Case Report DHF
Case Report DHF
Disusun oleh:
Laksita Dinnyaputeri
22010118220052
Penguji :
dr. Dimas Tri Anantyo Sp. A
Kasus : Pasien adalah anak laki-laki usia 17 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan
keluhan demam terus menerus selama 4 hari dan ruam di lengan dan tungkai.
Diskusi : Pasien datang ke IGD pada hari ke-4 demam dengan gejala demam disertai mual,
muncul ruam bintik-bintik merah di lengan dan tungkai, nafsu makan menurun. Dari
pemeriksaan penunjang juga didapatkan tanda-tanda perembesan plasma yaitu
hemokonsentrasi (Ht = 52,57%), dan trombosit mencapai 34.000/uL. Pasien didiagnosis
demam berdarah dengue derajat II. Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi stage II di mana
tekanan darah mencapai 164/102 mmHg, serta gangguan ginjal akut stadium injury dengan
serum kreatinin 2,6 mg/dL (LFG 51,34 ml/menit/1,73m2). Pada hari ke-10 sakit, pasien
mengalami krisis hipertensi dan kejang (TD = 200/100 mmHg), serta imbalans elektrolit
(hipokalsemia, hipokalemia, hipomagnesemia) sehingga pasien mendapat terapi antihipertensi
tambahan dan koreksi elektrolit.
Kesimpulan : Pasien didiagnosis demam berdarah dengue derajat II, gangguan ginjal akut
stadium injury, dan hipertensi stage II. Pasien juga mengalami manifestasi neurologis berupa
kejang. Pasien dipulangkan dari rumah sakit setelah melewati fase kritis dan kondisi klinis
membaik.
Kata Kunci : demam berdarah dengue, trombositopenia, gangguan ginjal akut, hipertensi,
krisis hipertensi, expanded dengue syndrome
Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Data tahun 2018 menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah kasus
DBD dari semua provinsi mencapai 65.602 kasus, meningkat dari tahun 2017 yaitu 59.047.
Jumlah kasus meninggal karena DBD pada tahun 2018 mencapai 462 (case fatality rate
0,70%).1
Masa inkubasi virus dengue dalam tubuh nyamuk berlangsung sekitar 8-10 hari,
sedangkan masa inkubasi di tubuh manusia sekitar 3-14 hari sebelum gejala muncul. Gejala
klinis biasanya muncul pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Penegakan diagnosis berdasarkan dua
kriteria klinis yaitu demam tinggi mendadak selama 2-7 hari, ditambah adanya manifestasi
perdarahan seperti uji bendung positif, ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis atau melena disertai dua kriteria laboratorium yaitu trombositopeni dan
kebocoran plasma karean peningkatan permeabilitas kapiler yang ditandai dengan
hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.2 Tujuan dari laporan ini adalah
untuk mendiskusikan salah satu kasus demam berdarah dengue yang terjadi di Semarang.
Laporan kasus
Seorang anak laki-laki usia 17 tahun 9 bulan datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit pendidikan di Semarang pada tanggal 15 Mei 2019 pukul 13.00 WIB dengan
keluhan demam empat hari. Empat hari sebelum masuk rumah sakit, anak demam tinggi
mendadak, suhu tidak diukur. Demam turun dengan obat penurun panas namun naik lagi
setelah beberapa jam. Anak juga mengeluh mual, tidak ada muntah, tidak ada mimisan maupun
gusi berdarah. Anak mengeluh muncul bintik-bintik merah di tangan dan kaki, mulai muncul
14 Mei 2019 malam hari. Nafsu makan menurun, Buang air besar terakhir 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, konsistensi dalam batas normal. Buang air kecil dalam batas normal. Anak
dibawa ke puskesmas, dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil hemoglobin 17,6
gr/dL, leukosit 3.820/uL, trombosit 34.000/uL, hematokrit 52,57%, IgM dan IgG dengue (-),
NS1 (-), kemudian dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit.
Di rumah sakit, dilakukan pemeriksaan fisik, anak sadar dan keadaan umum baik, dengan
tekanan darah 108/74 mmHg, nadi 89x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu tubuh 380C.
Anak sudah terpasang infus kristaloid dari puskesmas, lalu diberi obat penurun panas, anti mual
dan anti muntah, serta dirawat inap untuk evaluasi demam karena curiga terinfeksi virus.
Dilakukan pemeriksaan foto thorax 2 posisi dan didapatkan kesan efusi pleura kanan (PEI:
9%).
Asimptomatik Simptomatik
Undifferentiated Demam
febrile illness dengue Demam Berdarah Expanded
Dengue (DBD) Dengue
Syndrome
Tanpa Dengan
perdarahan perdarahan DBD non DBD dengan
syok syok (DSS)
Gambar 5. Patofisiologi terjadinya gangguan ginjal akut karena infeksi virus dengue
Para ahli di bawah pengawasan acute dialysis quality initiative (ADQI) mengembangkan
sistem klasifikasi gangguan ginjal akut (acute kidney injury/AKI) yang dikenal dengan kriteria
RIFLE. Kriteria ini menunjukkan tiga stadium disfungsi renal dengan dasar kadar kreatinin
serum yang merefleksikan penurunan LFG disertai durasi dan beratnya penurunan pengeluaran
urin. Dengan kriteria RIFLE, klinisi dapat menentukan stadium kerusakan ginjal yang masih
dapat dicegah, keadaan telah terjadi kerusakan ginjal, ataupun telah terjadi gagal ginjal.9
Gambar 6. Diagram kriteria RIFLE9
Pasien ini didiagnosis dengan AKI stadium injury. Didapatkan level serum kreatinin
pada pasien 2,6 mg/dL, di mana nilai rujukan normal 0,6-1,3 mg/dL. Peningkatan serum
kreatinin dua kali lipat inilah yang mengklasifikasikan stadium AKI pasien yaitu stadium
injury.
Selain itu, pada pasien ini terdapat hipertensi stage II. Hipertensi dapat disebabkan oleh
gangguan ginjal akut, karena adanya oveload cairan dan peningkatan renin. Kerusakan dari
endotel (vaskulopati dengue) juga dapat menyebabkan pembentukan fibrin pada arteriol dan
kapiler, menyebabkan penyempitan pada lumen, penurunan laju filtrasi glomerulus, oliguria,
azotemia. Penyempitan lumen arteriol dan kapiler glomerulus dapat menyebabkan peningkatan
endothelin plasma yang berfungsi sebagai vasokonstriktor, menyebabkan gangguan aliran
darah pada ginjal, LFG, dan tekanan darah.10
Fase konvalesens pada pasien dengue biasanya terjadi sekitar 48-72 jam setelah fase
kritis. Fase ini biasanya ditandai dengan kondisi klinis yang membaik dan trombosit yang terus
meningkat. Pada pasien ini, di hari ke-7 setelah demam pertama muncul (20 Mei 2019) sudah
terjadi peningkatan trombosit ke nilai normal yaitu 165.000/uL, serta suhu pasien 37,6oC.
Pasien sudah tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah, maupun nyeri otot.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I yang ditandai dengan terdapat
demam disertai gejala tidak khas, uji bendung positif, dan terdapat tanda kebocoran plasma,
derajat II yaitu derajat I ditambah adanya perdarahan spontan, derajat III ditandai dengan
adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20
mmHg), hipotensi (sistolik menurun <80mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit
lembab dan pasien tampak gelisah, sedangkan derajat IV ditandai dengan syok berat (profound
shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.2
Pada kasus ini, pasien demam tinggi selama 4 hari berturut-turut disertai dengan keluhan
mual, tidak ada muntah, tidak ada mimisan maupun gusi berdarah. Anak mengeluh muncul
bintik-bintik merah di tangan dan kaki, mulai muncul di hari ke-3 demam. Didapatkan hasil
laboratorium dengan kesan hemokonsentrasi, trombositopenia, serta foto thorax dengan kesan
efusi pleura, USG abdomen dengan kesan asites, yang menandakan adanya kebocoran plasma.
Sehingga pasien didiagnosis dengan DBD derajat II.
Tanggal 21 Mei 2019 yaitu sakit hari ke-10, pasien kejang 1 menit, tonik klonik, general.
Pasca kejang pasien sadar. TD setelah kejang mencapai 200/100mmHg. Dilakukan CT scan
kepala, didapatkan kesan tak tampak perdarahan, infark, SOL, maupun gambaran peningkatan
tekanan intrakranial. Dilakukan juga pemeriksaan elektrolit serum pada pasien setelah kejang,
dengan hasil didapatkan hipokalsemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. Pada pasien ini,
dapat dipertimbangkan beberapa penyebab kejang yang memungkinkan, yaitu oleh krisis
hipertensi (ensefalopati hipertensi), ensefalopati dengue, maupun imbalans elektrolit.
Kemungkinan penyebab kejang pada pasien ini yang pertama adalah hipertensi.
Hipertensi memiliki banyak komplikasi, salah satunya adalah ensefalopati hipertensif, yang
berprognosis buruk. Ensefalopati hipertensif didefinisikan sebagai disfungsi otak akut, yang
bermanifestasi sebagai gejala-gejala neurologis seperti nyeri kepala berat, penurunan
kesadaran, kejang, dan perdarahan retina. Patofisiologi dari ensefalopati hipertensif belum
dapat dipastikan dengan jelas, namun ada 2 kemungkinan. Pertama, pada hipertensi, arteriol-
arteriol otak berdilatasi karena tingginya tahanan perifer. Hal ini dapat menyebabkan edema
vasogenik. Pada CT Scan, edema tipe vasogenik ini dilihat sebagai hipodensitas terbatas pada
materi putih, melibatkan materi putih sub kortikal, suku abu-abu materi kortikal, dan
mengucapkan interfase materi putih abu-abu. Kedua, hipertensi dapat menyebabkan spasme
pembuluh darah otak yang menyebabkan iskemi otak dan edema sitotoksik. Edema sitotoksik
dengan CT Scan dilihat sebagai hipodensitas yang melibatkan materi abu-abu kortikal serta
materi putih mengakibatkan hilangnya interphase materi putih abu-abu normal. Kedua edema
otak ini dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik, dan dapat menyebabkan manifestasi kejang.11 Pada pasien ini, tekanan darah pasien
sebelum kejang mencapai 160/106 mmHg (> persentil 95 + 12 mmHg atau hipertensi stage II),
dan sesaat setelah kejang mencapai 200/100 mmHg (krisis hipertensi). Dapat disimpulkan
bahwa kejang pada pasien dapat disebabkan oleh hipertensi.
Gambar 7. Contoh gambaran CT Scan pada edema vasogenik karena ensefalopati
hipertensi12
Kepustakaan
1. Kurane IH-08-26. pd. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease.
2007;30(329):40.
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
hemorrhagic Fever (Revised and Expanded Edition). India: SEARO. 2011.
3. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 1st ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
2011.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Data Dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2018.; 2018.
5. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever
Threat Spreading in the Americas. New York Nat Resour Def Counc Issue Pap. 2009.
6. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator. 2010;2:110-119.
7. Cl T, Ch W. Does negative IgM dengue serology rule out dengue fever in an adult
with fever for three days ? 2013;8(3):26-27.
8. Fernando J, Oliveira P, Burdmann EA. Dengue-associated acute kidney injury.
2015;8(6):681-685. doi:10.1093/ckj/sfv106
9. Puspaningtyas NW, Pardede SO. RIFLE Criteria in Acute Kidney Injury. Maj Kedokt
FK UI. 2012;XXVIII(2):92-99.
10. Hadianto MT, Mellyana O. Hemolytic uremic syndrome and hypertensive crisis post
dengue hemorrhagic fever: a case report. Paediatr Indones. 2011;51(5):372-376.
11. Ahn CH, Han S, Kong YH, Kim SJ. Clinical characteristics of hypertensive
encephalopathy in pediatric patients. 2017:266-271.
12. S P Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra I. Cytotoxic vs Vasogenic
odema. Dr Balaji Anvekar’s Neuroradiology Cases.
13. Li G-H, Ning Z-J, Li X-H. Neurological Manifestations of Dengue Infection. Front
Cell Infect Microbiol. 2017;7:449.
14. Castilla-guerra L, Fern C, Fern R. Electrolytes Disturbances and Seizures.
2006;47(12):1990-1998. doi:10.1111/j.1528-1167.2006.00861.x
15. Nugraha IBA, Sudhana2 W. Acute Kidney Injury ( AKI ) Prerenal pada Dengue Shock
Syndrome. 2018;45(12):922-925.