Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 17 TAHUN 9 BULAN DENGAN


DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DERAJAT II: Manifestasi
Gangguan Ginjal Akut dan Kejang sebagai Akibat Sekunder DBD

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior


Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Laksita Dinnyaputeri
22010118220052
Penguji :
dr. Dimas Tri Anantyo Sp. A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Abstrak
Latar Belakang : Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, dan masih merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di Indonesia. Tujuan dari laporan ini adalah untuk mendiskusikan
salah satu kasus demam berdarah dengue yang terjadi di Semarang sehingga penanganan yang

tepat dapat dimulai sesegera mungkin.


Kasus : Pasien adalah anak laki-laki usia 17 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan
keluhan demam terus menerus selama 4 hari dan ruam di lengan dan tungkai.
Diskusi : Pasien datang ke IGD pada hari ke-4 demam dengan gejala demam disertai mual,
muncul ruam bintik-bintik merah di lengan dan tungkai, nafsu makan menurun. Dari
pemeriksaan penunjang juga didapatkan tanda-tanda perembesan plasma yaitu
hemokonsentrasi (Ht = 52,57%), dan trombosit mencapai 34.000/uL. Pasien didiagnosis
demam berdarah dengue derajat II. Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi stage II di mana
tekanan darah mencapai 164/102 mmHg, serta gangguan ginjal akut stadium injury dengan
serum kreatinin 2,6 mg/dL (LFG 51,34 ml/menit/1,73m2). Pada hari ke-10 sakit, pasien
mengalami krisis hipertensi dan kejang (TD = 200/100 mmHg), serta imbalans elektrolit
(hipokalsemia, hipokalemia, hipomagnesemia) sehingga pasien mendapat terapi antihipertensi
tambahan dan koreksi elektrolit.
Kesimpulan : Pasien didiagnosis demam berdarah dengue derajat II, gangguan ginjal akut
stadium injury, dan hipertensi stage II. Pasien juga mengalami manifestasi neurologis berupa
kejang. Pasien dipulangkan dari rumah sakit setelah melewati fase kritis dan kondisi klinis
membaik.
Kata Kunci : demam berdarah dengue, trombositopenia, gangguan ginjal akut, hipertensi,
krisis hipertensi, expanded dengue syndrome
Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Data tahun 2018 menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah kasus
DBD dari semua provinsi mencapai 65.602 kasus, meningkat dari tahun 2017 yaitu 59.047.
Jumlah kasus meninggal karena DBD pada tahun 2018 mencapai 462 (case fatality rate
0,70%).1
Masa inkubasi virus dengue dalam tubuh nyamuk berlangsung sekitar 8-10 hari,
sedangkan masa inkubasi di tubuh manusia sekitar 3-14 hari sebelum gejala muncul. Gejala
klinis biasanya muncul pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Penegakan diagnosis berdasarkan dua
kriteria klinis yaitu demam tinggi mendadak selama 2-7 hari, ditambah adanya manifestasi
perdarahan seperti uji bendung positif, ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis atau melena disertai dua kriteria laboratorium yaitu trombositopeni dan
kebocoran plasma karean peningkatan permeabilitas kapiler yang ditandai dengan
hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.2 Tujuan dari laporan ini adalah
untuk mendiskusikan salah satu kasus demam berdarah dengue yang terjadi di Semarang.

Laporan kasus
Seorang anak laki-laki usia 17 tahun 9 bulan datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit pendidikan di Semarang pada tanggal 15 Mei 2019 pukul 13.00 WIB dengan
keluhan demam empat hari. Empat hari sebelum masuk rumah sakit, anak demam tinggi
mendadak, suhu tidak diukur. Demam turun dengan obat penurun panas namun naik lagi
setelah beberapa jam. Anak juga mengeluh mual, tidak ada muntah, tidak ada mimisan maupun
gusi berdarah. Anak mengeluh muncul bintik-bintik merah di tangan dan kaki, mulai muncul
14 Mei 2019 malam hari. Nafsu makan menurun, Buang air besar terakhir 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, konsistensi dalam batas normal. Buang air kecil dalam batas normal. Anak
dibawa ke puskesmas, dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil hemoglobin 17,6
gr/dL, leukosit 3.820/uL, trombosit 34.000/uL, hematokrit 52,57%, IgM dan IgG dengue (-),
NS1 (-), kemudian dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit.
Di rumah sakit, dilakukan pemeriksaan fisik, anak sadar dan keadaan umum baik, dengan
tekanan darah 108/74 mmHg, nadi 89x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu tubuh 380C.
Anak sudah terpasang infus kristaloid dari puskesmas, lalu diberi obat penurun panas, anti mual
dan anti muntah, serta dirawat inap untuk evaluasi demam karena curiga terinfeksi virus.
Dilakukan pemeriksaan foto thorax 2 posisi dan didapatkan kesan efusi pleura kanan (PEI:
9%).

Gambar 1. Foto thorax 2 posisi pada pasien


Tanggal 16 Mei 2019, dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan trombosit
menurun sampai 12.000/uL. Anak juga mengeluh nyeri ulu hati dan mual muntah. Didapatkan
tekanan darah 140/95 mmHg. Tanggal 17 Mei 2019, anak mengeluh batuk, sesak, dan mata
kiri merah. Tekanan darah anak 140/100 mmHg. Tanggal 18 Mei 2019, pasien mengeluh
semakin sesak, laju pernapasan 38x/menit, tekanan darah 164/102 mmHg. Dilakukan
pemeriksaan urin rutin dan terdapat peningkatan ureum (61 mg/dL) dan kreatinin (2,6 mg/dL)
dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG = 51,34/ml/menit/1,73m2). Pasien didiagnosis
demam berdarah dengue grade II, hipertensi grade II, serta acute kidney injury stadium injury.
Tanggal 19 Mei 2019, anak masih mengeluh sesak dengan saturasi O2 mencapai 89%,
diberikan terapi oksigen nasal canule 3L/menit. Tanggal 20 Mei 2019, anak sudah tidak
demam dengan suhu 37,20C, tekanan darah 147/100 mmHg, sesak berkurang, nyeri ulu hati
masih dirasakan. Dilakukan pemeriksaan fisik, pada mata terdapat perdarahan subkonjungtiva,
pemeriksaan paru jantung dalam batas normal, pada abdomen didapatkan nyeri tekan
epigastrium, hepar tidak teraba. Terdapat edema pada kedua tangan pasien. Tanggal 21 Mei
2019, anak mengalami kejang 1 menit, tonik klonik, general. Pasca kejang pasien sadar, TD
setelah kejang 200/100 mmHg. Dilakukan CT scan kepala dengan kesan normal. Setelah
kejang juga dilakukan pemeriksaan elektrolit, dengan hasil hipokalsemia (Ca = 1,87 mg/dL),
hipokalemia (2,76 mg/dL), dan hipomagnesemia (1,35 mg/dL).
Gambar 2. CT scan tanpa kontras kepala pasien
Pada pasien ini, dilakukan juga USG abdomen dengan kesan gambaran proses kronis
kedua ginjal, ascites minimal, penebalan dinding vesika felea, mengarah pada gambaran
edema, efusi pleura dupleks, pelviectasis kanan kiri dan pelebaran ringan ureter kiri, cenderung
ec vesika urinaria penuh.

Gambar 3. USG abdomen pada pasien


Pembahasan
Infeksi virus dengue dapat mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi. Virus
dengue berasal dari famili Flaviviridae, genus Flavivirus dan mempunyai 4 jenis serotipe
(Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4). Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes sp yang terinfeksi. Sebagian besar kasus infeksi dengue akan sembuh tanpa pengobatan,
namun adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat mengakibatkan infeksi dengue berat
dan berakibat fatal.1

Infeksi Virus Dengue

Asimptomatik Simptomatik

Undifferentiated Demam
febrile illness dengue Demam Berdarah Expanded
Dengue (DBD) Dengue
Syndrome

Tanpa Dengan
perdarahan perdarahan DBD non DBD dengan
syok syok (DSS)

Gambar 4. Spektrum klinis infeksi virus dengue2


Demam dengue dan demam berdarah dengue memiliki etiologi virus yang sama, namun
manifestasi klinis dan patofisiologinya berbeda. Perbedaan utama adalah adanya perembesan
plasma pada demam berdarah dengue yang ditandai oleh peningkatan hematokrit, efusi pleura,
asites, serta hipoproteinemia. Sementara itu, demam dengue adalah sindrom ringan karena
infeksi virus dengue yang ditandai dengan demam disertai 2 atau lebih gejala lain yaitu nyeri
kepala, muntah, nyeri perut, nyeri otot atau nyeri sendi, dan mungkin terdapat manifestasi
perdarahan berupa uji bendung positif dan atau perdarahan spontan namun tidak terbukti terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah.3
Demam berdarah dengue harus disertai demam 2-7 hari, trombositopenia
(<100.000/mm3) , manifestasi perdarahan baik uji bendung positif maupun perdarahan spontan
dan terbukti adanya perembesan plasma. Pada kasus ini, pasien datang ke IGD dengan keluhan
demam tinggi selama empat hari, didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium trombositopeni
(trombosit 34.000/uL) dan hemokonsentrasi (hematokrit 52,57%). Keadaan umum pasien
tampak sakit sedang dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda-tanda syok sehingga
pasien dapat diklasisikasikan dengan DBD tanpa syok.
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data tahun
2018 menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah kasus DBD mencapai 65.602 kasus, meningkat
dari tahun 2017 yaitu 59.047. Jumlah kasus meninggal karena DBD pada tahun 2018 mencapai
462.4
Beberapa faktor risiko penularan demam berdarah dengue adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasaran
transportasi, dan melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkinkan terjainya
kejadian luar biasa (KLB). Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang
tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air
minum bersih, dan pembuangan sampah yang benar.5
Pada kasus ini, pasien merupakan anak dari pasangan suami istri yang bekerja sebagai
pegawai buruh di daerah perkampungan di kota Semarang. Rumah tinggal berukuran sekitar
40m2. Jendela di depan rumah jarang dibuka, sehingga cahaya matahari yang masuk ke rumah
kurang. Hal ini menjadi salah satu faktor risiko banyaknya nyamuk yang tinggal. Penampungan
air di kamar mandi rutin dikuras. Jarak antara toilet, dapur, dan tempat tidur dekat sehingga
memungkinkan adanya higenitas buruk.
Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh manusia akan berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial, selanjutnya akan terjadi viremia yang berlangsung 2-5 hari. Virus yang
berkembang di dalam peredaran darah akan ditangkap oleh makrofag. Makrofag akan menjadi
antigen presenting cell (APC) dan mengaktivasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktivasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus dan mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.
Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator inflamasi yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, nyeri otot, malaise, dan gejala lainnya.6
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain
netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi
sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat. Antibodi terhadap virus dengue dapat
ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai
dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik
kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer
dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang
pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Oleh karena itu diagnosa dini
infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit
kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibodi IgG dan IgM yang cepat. Infeksi sekunder biasanya terjadi akibat diserang virus
dengue dengan serotipe berbeda dengan infeksi sebelumnya.6
Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan serolagi pada hari ke-5 demam dan hasilnya
antibodi IgM dengue (-), dan antibodi IgG dengua (-), sehingga pemeriksaan serologi tidak
bisa membuktikan adanya infeksi virus dengue. Namun, manifestasi klinis dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan hematologi sudah dapat mengonfirmasi adanya demam
berdarah dengue. Blacksell et al telah melakukan studi meta analisis untuk mengevaluasi IgM.
Selama 7 hari pertama demam, tes serologi IgM dengue memiliki sensitifitas 73% dan
spesifisitas 88%, sementara di hari ke-7-10 meningkat menjadi 96% dan 90%. Pemeriksaan
pada pasien ini dilakukan di hari ke-5 demam, sehingga kemungkinan terjadinya negatif palsu
masih ada.7
Pada akhir masa inkubasi, penyakit dimulai secara tiba-tiba dan diikuti tiga fase yaitu
fase demam, fase kritis, dan fase konvalesen. Fase demam ditandai dengan demam tinggi
disertai nyeri retro orbita, nyeri kepala, mual, muntah, dan biasanya jumlah trombosit
mengalami penurunan dengan cepat yaitu dalam 2-3 hari hingga mencapai angka
<100.000/mikro liter darah. Kemudian akan berlanjut pada fase kritis di mana pasien tidak lagi
mengalami demam tinggi, dapat terjadi pada 3-7 hari sejak mengalami demam dan berlangsung
selama 24-48 jam. Pada masa ini, cairan tubuh harus dipantau ketat agar pasien tidak
mengalami kekurangan cairan atau kelebihan cairan. Jika pasien tidak kunjung membaik
selama fase kritis, pasien dapat mengalami syok. Sedangkan fase konvalesen akan terjadi
sekitar 48-72 jam setelah fase kritis. Pada fase ini sangat penting untuk menjaga cairan yang
masuk agar tidak berlebihan karena dapat mengakibatkan gagal jantung dan edema paru.6
Pada kasus ini, pasien datang ke IGD pada fase hari ke-4 demam dengan gejala demam
disertai mual, muncul ruam bintik-bintik merah di tangan dan kaki, pasien juga mengeluh nafsu
makan menurun. Dari pemeriksaan penunjang juga didapatkan tanda-tanda perembesan plasma
yaitu hemokonsentrasi (Ht = 52,57%), dan trombosit mencapai 34.000/uL. Dari tanda-tanda
tersebut, disimpulkan pasien memasuki fase kritis. Saat fase kritis, pasien didiagnosis dengan
hipertensi stage II di mana tekanan darah mencapai 164/102 mmHg, serta gangguan ginjal akut
stadium injury dengan serum kreatinin 2,6 mg/dL (LFG 51,34 ml/menit/1,73m2).
Keterlibatan ginjal telah sering ditemukan pada pasien dengan infeksi virus dengue, yaitu
peningkatan kreatinin serum, gangguan ginjal akut, nekrosis tubular akut, hemolytic uremic
syndrome, proteinuria, glomerulopati, dan sindrom nefrotik.8
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibat penurunan
fungsi ginjal terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum dan kreatinin
serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Ada beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan etiopatogenesis dari gangguan ginjal
akut karena infeksi virus dengue. Pertama, dapat terjadi infeksi langsung oleh virus di mana
terdapat efek sitopatik oleh kompleks imun antigen virus dengue dan antibodi secara langsung
terhadap glomerulus dan tubulus, yang menyebabkan gangguan ginjal akut dengan kerusakan
renal. Kedua, ketidakstabilan hemodinamis, di mana peningkatan permeabilitas vaskular pada
infeksi virus dengue menyebabkan menurunnya cairan intravaskular, yang dapat mengganggu
hemodinamik, menyebabkan gangguan ginjal akut karena penurunan perfusi ginjal (kerusakan
pre-renal). Ketiga, dengue fever-induced hemolytic uremic syndrome di mana terdapat anemia
hemolitik, trombositopenia, serta gangguan ginjal akut karena lesi vaskular (kerusakan
renal).8,9

Efek langsung virus


Gangguan ginjal akut
terhadap glomerulus
tipe intrarenal
& tubulus
Infeksi Virus Dengue
Perfusi ginjal menurun
Cairan intravaskular
Vaskulopati dengue (Gangguan ginjal akut
menurun
tipe prerenal)

Gambar 5. Patofisiologi terjadinya gangguan ginjal akut karena infeksi virus dengue
Para ahli di bawah pengawasan acute dialysis quality initiative (ADQI) mengembangkan
sistem klasifikasi gangguan ginjal akut (acute kidney injury/AKI) yang dikenal dengan kriteria
RIFLE. Kriteria ini menunjukkan tiga stadium disfungsi renal dengan dasar kadar kreatinin
serum yang merefleksikan penurunan LFG disertai durasi dan beratnya penurunan pengeluaran
urin. Dengan kriteria RIFLE, klinisi dapat menentukan stadium kerusakan ginjal yang masih
dapat dicegah, keadaan telah terjadi kerusakan ginjal, ataupun telah terjadi gagal ginjal.9
Gambar 6. Diagram kriteria RIFLE9
Pasien ini didiagnosis dengan AKI stadium injury. Didapatkan level serum kreatinin
pada pasien 2,6 mg/dL, di mana nilai rujukan normal 0,6-1,3 mg/dL. Peningkatan serum
kreatinin dua kali lipat inilah yang mengklasifikasikan stadium AKI pasien yaitu stadium
injury.
Selain itu, pada pasien ini terdapat hipertensi stage II. Hipertensi dapat disebabkan oleh
gangguan ginjal akut, karena adanya oveload cairan dan peningkatan renin. Kerusakan dari
endotel (vaskulopati dengue) juga dapat menyebabkan pembentukan fibrin pada arteriol dan
kapiler, menyebabkan penyempitan pada lumen, penurunan laju filtrasi glomerulus, oliguria,
azotemia. Penyempitan lumen arteriol dan kapiler glomerulus dapat menyebabkan peningkatan
endothelin plasma yang berfungsi sebagai vasokonstriktor, menyebabkan gangguan aliran
darah pada ginjal, LFG, dan tekanan darah.10
Fase konvalesens pada pasien dengue biasanya terjadi sekitar 48-72 jam setelah fase
kritis. Fase ini biasanya ditandai dengan kondisi klinis yang membaik dan trombosit yang terus
meningkat. Pada pasien ini, di hari ke-7 setelah demam pertama muncul (20 Mei 2019) sudah
terjadi peningkatan trombosit ke nilai normal yaitu 165.000/uL, serta suhu pasien 37,6oC.
Pasien sudah tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah, maupun nyeri otot.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I yang ditandai dengan terdapat
demam disertai gejala tidak khas, uji bendung positif, dan terdapat tanda kebocoran plasma,
derajat II yaitu derajat I ditambah adanya perdarahan spontan, derajat III ditandai dengan
adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20
mmHg), hipotensi (sistolik menurun <80mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit
lembab dan pasien tampak gelisah, sedangkan derajat IV ditandai dengan syok berat (profound
shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.2
Pada kasus ini, pasien demam tinggi selama 4 hari berturut-turut disertai dengan keluhan
mual, tidak ada muntah, tidak ada mimisan maupun gusi berdarah. Anak mengeluh muncul
bintik-bintik merah di tangan dan kaki, mulai muncul di hari ke-3 demam. Didapatkan hasil
laboratorium dengan kesan hemokonsentrasi, trombositopenia, serta foto thorax dengan kesan
efusi pleura, USG abdomen dengan kesan asites, yang menandakan adanya kebocoran plasma.
Sehingga pasien didiagnosis dengan DBD derajat II.
Tanggal 21 Mei 2019 yaitu sakit hari ke-10, pasien kejang 1 menit, tonik klonik, general.
Pasca kejang pasien sadar. TD setelah kejang mencapai 200/100mmHg. Dilakukan CT scan
kepala, didapatkan kesan tak tampak perdarahan, infark, SOL, maupun gambaran peningkatan
tekanan intrakranial. Dilakukan juga pemeriksaan elektrolit serum pada pasien setelah kejang,
dengan hasil didapatkan hipokalsemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. Pada pasien ini,
dapat dipertimbangkan beberapa penyebab kejang yang memungkinkan, yaitu oleh krisis
hipertensi (ensefalopati hipertensi), ensefalopati dengue, maupun imbalans elektrolit.
Kemungkinan penyebab kejang pada pasien ini yang pertama adalah hipertensi.
Hipertensi memiliki banyak komplikasi, salah satunya adalah ensefalopati hipertensif, yang
berprognosis buruk. Ensefalopati hipertensif didefinisikan sebagai disfungsi otak akut, yang
bermanifestasi sebagai gejala-gejala neurologis seperti nyeri kepala berat, penurunan
kesadaran, kejang, dan perdarahan retina. Patofisiologi dari ensefalopati hipertensif belum
dapat dipastikan dengan jelas, namun ada 2 kemungkinan. Pertama, pada hipertensi, arteriol-
arteriol otak berdilatasi karena tingginya tahanan perifer. Hal ini dapat menyebabkan edema
vasogenik. Pada CT Scan, edema tipe vasogenik ini dilihat sebagai hipodensitas terbatas pada
materi putih, melibatkan materi putih sub kortikal, suku abu-abu materi kortikal, dan
mengucapkan interfase materi putih abu-abu. Kedua, hipertensi dapat menyebabkan spasme
pembuluh darah otak yang menyebabkan iskemi otak dan edema sitotoksik. Edema sitotoksik
dengan CT Scan dilihat sebagai hipodensitas yang melibatkan materi abu-abu kortikal serta
materi putih mengakibatkan hilangnya interphase materi putih abu-abu normal. Kedua edema
otak ini dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik, dan dapat menyebabkan manifestasi kejang.11 Pada pasien ini, tekanan darah pasien
sebelum kejang mencapai 160/106 mmHg (> persentil 95 + 12 mmHg atau hipertensi stage II),
dan sesaat setelah kejang mencapai 200/100 mmHg (krisis hipertensi). Dapat disimpulkan
bahwa kejang pada pasien dapat disebabkan oleh hipertensi.
Gambar 7. Contoh gambaran CT Scan pada edema vasogenik karena ensefalopati
hipertensi12

Gambar 8. Contoh gambaran CT scan pada edema sitotoksik12


Kemungkinan penyebab kejang pada pasien yang kedua adalah ensefalopati dengue.
Ensefalopati dengue merupakan komplikasi yang cukup jarang (insidensi 0.5-6.2%) dari
infeksi virus dengue. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah kegagalan pada hepar
(ensefalopati hepatikum), hipoperfusi serebral (syok), edema serebral (dari perembesan
plasma), dan bahkan perdarahan intrakranial karena trombositopenia atau koagulopati.
Meskipun virus dengue diketahui sebagai virus non-neurotropik, beberapa studi kasus telah
membuktikan adanya virus dengue dan antigen IgM dengue pada cairan serebrospinal pada
pasien dengan ensefalopati. Dapat disimpulkan bahwa penegakkan diagnosis dari ensefalopati
dapat dilakukan dengan analisis cairan serebrospinal dan pemeriksaan neuroimaging seperti
MRI.13 Pada pasien ini, tidak dilakukan analisis cairan serebrospinal dan MRI. CT scan juga
tidak menggambarkan adanya abnormalitas pada otak sehingga diagnosis ensefalopati dengue
pada pasien ini tidak dapat ditegakkan.
Terakhir, gangguan keseimbangan elektrolit juga diduga menjadi penyebab kejang pada
pasien ini. Keseimbangan elektrolit merupakan komponen yang esensial untuk fungsi otak.
Perubahan gradien ion dari membran sel neuron dan glia dapat memfasilitasi aktivitas epileptik
yaitu kejang. Efek gangguan keseimbangan elektrolit pada otak secara umum bersifat
fungsional bukan struktural, sehingga sebagian besar bersifat reversibel. Namun, apabila
manifestasi kejang terjadi, dapat terjadi perubahan struktural yang dapat menyebabkan
kerusakan yang irreversibel. Karena itu, gangguan elektrolit harus dikoreksi untuk mencegah
kerusakan irreversibel pada otak. Gangguan keseimbangan natrium dapat menyebabkan
depresi sistem saraf pusat, dengan manifestasi ensefalopati. Sementara itu, hipokalsemia dan
hipomagnesemia dapat menyebabkan iritabilitas neuron pada sistem saraf pusat yang
bermanifestasi sebagai kejang. Sebaliknya, peningkatan atau penurunan kalium jarang
menimbulkan gejala pada sistem saraf pusat, namun dapat berhubungan dengan kelemahan
otot yang sering menjadi manifestasi klinis. Diagnosis kejang karena gangguan elektrolit dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan elektrolit, terutama natrium, kalsium, dan magnesium.14 Pada
pasien ini, didapatkan hasil pemeriksaan elektrolit setelah kejang yaitu hipokalsemia,
hipokalemia, dan hipomagnesemia, sehingga dapat disimpulkan bahwa kejang pada pasien
kemungkinan disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit.
Prinsip tatalaksana pada demam berdarah adalah terapi cairan, suportif, dan simptomatik.
Pemberian cairan intravena dilakukan atas beberapa indikasi yaitu jika pasien tidak bisa diberi
asupan oral yang memadai atau muntah, jika hematokrit terus meningkat 1-%-20% meskipun
rehidrasi oral sudah diberikan, atau ada ancaman timbul syok. Pada fase demam, diberikan
cairan infus rumatan yang mengandung dextrose dan elektrolit, kemudian pada demam
berdarah dengue fase kritis diberikan cairan kristaloid berupa RL, NaCl 0,9% atau RA
sebanyak 5-7cc/kgBB/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5cc/kgBB/jam selama 2-4 jam,
dilanjutkan 2-3cc/kgBB/jam. Pada fase konvalesen diberikan infus dextrose dengan elektrolit
menggunakan dosis tetesan maintenance atau minimal tergantung hasil pemeriksaan
hematokrit. Pengawasan keluhan, keadaan umum, dan tanda-tanda vital harus dicek minimal
setiap 2-4 jam pada pasien non syok dan 1-2 jam pada pasien syok.2
Pada kasus ini, pasien datang di hari ke-4 demam, dengan sudah ada tanda-tanda
perembesan plasma. Pasien diberikan infus RL 3cc/kgBB/jam, yang diturunkan setiap harinya
menjadi 2cc/kgBB/jam, dan di hari ke-3 rawat inap mencapai 1,5cc/kgBB/jam karena kondisi
hemodinamik sudah stabil. Pasien juga mendapatkan terapi simtomatik berupa paracetamol
saat pasien masih demam dan antiemetik saat pasien merasa mual. Pada hari sakit ke-10,
rumatan diganti menjadi D5½NS 20 tpm sebagai maintenance. Namun setelah pasien kejang,
rumatan ditambahkan dengan NaCl 3% (1meq) 6ml+KCl Otsu (4 meq) 139 ml, serta diberikan
injeksi Ca glukonas 10ml/12 jam dan injeksi MgSo4 0,3 ml/jam sebagai koreksi elektrolit.
Pasien ini juga didiagnosis dengan AKI stadium injury. Terapi AKI bersifat suportif,
berdasarkan stadium dan penyebabnya. Prinsipnya terdiri dari terapi konservatif dan terapi
aktif dengan renal replacement therapy. Beberapa prinsip terapi konservatif adalah hati-hati
dengan pemberian obat nefrotoksik, hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi, hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik,
hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat, hindari
pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medis yang kuat, kendalikan
hipertensi sistemik, kendalikan keadaan hiperglikemia dan ISK, serta diet protein
proporsional.15
Diagnosis AKI berkaitan dengan hipertensi stage II pada pasien. Terapi pada hipertensi
pada anak bertujuan untuk mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Penggunaan obat antihipertensi pada anak
memiliki indikasi yaitu hipertensi simtomatik, kerusakan organ target, hipertensi sekunder,
diabetes melitus, hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respon dengan perubahan gaya
hidup, serta hipertensi tingkat 2. Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi
untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip menggunakan obat-obatan dengan tempat
dan mekanisme kerja yang berbeda.3
Pada pasien ini, diberikan terapi captopril 12,5 mg/12 jam dan furosemide 10 mg/8 jam.
Captopril merupakan obat yang tergolong sebagai angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-inhibitor), sementara furosemide merupakan diuretik. ACE-inhibitor menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, yang menghambat terjadinya vasokonstriksi
arteriol yang menjadi penyebab hipertensi. Selain itu, pada pasien ini diberikan intervensi gizi
berupa pembatasan natrium karena hipertensi, serta pembatasan protein terkait penurunan
fungsi ginjal.
Pasien pada kasus ini juga sempat mengalami krisis hipertensi, di mana TD mencapai
200/100 mmHg. Prinsip tatalaksana pada krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah
secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan penurunan awal sebesar <25% dalam 8 jam
pertama. Tekanan darah harus diturunkan secara cepat dalam 1 jam pertama, sehingga
pemberian nifedipin oral maupun sublingual pada terapi awal sangat membantu tahap awal
pengobatan. Pada pasien ini diberikan terapi nifedipine sublingual 5mg, bertahap setiap 5 menit
dinaikkan dosis menjadi 7,5 mg dan 10 mg. Target tekanan darah pada pasien adalah 150/75
mmHg dalam 8 jam, dan pada pasien didapatkan tekanan darah mencapai 150/92 mmHg
setelah 1 jam pemberian obat, lalu tekanan darah semakin turun sampai 80/50 mmHg di jam
ke-2. Tekanan darah pasien kemudian kembali stabil di angka 121/60 mmHg sekitar 8 jam
setelah pemberian obat.
Demam berdarah dengue dapat menimbulkan komplikasi beragam. Salah satu
komplikasi dari DBD bisa disebabkan oleh syok, yang menyebabkan perdarahan hebat karena
DIC dan gagal multiorgan seperti gangguan hepar dan ginjal. Selain itu, penggantian cairan
saat terapi juga dapat membuat efusi masif yang bermanifestasi di sistem pernapasan.2
Adanya manifestasi dari komplikasi dengue dapat dikategorikan sebagai expanded
dengue syndrome. Manifestasi tersebut terdiri dari komplikasi neurologis, hepatik, ginjal, dan
organ-organ lainnya. Hal ini bisa disebabkan oleh syok maupun koinfeksi.2
Pada pasien ini, gangguan ginjal akut, hipertensi, dan kejang kemungkinan dapat
disimpulkan sebagai komplikasi dari demam berdarah dengue. Karena adanya keterlibatan
neurologis dan ginjal pada pasien ini, dapat disimpulkan pasien mengalami expanded dengue
syndrome.

Simpulan dan Saran


Seorang anak laki-laki usia 17 tahun 9 bulan datang ke IGD dengan keluhan demam 4
hari disertai mual, timbul ruam di tangan dan kaki, dan didapatkan tanda-tanda kebocoran
plasma berupa hemokonsentrasi dan efusi pleura, serta terdapat trombositopenia. Pasien
didiagnosis DBD derajat II dan dirawat inap untuk dilakukan terapi cairan. Selama rawat inap,
pasien juga didiagnosis AKI stadium injury dan hipertensi stage II, yang kemudian menjadi
krisis hipertensi dan bermanifestasi sebagai kejang.
Meskipun DBD merupakan kasus yang sering dijumpai dan seringkali berprognosis baik,
namun DBD dapat memiliki komplikasi yang kompleks dari proses vaskulopati yang terjadi.
Pengawasan pasien DBD di rumah sakit penting dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Tatalaksana dari DBD berfokus pada terapi cairan dan suportif untuk mencegah
syok dan meningkatkan kekbalan tubuh, namun apabila ada komplikasi, tenaga medis juga
harus sigap memberikan tatalaksana untuk mencegah komplikasi yang menyebabkan
kerusakan yang bersifat irreversibel.

Kepustakaan
1. Kurane IH-08-26. pd. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease.
2007;30(329):40.
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
hemorrhagic Fever (Revised and Expanded Edition). India: SEARO. 2011.
3. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 1st ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
2011.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Data Dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2018.; 2018.
5. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever
Threat Spreading in the Americas. New York Nat Resour Def Counc Issue Pap. 2009.
6. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator. 2010;2:110-119.
7. Cl T, Ch W. Does negative IgM dengue serology rule out dengue fever in an adult
with fever for three days ? 2013;8(3):26-27.
8. Fernando J, Oliveira P, Burdmann EA. Dengue-associated acute kidney injury.
2015;8(6):681-685. doi:10.1093/ckj/sfv106
9. Puspaningtyas NW, Pardede SO. RIFLE Criteria in Acute Kidney Injury. Maj Kedokt
FK UI. 2012;XXVIII(2):92-99.
10. Hadianto MT, Mellyana O. Hemolytic uremic syndrome and hypertensive crisis post
dengue hemorrhagic fever: a case report. Paediatr Indones. 2011;51(5):372-376.
11. Ahn CH, Han S, Kong YH, Kim SJ. Clinical characteristics of hypertensive
encephalopathy in pediatric patients. 2017:266-271.
12. S P Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra I. Cytotoxic vs Vasogenic
odema. Dr Balaji Anvekar’s Neuroradiology Cases.
13. Li G-H, Ning Z-J, Li X-H. Neurological Manifestations of Dengue Infection. Front
Cell Infect Microbiol. 2017;7:449.
14. Castilla-guerra L, Fern C, Fern R. Electrolytes Disturbances and Seizures.
2006;47(12):1990-1998. doi:10.1111/j.1528-1167.2006.00861.x
15. Nugraha IBA, Sudhana2 W. Acute Kidney Injury ( AKI ) Prerenal pada Dengue Shock
Syndrome. 2018;45(12):922-925.

Penulis dan institusi


Laksita Dinnyaputeri, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Rumah Sakit
Nasional Diponegoro Semarang.

Anda mungkin juga menyukai