Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin


meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya pada
masyarakat. Bangsa Indonesia yang sementara membangun dirinya dari suatu
negara agraris yang sedang berkembang menuju negara masyarakat industri
membawa kecenderungan baru dalam pola penyakit dalam masyarakat.
Transisi epidemiologi penyakit adalah perubahan yang kompleks dalam pola
penyakit dan kesakitan ditunjukkan dengan adanya kecenderungan semakin
meningkatnya prevalensi penyakit noninfeksi (penyakit tidak menular)
dibandingkan dengan penyakit infeksi (penyakit menular). Hal ini sering
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan
meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit
jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, dan lain sebagainya.1
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak
di Indonesia. Keadaan dimana penyakit menular masih merupakan masalah
kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas
PTM makin meningkat merupakan beban ganda dalam pelayanan kesehatan,
tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di
Indonesia2,3.
Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di
dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya
disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk
dengan usia yang lebih muda. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), 60%
dari seluruh penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit jantung
koroner (PJK)4,5.
Proporsi angka kematian akibat PTM meningkat dari 41,7% pada
tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007.

1
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan tingginya prevalensi penyakit tidak
menular di Indonesia, seperti hipertensi (31,7%), penyakit jantung (7,2%),
stroke (0,83%), dan diabetes melitus di perkotaan (5,7%). Kematian akibat
PTM terjadi di perkotaan dan perdesaan.6,7,8

1.2. Perumusan Masalah


Tindak lanjut faktor resiko penyakit tidak menular pada Pelajar
SMAN 58 Ciracas.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Melakukan tindak lanjut faktor resiko penyakit tidak menular pada
Pelajar SMAN 58 Ciracas.
1.3.2 Tujuan Khusus
Melakukan tindak lanjut faktor resiko berdasarkan pemeriksaan
tekanan darah, gula darah sewaktu, tinggi badan, berat badan dan
perhitungan Indeks Massa Tubuh.

1.4. Manfaat Penelitian


a. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak puskesmas mengenai
resiko penyakit tidak menular pada pelajar SMAN 58 Ciracas sehingga
dapat memberikan penanggulangan penderita ke arah yang lebih baik.
b. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian dan
tindakan lanjutan lainnya mengenai penyakit tidak menular pada pelajar
SMAN 58 Ciracas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang kuat dan konstan
memompa darah melalui pembuluh darah.7 Terjadi bila darah
memberikan gaya yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normal
secara persisten pada sistem sirkulasi.9,10
Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah
sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat / tenang.14 Menurut WHO (2011)
batas normal tekanan darah adalah kurang dari atau 120 mmHg
tekanan sistolik dan kurang dari atau 80 mmHg tekanan diastolik.
Seseorang dinyatakan mengidap hipertensi bila tekanan darahnya
lebih dari 140/90 mmHg.6
Stadium hipertensi yang mencerminkan beratnya penyakit,
menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) tahun 2003 hipertensi
dibedakan berdasarkan Tekanan Darah Sistolik (TDS) dan Tekanan
Darah Diastolik (TDD) sebagai berikut:11
a. Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik
<80 mmHg
b. Prehypertension bila tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau
diastolik 80-89 mmHg
c. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140-159 mmHg
atau diastolik 90-99 mmHg
d. Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik 160 mmHg atau
diastolik 100 mmHg

3
Menurut petunjuk WHO-ISH klasifikasi hipertensi menyerupai
JNC VI, yaitu:12
a. Optimal bila tekanan sistolik <120 mmHg dan tekanan darah
diastolik <80 mmHg
b. Normal bila tekanan sistolik <130 mmHg dan tekanan darah
diastolik <85 mmHg
c. Normal tinggi bila tekanan sistolik 130-139 mmHg dan tekanan
darah diastolik 85-89 mmHg
d. Hipertensi derajat 1 (ringan) bila tekanan sistolik 140-159 mmHg
dan tekanan darah diastolik 90-99 mmHg
e. Hipertensi derajat 2 (sedang) bila tekanan sistolik 160-179 mmHg
dan tekanan darah diastolik 100-109 mmHg
f. Hipertensi derajat 3 (berat) bila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg
g. Hipertensi sistolik (Isolated Sistolic Hypertension) bila tekanan
sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg
Etiologi hipertensi tidak diketahui pada lebih dari 95% kasus
kenaikan tekanan darah. Kajian epidemiologi selalu menunjukkan
adanya hubungan yang penting dan bebas antara tekanan darah dan
berbagai kelainan, terutama penyakit jantung koroner, stroke, gagal
jantung, dan kerusakan fungsi ginjal.5
2.1.2. Tekanan Darah
Menurut Stedman’s Medical Dictionary for the Health
Professions and Nursing, tekanan darah adalah tekanan pada darah
dalam arteri sistemik, yang dipengaruhi oleh kontraksi pada ventrikel
kiri, resistensi pada arteriol dan kapilari, elastisitas dinding arteri, dan
viskositas serta volume darah.
Tekanan darah adalah ukuran dari tekanan sistolik yang
berpengaruh pada darah karena kontraksi otot jantung dan kekuatan
atau tekanan diastolik pada dinding pembuluh darah yang lebih kecil
yang mengalirkan darah dan yang mempercepatkan jalan darah pada

4
waktu jantung mengendur antar denyut (Tom Smith, 1991 dalam
Kamaruzaman, 2010).
Menurut Sherwood (2001) tekanan darah arteri rata-rata adalah
gaya utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan ini harus
diatur secara ketat karena dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus
harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup.
Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan
beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko
kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-
pembuluh halus. Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata
adalah curah jantung dan resistensi perifer total11,12.
Menurut Nadesul (2007), tekanan darah idealnya diukur saat
bangun tidur pagi hari saat belum melakukan aktivitas fisik.
Mengukur setelah beraktivitas fisik akan menghasilkan nilai yang
lebih tinggi dari seharusnya. Oleh karena itu perlu baring 5 menit
sebelum tekanan darah diukur12.

2.2. Klasifikasi Hipertensi


2.2.1. Berdasarkan Penyebab
a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi
yang penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan
kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas)
dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.
Hipertensi primer kemungkinan disebabkan oleh beberapa
perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan
bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.13
Selama 75 tahun terakhir telah banyak penelitian untuk
mencari etiologinya.Tekanan darah merupakan hasil curah jantung
dan resistensi vascular sehingga tekanan darah meningkat jika
curah jantung meningkat, resistensi vascular perifer bertambah,

5
atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan
penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut,
hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun
setelah kecenderungan ke arah sana di mulai.14
Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung biasanya
sedikit meningkat dan resistensi perifer normal.Pada tahap
hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan resistensi
perifer meningkat.Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan
dinding arteri dan arteriol. Banyaknya faktor yang mempengaruhi
dan mungkin berbeda antar individu menyebabkan penelitian
etiologinya semakin sulit.14
b. Hipertensi Sekunder (Hipertensi non Esensial)
Hipertensi sekunder adalah jika penyebabnya
diketahui.Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya
adalah penyakit ginjal.Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil
KB).13
Sekitar 5% prevalensi hipertensi telah diketahui
penyebabnya, dan dapat dikelompokkan seperti di bawah ini.14
b.1. Penyakit parenkim ginjal (3%). Setiap penyebab gagal ginjal
(glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan)
akan menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung
menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan
mengakibatkan kerusakan ginjal15.
b.2. Penyakit renovaskular (1%). Terdiri atas penyakit yang
memnyebabkan gangguan pasokan darah ginjal dan secara
umum dibagi atas aterosklerosis, yang terutama mempengaruhi
sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut, dan fibrodisplasia yang
terutama mempengaruhi 2/3 bagian distal.

6
b.3. Endokrin (1%). Pertimbangan aldosteronisme primer (sindrom
Conn) jika terdapat hipokelemia bersama hipertensi. Tingginya
kadar aldosteron dan rennin yang rendah akan mengakibatkan
kelebihan (overload) natrium dan air.
2.2.2. Berdasarkan TDS dan TDD
Menurut The Joint National Committee on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) tahun
2003 hipertensi dibedakan berdasarkan Tekanan Darah Sistolik (TDS)
dan Tekanan Darah Diastolik (TDD) sebagai berikut:11
a. Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik <80
mmHg
b. Elevated bila tekanan darah sistolik 120-129 mmHg dan diastolik
<80 mmHg
c. Prehypertension bila tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan
diastolik 80-89 mmHg
d. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140-159 mmHg
dan diastolik 90-120 mmHg
e. Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik >180 mmHg dan
diastolik >120 mmHg
f.
2.3. Faktor Risiko Hipertensi
a. Umur
Menurut Kaplan (1991) prevalensi penderita hipertensi umumnya
paling tinggi dijumpai pada usia>40 tahun. Penderita kemungkinan
mendapat komplikasi pembuluh darah otak 6-10 kali lebih besar pada usia
30-40 tahun.Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun
2007 menunjukan prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke
atas secara nasional mencapai 31,7%. Berdasarkan kelompok umur yang
paling tinggi terdapat pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 63,5% dan
pada kelompok umur diatas 75 tahun yaitu 67,3%. Berdasarkan jenis

7
kelamin prevalensi hipertensi pada laki-laki sebesar 31,3% dan pada
perempuan 31,9%.15
b. Jenis Kelamin
Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan
tekanan darah antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa
remaja, pria cenderung menunujukkan aras rata-rata yang lebih tinggi.
Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah
baya. Perubahan pada masa tua antara lain dapat dijelaskan dengan tingkat
kematian awal yang lebih tinggi pada pria pengidap hipertensi.6 Menurut
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, komplikasi
hipertensi meningkat pada laki-laki.16
c. Status sosioekonomi
Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan
perubahan ekonomi dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan bahwa aras
tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada
golongan sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata
berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Akan
tetapi, dalam masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-
peralihan, aras tinggi tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih tinggi
terdapat pada golongan sosioekonomi yang lebih tinggi.5
d. Genetika
Sekitar 20-40% variasi tekanan darah di antara individu disebabkan
oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah seorang
anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka
memiliki hubungan darah dibanding dengan anak adopsi. Hal ini
menunujukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor
lingkungan (seperti makanan dan status sosial), berperan besar dalam
menentukan tekanan darah.5

8
e. Ras atau suku bangsa
Kajian populasi selalu menunjukkan bahwa aras tekanan darah
pada masyarakat kulit hitam lebih tinggi ketimbang aras pada golongan
suku lain. Suku mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan
tekanan darah, seperti yang ditunjukkan oleh kecenderungan tekanan darah
yang meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur secara progresif
pada orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika ketimbang orang
Amerika berkulit putih.5
Sementara itu ditemukan variasi antar suku di Indonesia. Di lembah
Baliem Jaya, Papua kejadian hipertensi terendah yaitu 0,6%, sedangkan
yang tertinggi terdapat di Jawa Barat pada suku Suku Sunda yaitu 28,6%.1
f. Lemak dan kolesterol
Pola makan penduduk yang tinggi di kota-kota besar berubah
dimana fast food dan makanan yang kaya kolesterol menjadi bagian yang
dikonsumsi sehari-hari.Mengurangi diet lemak dapat menurunkan tekanan
darah 6/3 mmHg dan bila dikombinasikan dengan meningkatkan konsumsi
buah dan sayuran dapat menurunkan tekanan darah sebesar 11/6 mmHg.
Makan ikan secara teratur sebagai cara mengurangi berat badan akan
meningkatkan penurunan tekanan darah pada penderita gemuk dan
memperbaiki profil lemak.17
g. Konsumsi Garam
Penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium yang
berlebihan dengan tekanan darah tinggi pada beberapa individu.Asupan
natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang
meningkatkan volume darah.Di samping itu, diet tinggi garam dapat
mengecilkan diameter dari arteri.Jantung harus memompa lebih keras
untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang
sempit.Akibatnya adalah hipertensi. Hal ini sebaliknya juga terjadi, ketika
asupan natrium berkurang maka begitu pula volume darah dan tekanan
darah pada beberapa individu.18

9
h. Alkohol
Alkohol juga mempengaruhi tekanan darah. Orang-orang yang
minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum
sedikit alkohol.28 Lebih dari dua minuman keras sehari akan menimbulkan
peningkatan signifikan. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada laki-laki
Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol.19
Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO mengatakan bahwa pada
beberapa populasi, konsumsi minuman keras selalu berkaitan dengan
tekanan darah tinggi. Jika minuman keras diminum sedikitnya dua kali per
hari, TDS naik kira-kira 1,0 mmHg dan TDD kira-kira 0,5 mmHg per satu
kali minum. Peminum harian ternyata mempunyai aras TDS dan TDD
lebih tinggi, berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,7 mmHg dibandingkan dengan
peminum sekali seminggu.5
i. Rokok
Rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah,
dan juga menyebabkan pengapuran sehingga volume plasma darah
berkurang karena tercemar nikotin, akibatnya viskositas darah meningkat
sehingga timbul hipertensi.31 Merokok dapat meningkatkan tekanan darah
secara temporer yaitu tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg
dan tekanan darah diastolik naik sekitar 8 mmHg. Merokok juga dapat
menghapuskan efektivitas beberapa obat antihipertensi. Misalnya,
pengobatan hipertensi yang menggunakan terapi betablocker dapat
menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke hanya bila pemakainya
tidak merokok karena merokok merupakan faktor risiko utama untuk
munculnya penyakit kardiovaskular.5
j. Stress
Tekanan darah lebih tinggi telah dihubungkan dengan peningkatan
stress, yang timbul dari tuntutan pekerjaan, hidup dalam lingkungan
kriminal yang tinggi, kehilangan pekerjaan dan pengalaman yang
mengancam nyawa terpapar ke stress bisa menaikkan tekanan darah dan

10
hipertensi dini cenderung menjadi reaktif. Aktivasi berulang susunan saraf
simpati oleh stress dapat memulai tangga hemodinamik yang
menimbulkan hipertensi menetap.20
l. Status Olahraga
Orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan lebih rentan
terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur tidak
hanya menjaga bentuk tubuh dan berat badan, tetapi juga dapat
menurunkan tekanan darah.Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan
darah adalah berjalan kaki, bersepeda, berenang, dan aerobik.21

2.4. Gejala Klinis


Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala,
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan
dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan
kelelahan.13
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul
gejala berikut yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah,sesak nafas,
gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada
otak, mata, jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami
penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan di
otak.13
Hipertensi yang berujung pada komplikasi menunjukkan gejala
kerusakan organ. Adapun yang menjadi gejala kerusakan organ yaitu:5
a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, penglihatan terganggu, serangan
iskemik sesaat, gangguan panca indera atau gerak
b. Jantung: berdebar-debar, nyeri dada, napas pendek, pergelangan kaki
bengkak
c. Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer: tangan kaki dingin, pincang berkala (claudicatio
intermittens)

11
2.5. Komplikasi
Tekanan darah secara alami berfluktuasi sepanjang hari.Tekanan darah
tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten. Tekanan
seperti membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai darah
(termasuk jantung dan otak) menjadi tegang.7 Bila tekanan darah tinggi tidak
dapat dikontrol dengan baik, maka dapat terjadi serangkaian komplikasi
serius dan penyakit kardiovaskular seperti angina atau rasa tidak nyaman di
dada dan serangan jantung, stroke, gagal jantung, kerusakan ginjal, gagal
ginjal, masalah mata, hipertensif encephalopathy sering dirujuk pada penyakit
organ akhir.22
Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan
tinggi.Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran
darah ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami
arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma.23
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk
trombus yang menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada
hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardum
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark.23
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran
darah ke unit fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksi dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang sering dijumpai
pada hipertensi kronis.23

12
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya).Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan ke ruang interstisial diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-
neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian.23

2.6. Pencegahan Hipertensi


2.6.1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan munculnya
faktor predisposisi terhadap hipertensi dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko ini dimaksudkan dengan memberikan
kondisi pada masyarakat yang memungkinkan pencegahan terjadinya
hipertensi yang dapat dilakukan melalui pendekatan populasi ataupun
perorangan.Pendekatan populasi secara khusus mengandalkan
program untuk mendidik masyarakat.Pendidikan masyarakat yakni
masyarakat harus diberi informasi mengenai sifat, penyebab, dan
komplikasi hipertensi, cara pencegahan, gaya hidup sehat, dan
pengaruh faktor risiko kardiovaskular lainnya.5
2.6.2. Pencegahan Primer10,21
Pencegahan primer dilakukan dengan pencegahan terhadap
faktor risiko yang tampak pada individu atau masyarakat.Sasaran pada
orang sehat yang berisiko tinggi dengan usaha peningkatan derajat
kesehatan yakni meningkatkan peranan kesehatan perorangan dan
masyarakat secara optimal dan menghindari faktor risiko timbulnya
hipertensi.
Pencegahan primer penyebab hipertensi adalah sebagai
berikut:
a. Mengurangi/menghindari setiap perilaku yang memperbesar risiko,
yaitu menurunkan berat badan bagi yang kelebihan berat badan dan
kegemukan, menghindari meminum minuman beralkohol,

13
mengurangi/menghindari makanan yang mengandung makanan
yang berlemak dan berkolesterol tinggi
b. Peningkatan ketahanan fisik dan perbaikan status gizi, yaitu
melakukan olahraga secara teratur dan terkontrol seperti senam
aerobik, jalan kaki, berlari, naik sepeda, berenang, diet rendah
lemak dan memperbanyak mengonsumsi buah-buahan dan sayuran,
mengendalikan stress dan emosi.
2.6.3. Pencegahan Sekunder
Sasaran utama adalah pada mereka terkena penyakit hipertensi
melalui diagnosis dini serta pengobatan yang tepat dengan tujuan
mencegah proses penyakit lebih lanjut dan timbulnya komplikasi.
Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi
mempunyai beberapa tujuan5:
a. Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi
b. Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular
c. Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang
menyertainya
d. Mencari kemungkinan penyebabnya
Sudah jelas bahwa semua tujuan ini merupakan unsur-unsur
proses diagnosis tunggal yang bertahap dan menyeluruh yang
menggunakan tiga metode klasik: pencatatan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Sejauh mana
pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dapat disesuaikan dengan
bukti yang diperoleh dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan uji
laboratorium pendahuluan.5
Perangkat diagnostik dalam pengukuran tekanan darah dapat
menggunakan sfigmomanometer yang akan memperlihatkan
peningkatan tekanan sistolik dan diastolik jauh sebelum adanya gejala
penyakit. Pemerikasaan penunjang yang rutin bisa dilakukan pada
penderita hipertensi yang bertujuan mendeteksi penyakit yang bisa
diobati dan menilai fungsi jantung serta ginjal.32

14
Pencegahan bagi mereka yang terancam dan menderita
hipertensi adalah sebagai berikut:10,21
a. Pemeriksaan berkala
a.1. Pemeriksaan/pengukuran tekanan darah secara berkala oleh
dokter secara teratur merupakan cara untuk mengetahui apakah
kita menderita hipertensi atau tidak
a.2. Mengendalikan tensi secara teratur agar tetap stabil dengan
atau tanpa obat-obatan anti hipertensi
b. Pengobatan/perawatan
b.1. Pengobatan yang segera sangat penting dilakukan sehingga
penyakit hipertensi dapat segera dikendalikan
b.2.Menjaga agar tidak terjadi komplikasi akibat
hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan lain-lain
b.3. Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang wajar sehingga
kualitas hidup penderita tidak menurun
b.4. Mengobati penyakit penyerta seperti dibetes mellitus, kelainan
pada ginjal, hipertiroid, dan sebagainya yang dapat
memperberat kerusakan organ
2.6.4. Pencegahan Tersier10
Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut
dan mencegah cacat/kelumpuhan dan kematian karena penyakit
hipertensi. Pencegahan tersier penyakit hipertensi adalah sebagai
berikut:
a. Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang normal sehingga
kualitas hidup penderita tidak menurun.
b. Mencegah memberatnya tekanan darah tinggi sehingga tidak
menimbulkan kerusakan pada jaringan organ otak yang
mengakibatkan stroke dan kelumpuhan anggota badan.
c. Memulihkan kerusakan organ dengan obat antihipertensi.

15
2.7 Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.24

2.8 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), 2005, yaitu25 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang
terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol
adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.
Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia

16
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

2.9 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-
4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan
Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4
juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari
penderita melakukan pemeriksaan secara teratur26,27.

2.10 Patogenesis
2.10.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul,
sebagian besar sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini
hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih
samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama,
harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga
adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah
monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah
perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima
adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang
dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja
sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah
perusakan sel beta dan penampakan diabetes28.

17
2.10.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi
insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan
sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara
deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi
insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi
insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia
setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah,
tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa
dan diabetes yang nyata.29

2.11 Manifestasi Klinik


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P: polifagi dengan penurunan berat badan,
polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering
kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit.30
Kriteria diagnostic.31
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula
darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memerhatikan waktu makan terakhir, atau
 Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau
 Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan
dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.8
 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal
minimal 2x.3

18
Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO
• Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa.
• Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
• Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak),
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
• Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
• Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
• Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa
terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang
diperoleh
• TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199
mg/dl
• GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

2.12 Komplikasi
2.12.1 Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan penningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).
Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil
akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin mengakibatkan
aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan
meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam

19
kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari
lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi
akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan
mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat
asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam
amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya
KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH
<7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+).
Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea, muntah, sakit
perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan
kussmaul dan berbau aseton31,32.
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih
besar dari 600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas
plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-
anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena
pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang
pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup
untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan
hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia 33
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg%
tanpa gejala klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis.
Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah
turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara
gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik
yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-
debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik :
pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.

20
2.12.2 Penyulit menahun34,35
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan
trombosis
• Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas
dan inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung
kecil menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena
retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya
dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya
sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke
dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang
membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik
prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran
protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi
yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum
yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan
matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap
tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah
kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol
memperlambat progresivitas kerusakan retina34.
• Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau >
200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6
bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi
patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat
glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product

21
yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan
kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide
sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi
kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati
dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi
chronic kidney disease.
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya
setiap tahun.
2. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus
ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko
tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM
• Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes,
biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau
klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.9

2.13 Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik,
meningkatkan kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan

22
penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang normal. Pilar
penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari:
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini
pada prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid:
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,
status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa
faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat
dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan
pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya
adalah masalah status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam

23
lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan
yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah
Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
• Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat
lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu
sendiri.
• Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber
karbohidrat
• Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kebutuhan perhari
• Jumlah serat 25-50 gram/hari.
• Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
• Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya
adalah pemanis buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan
sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi karena dapat meningkatkan
resiko kejadian kanker.
• Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
• Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
• Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
• Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak
akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .
• Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari .
• Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa
0,85 gr/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.

24
• Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dibandingkan protein hewani.
LEMAK
• Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori perhari.
• Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.
• Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL
≥100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg
perhari.
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg
BB ideal ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu
jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.
Kebutuhan basal:
Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori
Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori
Koreksi:
umur
• 40-59 th : -5%
• 60-69 : -10%
• >70% : -20
Aktivitas
• Istirahat : +10%
• Aktivitas ringan : +20%
• Aktivitas sedang : +30%
• Aktivitas berat : +50%
Berat badan
• Kegemukan : - 20-30%
• Kurus : +20-30%
• stress metabolik : + 10-30%

25
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%,
makan siang 30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15%
diantara porsi besar.
Berdasarkan IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi
dengan tinggi badan kuadrat (m2).
Kualifikasi status gizi:
BB kurang: < 18,5
BB normal: 18,5 – 22,9
BB lebih: 23 – 24,9
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena
mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah
terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan
berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan
LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita.
Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini
akan menurunkan kadar gula darah. Aktivitas latihan:
a. 5-10 menit pertama: glikogen akan dipecah menjadi glukosa
b. 10-40 menit berikutnya: kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat
7-20x. Lemak akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%
c. 40 menit: makin banyak lemak dipecah ±75-90%.
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula
benda keton yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat
mengarah ke keadaan asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita
DM ringan atau terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS
mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua
latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan
dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang
berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,
dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan
secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang

26
hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah
belum tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
1. obat hipoglikemik oral
a. insulin secretagogue:
sulfonilurea: meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurangm namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid: bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator.
Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama obat ini
berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya: repaglinid, nateglinid.
b. insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan
efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar).
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat.
Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga
memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan
hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi
glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek
hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan:

27
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.
sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid
sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum
makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat
glukosidase α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak
bergantung jadwal makan.
2. Insulin
a. Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi
insulin prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada
sekresi insulin yang fisiologis.
b. Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
c. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
d. Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja
cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting) atau insuli campuran tetap (premixed insulin)
e. Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis
diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia
dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis
yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar,
IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau
ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

28
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang
banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja
menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan insulin

2.14 Pencegahan
• Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi
penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan
jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi
penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya
pencegahan primer.
• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat
dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi
dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan
terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan
selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet

29
dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang Diabetes.
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan
kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang
dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli
di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

2.15 Penyakit Jantung Koroner


2.15.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung
akibat penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner.
Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah
ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Dalam
kondisi lebih parah kemampuan jantung dalam memompa darah
dapat hilang.
Menurut WHO, penyakit jantung koroner adalah gangguan pada
miokardium karena ketidakseimbangan antara aliran darah koroner
dengan kebutuhan oksigen miokardium sebagai akibat adanya
perubahan pada sirkulasi koroner yang dapat bersifat akut
(mendadak) maupun kronik (menahun)35.
2.15.2 Klasifikasi36
Penyakit jantung koroner dapat terdiri dari:
1. Angina pektoris stabil (APS)

30
Sindroma klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada,
rahang, bahu, punggung ataupun lengan, yang biasanya oleh
kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini dapat berkurang
bila istirahat atau dengan obat nitrogliserin.37,38
2. Sindroma Koroner Akut (SKA)
Sindroma klinik yang mempunyai dasar patofisiologi, yaitu
berupa adanya erosi, fisur atau robeknya plak arterosklerosis
sehingga menyebabkan trombosis intravaskular yang
menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan
oksigen miokard.
Yang termasuk SKA adalah:
a. Angina pektoris tidak stabil (UAP, unstable angina pectoris),
yaitu:
 Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan,
dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih
dari 3 kali per hari.
 Pasien dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya
angina stabil, lalu serangan angina muncul lebih sering dan
lebih lama ( >20 menit), dan lebih sakit dadanya, sedangkan
faktor presipitasi makin ringan
 Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC)
dan American Heart Association (AHA) perbedaan angina
tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
ialah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya
petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB,
dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti

31
adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau
adannya gelombang T yang negative.39,40
b. Infark miokard akut (IMA), yaitu
Nyeri angina yang umunya lebih berat dan lebih lama (30 menit
atau lebih). IMA bisa berupa Non ST elevasi infark miokard
(NSTEMI) dan ST elevasi miokard infark (STEMI).
2.15.3 Faktor Risiko
Secara garis besar faktor risiko penyakit jantung koroner dapat
dibagi menjadi faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) dan
faktor risiko yang tidak dapat dubah (nonmodifiable).
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi41 :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK.
Perubahan hipertensi khusunya pada jantung disebabkan karena:
1. Meningkatkan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat
untuk jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel
kiri. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya
hipertensi.
2. Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menambah beban
pembuluh darah arteri. Arteri mengalami proses pengerasan
menjadi tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya.
Tekanan darah yang tinggi dan menetap juga akan menimbulkan
trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri
koronaria sehingga memudahkan terjadinya pengendapan plak
pada arteri koroner.
b. Hiperkolesterolemia
Kenaikan kadar kolestrol berbanding lurus dengan peningkatan
terjadinya serangan PJK. Peningkatan LDL (Low Density
Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein)

32
merupakan faktor resiko yang penting pada PJK. Ketika terjadi
kadar LDL yang tinggi, LDL dapat terakumulasi pada subendotel
dan mengalami modifikasi yang pada akhirnya akan
menyebabkan kerusakan tunika intima dan menginisiasi
terbentuknya plak aterosklerosis.
c. Merokok
Zat-zat toksik dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari
rokok akan menyebabkan darah menjadi kental sehingga
mendorong percepatan pembekuan darah. Platelet dan fibrinogen
meningkat sehingga sewaktu-waktu dapat menyebabkan
terjadinya trombosis pada pembuluh koroner yang sudah
menyempit. Selain itu, rokok dapat meningkatkan oksidasi LDL,
menurunkan kadar HDL, menyebabkan kerusakan endotel akibat
stres oksidatif dalam kandungan rokok. Nikotin dalam asap rokok
dapat menstimulasi aktivitas saraf simpatis sehingga terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Diabetes Melitus
Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan
oleh disfungsi endotel, terganggunya aktivitas antifibrinolitik,
serta meningkatnya fagositosis LDL oleh makrofag.
e. Obesitas dan kurang akitivitas fisik
Obesitas dapat meningkatkan beban jantung, ini berhubungan
dengan PJK terutama karena pengaruhnya pada tekanan darah,
kadar kolestrol darah dan juga diabetes. Melakukan aktivitas fisik
atau olah raga secara teratur dapat menurunkan berat badan
sehingga lemak tubuh berkurang serta secara bersamaan
mengendalikan kadar kolesterol dan tekanan darah, aktivitas fisik
dapat meningkatkan sensitivitas insulin serta merangsang
pengeluaran.

33
f. Stres
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan
katekolamin yang tinggi yang dapat membuat spasme arteri
koroner sehingga suplai darah ke otot jantung terganggu.
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :
a. Umur
Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi risiko PJK dan pada
aumumnya dimulai pada usia 40 tahun ke atas. Menurut data
yang dilaporkan American Heart Association, 1 dari 9 wanita
berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3 wanita berusia
diatas 60 tahun menderita PJK.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan
dengan wanita. Tetapi pada wanita yang sudah menopause risiko
PJK meningkat dan hampir tidak didapatkan perbedaan dengan
laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar hormon
estrogen yang berperan penting dalam melindungi pembuluh
darah dari kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis.
c. Genetik
Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah
55 tahun merupakan salah satu faktor risiko yang perlu
dipertimbangkan.
2.15.4 Patogenesis Pembentukan Plak Arterosklerosis43,44
Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya
arterosklerosis yang dapat disebabkan baik karena bahan kimia
maupun stress hemodinamik akan menyebabkan terjadinya disfungsi
endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel maka akan
menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability
barier, (2) melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi
molekul adhesi yang merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan
substansi vasoaktif ( prostasiklin, NO), dan (5) mengganggu

34
antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar terjadinya
arteroslerosis.

Gambar 2.1 Petogenesis Plak Aterosklerosis


Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi
memiliki barier yang dapat menghambat masuknya lipoprotein ke
dalam pembuluh darah arteri. Peningkatan permeabilitas dari
endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya LDL akan
terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks
ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh
ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan
oleh makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga menjadi mLDL
(modified LDL). mLDL ini akan merangsang rekrutmen dari
leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T)
melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion
molecule) pada pada permukaan endotel non adhesi, (2) signal
kemoatraktan [MCP 1, IL 8, interferon inducible protein – 10).
Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit
berdiferensiasi menjadi makrofag dan memakan mLDL melalui
reseptor scavenger (pada makrofag) dan membentuk sel busa (foam
cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut
sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived

35
growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot
dari internal elastic lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel
otot bereplikasi. Sel busa juga melepaskan sitokin dan faktor
pertumbuhan seperti TNF α, IL-1, Fibroblast growth factor, dan TGF
β yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan
protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut
mencetuskan pelepasan sitokin yang mendorong dan
mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang
menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan
fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya
merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian
yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui
TGF β dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T- lymphocyte derived
cytokine IFN – γ menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut
sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix
metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga
mudah ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut tanpa
menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena
stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis
menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core.
Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk
stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap
merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap
tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut
plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung
menyebabkan ruptur dari plak.
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.Setelah
berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan
faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi

36
terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan
inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten,
pada angina tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai
peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi
endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan
dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali
terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis
yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan
menyebabkan terjadinya iskemi miokardial dimana akan (1)
meningkatkan respon simpatis sehingga menyebabkan diaforesis,
peningkatan tekanan darah dan nadi, (2) disfungsi otot papillary
sehingga menyebabkan mitral regurgitasi, (3) penurunan
compliance diastol yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan
menyebabkan kongesti pulmoner sehingga timbul rales, (4)
penurunan fungsi sistolik yang menyebabkan dyskinetic apical
impulse.
2.15.5 Diagnosis 45
1. Anamnesis
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang
mempunyai ciri khas sebagai berikut:

37
- Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di
bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan
kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke
punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada
juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium,
leher, rahang, gigi, bahu.
- Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat,
atau seperti di peras atau terasa panas, kadang-kadang hanya
mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak
dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan
pasien kurang.
- Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat
melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-
gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada
kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau
menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat
menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang
bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat
timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.
- Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-
kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri
hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit,
mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan
bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul
keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-
kadang nyeri dada disertai keringat dingin. 47

38
Gambar 2.2 Lokasi Nyeri Dada
2. Pemeriksaan fisik
Pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Sekitar seperempat
pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf
simpatis ( takikardia dan/atau hipotensi), dan hampir setengah
pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf
parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) tanda fisis lain pada
disfungsi ventrikular adalah , dijumpai S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama, split paradoksikal
bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan peningkatan suhu sampai
38ºC dalam minggu pertama pasca STEMI.47
3. EKG
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan
angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan

39
bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau.
Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada
pasien hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan
segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. 9 Untuk
mendiagnosa STEMI dari EKG adalah adanya elevasi segmen ST
> 1mm pada 2 sadapan ekstremitas atau elevasi ST > 2mm pada 2
sadapan prekordial yang berhubungan, LBBB yang dianggap
baru.
4. Foto Dada
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang
normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar
dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
5. Laboratorium
- CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam
2-4 hari.
- cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
- Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan
kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila
ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari.
6. Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi
koroner :
- Computed Tomography

40
- Magnetic Resonance Arteriography1
7. Pemeriksaan invasif menetukan anatomi koroner1
- Arteriografi koroner
- Ultrasound intravaskular (IVUS)
2.15.6 Tatalaksana
Tujuan penanganan pada STEMI adalah:
a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan
diagnosis secara
cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/
mengurangi nyeri dan pencegahan atau penanganan henti
jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi
reperfusi untuk membatasi proses infark serta mencegah
perluasan infark serta menangani komplikasi segera seperti
gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang
timbul selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya
progresi penyakit arteri koroner, infark baru, gagal jantung, dan
kematian
Penanganan kegawatdaruratan (lihat Guideline AHA 2010 di bawah)
a. Tatalaksana awal:
• Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
• Aspirin 160mg (dikunyah).
• Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila
masih nyeri.
• Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. 11
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan
menunda reperfusi).
• Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
• Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.

41
• Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
• Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg
BB maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB
selama 24 – 48 jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan
target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah
terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative
UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal
baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki atau < 2 mg/ dl pada
wanita).
Terapi fibrinolitik.
Dianjurkan pada:
a. Presentasi ≤ 3jam.
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik.
Kontraindikasi fibrinolitik:
a. Kontraindikasi absolut:
• Riwayat perdarahan intracranial apapun.
• Lesi structural cerebrovaskular.
• Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
• Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
• Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
• Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan
terakhir.
• Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi).
b. Kontraindikasi relatif:
• Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
• Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan
intracranial selain yang disebutkan pada kontraindikasi
absolute.

42
• Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau
operasi besar < 3 minggu.
• Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
• Terapi antikoagulan oral.
• Kehamilan.
• Non compressible punctures.
• Ulkus peptikum aktif.
• Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan
sebelumnya (>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat
tersebut.
Antitrombin Kontraindikasi
Terapi awal
terapi spesifik

1,5 juta unit/100ml Dengan atau


Riwayat SK
Streptokinase D5% atau NaCl tanpa heparin IV
atau
(SK) 0,9% selama 30-60 selama 24-48
anistreplase
menit. jam

15 mg iv bolus 0,75
mg/ kg BB selama
30 menit kemudian Heparin IV
Alteplase
0,5 mg/ kg BB selama 24-48
(tPA)
selama 60 menit IV. jam
Dosis total tidak
melebihi 100mg

Percutanous coronary intervention (PCI)


a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
• Presentasi ≥ 3jam.
• Tersedia fasilitas PCI.

43
• Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi
balon < 90 menit.
• (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi
(waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
• Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
• Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
• Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih
diragukan.
b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko
tinggi jika tindakan PCI tidak dapat dilakukan dengan segera
dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah. Pada
tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan penghambat
reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh.
c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada
pasien dengan infark luas dengan:
• Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
• Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
• Syok kardiogenik.
Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau
terjadi reoklusi dimana rescue PCI tidak dapat dilakukan
segera, reperfusi secara medikamentosa harus dipertimbangkan
dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada
PCI primer atau rescue PCI adalah Bare metal stent (BMS).
Tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery
Bypass Graft). Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan
dibandingkan dengan pengobatan, pada keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main
(LM)

44
b. Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal
pada 3 arteri koroner utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner
utama termasuk stenosis yang cukup tinggi tingkatannya
pada daerah proksimal dari left anterior descending
coronary artery.
2.15.7 Komplikasi
a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe
ini. Jika hal ini terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer
sebaiknya diobati pertama. Namun, jika takikardi sinus
tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik berlebihan, seperti
yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan
dengan penghambat beta yang relatif kerja singkat seperti
propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan.
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada
lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis
yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4.
Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada.
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri
pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun
sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh
penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan / atau penurunan isi
sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat
efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya
gagal jantung sistolik dan / diastolik.
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada
hampir semua pasien dengan infark dan tidak memerlukan terapi.
Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel distolik yang sering,

45
multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik
sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang
lama atau simptomatik. Terapi antiaritmia profilaktik dengan
tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara klinis, dikontra
indikasikan karena terapi seperti itu dapat dengan jelas
meningkatkan mortalitas selanjutnya.

Gambar 2.3 Algoritma Acute Coronary Syndromes

46
2.15.8 Prevensi
a. Pencegahan Primer

b. Pencegahan sekunder

47
BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular


• Keturunan • Hipertensi
• Indeks Massa Tubuh • Diabetes Mellitus
• Lingkar Perut • Penyakit Jantung

Intervensi (Follow-up)
•Penyuluhan mengenai Penyakit Tidak Menular
•Pemeriksaan berkala
•Rujukan untuk pemeriksaan lanjutan
•Penegakan Diagnosis
•Terapi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

48
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
yang bersifat kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
memahami subjek yang berpacu pada indikator sebagai instrumen, nilai
berupa data dan realitas yang ada pada individu khususnya pada siswa
SMAN 58 Ciracas pada Maret-April 2019. Pendekatan yang digunakan
pada desain penelitian ini adalah “experimental” dimana dilakukan
intervensi pada subjek penelitian.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal Maret-April 2019.
Penelitian ini dilakukan di SMAN 58, Kelurahan Ciracas, Kecamatan
Ciracas. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa SMA ini
merupakan salah satu SMA negeri terbaik di Kelurahan Ciracas.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa/i di
SMAN 58 Ciracas.
4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah siswa/i di SMAN 58 Ciracas yang sudah
terlebih dahulu terdeteksi faktor risiko penyakit tidak menular dari
penelitian sebelumnya.

4.4. Metode Pengumpulan Data


Pada penelitian ini, digunakan data primer yang didapat langsung
dari responden. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
pemeriksaan pengukur tekanan darah dengan menggunakan alat tensi meter

49
digital bermerek Omron, pengukuran tinggi badan serta berat badan dengan
alat ukur tinggi dan berat badan bermerek Seca yang terdapat di ruang UKS,
dan gula darah sewaktu dengan menggunakan alat ukur gula darah dengan
stick bermerek Bennecheck. Peneliti memberikan penjelasan secara ringkas
mengenai penyakit tidak menular dan gambaran secara umum penelitian ini.

4.5. Metode Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu
mengecek kelengkapan identitas, data responden dari penelitian
sebelumnya. Kemudian mengkelompokan secara manual data sekunder
yang didapat sesuai dengan klasifikasi tiap-tiap penyakit tidak menular dari
daftar hasil pengukuran tekanan darah, gula darah sewaktu, berat badan dan
tinggi badan juga.
Dari setiap data yang diperoleh dari responden akan dimasukkan
kedalam komputer. Analisis data yang diperoleh dilakukan secara kualitatif
dengan menggunakan program Exel. Hasil penelitian akan disajikan dalam
bentuk diagram.

50
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

TEKANAN DARAH

Grafik diatas menunjukkan perkembangan selama berturut-turut dari


enam pasien yang memiliki masalah tekanan darah selama periode tindak
lanjut. Secara umum perubahan yang terjadi pada setiap pasien sangat
bervariasi. Dari grafik tersebut dapat kita lihat bahwa untuk pasien dengan
nama Eka Nur sebelum mendapatkan penyuluhan memiliki tekanan darah
dengan klasifikasi Hipertensi Tingkat 1. Setelah diberikan penyuluhan
mengenai kesehatan belum ada perubahan yang signifikan dari tekanan
darah pasien tersebut, tekanan darah pasien selama tiga periode tetap
menunjukan gejala hipertensi tk 1. Begitu pula yang terjadi pada pasien
dengan nama Tiur P. Penyuluhan yang diberikan kepada pasien tersebut
belum mampu membuat perubahan yang signifikan terhadap tekanan darah
pasien tersebut yang tetap bertipe Prehipertensi. Sementara itu untuk pasien
Arief dan M. Yogi pada periode pertama penyuluhan memiliki tekanan
darah normal, akan tetapi ada dua periode berikutnya tekanan darah menjadi
tipe prehipertensi. Untuk pasien dengan nama Lisa pada periode pertama
bertekanan darah normal, lalu periode berikutnya menjadi prehipertensi dan
pada akhir periode kembali bertekanan darah normal. Sementara itu untuk

51
pasien dengan nama Graita pada periode pertama dan kedua memiliki
tekanan darah normal, akan tetapi pada akhir periode malah menjadi
prehipertensi.

INDEKS MASSA TUBUH

Grafik diatas menunjukkan perkembangan selama tiga periode


berturut-turut dari tiga pasien yang memiliki masalah terhadap Indeks Masa
Tubuh (IMT). Dari grafik tersebut dapat kita lihat bahwa untuk ketiga
pasien tersebut yaitu dengan nama Arif, Graita, dan Gabriela Grasia,
sebelum mendapatkan penyuluhan memiliki Tipe Masa Tubuh dengan
klasifikasi Preobesitas dan setelah diberikan tindak lanjut belum ada
perubahan yang signifikan dari IMT ketiga pasien tersebut. IMT pasien
selama tindak lanjut tetap menunjukan bahwa pasien-pasien tersebut
preobesitas.

INDIKASI DIABETES MELLITUS

52
Grafik diatas menunjukkan perkembangan berturut-turut dari tiga pasien
yang memiliki masalah terhadap kadar gula darah selama periode tindak
lanjut. Dari grafik tersebut dapat kita lihat bahwa untuk ketiga pasien, yaitu
Rahma, Tiur P, dan M.Yogi pada pemeriksaan awal memiliki kadar gula
darah dengan klasifikasi Prediabetes. Selama periode tindak lanjut terlihat
ada perubahan yang signifikan dari kadar gula darah ketiga pasien tersebut.
Perubahan terlihat pada saat pemantauan akhir dimana kadar gula darah
pasien sudah pada keadaan normal.

53
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil tindak lanjut yang dilakukan terhadap siswa
SMAN 58 Ciracas mengenai gambaran faktor resiko penyakit tidak menular
dapat disimpulkan yaitu :
1. Pada tindak lanjut tiga orang siswa/i dengan masalah salah satu faktor
risiko penyakit tidak menular berupa Indeks Massa Tubuh, tidak
didapatkan perbaikan yang signifikan. Melalui anamnesis didapatkan
ketiganya belum mampu melakukan anjuran diet gizi seimbang seperti
yang sudah disarankan pada saat penyuluhan mengenai penyakit tidak
menular.
2. Pada tindak lanjut siswa/i dengan masalah tekanan darah terdapat 1
siswi atas nama Eka Nur yang membutuhkan pengobatan untuk
mengontrol tekanan darahnya, sedangkan 5 siswa/i lainnya (Lisa,
Graita, Tiur, M. Yogi, Arif) masih dianjurkan untuk tetap melakukan
pola hidup sehat seperti yang sudah disampaikan dalam penyuluhan
kesehatan mengenai penyakit tidak menular.
3. Pada tindak lanjut siswa/i dengan indikasi penyakit Diabetes Mellitus,
ketiga siswa/i (Rahma, Tiur, dan M. Yogi) menunjukan adanya
perbaikan dimana pada saat awal ketiganya memiliki kadar gula darah
dengan klasifikasi prediabetes, namun seletah tindak lanjut dan
menjalani anjuran untuk melakukan pola hidup sehat dan diet gizi
seimbang sesuai anjuran saat penyuluhan mengenai penyakit tidak
menular terdapat perubahan yang signifikan dimana kadar gula darah
ketiga siswa/i sudah pada keadaan normal.

54
6.2. Saran
Dari hasil tindak lanjut yang dilakukan terhadap siswa SMAN 58
Ciracas mengenai gambaran faktor resiko penyakit tidak menular, maka
beberapa saran peneliti adalah:
1. Melakukan penelitian yang lebih bersifat analitik mengenai faktor
risiko terhadap kejadian penyakit tidak menular di SMAN 58 Ciracas
sehingga dapat melakukan tindak lanjut yang lebih akurat.
2. Mengontrol jajanan kantin sekolah yang juga dapat menyumbang risiko
terhadap kejadian penyakit tidak menular di SMAN 58 Ciracas.
3. Melakukan penelitian serupa di sekolah-sekolah lain agar tergambar
faktor risiko terhadap kejadian penyakit tidak menular di wilayah
kelurahan ciracas.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Bustan, M.N, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta.


Jakarta.
2. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.
3. Depkes RI, 2007. InaSH Menyokong Penuh Penanggulangan Hipertensi.
Jakarta: Intimedia.
4. Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
5. Depkes RI, 2010. Hipertensi Penyebab Kematian Nomor Tiga.
Kementerian Kesehatan RI.Jakarta.Available
in:http://www.depkes.go.id/index.php/-berita/press-release/810hipertansi-
penyebab-kematian-nomor-tiga.html. [ Update: 23 April 2013]
6. Depkes RI, 2011. Penyakit Menular Penyebab Kematian Terbanyak Di
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. Available in:http://www-
.depkes.go-.id-/index-.php/berit-a/press-release/1637-penyakit-tidak-
menular-ptm-penyebab-kematian-terbanyak-di-indonesia.html. [Update:
23 April 2013]
7. Gray, Huon H, dkk., 2003. Lecture Notes: Kardiologi Edisi Keempat.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
8. Hartono, Bambang, 2011. Hipertensi The Silent Killer. Perhimpunan
Hipertensi Indonesia. Available
in:http://www.inash.or.id/upload/news_pdf/news_-DR._Drs._-
Bambang_Hartono,_SE26.pdf. [Update: 23 April 2013]
9. JNC, 2004. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure.Available in:
10. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf.[Update: 28
April 2013].
11. Joewono, Boedi Soestyo. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya:
Airlangga University Press.
12. Kamaruzaman, A.. 2010. Gambaran Tekanan Darah pada Mahasiswa/i
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sebelum dan Sesudah
Berolahraga
13. Manik, Margaret, 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Hipertensi Pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas
Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat Pematangsiantar Tahun
2011.Medan: FKM USU.
14. Nadesul, H. 2007. Sehat itu Murah. Jakarta: Kompas, 181-82

15. Ningsih, E. W, 2002. Karekteristik Penderita Hipertensi yang Dirawat


Inap di Rumah Sakait Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 1999-2000.FKM
USU. Medan.
16. Palmer, Anna. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Erlangga. Jakarta.

56
17. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993. Proses
Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sisem Kardiovaskuler.
Jakarta: EGC.
18. Rubenstein, David, dkk., 2007. Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
19. Ruhyanudin, Faqih. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Kardioavaskuler. Malang: UMM Press.
20. Sheerwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.
Jakarta: EGC, 327-34.
21. Sigarlaki, Herke. J.O. 2006. Karakteristik Dan Faktor Berhubungan
Dengan Hipertensi Di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren,
Kabupaten Kebumen. IKM FK.UKI. Jakarta.
22. Sugiharto, Aris, 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada
Masyarakat. Semarang: Program Pasca Sarjana UNDIP.
23. Wahyuni, Arlinda Sari. 2008. Statistika Kedokteran. Jakarta : Bamboedoea
Communication.
24. WHO, 2011. Hypertension fact sheet. Department of Sustainable
Development and Healthy Environments September 2011. Available in:
25. http://www.searo.who.int/linkfiles/non_communicable_diseases_hyperten
sion-fs.pdf.[Update: 23 April 2013]
26. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku
ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
27. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
28. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta :
balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
29. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
30. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
31. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2006
32. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
33. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006;
hal. 1873
34. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes
mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson
price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.
Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259

57
35. Abdul Majid. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan, dan
Pengobatan Terkini. 2008.
36. ESC. Guidelines on the management of stable angina pectoris. 2006; 5
37. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap
di RSUP H. Adam Malik. 2009.
38. Sri Damai. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap
di RSU Dr. Pirngadi Medan. 2009.
39. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K,
Poppy S R, ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 115.
40. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia.
Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243
41. Trisnohadi, Hanafi B. Angina Pektoris Tak Stabil. In : Aru W S,
Bambang S, Idrus A, Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 2007;1626-1623.
42. Douglas M. Char, MD. The pathphysiology of acute coronary syndrome.
Division of emergency medicine : Washington University School of
Medicine.
43. M, Santoso dan Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. SMF Penyakit
Dalam RSUD Koja / Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Ukrida, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 2005:147.
44. Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.
45. Irmalita, dkk. Tatalaksana SIndroma Koroner Akut dengan Elevasi
Segmen ST. In: Irmalita, dkk, ed. Standard Pelayanan Medik (SPM)
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-
16
46. Samsu, Nur dan Djanggan Sargowo. Sensitivity and Specificity of
Troponin T and I for diagnosis of Acute Myocardial Infarction. Maj
Kedokt Indon 2007: 57:10.
47. Isselbacher, J Kurt. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 13 Volume 3. Jakarta : EGC.

58

Anda mungkin juga menyukai