”Sebentar lagi Ari nggak sendirian lagi kok. Mama sama Ata kan mau pindah ke Jakarta.
Ata mau sekolah di Jakarta lagi. Di sekolah Ari.”
Ari sontak membeku. Tablet di tangannya terlepas tanpa sadar dan tak ayal terjun bebas menghantam lantai. Ini benar-benar di luar dugaan. Saat Mama dan Ata ke Jakarta beberapa waktu lalu dan setiap kali Mama meneleponnya, sedikit pun tidak ada indikasi ini akan terjadi. Hingga di alam bawah sadar Ari terbentuk kesimpulan. Jika dia ingin bertemu Mama dan Ata, satu- satunya jalan adalah terbang ke Malang. Nggak ada cara lain. Di ujung sambungan, Mama bisa merasakan gelombang emosi yang bergolak akibat ucapannya barusan, meskipun keheningan itu berjarak seribu kilometer darinya. Informasi yang dia berikan sudah pasti sangat mengagetkan putranya yang hanya pernah dilihatnya satu kali selama sembilan tahun mereka terpisah. Tapi ini hal pertama yang—dia bersumpah—akan langsung dia lakukan begitu putranya yang hilang itu ditemukan, yaitu menyatukannya kembali dengan saudara kembarnya. ”Ma…” Akhirnya Ari bersuara, serak dan seperti tercekik di tenggorokan. Tapi mendadak dia membungkam mulutnya lagi, membatalkan niatnya untuk mengatakan: Tolong jangan Tolong jangan pergi begitu aja, hilang, dan nggak pernah bisa ditemukan. ”Ari mau nanya apa?” Itu suara terlembut yang pernah Ari dengar dari bibir mamanya. Tapi cowok itu memilih membunuh sisa kalimatnya lalu melemparnya keluar dari ketakutannya. Dia tidak ingin ucapannya menjadi pertanda. ”Nggak… nggak apa-apa,” tutur Ari dengan suara bergetar hebat. ”Nggak apa-apa.” Dia mengulangi jawaban itu tanpa sadar. Meyakinkan diri bahwa kalimat itu telah binasa, bukannya hanya membisu di ujung lidah dan bisa muncul kapan saja. ”Kapan pindahnya, Ma?” ”Sebentar lagi.” ”Kok Mama nggak pernah cerita?” ”Mama sengaja nggak cerita. Ata juga Mama larang untuk ngasih tau Ari. Surprise. Untuk anak Mama yang bertaun-taun nggak Mama lihat. Nggak Mama urus juga…” Ari bisa mendengar, dengan sangat jelas, suara Mama bergetar.tiba-tiba nggak ada.