Anda di halaman 1dari 23

Persediaan dan Biaya dibayar dimuka

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Perpajakan)

Dosen Pengampu: Ismawati Haribowo S.E.,M.Si.

Kelompok 2 :

Anggota Kelompok :

Nia Rizky Indriani 11140820000001


Risca Rahma Dita 11170820000006
Nuri Fitri Salsabila Ilahi 11170820000010
Syahrul Muttaqien 111708200000

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. atas karunia, hidayah, dan nikmatnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Akuntansi Perpajakan yang berjudul Persediaan dan Beban
dibayar dimuka. Penulisan makalahh ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Perpajakan, Ibu Ismawati Haribowo
S.E.,M.Si.

Makalah ini bersumber dari buku yang berkaitan dengan Akuntansi Perpajakan, tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada pengajar mata kuliah Akuntansi Perpajakan atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini serta kepada rekan-rekan yang telah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.

Kami berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua yang
membaca makalah ini, semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai akuntansi
perpajakan. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membaca.
Aamiin.

Ciputat, 23 Setptember 2019

Penulis
Persediaan
Persediaan dari sisi Akuntansi
Dalam SAK-ETAP (2009:52-57) diatur mengenai persediaan, yaitu sebagai berikut:

Ruang Lingkup Persediaan adalah aset:


a. Untuk dijual dalam kegiatan usaha normal:
b. Dalam proses produksi untuk kemudian dijual:
c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam
proses produksi atau pemberian jasa.
Tidak termasuk  persediaan dalam proses dalam kontak konstruksi dan
efek tertentu.
Pengukuran Biaya perolehan persediaan mencakup biaya pembelian, biaya konversi, dan
biata lainnya.
Biaya pembelian  harga beli, bea masuk, pajak lainnya, biaya
pengangkutan, biaya penanganan dan biaya lainnya yang secara langsung
dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan dan jasa. Diskon
dagang, potongan dan lainnya yang serupa dikurangkan dalam menentukan
biaya pembelian.
Biaya konversi  biaya tenaga kerja langsung dan overhead produksi tetap
serta variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi.
Alokasi overhead produksi tetap didasarkan pada kapasitas fasilitas produksi
normal, sedangkan overhead produksi variabel dialokasikan pada unit
produksi atas dasar penggunaan aktual fasilitas produksi.
Biaya konversi produk bersama (join product) yang mempunyai produk
utama (main product) dan produk sampingan (by product) dialokasikan
dengan dasar yang rasional dan konsisten.
Pengakuan Persediaan diakui sebagai beban periode pada saat pendapatan terkait diakui.
Penurunan Nilai Penurunan nilai persediaan diakui sebagai beban pada saat terjadinya dan
setiap tanggal neraca dilakukan pengujian.
Pengungkapan Entitas harus menggunakan:
a. Kebijakan akuntansi yang ditetakan untuk mengukur persediaan;
b. Total jumlah tercatat persediaan;
c. Jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode;
d. Jumlah penurunan nilai persediaan dan pemulihannya yang diakui
dalam laba rugi;
e. Jumlah tercatat persediaan yang diagunkan.

Perpajakan
Dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 sistem pencatatam tidak diatur secara jelas. Selama
sistem perencatatan tersebut dapat menunjukkan kebenaran pencatatan, konsisten, dan taat asas
maka ketentuan perpajakan dapat menerimanya.
Sistem perpetual tidak menggunakan cara penaksiran dalam menghitung nilai persediaan,
bahkan pemeriksaan masih digunakan sebagai pelengkap. Dengan demikian, sistem ini tidak
bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Cara yang tidak sesuai dengan prinsip perpajakan
adalah apabila dinilai berdasarkan penaksiran atau perkiraan.

Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan HPP hanya boleh dilakukan dua
cara menurut ketentuan perpajakan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 10 ayat (6), yaitu:
Metode rata-rata (average), atau Metode mendahulukan persediaan yang didapat pertama (first in
first out (FIFO)). Pemilihan metode tersebut harus dilakukan secara taat asas, artinya sekali WP
memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan HPP, maka untuk
selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

Ketentuan perpajakan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 dalam menghitung Penghasilan


Kena Pajak (PhKP) harus berdasarkan data yang benar dan bukan berdasarkan penaksiran.
Penilaian persediaan akhir tidak boleh dihitung dengan asumsi seperti penggunaan metode Gross
Profit Method dan Retail Inventory Method, melainkan sesuai dengan penilaian persediaan
dengan dasar harga perolehan melaui metode average atau metode FIFO.

Contoh:
Pada tanggal 3 Maret 2012 PT Bintang membeli 100unit barang dagang dengan harga
Rp.5.000.000 (harga sebelum termasuk PPN) secara tunai. PT Bintang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PhKP) sejak 31 Januari 2005. Pembukuan atas persediaan dilakukan
dengan sistem perpetual.
Jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
01-Mar-12 Persediaan barang dagang 5.000.000
Pajak masukan 500.000
Kas/Bank 5.500.000
Pajak masukan 10% x Rp.5000.000 = Rp.500.000
Harga 1unit barang dagang adalah Rp.5000.000: 100unit = Rp.50.000

Pada tanggal 31 Maret 2012, PT Bintang mejual 20umit barang dagang secara tunai dengan
harga jual er masing-masing unit sebesar Rp.70.000 (belum termasuk PPN)
Jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
31-Mar-12 Kas/Bank 2.310.000
Pajak keluaran 210.000
Penjualan 2.100.000
Harga Pokok Penjualan 1.500.00
Persediaan barang dagang 1.500.000
(Rp.50.000 x 30unit)
Pajak Keluaran 10% x Rp.2.000.000 = Rp.210.000
Persediaan barang dagang yang tersisa dan tercatat dalam pembukuan PT Bintang per
tanggal 31 Maret 2012 adalah Rp.50.000 x 70unit = Rp.3.500.000

Apabila PT Bintang belum dikukuhkan sebagai PKP maka untuk jurnal pada saat pembelian
barang dagang sebagai berikut:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
03-Mar-12 Persediaan barang dagang 5.500.000
Kas/Bank 5.500.000

PT Bintang tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya sehingga Pajak Masukan dimasukkan
sebagai harga perolehan barang dagang. Jadi harga 1unit barang dagang adalah Rp5.500.000:
100 unit = Rp55.000
Jurnal untuk transaksi penjualan yaitu:
Tanggal Keterangan Debet Kredit
31-Mar-12 Kas/Bank 2.100.000
Penjualan 2.100.000
Harga Pokok Penjualan 1.650.000
Persediaan barang dagang 1.650.000
(Rp55.000 x 30unit)

Karena bukan PKP maka PT Bintang tidak memungut Pajak Keluaran.

Beban dibayar dimuka

Definisi beban dibayar di muka


Menurut Wild dan Kwok (2011 : 118), beban dibayar di muka adalah pos – pos (items)
yang pada awalnya dicatat sebagai harta tetapi diharapkan menjadi beban dikemudian hari
setelah melampaui kegiatan normal perusahaan. Beban dibayar di muka biasanya dikelompokkan
ke dalam aset lancar. Beban dibayar dimuka ini dapat berupa beban dibayar dimuka atas
asuransi, sewa dan pajak. Untuk akuntansi komersial, pencatatan Beban dibayar di muka dapat
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan harta dan pendekatan beban.
Contoh :
Dibayar beban dibayar di muka sebesar Rp 24.000.000 untuk 2 tahun pada tanggal 1 Desember
2016
1. Jurnal akuntansi komersial apabila dicatat sebagai harta
1-Des-2016 beban dibayar di muka 24.000.000
Kas/ bank 24.000.000
Pada tanggal 31 Desember 2016 dilakukan penyesuaian atas beban dibayar di muka yang
telah berjalan 1 bulan. Jurnal penyesuaian unuk tanal 31 desember 2016 adalah :
31-Des-2016 beban 1.000.000
Beban dibayar di muka 1.000.000

Jurnal penutup untuk menutup perkiraan beban ke ikhtisar laba rui


31-Des-2016 ikhtisar laba rugi 1.000.000
Beban 1.000.000

Jurnal pembalik pada tangal 1 Januari 2017


1-Jan-2017 tidak ada jurnal

2. Jurnal akuntansi komersial apabila dicatat sebagai beban


1-Des-2016 beban 24.000.000
Kas/bank 24.000.000

Pada tanggal 31 Desember 2016 dilakukan penyesuaian atas beban yan telah berjalan 1
bulan. Jurnal penyesuaian untuk tanggal 31 Desember 2016 adalah :
31-Des-2016 beban dibayar di muka 1.000.000
Beban 1.000.000

Jurnal penutup untuk menutup perkiraan beban ke ikhisar laba rugi


31-Des-2016 ikhisar laba rugi 1.000.000
Beban 1.000.000

Jurnal pembalik pada tanggal 1 Januari 2017 adalah :


1-Jan-2017 beban 23.000.000
Beban dibayar di muka 23.000.000
A. Asuransi dibayar di muka
Asuransi dibayar di muka tidak dikenakan PPN maupun Pajak Penghasilan
Contoh :
Pada tangal 1 Januari 2017 dibayar premi asuransi untuk kendaraan sebesar Rp
12.000.000 untuk 1 tahun. Jurnalnya adalah :
1-Jan-2017 asuransi dibayar dimuka 12.000.000
Kas/bank 12.000.000

B. Sewa dibayar di muka


1. Sewa atas tanah dan / atau bangunan
Penghasilan yan diterima / diperoleh oran pribadi atau badan dari persewaan
tanah dan/atau banunan berupa tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor, toko, gudang, dan industri dikenakan PPh Final yaitu PPh
Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan / atau
bangunan
Persewaan tanah dan/atau bangunan akan dipoton oleh penyewa pada saat
pembayaran atau pembebanan biaya, dan pihak penyewa tersebut yang akan membayar
atau menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke kas negara dengan mengunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa
PPh Final pasal 4 ayat 2 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
Apabila tidak dipotong oleh penyewa maka pihak yang menyewakan tanah dan /
atau bangunan tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat 2 terseut ke Kas Negara
dengan mengunakan SPP tanggal 15 bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP
dengan menggunakan SPT masa PPh final Pasal 4 ayat 2 tangal 20 bulan berikutnya.
Contoh :
Pada tanggal 2 Maret 2017 PT Andhika menyewakan ruang perkantoran pada PT
Budi dengan harga sewa sebesar Rp 10.000.000 (belum termasuk PPN) untuk masa 1
tahun. PT Andhika membuat faktur pajak untuk transaksi sewa ini, dan menerima Bukti
Pemotongan PPh final Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari persewaan tanah dan /atau
bangunan. Sedangakn PT Budi paling lambat tanggal 10 April 2017 wajib menyetorkan
pajak tersebut dengan menggunakan SPP dan paling lambat tangggal 20 April 2017
berkewajiban memuat SPT masa PPh Final pasal 4 ayat 2 untuk melaporkan ke KPP.
Jurnal untuk transaksi :
1. Pembukuan PT Andhika (pemilik)
PT Budi (PKP) PT Budi (non PKP)
PT Andhika (PKP) Dr. Kas/Bank 10.000.000 Dr. Kas/Bank 10.000.000
Dr. PPh psl 4 (2) 1.000.000 Dr. PPh psl 4 (2) 1.000.000
Cr. Pajak Keluaran 1.000.000 Cr. Pajak Keluaran 1.000.000
Cr. Pendp sewa 10.000.000 Cr. Pendp sewa 10.000.000
PT Andhika (non Dr. Kas/Bank 9.000.000 Dr. Kas/Bank 9.000.000
PKP) Dr. PPh psl 4 (2) 1.000.000 Dr. PPh psl 4 (2) 1.000.000
Cr. Pendp sewa 10.000.000 Cr. Pendp sewa 10.000.000

2. Pembukuan PT Budi (penyewa)


PT Budi (PKP) PT Budi (non PKP)
PT Andhika (PKP) Dr. Sewa ddm 10.000.000 Dr. Sewa ddm 10.000.000
Dr. Pajak masukan 1.000.000 Dr. Pajak masukan 1.000.000
Cr. PPh psl 4(2) 1.000.000 Cr. PPh psl 4(2) 1.000.000
Cr. Kas/Bank 10.000.000 Cr. Kas/Bank 10.000.000

(pajak masukan dapat dikreditkan (pajak masukan tidak dapat


oleh PT Budi) dikreditkan oleh PT Budi)
PT Andhika (non Dr. Sewa ddm 10.000.000 Dr. Sewa ddm 10.000.000
PKP) Cr. PPh psl 4 (2) 1.000.000 Cr. PPh psl 4 (2) 1.000.000
Cr. Kas/Bank 9.000.000 Cr. Kas/Bank 9.000.000

2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta


Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta tersebut dibagi atas :
1. Sewa atas kendaraan angkutan darat
Sewa atas kendaraan angkutan darat dipotong PPh 23 sebesar perkiraan
penghasilan netonya adalah 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Jadi, tarif
efektifnya adalah sebesar 1,5% (15% x 10%) x jumlah bruto tidak termasuk PPN.
Contoh :
Pada tanggal 1 April 2016 PT Kurnia menyewa us kepada PT Abadi untuk jangka
awaktu 6 bulan. Biaya sewa per bulannya adalah Rp 10.000.000. PT Kurnia dan PT
Abadi adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jurnal untuk PT Kurnia :
1-Apr-2016 sewa dibayar di muka 60.000.000
PPN masukan 6.000.000
Utang PPh 23 900.000
Kas/Bank 65.100.000
Jurnal untuk PT Abadi :
1-Apr-2016 Kas/Bank 65.100.000
PPh 23 dibayar di muka 900.000
PPN Keluaran 6.000.000
Pendapatan Sewa 60.000.000
Apabila PT Kurnia bukan PKP maka PPN Masukan tidak dapat dikreditkan dan
dicatat termasuk sebagai harga perolehan dari sewa angkutan darat dibayar di muka.
Sedankan, apabila PT Abadi bukan PKP, maka PT Abadi tidak diperkenankan
memungut PPN.

2. Sewa atas Aset Tetap Lainnya


Sewa atas aset tetap lainnya akan dipotong PPh 23 sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar. Dan besarnya perkiraan
penghasilan netonya adalah 30%. Jadi, efektifnya adalah sebesar 4.5% (15% x 30%) x
jumlah bruto tidak termasuk PPN.
Contoh :
Pada tanggal 18 Oktober 2016 PT Andy menyewa kapal tanpa awaknya dari PT
Jhonny untuk mengganti kapalnya yang sedang diperbaiki dengan nilai Rp
100.000.000. PPh yan dipotong oleh PT Jhonny adalah sebesar 15% x 30% x Rp
100.000.000 = Rp 4.500.000
Jurnal untuk PT Andy :
18-Okt-2016 Sewa dibayar di muka 100.000.000
PPN Masukan 10.000.000
Utang PPh 23 4.500.000
Kas/Bank 105.500.000
Jurnal untuk PT Jhonny :
18-Okt-2016 Kas/bank 105.500.000
PPh 23 dibayar di muka 4.500.000
PPN Keluaran 10.000.000
Pendapatan Sewa 100.000.000

PAJAK DIBAYAR DIMUKA


Pajak Penghasilan 22
Badan Pemungut Pajak Penghasilan 22

Sesuai PMK-154/PMK.03/2010 jo. PER-15/PI/2011 tentang pemungutan PPh 22 sehubungan


dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor/kegiatan usaha di
bidang lain adalah sebagai berikut:

a) Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang
b) Bendahara Pemerintah dan Penguasa Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instalasi/Lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga Negara lainnya berkenan dengan pembayaran atas pembelian barang
c) Bendahar pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang
Persediaan (UP)
d) KPA/penjabat penerbit surat perintah Membayar yang di beli delegasi KPA, untuk
pembayaran kepada pihak ketiga yang di lakukan dengan mekanisme Pembayaran
Langsung (LS)
e) Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertas, baja, dan
otomotif yang di tunjuk oleh kepala KPP, atas penjualan hasil produksi dalam Negeri
f) Produsen atau impotir bahan bakar minyak, gas, dan plumas atas penjualan bahan bakar
minyak , gas, minyak, dan pelumas
g) Indutri dan exportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan yang ditunuk oleh kepala KPP atas pembelian bahan bahan untuk keperluan
industri atau expor mereka dari pedagang pengepul.

Tarif Pajak Penghasilan 22


Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 22 ayat (3) jo PMK-154/PMK.03/2010
besarnya pungutan di bedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP yang ber-NWP tarif WP
yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100%dari pada tarif yang di terapkan terhadapWP yang
dapat menunjukan NPWP tarif ini berlaku hanya untuk pemungutan PPh 22 yang tidak final.

1) Untuk transaksi impor barang yang di pungut oleh Bank Devisa dan DIBC, kecuali yang
mendapat fasilitas pembebasan, maka PPh 22 di karnakan atas:
a) Impor barang di mana importir dengan API:
 Dikarenakan tarif sebesar 2,5% dan nilai impor untuk impor barang selain
kedelai, gadum, dan tepung terigu
 Dikarenakn tarif 0,5% dari nilai impor untuk impor kedelai, gadum dan
tepung terigu
b) Impor barang di mana importir non – API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor.
Nilai impor = nilai CIF (Cost + Insurance +fright) + bea masuk (pungutan
berdasarkan UU Kepabean)
Nilai di kurskan menggunakan kurs KMK, apabila nilai impor dalam mata uang
asing.
c) Hasil lelang atasw barang yang tidak kuasai dan dilakukan pelelangan oleh Dirjen
Kekayaan dan Lekang Negara atau DBJB. Pemenang yang beli barang dari hasil
lelang DJBJ, maka di kenakan biaya 7,5% dari harga jual lelang.
d) Pungutan PPh 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat di
perhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (tidak
final)
e) PPh 22 PPN dan PPnBM harus di lunasi bersama pada saat pembayaran bea
Masuk dan dalam hal apabila Bea Masuk di tunda atau di bebaskan, maka pajak
pajak di atas harus di lunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan
impor barang (PIB).
f) PPh 22, PPN dan PPnBM ini disetor ke atas negara melalui kantor Pos, Bank
Devisa, atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh DJBJ selambat
lambatnya 1 hari kerja setrelah di lakukan pemungutan pajak tersebut, atau oleh
importir yang bersangkutan dengan menggunakan formulir (SSPCP) yang berlaku
sebagai bukti pemungutan pajak.
g) PPh 22, PPN dan PPnBM wajib dilaporkan hasil pemungutan dengan
menggunakan SPT masa ke KPP dengan batas pelapor paling lama pada hari
terakhir minggu berikutnya.

2) Berdasarkan PMK-154/PMK.03/2010 jo PER-15/PJ/2011 untuk transaksi pembayaran


yang berhubungan dengan bendahara pemerintah dan KPA berkenan dan pembayaran
yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000 dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah di kenakan PPh 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian (belum termasuk
PPN). Pungutan PPh 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat diperhitungkan
dengan pajak tentang untuk tahun pajak yang bersangkutan (tidak final).
PPh 22 atas pembelian barang oleh pemungutan pajak teutang dan dipungut pada
saat pembayaran. PPh 22 wajib di setor oleh pemungut ke atas negara mellui kantor Pos,
Bank Devisa, atau Bank yang di tunjuk olek Kementerian Keuangn dengan menggunakan
SSP yang telah di isi ats rekanan serta di tanda tangani oleh pemungut pajak, pada hari
yang sama saat memungut pajak tersebut. Penyetoran PPh 22 dengan menggunakan
formulir SSP yang berku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. PPh 22 wajib di laporkan
hasil pemungutanya dengan menggunakan SPT masa ke KPP dalam batas aktu paling
lambat 14 hari setrelah masa pajak berakhir. Masa pajak berakhir, yaitu paling lambat
tanggal 14 Mei 2012.

3) Untuk transaksi hubunga dengan industri tertentu (PMK-154/PMK.03/2010) yang terdiri


atas berikut ini.
 Industri semen di kenakan tarif PPh 22 sebesar 0,25% dari harga jual
 Industri kertas di kenakan tarif PPh 22 sebesar 0,10% dari harga jual
 Indutri baja di kenakan tarif PPh 22 sebesar 0,30% dari harga jual.
Badan usaha yang bergerak di badan usaha industri baja adalah industri baja yang
merupakan industri hulu, di mana mengola memproses lebih lanjut sebagian atau
seluruh hasil produknya menjadi produknya antara dan/ atau produk hiulir sehingga
badan usaha tersebutr melakukan kegiatan produksi secara terintergrasi maka PPh 22
di pungut atas penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir (PER
15/PI/2011)
 Industri otomotif di kenakan tarif PPh 22 sebesar 0,45% dari harga jual; (termasuk
juga WP importir kendaraan dalam keaadan CBU yang di jual di dalam negeri,
dengan tujuan memberikan pemberlakuan yang sama dengan industri otomotif
(dalam negri). Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri otomotof adalah
badan industri otomotif, termasuk agen tunggal pemegang Marek (APTM), Agen
Pemegang Merek (APM) dan importir umum kendaraan bermotor (PER 15/PI/2011).

PPh 22 terutang dan di pungut pad saat penjualan. Penyetoran PPh tersebut wajib
di setorkan ke kas Negara melalui kantor Pos , Bank Devisa atau Bank yang di tunjuk
oleh Mentri Keuangan dengan menggunakan SSP selambat lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya dan pelaporan ke KPP selambat lambatnya 20 hari. Pemungut wajib
menerebitkan Bukti Pemungutan . PPh 22 dalam rangkap 3 yaitu: (a) lembar ke-1
untuk WP: (b) lembar ke-2 sebagai lapiran laporan bulanan kepada KPP yang di
lampirkan pada SPT masa PPh 22: dan (c) lembar ke -3 sebagai arsip pemungutan
pajak yang bersangkutan SPT masa ke KPP.
Menurut PER-15/PI/2011 apabila terjadi pengambilan barang hasil produksi yang
di beli dari badan usaha sebagai pemungut PPh 22 setelah masa pajak terjadi
penjualan, maka pembeli harus membuat dan menyapaikan nota retur kepada
pemungut PPh 22. Nota retur harus di buat dalam masa pajak terjadi pengambilan
barang hasil produksi. Retur paling sedikit hasil perpajakan di buat rangkap 3 yaitu:
(a)lembar ke-1 untuk pemungutan pajak; (b) lembar ke-2 sebagai lampiran pada SPT
masa PPh 22; dan (c) lembar ke-3 sebagai arsip untuk WP pembeli.
4) Untuk taransaksi yang berhubungan dengan PT Pertamina serta badan usaha yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, dan gas dikenakan PPh
dengan tarif sebagai berikut,
Uraian SPBU bukan Pertamina SPBU Pertamina (% dari
(% dari penjualan) penjualan)

Premium/solar/Premix/SuperTT 0,3% 0,25%

Minyak Tanah, Gas LPG 0,3% 0,30%

Oli/pelumas pertamina 0,3% 0,30%

Pemungutan PPh 22 atau penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas minyak kepada
penyalur atau agen bersifat final,. Tetapi, apabila penjualanya bukan kepada penyalur
atau agen muka pungutan PPh 22 bersifat tdak final (PMK-154/PMK.03/2010
jo.SE.92/PI/2010).
PPh 22 di pungut saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order-
DO). Penyetor PPh tersebut wajib di setorkan ke kas Negara melalui kantor Pos, Bnak
Devisa, atau Bank yang di tunjuk Kementrian Keuangan menggunakan SSP.Penyetor
PPh 22 tersebut 10 hari berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan
SPT masa ke KPP.
Pemungut pajak Wajib menerbitkan Bukti pemungutan PPh 22 dalam rangka 3 yaitu: (a)
lembar ke-1 untuk WP; (b) lembar ke-2 sebagai lapiran laporan bulanan kepada KPP
yang di lampirkan pada SPT masa PPh 22; dan (c) lembar ke-3 sebagai arsip pemungut
pajak yang bersangkuatan.
5) Untuk transaksi yang berhubungan dengan industri dan exportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dikenakan tarif PPh 22 sebesar
0,25% x harga pembelian (tidak termasuk PPN ) bahan untuk keperluan indusri saat
expor dari pedagang pengepul, PMK-154/PMK.03/2010 (industri plywood, tepung
tapioka, exportir kayu glondongan, industri ikan kaleng, penghasil cold storage).
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya;
(a) mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perkanan; dan (b)
menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan exportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan. PPh 22 atas pembelian bahan-bahan
dari pedagang pengepul terutang dan di pungut pada saat pembelian.
Penyetoran PPh tersebut wajib di storkan ke kas Negara melalui Kntor Pos, Bank
Devisa, atau Bank yang di tunjuk oleh Kementrian Keuangan dengan menggunakan SSP,
Dimana penyetoran PPh 22 yang di pungut pada saat pembelian, adalah paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
Sedangkn pelapor PPh 22 paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Pemungut pajak waji menerbitkan Bukti Pemungutan PPh 22 dalam rangkap 3 yaitu; (a)
lembar ke-1 WP ; (b) lembar ke-2 sebagai lampran laporan bulanan kepada KPP yang di
lampirak pada SPT masa PPh 22; dabn (c) lembar ke-3 sebagai arsip pemungut pajak
yang bersangkutan.
6) Berdasarkan PMK-253/PMK.03/2008 jo.SE-13/PJ/2009 untuk transaksi penjualan barang
yang tergolong sangat mewah dikenakah PPh 22 sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
Barang yang tergolng sangat mewah meliputi:
a. Pesawat terbang pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 Miliar
b. Kapal Pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 Miliar.
c. Rumah berserta Tanahnya dengan harga jual atau harga pengaliahanya lebih dari
Rp 10 Miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau harga
pengalihanya lebih dari Rp 10 Miliar dan / luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda 4 pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan , jeep, sport utility vehilce (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 Miliar dan dengan kapasitan silinder
lebih dari 3.000 cc.

PPh 22 di pungut pemungut pajak pada saat melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Pajak tersebut dapat di perhitungkan sebagai pembayaran PPh
dalam tahun berjalan bagi WP yang melakukan pembelian barang tersebut/ PPh 22 di
setorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP dan di
laporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.

PAJAK PENGHASILAN 23

PPh 23 adalah pajak penghasilan yang pemenuhan kewajibannya dilakukan dengan cara
pemotongan atas pembayaran penghasilan yang diterima oleh WP dalam negeri dan bentuk
usaha tetap (BUT) yang berasal dari penghasilan dari harta-modal, penyerahan jasa, atau
penyeenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21.

Pemotong PPh 23 adalah (a) badan pemerintah , (b) subyek pajak dalam negeri; (c)
penyelenggaraan kegiatan; (d) BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri; dan ( e) orang
pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk dirjen pajak, yaitu akuntan, arsitek, dokter,
notaris/PPAT kecuali camat, penilai, aktuaris, pengacara, dan konsultan yang melakukan
pekerjaan bebas serta orang pribadi yang menjalankan usaha dengan menyelenggarakan
pembukuan atau pembayaran berupa sewa.

Pemotongan PPh 23 dilakukan pada saat dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah
jatuh tempo. Setelah dilakukan pemotongan PPh 23 maka pemotongan pajak harus menerbitkan
bukti PPh 23, dimana pemotong memiliki kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkannya ke
KPP. Penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya
pemotongan. Sedangkan, pelaaporan pajaknya menggunakan SPT masa PPh pasal 23/26
dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnyasetelah bulan dilakukan pemotongan pajak
tersebut.
Berdasar UU PPh No.36 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1a), besarnya pungutan dibedakan
antara WP yang ber NPWP dengan WP yang tidak berNPWP. Tarif WP yang tidak memiliki
NPWP lebih tinggi 100% dari tariff yang diterapkan terhadap WP yang tidak menunjukkan
NPWP.

A. Deviden

Berdasar UU PPh No. 36 Taahun 2008 pasal 17 ayat (2c) jo. PP 19 Tahun 2009jo.
SE-01/PJ.03/2009, deviden yang dikenakan pajak adalah deviden yang diterima oleh WP
pribadi dalam negeri. Atas penghasilan berupa deviden tersebut dikenakan pajak yang
bersifat final dengan tariff 10% dari penghasilan bruto. PPh final atas deviden ini
dikenakan kepada pihak penerima deviden pada saat menerima deviden dan atas pajak
tersebut pihak penerima deviden tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dibayar
pada saat menghitung PPh kurang/lebih bayar pada akhir tahun pajak.

B. Bunga

Bunga yang dikenakan PPh 23 daalah bunga termasuk premium, diskonto, idan
imbalan karena jaminan pengembalian utang yang merupakan Bunga antar pinjaman dari
WP badan ke WP badan, WP badan ke WP pribadi atau sebaliknya, serta bunga obligasi
yang tidak dijual pada bursa efek. Tariff PPh 23 atas bunga tersebut adalah 15% dari
penghasilan bruto. Pihak yang menerima penghasilan berupa bunga tersebut dapat
mengkreditkan pajak yang dibayar dimuka PPh 23 atas bunga pada saat enghitung PPh
kurang/lebih bayar pada akhir tahun pajak.

C. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

Atas penghasilan yang berupa royalty, pihak yang menerima royalty dikenakan
PPh 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto dan pajak yang dibayar dimuka PPh 23 arri
hasil karya sinematografi perlakuan PPh 23 diatur dalam PER-33/PJ/29jo.SE-58/PJ/2009.

D. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya


Hadiah yang objek pajak yaitu hadiah perlombaan, perhargaan dan prestasi
tertentu dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan atau pembrian jasa. Tarif PPh 23atas
hadiah adalah sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh 23 ini di kenekan kepeda fihak yang
menerima hadiah dan pajak yang di bayar di mukaPPh 23 atas hadiah ini dapat menjadi
kredit pajak bgi fihak penerima hadiah.

Hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun melalui cara undian yang di
terima atau di di peroleh orang pribadi dalam negri dan luar negridi kenakan PPh final
sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian(UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4
ayat (2) huruf b jo.PP 132 tahun 2000 jo.Kep -395 /PJ./ 2001 jo. SE-19/ PJ.43/
2001).Hadiah yang bukan obyek pajak yaitu;
1. Diberikan kepada semua pembeli/ konsumen akhir tanpa di undi.

2. Hadiah di terima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/
jasa.
F. Sewa

Menurut UU PPh Nomer 36 tahun 2008 pasal 23 ayat ( 1) huruf c mulai 1 januari
2009 sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta di kenakan PPh 23
sebesar 2% dari jumlah bruto . Berdasarkan UU PPh Nomer 36 tahun 2008 pasal ayat
(1a), besarnya pungutan di bedakan antara WP yang ber NPWP dengan WP yang tidak
ber NPWP. Tariff WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tariff yang
di terapkan terhadap WP yang dapat menujukan NPWP.
G. Imbalan Jasa

Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1) huruf c, imbalan jasa
yang menjadi objek PPh 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh Dirjen
Pajak, selain yang telah dipotong PPh 21.
Berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ./2009 tentang jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
dikenakan PPh sebesar 2% x penghasilan bruto tidak termasuk PPN.

Pemotong memotong PPh 23 pada saat pembayaran (saat yang terutang).


Pemotong memberikan Bukti Pemotongan PPh 23 kepada pihak yang dipotong. Untuk
pihak yang dipotong PPh 23 merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh 23
tersebut bersifat final. Kemudian pemotong menyetorkan PPh 23 secara kolektif perbulan
pemotongan; dan disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan
menggunakan SSP atas nama pemotong PPh 23. Setelah itu pemotong melaporkan
pemotongan dan penyetoran PPh 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan
menggunakan SPT masa PPh 23.
Pajak Penghasilan 24
PPh 24 merupakan pajak yang telah dipotong oleh negara lain tempat WP memperoleh
penghasilan yang boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia.

Karena menganut asas World Wide Income, maka UU PPh menentukan bahwa WP dalam
negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilan yang diterimanya, baik di Indonesia maupun
diluar Indonesia.
Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka
WP harus melakukan pembetulan SPT tahunan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang
berkenaan dngan perubahan tersebut. Apabila akibat pembetulan tersebut terjadi PPh kurang
bayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakansanksi bunga sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat 2 UU KUP nomor 28 tahun 2007. Namun akibat pembetulan tersebut terjadi
PPh lebih bayar, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat dikembalikan kepada WP
setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Sesuai dengan ketentuan pasal 24, pajak yang dibayar atu yang terutangdiluar negeri
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan UU PPh. Metode kredit pajak yang demikian disebut metode
pengkreditan terbatas (ordinary credit method).
Saat Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:

a. Untuk pengahsilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperbolehnya penghasilan
tersebut.
b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam thun pajak diterimanya penghasilan tersebut.
c. Untuk penghasilan berupa deviden sebagaimana dimaksud dalam UU PPh nomor 36
tahun 2008 pasal 18 ayat 2 dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen
tersebut ditetapkan sesuai dengan PMK-256/PMK.03/2008.

Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN)


A. Penghitungan KPLN dilakukan sebagai berikut:
1. PPh dilakukan atas PhKP yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang
diterima dan diperoleh oleh WP baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Dalam menghitung seluruh penghasilan tersebut digabungkan
dalam tahun pajak diperoleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak
sesuai dengan PMK-256/PMK.03/2008 untuk penghasilan berupa dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh.
Contoh:
Dalam tahun pajak 2009, PT. Apollo di Jakarta menerima dan memperoleh
penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
a. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp. 800.000.000
b. Dividen atas pemilikan saham “Xace Ltd.” di Australia sebesar Rp. 200.000.000,
yaitu berasal dari keuntungan tahun 2006 yang ditetapkan dalam rapat pemegang
saham tahun 2008 dan baru dibayarkan dalam tahun 2009.
c. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada “Yin Corporation” di
Hongkong, yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.
75.000.000, yaitu berasal dari keuntungan saham 2007 yang berdasarkan PMK
ditetapkan diperoleh tahun 2009.
d. Bunga kwartal IV tahun 2009 sebesar Rp. 100.000.000 dari “Zin Bad Bhd” di
Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Juli 2010.

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam
negeri tahun pajak 2009 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan
penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun pajak
2010.

2. Dalam menghitung PhKP, kerugian yang diderita oleh WP di luar negeri tidak dapat
dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.
Contoh:
PT. Bellagio di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai
berikut:
a. Di negara X, memperoleh laba Rp.1.000.000.000 dikenakan pajak dengan tarif
sebesar 40% = Rp. 400.000.000
b. Dinegara Y, memperoleh laba Rp 3.000.000.000 dikenakan pajak dengan tarif
sebesar 25% = Rp. 750.000.000
c. Dinegara Z, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000
d. Penghasilan usaha di dalam negeri sebesar Rp. 4.000.000.000
Penghitungan KPLN adalah sebagai berikut:

1. Penghasilan luar negeri


a. Laba di negara X = Rp 1.000.000.000
b. Laba di negara Y = Rp 3.000.000.000
c. Laba di negara Z = Rp 0 (+)
d. Jumlah penghasilan luar negeri = Rp 4.000.000.000
2. Penghasilan dalam neger = Rp 4.000.000.000 (+)
3. Jumlah penghasilan neto adalah: Rp 8.000.000.000
4. PPh terutang
(menurut Pasal 17 dan 31E UU PPh) = Rp 1.568.000.000
5. Batas maksimum KPLN untuk masing-masing negara adalah:
a. Untuk negara X:
𝑅𝑝 1.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 1.568.000.000 = 𝑅𝑝 196.000.000
𝑅𝑝 8.000.000.000

b. Untuk negara Y:
𝑅𝑝 3.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 1.568.000.000 = 𝑅𝑝 568.000.000
𝑅𝑝 8.000.000.000

Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp 750.000.000, maka maksimum


kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp568.000.000.

Jumlah KPLN yang diperkenankan adalah Rp196.000.000 +


Rp568.000.000=Rp784.000.000
Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung PhKP, kerugian yang diderita
di luar negeri (di negara Z sebesar Rp2.500.000.000) tidak boleh
dikompensasikan.

3. Perhitungan batas maksimum KPLN yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:


Contoh:
PT. Dakocan di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai
berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000
Penghasilan luar negeri (dengan tarif pajak 20%) Rp1.000.000.000

Perhitungan jumlah maksimum KPLN adalah sebagai berikut:


1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp 1.000.000.000 (+)
Jumlah penghasilan neto Rp 2.000.000.000\
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan PhKP, maka sesuai tarif Pasal 17
dan Pasal 31E UU PPh, jumlah PPh yang terutang sebesar Rp280.000.000
3. Batas maksimum KPLN adalah sebagai berikut:
𝑅𝑝 1.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 280.000.000 = 𝑅𝑝 140.000.000
𝑅𝑝 2.000.000.000

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp280.000.000 lebih
besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu
sebesar Rp200.000.000 maka jumlah KPLN yang diperkenankan adalah sebesar
Rp140.000.000.
4. Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah
maksimum KPLN dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara
perhitungan sebagai berikut:
Contoh:
PT. Mosha di Jakarta dalam tahun 2009 memperoleh penghasilan neto sebagai
berikut:
- Penghasilan dalam negeri = Rp2.000.000.000
- Penghasilan dari negara X
(dengan tarif pajak 40%) = Rp1.000.000.000
- Penghasilan dari negara Y
(dengan tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000 (+)
Jumlah penghasilan neto = Rp5.000.000.000

Apabila penghasilan neto sama dengan PhKP, maka PPh terutang menurut tarif Pasal
17 dan pasal 31E UU PPh, jumlah PPh terutang sebesar Rp. 728.000.000.
Batas maksimum KPLN setiap negara adalah sebagai berikut:
a. Untuk negara X
𝑅𝑝 1.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 145.600.000
𝑅𝑝 5.000.000.000

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp400.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang
diperkenankan hanya sebesar Rp145.600.000

b. Untuk negara Y
𝑅𝑝 2.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 291.000.000
𝑅𝑝 5.000.000.000

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 600.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang
diperkenankan adalah sebesar Rp 291.200.000

5. Dalam hal WP memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau penghasilan yang dikenakan
pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) UU PPh Nomor
36 Tahun 2008, maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan
penghasilan pada saat menghitung PhKP.
Contoh:
PT. Phoenix di Jakarta dalam tahun 2009 memperoleh penghasilan sebagai berikut:
Penghasilan dari negara Z
(dengan tarif pajak 30%) Rp 2.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp 3.500.000.000
Penghasilan dalam negeri ini termasuk
penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Rp 500.000.000
PhKP PT. Phoenix Rp 5.000.000.000

Sesuai tarif Pasal 17 dan Pasal 31E UU PPh, maka PPh yang terutang sebesar Rp
728.000.000
Batas maksimum KPLN adalah:
𝑅𝑝 2.000.000.000
𝑥 𝑅𝑝 728.000.000 = 𝑅𝑝 291.200.000
𝑅𝑝 5.000.000.000

Pajak yang terutang di negara Z sebesar Rp 600.000.000, namun maksimum kredit


pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp 291.200.000

Pajak Penghasilan 25
PPh 25 adalah pembayaran angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh WP yang bersangkutan untuk setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. PPh 25 harus dibayarkan atau disetorkan paling lambat
pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Konsep Umum
a. PPh 25 setiap bulan
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT
Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
- PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
- PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

b. PPh 25 sebelum SPT Tahunan


Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk bulan-bulan
sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, sama dengan besarnya
angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Contoh:
1. Apabila SPT Tahunan PPh disampaikan oleh WP pada bulan Februari 2012,
maka besarnya angsuran PPh yang harus dibayar WP untuk bulan Januari
adalah sebesar angsuran PPh 25 bulan Desember 2011, misalnya sebesar Rp
1.000.000.
2. Apabila dalam contoh 1 diatas dalam bulan September 2011 diterbitkan
keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nilai sehingga angsuran PPh
25 sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2011 menjadi nihil, maka
besarnya angsuran PPh 25 yang harus dibayar WP setiap bulan untuk bulan
Januari 2012 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2011, yaitu nihil.
c. Tahun Pajak Berjalan Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu,
maka besarnya angsuran PPh 25 dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan perhitungan SKP.
Contoh:
Berdasarkan SPT Tahunan tahun pajak 2011 yang disampaikan WP dalam bulan
Februari 2012, perhitungan besarnya PPh 25 yang harus dibayar adalah sebesar
Rp1.250.000. Dalam bulan Juni 2012 telah diterbitkan SKP tahun pajak 2011
yang menghasilkan besarnya angsuran PPh 25 setiap bulan sebesar Rp.2.000.000.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (4), maka besarnya angsuran PPh 25 mulai bulan Juli
2012 adalah Rp.2.000.000. Penetapan besarnya angsuran PPh 25 berdasarkan
SKP tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran PPh 25
sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan.

Pajak Masukan (PPN Masukan)


Pada akhir masa pajak, setiap PKP diwajibkan melaporkan pemungutan dan
pembayaran pajak yang terutang kepada Kepala KPP setempat paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
1. Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan
a. Apabila dalam suatu masa pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya,
maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
b. Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang penghasilannya tidak
melebihi jumlah Rp 1.800.000.000 menggunakan Pedoman Penghitungan
Pengkreditkan Pajak Masukan (Deem PM) yang ditetapkan oleh PMK-
74/PMK.03/2010.
2. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Pajak masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak
yang sama (credit method), akan tetapi untuk pengeluaran yang dimaksud di bawah ini,
pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, yaitu:
a. Perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daeerah Pabean
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; dan
e. Perolehan BKP atau JKP yang dalam Faktur Pajak (FP)-nya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN jo PER-
65/P1/2010 di mana dokumen tidak boleh mencantumkan:
- Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;
- Nama pembeli BKP atau penerima JKP;
- NPWP, dalam hal penerima dokumen adalah WP dalam negeri;
- Jumlah satuan barang apabila ada;
- Dasar pengenaan pajak; dan
- Jumlah pajak yang terutang, kecuali dalam ekspor
f. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
yang SSP-nya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) UU PPN jo ER-65/PJ/2010;
g. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa
PPN, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
h. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbirtan
ketetapan pajak;
i. Perolehan BKP atau JKP yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan masa PPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN;
j. Pajak masukan yang berkaitan dengan BKP atau JKP yang penyerahannya dilakukan
melalui mekanisme pemakaian sendiri yang bersofat konsumtif;
k. Pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan;
- Kendaraan bermotor bekas;
- Jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan dan wisata;
- Jasa pengirman pajet; dan
- Jasa anjak piutang.
3. Pengkreditan pajak masukan pada masa Tidak Sama
a. Pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan pajak
keluaran pada masa pajak yang sama, maka dapat dikreditkan pada masa pajak
berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
b. Dalam hal jangka waktu tersebut telag dilampaui, maka pengkreditkan pajak masukan
tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan SPT masa PPN yang bersangkutan.
Pengecualian:
Apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP dan/atau JKP yang telah
dibukukan atau dicatat dalam pembukuan PKP, namun PP-nya belum atau terlambat
diterima (pajak masukan belum dapat dikreditkan) sehingga belum dapat dilaporkan
dalam SPT masa PPN maka pajak masukan tersebut tetap dapat diokreditkan pada masa
perhitungan kompensasi.

Anda mungkin juga menyukai