesulitan sakit lebih berat dari pada karena hujan.

‫فإن قوُيت علىَ أن تؤخخري ال خ‬


‫ظهر وتعخجلي العصر ثخم ثغتسلين حين تطهرين وتصخلين الظهر والعصر جمياعاَ ا ثخم تؤخرين المغرب وتعخجلين‬
‫العشاَء ثخم تغتسلين وتجمعين بين الصلتين فاَفعلي‬

“ Jika engkau mampu mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau
mandi setelah bersuci, dan engkau menggabungkan shalat dzuhur dan shalat ashar, kemudian engkau
mengakhirkan sholat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan
menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah“

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

‫ ذهب الماَم أحمد والقاَضي حسين والخطاَبي والمتوُلي من الشاَفعية إلىَ جوُاز الجمع تقديماَ وتأخيرا بعذر‬:‫الجمع بسبب المرض أو العذر‬
‫ وهوُ قوُي في الدليل‬:‫ قاَل النوُوي‬.‫المرض لن المشقة فيه أشد من المطر‬.

“Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan
Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan
lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.”
(al-Mughni;2:120, Fiqhus Sunnah;2:230)

d) Takut

Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan yang dimaksud
takut disini yaitu takut secara bathin misalnya, hati dan jiwa seseorang merasa terancam apabila
melakukan aktivitas (kegiatan) di luar, atau takut karena sesuatu yang mengancam seperti kalau akan
terkena bencana alam dan lain sebagainya.

‫صلناة إاجن اخجفتلجم أنجن ينجفتاننلكجم الااذينن نكفنلروا فنقنجد أنامنن الاناَ ل‬
‫س فننقاَنل‬ ‫صلروا امجن ال ا‬ ‫س نعلنجيلكجم لجنناَحح أنجن تنجق ل‬‫ب لنجي ن‬
‫طاَ ا‬ ‫نعجن ينجعنلىَ جبان ألنمياةن نقاَنل قلجل ل‬
‫ت لالعنمنر جبان اجلنخ ا‬
‫ رواه مسلم‬.‫صندقنتنله‬ ‫ل‬ ‫ج‬
‫ق ال بانهاَ نعلنجيلكجم نفاَقبنلوُا ن‬ ‫صاد ن‬ ‫ح‬
‫صندقنة تن ن‬ ‫ا‬
‫صلىَ ال نعلنجياه نونسلنم نعجن نذلا ن‬
‫ك فننقاَنل ن‬ ‫ا‬ ‫ت نرلسوُنل اا ن‬ ‫ج‬ ‫ن‬
‫ت امجنهل فننسأل ل‬‫ت اماماَ نعاججب ن‬ ‫نعاججب ل‬

“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang
(firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina
kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga
heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah
saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah
pemberian-Nya.”(HR. Muslim)

e) Keperluan (kepentingan) Mendesak

Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa keperluan,
kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim beriman. Maka
dari itu Imam Nawawi dalam kitab syarah Muslim mengatakan: dari beberapa imam membolehkan
menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu
tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.

‫ت نساعيادا‬ ‫ف نولن نسفنرر نقاَنل أنلبوُ الظزبنجيار فننسأ نجل ل‬


‫صنر نجامياعاَ اباَجلنمادينناة افي نغجيار نخجوُ ر‬ ‫ظجهنر نواجلنع ج‬‫صالىَ ال نعلنجياه نونسلانم ال ظ‬
‫صالىَ نرلسوُلل اا ن‬
‫س نقاَنل ن‬
‫نعجن اجبان نعاباَ ر‬
‫ل‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ج‬ ‫ن‬
‫س نكنماَ نسألتناني فقاَنل أنراند أجن لن يلجحارنج أنحادا امجن أامتااه‬ ‫ل‬ ‫ج‬ ‫ن‬
‫ك فقاَنل نسألت اجبنن نعاباَ ر‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫لانم فنعنل ذلا ن‬.

“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara
jama‘, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada
Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas
sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak
mernyulitkan seorangpun dari umatnya.(HR. Bukhari – Muslim)

‫صنلةن نقاَنل فننجاَنءهل‬‫صنلةن ال ا‬ ‫س ينلقوُللوُنن ال ا‬ ‫ت النظلجوُلم نونجنعنل الاناَ ل‬ ‫س نوبنند ج‬


‫ت الاشجم ل‬ ‫صار نحاتىَ نغنربن ج‬ ‫س ينجوُاماَ بنجعند اجلنع ج‬
‫ق نقاَنل نخطنبننناَ اجبلن نعاباَ ر‬
‫اا جبان نشاقي ر‬‫نعجن نعجباد ا‬
‫ال نعلنجياه نونسلانم نجنمنع‬ ‫صالىَ ا‬‫اا ن‬ ‫ت نرلسوُنل ا‬ ‫س أنتلنعلللماني اباَلظسنااة نل ألام لن ن‬
‫ك ثلام نقاَنل نرأنجي ل‬ ‫صنلة فننقاَنل اجبلن نعاباَ ر‬
‫صنلةن ال ا‬ ‫نرلجحل امجن بناني تناميرم نل ينجفتللر نونل ينجنثناني ال ا‬
‫ق نمنقاَلنتنهل‬
‫صاد ن‬ ‫ج‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫ت أنباَ هلنرجينرةن فننسألتلهل فن ن‬ ‫ن‬
‫ك نشجيحء فنأتنجي ل‬ ‫صجداري امجن نذلا ن‬ ‫ك افي ن‬ ‫ق فننحاَ ن‬ ‫ا‬ ‫ج‬
‫ب نوالاعنشاَاء نقاَنل نعجبلد اا جبلن نشاقي ر‬ ‫صار نواجلنمجغار ا‬ ‫ظجهار نواجلنع ج‬
‫بنجينن ال ظ‬

“Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar
sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat ..
shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu
Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya
telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib
dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang
kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas
tersebut.”(HR. Muslim) Ibnu ‘Abbas tidak menjelaskan apakah menyulitkan itu karena sakit, atau sebab-
sebab lainnya.
Bahkan tanpa udzur-pun kita dibolehkan menjama’ shalat, kalau hal itu dipandang perlu dan merasa
kesulitan.(Tahdzibul Ahkam;juz 2:19)

B. SHALAT QASHAR

1. PENGERTIAN

Qashar artinya memendekkan atau meringkas. Shalat qashar maksudnya adalah meringkas jumlah rakaat
shalat yang empat menjadi dua; misalnya shalat dzuhur, ‘ashar dan ‘isya’. Hal ini boleh dilakukan
berdasarkan firman Allah Swt:

Artinya : “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-
qasharsembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu” .(QS. An-Nisa’:101)

SAFAR

Dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringan) adapun bentuk Rukhshah dalam safar yaitu
menjama' shalat. Safar adalah keluar dari daerah kediaman ke tempat lain, dan jarak minimal safar 5 km,
dan masih berniat (bermaksud) kembali ke tempat asalnya.

Berdasarkan ayat 101 dan hadits di atas berarti tidak semua keadaan, seseorang dapat mengqashar
shalat, hanya diperbolehkan dan dilakukan bagi orang yang melakukan safar (perjalanan) yang kemudian
orang itu disebut Musafir.

Dalam ayat ini ada istilah jika kamu khawatir diganggu oleh orang kafir, sementara untuk saat ini
gangguan itu sudah tidak ada lagi (aman-aman saja) bagaimana hukum ayat ini apa masih boleh kita
melakukan shalat dengan qashar. Kalau demikian hukum pada ayat ini tetap berlaku, sekalipun gangguan
itu sudah tidak ada lagi,

‫صلناة إاجن اخجفتلجم أنجن ينجفتاننلكجم الااذينن نكفنلروا فنقنجد أنامنن الاناَ ل‬
‫س فننقاَنل‬ ‫صلرواامجن ال ا‬ ‫س نعلنجيلكجم لجنناَحح أنجن تنجق ل‬
‫ب لنجي ن‬ ‫ت لالعنمنر جبان اجلنخ ا‬
‫طاَ ا‬ ‫نعجن ينجعنلىَ جبان ألنمياةن نقاَنل قلجل ل‬
‫صندقنتنهل‬‫ق ال بانهاَ نعلنجيلكجم نفاَجقبنللوُا ن‬ ‫صندقنةح تن ن‬
‫صاد ن‬ ‫ك فننقاَنل ن‬ ‫صالىَ ال نعلنجياه نونسلانم نعجن نذلا ن‬ ‫ت نرلسوُنل اا ن‬ ‫ت امجنهل فننسأ نجل ل‬
‫ت اماماَ نعاججب ن‬ ‫نعاججب ل‬.

“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang
(firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina
kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga
heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah
saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah
pemberian-Nya.” (HR. Jama’ah)

‫أننمنرنناَ أنجن نل ن‬
‫صللني نرجكنعتنجيان افي الاسفنار‬

“Rasulullah memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.”(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi
dan Khuzaimah dan rawi yang dipercaya)
َ‫صار ثلام نننزنل فننجنمنع بنجيننهلنما‬ ‫ت اجلنع ج‬ ‫س أناخنر ال ظ‬
‫ظجهنر إانلىَ نوجق ا‬ ‫صالىَ ال نعلنجياه نونسلانم إانذا اجرتننحنل قنجبنل أنجن تنازينغ الاشجم ل‬
‫ك نقاَنل نكاَنن نرلسوُلل اا ن‬ ‫نعجن أننن ا‬
‫س جبان نماَلا ر‬
‫متفق عليه‬.‫ب‬ ‫ل‬ ‫ظ‬
‫صلىَ الظجهنر ثام نراك ن‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫س قجبنل أجن ينجرتناحنل ن‬ ‫ا‬ ‫ج‬
‫فإ اجن نزانغت الشجم ل‬ ‫ن‬

“Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika berangkat dalam bepergiannya
sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian
beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir
matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan.”
(HR. Muttafaqun 'Alaih)

JARAK BOLEHNYA QASHAR

Firman Allah dan hadits shahih di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa setiap
pebergian bisa mengqashar shalat. Dan tidak ada hadits shahih dari nabi Saw yang menerangkan adanya
jarak minimal mengqashar shalat.

Ada riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw mengqashar shalat
dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.

‫ نكاَنن نرلسجوُلل اا ص اانذا نخنرنج نماسجينرةن ثنلنثناة انجمنياَرل انجو ثنلنثناة فننرااسنخ‬:‫صلناة فننقاَنل‬ ‫ نسأ نجل ل‬:‫نعجن لشجعبنةن نعجن ينجحنيىَ جبان ينازجياد جالهننناَئاخي نقاَنل‬
‫ت اننناساَ نعجن قن ج‬
‫صار ال ا‬
‫ا‬
‫صلىَ نجكنعتنجيان‬‫ن‬

“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas tentang
mengqashar shalat, lalu ia menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau tiga
farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau tiga farsakh” (HR. Muslim, Ahmad,
Abu Dawud dan Baihaqi)

‫ص ن‬
‫لة‬ ‫صالىَ ال نعلنجياه نونسلانم إانذا نساَفننر فننرانساخاَ يلقن ل‬
‫صلر ال ا‬ ‫نكاَنن نرلسجوُلل اا ن‬

“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar Shalat”(HR. Sa’id
bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhish, ia mendiamkan adanya hadits ini, sebagai
tanda mengakuinya)

Lahiriyah hadits ini, berhubungan dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat berarti
boleh menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.

Ibnu Hazm dalam al-Mahalla5:20. mengatakan bahwa jarak minimal boleh mengqashar shalat adalah 1
mil.

Catatan:

Satu mil = 1609 meter

Tiga mil = 4827 meter

Jadi 1 Farskh = 3 mil, 3 mil ± 5 km


Jama’ taqdim itu dilakukan ketika safar, sedangkan safar itu batas minimal 3 mil (± 5 km) artinya jama’ itu
sudah dapat dilakukan pada jarak 3 mil dari batas daerah (luar kota), maka dari itu pendapat yang
mengatakan harus berjarak 80 km itu tidak dapat dijadikan dasar, karena dasar atau dalil yang ada tidak
shahih, jadi kita kembali kepada ketentuan batas minimal yaitu 3 mil yang sudah jelas ada nash shahih
yang mendasarinya.

Memang ada riwayat yang menyatakan tidak bolehnya qashar jika kurang dari 4 barid (± 80 km) yaitu;

‫صلنةن افىَ أنجدننىَ امجن أنجربننعاة بللررد امجن نماكةن إانلىَ لعجسنفاَنن‬ ‫نياَ أنجهنل نماكةن لن تنجق ل‬
‫صلروا ال ا‬

“Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak

kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.” (HR. Daraquthni)

Menurut riyawat di atas, qashar boleh dilakukan setelah mencapai jarak 80 km, demikian juga dengan
jama’ taqdim banyak orang yang mengaitkannya dengan qashar, yang boleh dilakukan.

Setelah dilakukan penelitian dari hadits di atas, ternyata DHA’IF, sebab dalam sanadnya ada ’ABDUL
WAHAB bin MUJAHID, yang oleh al-Hakim dinyatakan bahwa ia biasa meriwayatkan hadits-hadits
maudhu’ (palsu), sementara Sofyan ats-Tsauri mendustakannya, dan dalam Nailul Authar dinyatakan
Madruk, sedangkan al-Azdi menyatakan tidak halal riwayat darinya, (Tahdzibut Tahdzib VI:453,
Talkhishul-habir, Nailul Authar III:235, Irwa’ul Ghalil III:13 No. 565 dan juga dalam Ibanatul Ahkam II:63
No.35)

BATAS WAKTU MUSAFIR

Perjalanan (safar) ada 2 maksud yaitu safar dengan maksud menetap selamanya, ada juga safar hanya
sebatas keperluan saja, setelah selesai ia kembali ke daerah asalnya. Dari 2 maksud tersebut, musafir
(orang yang sedang melakukan perjalanan) sama-sama boleh mengqashar shalat, hanya saja berbeda
dalam batas waktu (lamanya) boleh mengqashar shalat bagi musafir tersebut.

Jika seorang musafir berniat (bermaksud) menetap di suatu tempat, maka ia boleh mengqashar shalat
sampai 4 hari, sebagaimana perbuatan Nabi Saw sewaktu ada di Makkah selama 4 hari, beliau
mengqashar shalat, selebihnya ia tidak mengqasharnya.

Jika seseorang tidak berniat (bermaksud) menetap dalam artian masih mau kembali lagi ke daerahnya,
maka selama menyelesaikan keperluannya itu ia boleh mengqashar shalat,

َ‫صرنناَ نواإن ازدنناَ نأتنممننا‬ ‫أننقاَنم الناباظي اتسنعةن نعنشنر نيق ل‬


‫ُ فنننحلن إانذا نساَنفرنناَ اتسنعةن نعنشنر قن ن‬،‫صلر‬

“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat.
Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat
itmam.”(HR. Bukhari:1080) juga ketika berada di Tabuk selama 20 hari, beliau mengqashar shalat.

MUSAFIR - MUQIM BOLEH BERJAMA’AH


Bagi musafir boleh menjadi imam bagi orang yang muqim, dan dan juga sebaliknya, demikian juga orang
shalat wajib boleh bermakmum kepada orang yang shalat sunnah dengan setelah salam wajib
melengkapi (menyempurnakan) jumlah raka'atnya. Orang yang muqim harus melengkapi raka'at
kekuarangannya. Dan apabila orang musafir bermakmum kepada orang yang muqim, maka harus
melengkapi jumlah raka'atnya (tidak boleh qashar) setelah salam baru melanjutkan shalat jama'nya.
Contoh: ketika kita mengadakan perjalanan, maka dibolehkan untuk shalat bersama dengan orang-orang
yang shalat, artinya tidak harus bersama dengan rombongan.

‫ نياَ انجهنل‬:‫صخلىَ االا نرجكنعتنجيان ينقلجوُلل‬ ‫ُ لن يل ن‬،‫ُ فناَ ننقاَنم بانماكةن ثننماَناني نعنشنرةن لنجيلناة‬،‫ت نمنعهل جالفنجتنح‬
‫ت نمنع نرلسجوُال اا ص نو نشاهجد ل‬
‫ نغنزجو ل‬:‫صجيرن نقاَنل‬
‫نعجن اعجمنرانن جبان لح ن‬
‫ُ ن‬،‫جالبنلناد‬
‫صظلجوُا انجربناعاَ فناَ ااناَ قنجوُحم نسجفحر‬

“Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Aku pernah berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti
penaklukan (Makkah) bersama beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau
tidak pernah shalat kecuali dua rekaat, beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat,
karena kami adalah musafir” (HR. Ahmad:4/430)

‫صلىَ ا عليه‬- ‫ك لسناةل أنابىَ اجلنقاَاسام‬


‫صلاجينناَ نرجكنعتنجيان نقاَنل تاجل ن‬
‫صلاجينناَ أنجرنبعاَ ا نوإانذا نرنججعنناَ إانلىَ ارنحاَلانناَ ن‬ ‫س بانماكةن فنقلجل ل‬
‫ت إااناَ إانذا لكاناَ نمنعلكجم ن‬ ‫لكاناَ نمنع اجبان نعاباَ ر‬
‫وسلم‬-.

“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami
(musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa
diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu
‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
(HR. Ahmad:1/216)

Jadi kepada siapa saja kita bermakmum (sesuai ketentuan syari'at Islam), pada hakikatnya adalah boleh,
karena aturan shalat itu sama( nidzamnya sama)

KERINGANAN BAGI MUSAFIR

Keringan diberikan kepada musafir (orang yang bepergian) karena sangat dibutuhkan diantaranya:

Mengqashar shalat (dzuhur dan 'ashar, dan 'isya')

Menjama' shalat (dzuhur dan 'ashar, maghrib dan 'isya')

Tidak puasa siang hari di bulan Ramadhan

Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan, menghadap sesuai melajunya kendaraan yang
tumpanginya

Mengerjakan shalat sunnah sambil berjalan, bagi musafir yang berjalan kaki

Mengusap sepatu (ketika berwudhu' sepatunya tidak dilepas

Tidak mengapa meninggalkan sunnah rawatib (shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib)
Menetapkan pahala amal, yang biasa dilakukan ketika muqim (tidak dalam bepergian)

ALASAN NABI SAW MELAKUKAN JAMA' QASHAR

Shalat jama' dan qashar dalam pelaksanaannya harus di pisah dengan iqamah, artinya setelah selesai
melakukan shalat yang pertama, maka harus iqamah untuk shalat berikutnya.

‫ب نواجلاعنشاَنء باأ ننذارن نوااحرد نوإانقاَنمتنجيان‬


‫صالىَ بانهاَ اجلنمجغار ن‬
‫نحاتىَ أننتىَ اجللمجزندلافنةن فن ن‬

”Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan
dua kali iqomah.” (HR. Muslim)

Jangan Lupa lihat juga artikel yang ada di blog ini. Silahkan liat di bagian DAFTAR ISI.

Follow blog ini melalui Facebook di bagian FOLLOW ME

Catatan : Download Font Arab disini agar tulisan arab di atas bisa di baca di komputer teman-teman

KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat difahami bahwa shalat jama’ dan qashar merupakan rukhsah dan dibolehkan
dalam bepergian atau keadaan darurat. Prinsipnya selagi manusia mempunyai kesempatan untuk
melakukan shalat dan tidak menjadi darurat, selayaknya manusia tidak malu untuk segera melaksanakan
shalat seperti biasanya. Menjadi suatu kewajiban bagi yang melaksanakan shalat menjadi suri tauladan
bagi yang lain sehingga mengajari yang lainnya. Karena yang demikian adalah dari syi’ar Islam yang mesti
dimuliakan.

Bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka
memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi
dengan syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk
memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh
perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.

REFERENSI/MARAJI’

Agus Hasan Bashari al-Sanuwi, Lc, M.Ag. M. Syu’aib al-Faiz al-Sanuwi Lc, 2006. Riyadus Shalihin Karya
Imam Nawawi, takhrij, Syaikh Muhammad Nasirudin al-Albani, Duta Ilmu.

Al-Awaisyah al-Hawasy Husen, 2006. Shalat Khusyu’ Seperti Nabi SAW. Pustaka elBa.
Albani, M. Nasiruddin Syaikh, 2000, Sifat-Sifat Shalat Nabi SAW, Jld I-III, Media Hidayah/kampoeng
Sunnah

As-Sayyid Salim ibnu Abu MAlik Kamal Syaikh 2007. PAnduan Beribadah Khusus Wanita. Al-MAhira,
Jakarta_Timur

Imam al-Mundziri. Mukhtashar Shahih Muslim. Pustaka Amani, Jkt

Imam az-Zabidi. Mukhtashar Shahih Bukhari. Pustaka Amini Jkt

Muanajjid Muhammad, 2005. Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat. Pustaka al-Kautsar

Sa’id bin ‘Ali bin Wahf, Syaikh al-Qahthan. Shaltul Mu’min, CV. pustaka ibnu katsir

Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah

YDSF Malang, Majalah al-Falah,edisi Januari 2011, hal, 11-13.

Husein Ali, Lc. "Menjama' Shalat Tanpa Halangan" Lentera Jakarta 2005

Anda mungkin juga menyukai