(FIX) Makalah Kelompok 4 Akt. Perpajakan (Inventory & Prepaid)
(FIX) Makalah Kelompok 4 Akt. Perpajakan (Inventory & Prepaid)
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Perpajakan)
Kelompok 2 :
Anggota Kelompok :
Puji syukur kepada Allah SWT. atas karunia, hidayah, dan nikmatnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Akuntansi Perpajakan yang berjudul Persediaan dan Beban
dibayar dimuka. Penulisan makalahh ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Perpajakan, Ibu Ismawati Haribowo
S.E.,M.Si.
Makalah ini bersumber dari buku yang berkaitan dengan Akuntansi Perpajakan, tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada pengajar mata kuliah Akuntansi Perpajakan atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini serta kepada rekan-rekan yang telah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua yang
membaca makalah ini, semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai akuntansi
perpajakan. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membaca.
Aamiin.
Penulis
Persediaan
Persediaan dari sisi Akuntansi
Dalam SAK-ETAP (2009:52-57) diatur mengenai persediaan, yaitu sebagai berikut:
Perpajakan
Dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 sistem pencatatam tidak diatur secara jelas. Selama
sistem perencatatan tersebut dapat menunjukkan kebenaran pencatatan, konsisten, dan taat asas
maka ketentuan perpajakan dapat menerimanya.
Sistem perpetual tidak menggunakan cara penaksiran dalam menghitung nilai persediaan,
bahkan pemeriksaan masih digunakan sebagai pelengkap. Dengan demikian, sistem ini tidak
bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Cara yang tidak sesuai dengan prinsip perpajakan
adalah apabila dinilai berdasarkan penaksiran atau perkiraan.
Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan HPP hanya boleh dilakukan dua
cara menurut ketentuan perpajakan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 10 ayat (6), yaitu:
Metode rata-rata (average), atau Metode mendahulukan persediaan yang didapat pertama (first in
first out (FIFO)). Pemilihan metode tersebut harus dilakukan secara taat asas, artinya sekali WP
memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan HPP, maka untuk
selanjutnya harus digunakan cara yang sama.
Contoh:
Pada tanggal 3 Maret 2012 PT Bintang membeli 100unit barang dagang dengan harga
Rp.5.000.000 (harga sebelum termasuk PPN) secara tunai. PT Bintang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PhKP) sejak 31 Januari 2005. Pembukuan atas persediaan dilakukan
dengan sistem perpetual.
Jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
01-Mar-12 Persediaan barang dagang 5.000.000
Pajak masukan 500.000
Kas/Bank 5.500.000
Pajak masukan 10% x Rp.5000.000 = Rp.500.000
Harga 1unit barang dagang adalah Rp.5000.000: 100unit = Rp.50.000
Pada tanggal 31 Maret 2012, PT Bintang mejual 20umit barang dagang secara tunai dengan
harga jual er masing-masing unit sebesar Rp.70.000 (belum termasuk PPN)
Jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
31-Mar-12 Kas/Bank 2.310.000
Pajak keluaran 210.000
Penjualan 2.100.000
Harga Pokok Penjualan 1.500.00
Persediaan barang dagang 1.500.000
(Rp.50.000 x 30unit)
Pajak Keluaran 10% x Rp.2.000.000 = Rp.210.000
Persediaan barang dagang yang tersisa dan tercatat dalam pembukuan PT Bintang per
tanggal 31 Maret 2012 adalah Rp.50.000 x 70unit = Rp.3.500.000
Apabila PT Bintang belum dikukuhkan sebagai PKP maka untuk jurnal pada saat pembelian
barang dagang sebagai berikut:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
03-Mar-12 Persediaan barang dagang 5.500.000
Kas/Bank 5.500.000
PT Bintang tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya sehingga Pajak Masukan dimasukkan
sebagai harga perolehan barang dagang. Jadi harga 1unit barang dagang adalah Rp5.500.000:
100 unit = Rp55.000
Jurnal untuk transaksi penjualan yaitu:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
31-Mar-12 Kas/Bank 2.100.000
Penjualan 2.100.000
Harga Pokok Penjualan 1.650.000
Persediaan barang dagang 1.650.000
(Rp55.000 x 30unit)
Pada tanggal 31 Desember 2016 dilakukan penyesuaian atas beban yan telah berjalan 1
bulan. Jurnal penyesuaian untuk tanggal 31 Desember 2016 adalah :
31-Des-2016 beban dibayar di muka 1.000.000
Beban 1.000.000
a) Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang
b) Bendahara Pemerintah dan Penguasa Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instalasi/Lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga Negara lainnya berkenan dengan pembayaran atas pembelian barang
c) Bendahar pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang
Persediaan (UP)
d) KPA/penjabat penerbit surat perintah Membayar yang di beli delegasi KPA, untuk
pembayaran kepada pihak ketiga yang di lakukan dengan mekanisme Pembayaran
Langsung (LS)
e) Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertas, baja, dan
otomotif yang di tunjuk oleh kepala KPP, atas penjualan hasil produksi dalam Negeri
f) Produsen atau impotir bahan bakar minyak, gas, dan plumas atas penjualan bahan bakar
minyak , gas, minyak, dan pelumas
g) Indutri dan exportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan yang ditunuk oleh kepala KPP atas pembelian bahan bahan untuk keperluan
industri atau expor mereka dari pedagang pengepul.
1) Untuk transaksi impor barang yang di pungut oleh Bank Devisa dan DIBC, kecuali yang
mendapat fasilitas pembebasan, maka PPh 22 di karnakan atas:
a) Impor barang di mana importir dengan API:
Dikarenakan tarif sebesar 2,5% dan nilai impor untuk impor barang selain
kedelai, gadum, dan tepung terigu
Dikarenakn tarif 0,5% dari nilai impor untuk impor kedelai, gadum dan
tepung terigu
b) Impor barang di mana importir non – API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor.
Nilai impor = nilai CIF (Cost + Insurance +fright) + bea masuk (pungutan
berdasarkan UU Kepabean)
Nilai di kurskan menggunakan kurs KMK, apabila nilai impor dalam mata uang
asing.
c) Hasil lelang atasw barang yang tidak kuasai dan dilakukan pelelangan oleh Dirjen
Kekayaan dan Lekang Negara atau DBJB. Pemenang yang beli barang dari hasil
lelang DJBJ, maka di kenakan biaya 7,5% dari harga jual lelang.
d) Pungutan PPh 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat di
perhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (tidak
final)
e) PPh 22 PPN dan PPnBM harus di lunasi bersama pada saat pembayaran bea
Masuk dan dalam hal apabila Bea Masuk di tunda atau di bebaskan, maka pajak
pajak di atas harus di lunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan
impor barang (PIB).
f) PPh 22, PPN dan PPnBM ini disetor ke atas negara melalui kantor Pos, Bank
Devisa, atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh DJBJ selambat
lambatnya 1 hari kerja setrelah di lakukan pemungutan pajak tersebut, atau oleh
importir yang bersangkutan dengan menggunakan formulir (SSPCP) yang berlaku
sebagai bukti pemungutan pajak.
g) PPh 22, PPN dan PPnBM wajib dilaporkan hasil pemungutan dengan
menggunakan SPT masa ke KPP dengan batas pelapor paling lama pada hari
terakhir minggu berikutnya.
PPh 22 terutang dan di pungut pad saat penjualan. Penyetoran PPh tersebut wajib
di setorkan ke kas Negara melalui kantor Pos , Bank Devisa atau Bank yang di tunjuk
oleh Mentri Keuangan dengan menggunakan SSP selambat lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya dan pelaporan ke KPP selambat lambatnya 20 hari. Pemungut wajib
menerebitkan Bukti Pemungutan . PPh 22 dalam rangkap 3 yaitu: (a) lembar ke-1
untuk WP: (b) lembar ke-2 sebagai lapiran laporan bulanan kepada KPP yang di
lampirkan pada SPT masa PPh 22: dan (c) lembar ke -3 sebagai arsip pemungutan
pajak yang bersangkutan SPT masa ke KPP.
Menurut PER-15/PI/2011 apabila terjadi pengambilan barang hasil produksi yang
di beli dari badan usaha sebagai pemungut PPh 22 setelah masa pajak terjadi
penjualan, maka pembeli harus membuat dan menyapaikan nota retur kepada
pemungut PPh 22. Nota retur harus di buat dalam masa pajak terjadi pengambilan
barang hasil produksi. Retur paling sedikit hasil perpajakan di buat rangkap 3 yaitu:
(a)lembar ke-1 untuk pemungutan pajak; (b) lembar ke-2 sebagai lampiran pada SPT
masa PPh 22; dan (c) lembar ke-3 sebagai arsip untuk WP pembeli.
4) Untuk taransaksi yang berhubungan dengan PT Pertamina serta badan usaha yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, dan gas dikenakan PPh
dengan tarif sebagai berikut,
Uraian SPBU bukan Pertamina SPBU Pertamina (% dari
(% dari penjualan) penjualan)
Pemungutan PPh 22 atau penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas minyak kepada
penyalur atau agen bersifat final,. Tetapi, apabila penjualanya bukan kepada penyalur
atau agen muka pungutan PPh 22 bersifat tdak final (PMK-154/PMK.03/2010
jo.SE.92/PI/2010).
PPh 22 di pungut saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order-
DO). Penyetor PPh tersebut wajib di setorkan ke kas Negara melalui kantor Pos, Bnak
Devisa, atau Bank yang di tunjuk Kementrian Keuangan menggunakan SSP.Penyetor
PPh 22 tersebut 10 hari berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan
SPT masa ke KPP.
Pemungut pajak Wajib menerbitkan Bukti pemungutan PPh 22 dalam rangka 3 yaitu: (a)
lembar ke-1 untuk WP; (b) lembar ke-2 sebagai lapiran laporan bulanan kepada KPP
yang di lampirkan pada SPT masa PPh 22; dan (c) lembar ke-3 sebagai arsip pemungut
pajak yang bersangkuatan.
5) Untuk transaksi yang berhubungan dengan industri dan exportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dikenakan tarif PPh 22 sebesar
0,25% x harga pembelian (tidak termasuk PPN ) bahan untuk keperluan indusri saat
expor dari pedagang pengepul, PMK-154/PMK.03/2010 (industri plywood, tepung
tapioka, exportir kayu glondongan, industri ikan kaleng, penghasil cold storage).
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya;
(a) mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perkanan; dan (b)
menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan exportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan. PPh 22 atas pembelian bahan-bahan
dari pedagang pengepul terutang dan di pungut pada saat pembelian.
Penyetoran PPh tersebut wajib di storkan ke kas Negara melalui Kntor Pos, Bank
Devisa, atau Bank yang di tunjuk oleh Kementrian Keuangan dengan menggunakan SSP,
Dimana penyetoran PPh 22 yang di pungut pada saat pembelian, adalah paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
Sedangkn pelapor PPh 22 paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Pemungut pajak waji menerbitkan Bukti Pemungutan PPh 22 dalam rangkap 3 yaitu; (a)
lembar ke-1 WP ; (b) lembar ke-2 sebagai lampran laporan bulanan kepada KPP yang di
lampirak pada SPT masa PPh 22; dabn (c) lembar ke-3 sebagai arsip pemungut pajak
yang bersangkutan.
6) Berdasarkan PMK-253/PMK.03/2008 jo.SE-13/PJ/2009 untuk transaksi penjualan barang
yang tergolong sangat mewah dikenakah PPh 22 sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
Barang yang tergolng sangat mewah meliputi:
a. Pesawat terbang pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 Miliar
b. Kapal Pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 Miliar.
c. Rumah berserta Tanahnya dengan harga jual atau harga pengaliahanya lebih dari
Rp 10 Miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau harga
pengalihanya lebih dari Rp 10 Miliar dan / luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda 4 pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan , jeep, sport utility vehilce (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 Miliar dan dengan kapasitan silinder
lebih dari 3.000 cc.
PPh 22 di pungut pemungut pajak pada saat melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Pajak tersebut dapat di perhitungkan sebagai pembayaran PPh
dalam tahun berjalan bagi WP yang melakukan pembelian barang tersebut/ PPh 22 di
setorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP dan di
laporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
PAJAK PENGHASILAN 23
PPh 23 adalah pajak penghasilan yang pemenuhan kewajibannya dilakukan dengan cara
pemotongan atas pembayaran penghasilan yang diterima oleh WP dalam negeri dan bentuk
usaha tetap (BUT) yang berasal dari penghasilan dari harta-modal, penyerahan jasa, atau
penyeenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21.
Pemotong PPh 23 adalah (a) badan pemerintah , (b) subyek pajak dalam negeri; (c)
penyelenggaraan kegiatan; (d) BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri; dan ( e) orang
pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk dirjen pajak, yaitu akuntan, arsitek, dokter,
notaris/PPAT kecuali camat, penilai, aktuaris, pengacara, dan konsultan yang melakukan
pekerjaan bebas serta orang pribadi yang menjalankan usaha dengan menyelenggarakan
pembukuan atau pembayaran berupa sewa.
Pemotongan PPh 23 dilakukan pada saat dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah
jatuh tempo. Setelah dilakukan pemotongan PPh 23 maka pemotongan pajak harus menerbitkan
bukti PPh 23, dimana pemotong memiliki kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkannya ke
KPP. Penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya
pemotongan. Sedangkan, pelaaporan pajaknya menggunakan SPT masa PPh pasal 23/26
dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnyasetelah bulan dilakukan pemotongan pajak
tersebut.
Berdasar UU PPh No.36 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1a), besarnya pungutan dibedakan
antara WP yang ber NPWP dengan WP yang tidak berNPWP. Tarif WP yang tidak memiliki
NPWP lebih tinggi 100% dari tariff yang diterapkan terhadap WP yang tidak menunjukkan
NPWP.
A. Deviden
Berdasar UU PPh No. 36 Taahun 2008 pasal 17 ayat (2c) jo. PP 19 Tahun 2009jo.
SE-01/PJ.03/2009, deviden yang dikenakan pajak adalah deviden yang diterima oleh WP
pribadi dalam negeri. Atas penghasilan berupa deviden tersebut dikenakan pajak yang
bersifat final dengan tariff 10% dari penghasilan bruto. PPh final atas deviden ini
dikenakan kepada pihak penerima deviden pada saat menerima deviden dan atas pajak
tersebut pihak penerima deviden tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dibayar
pada saat menghitung PPh kurang/lebih bayar pada akhir tahun pajak.
B. Bunga
Bunga yang dikenakan PPh 23 daalah bunga termasuk premium, diskonto, idan
imbalan karena jaminan pengembalian utang yang merupakan Bunga antar pinjaman dari
WP badan ke WP badan, WP badan ke WP pribadi atau sebaliknya, serta bunga obligasi
yang tidak dijual pada bursa efek. Tariff PPh 23 atas bunga tersebut adalah 15% dari
penghasilan bruto. Pihak yang menerima penghasilan berupa bunga tersebut dapat
mengkreditkan pajak yang dibayar dimuka PPh 23 atas bunga pada saat enghitung PPh
kurang/lebih bayar pada akhir tahun pajak.
Atas penghasilan yang berupa royalty, pihak yang menerima royalty dikenakan
PPh 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto dan pajak yang dibayar dimuka PPh 23 arri
hasil karya sinematografi perlakuan PPh 23 diatur dalam PER-33/PJ/29jo.SE-58/PJ/2009.
Hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun melalui cara undian yang di
terima atau di di peroleh orang pribadi dalam negri dan luar negridi kenakan PPh final
sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian(UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4
ayat (2) huruf b jo.PP 132 tahun 2000 jo.Kep -395 /PJ./ 2001 jo. SE-19/ PJ.43/
2001).Hadiah yang bukan obyek pajak yaitu;
1. Diberikan kepada semua pembeli/ konsumen akhir tanpa di undi.
2. Hadiah di terima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/
jasa.
F. Sewa
Menurut UU PPh Nomer 36 tahun 2008 pasal 23 ayat ( 1) huruf c mulai 1 januari
2009 sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta di kenakan PPh 23
sebesar 2% dari jumlah bruto . Berdasarkan UU PPh Nomer 36 tahun 2008 pasal ayat
(1a), besarnya pungutan di bedakan antara WP yang ber NPWP dengan WP yang tidak
ber NPWP. Tariff WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tariff yang
di terapkan terhadap WP yang dapat menujukan NPWP.
G. Imbalan Jasa
Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1) huruf c, imbalan jasa
yang menjadi objek PPh 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh Dirjen
Pajak, selain yang telah dipotong PPh 21.
Berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ./2009 tentang jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
dikenakan PPh sebesar 2% x penghasilan bruto tidak termasuk PPN.
Karena menganut asas World Wide Income, maka UU PPh menentukan bahwa WP dalam
negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilan yang diterimanya, baik di Indonesia maupun
diluar Indonesia.
Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka
WP harus melakukan pembetulan SPT tahunan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang
berkenaan dngan perubahan tersebut. Apabila akibat pembetulan tersebut terjadi PPh kurang
bayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakansanksi bunga sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat 2 UU KUP nomor 28 tahun 2007. Namun akibat pembetulan tersebut terjadi
PPh lebih bayar, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat dikembalikan kepada WP
setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Sesuai dengan ketentuan pasal 24, pajak yang dibayar atu yang terutangdiluar negeri
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan UU PPh. Metode kredit pajak yang demikian disebut metode
pengkreditan terbatas (ordinary credit method).
Saat Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk pengahsilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperbolehnya penghasilan
tersebut.
b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam thun pajak diterimanya penghasilan tersebut.
c. Untuk penghasilan berupa deviden sebagaimana dimaksud dalam UU PPh nomor 36
tahun 2008 pasal 18 ayat 2 dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen
tersebut ditetapkan sesuai dengan PMK-256/PMK.03/2008.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam
negeri tahun pajak 2009 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan
penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun pajak
2010.
2. Dalam menghitung PhKP, kerugian yang diderita oleh WP di luar negeri tidak dapat
dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.
Contoh:
PT. Bellagio di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai
berikut:
a. Di negara X, memperoleh laba Rp.1.000.000.000 dikenakan pajak dengan tarif
sebesar 40% = Rp. 400.000.000
b. Dinegara Y, memperoleh laba Rp 3.000.000.000 dikenakan pajak dengan tarif
sebesar 25% = Rp. 750.000.000
c. Dinegara Z, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000
d. Penghasilan usaha di dalam negeri sebesar Rp. 4.000.000.000
Penghitungan KPLN adalah sebagai berikut:
b. Untuk negara Y:
𝑅𝑝 3.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 1.568.000.000 = 𝑅𝑝 568.000.000
𝑅𝑝 8.000.000.000
Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp280.000.000 lebih
besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu
sebesar Rp200.000.000 maka jumlah KPLN yang diperkenankan adalah sebesar
Rp140.000.000.
4. Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah
maksimum KPLN dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara
perhitungan sebagai berikut:
Contoh:
PT. Mosha di Jakarta dalam tahun 2009 memperoleh penghasilan neto sebagai
berikut:
- Penghasilan dalam negeri = Rp2.000.000.000
- Penghasilan dari negara X
(dengan tarif pajak 40%) = Rp1.000.000.000
- Penghasilan dari negara Y
(dengan tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000 (+)
Jumlah penghasilan neto = Rp5.000.000.000
Apabila penghasilan neto sama dengan PhKP, maka PPh terutang menurut tarif Pasal
17 dan pasal 31E UU PPh, jumlah PPh terutang sebesar Rp. 728.000.000.
Batas maksimum KPLN setiap negara adalah sebagai berikut:
a. Untuk negara X
𝑅𝑝 1.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 145.600.000
𝑅𝑝 5.000.000.000
Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp400.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang
diperkenankan hanya sebesar Rp145.600.000
b. Untuk negara Y
𝑅𝑝 2.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 291.000.000
𝑅𝑝 5.000.000.000
Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 600.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang
diperkenankan adalah sebesar Rp 291.200.000
5. Dalam hal WP memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau penghasilan yang dikenakan
pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) UU PPh Nomor
36 Tahun 2008, maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan
penghasilan pada saat menghitung PhKP.
Contoh:
PT. Phoenix di Jakarta dalam tahun 2009 memperoleh penghasilan sebagai berikut:
Penghasilan dari negara Z
(dengan tarif pajak 30%) Rp 2.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp 3.500.000.000
Penghasilan dalam negeri ini termasuk
penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Rp 500.000.000
PhKP PT. Phoenix Rp 5.000.000.000
Sesuai tarif Pasal 17 dan Pasal 31E UU PPh, maka PPh yang terutang sebesar Rp
728.000.000
Batas maksimum KPLN adalah:
𝑅𝑝 2.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 291.200.000
𝑅𝑝 5.000.000.000
Pajak Penghasilan 25
PPh 25 adalah pembayaran angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh WP yang bersangkutan untuk setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. PPh 25 harus dibayarkan atau disetorkan paling lambat
pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Konsep Umum
a. PPh 25 setiap bulan
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT
Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
- PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
- PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.