Anda di halaman 1dari 13

Fantasi Fatumnasi

Copyright foto dan teks Valentino Luis, anakflores.blogspot.com

Ruangan bundar selebar enam meter dengan bumbungan mengerucut itu berwarna kelam.
Perabot-perabot dari kayu bertumpuk sana sini tapi sulit dikenali satu per satu. Asap dari tungku
apilah penyebabnya. Sudah puluhan tahun bubuk hitamnya menempeli semua benda. Maklum,
hanya ada satu pintu dan satu jendela yang memungkinkan udara keluar masuk, itupun berukuran
kecil. Namun alih-alih sendu, ruangan ini justru memancarkan aura perenial, ruh penghidupan
nan mistis. Lihat saja, bagaimana kekuatan melodi seruling yang ditiupkan Mateos Anin
menggiring lusinan burung Merpati terbang mengebaskan sayap melintasi cahaya matahari yang
remang, kemudian kawanan anjing melangkah pelan seraya mengebaskan ekornya riang. Hewan-
hewan ini datang berkerumun di kaki Mateos.
Dalam sekejab saya merasakan daya magnetis, menghubungkan apa yang saya lihat sekarang
dengan legenda Der Rattenfänger, Sang Peniup Seruling dari Hameln, Jerman. Tapi tidak, yang
ini bukan legenda. Ini nyata.
“Suku kami, Anin Fuka, bersahabat dengan binatang. Malah jika memungkinkan, rumah ini
menjadi tempat naung bagi segala jenis hewan,” pria tua bersorban merah itu bertutur khidmat.
Mateos adalah generasi ke sebelas dari suku Anin Fuka, klan asli kampung Fatumnasi, sekaligus
juru kunci Gunung Mutis, Timor. Ia menyambut kedatangan saya dan teman perjalananku Dicky
Senda, senja kemarin seusai kami membenamkan diri di kolam Oehala, air terjun bertingkat
enam.
Air terjun Oehala. Bertingkat enam, foto diambil di tengah-tengah, masih ada tingkatan di bawahnya
Menjelang sunset di Bukit Tunua

Fatumnasi berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl, tepat di pintu masuk menuju Gunung
Mutis, gunung tertinggi di Timor. Saya sudah lama mendengar tentang gunung ini tapi tidak
menduga bahwa di kakinya terbentang alam seindah yang pernah saya lihat di Swiss ataupun
Austria. Dalam buku panduan para pelancong Lonely Planet Faumnasi dideskripsikan memiliki
‘spectacular alpine scenery.’

Dengan suhu sejuk dan tanah basah sepanjang tahun, rerumputan di lereng-lereng bukit
Fatumnasi tidak pernah setinggi mata kaki serta selalu hijau bak taman golf. Berlekuk-lekuk
molek diisi pohon Cemara, Kayu Putih, Ampupu, juga kelompok pohon yang hanya ada di
kawasan itu saja. Setiap satu kelokan baru bakal menghidangkan pemandangan baru juga.
Panen murbei! Bikin betah di kebun
Kembang Gladiol dimana-mana, tumbuh dengan liar
Kuda kembar yang masih belia
Kawanan sapi serta kuda merumput dan berlarian tanpa tali kekang, bebas lepas. Kembang-
kembang Gladiol liar bermekaran dimana-mana. Batas antar ladang petani dipagari lintangan
kayu-kayu tersusun apik. Saya tak bisa menghitung berapa kali sudah saya berhenti untuk
memotret, hingga akhirnya diam tersihir oleh terbenamnya Matahari nan gemilang di bukit
Tunoa.

Siapa sangka, Timor yang kerap diidentikkan dengan kering tandus itu menyimpan tempat gema
ripa laiknya Eden, taman perdana manusia. Dalam bertualang, acapkali kita mengikuti pola yang
telah tergeneralisir, manut pada pedoman perjalanan yang direpetisi terus menerus sehingga
kemudian menjadi semacam citra klise mengenai sebuah daerah. Timor, sebagaimana kepulauan
lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) memang cenderung kering dan mendapat timpaan matahari
yang lebih lama. Tapi, bagaimana wajah Timor ketika musim basah, ya seperti tampilan
Fatumnasi di bulan Februari hingga Mei ini. Bersiaplah tercengang!
Gerombolan Sapi melintasi jalan
Kuda-kuda merumput dengan bebas

Surga Yang Nyaris Dihancurkan


Yang amat kentara terlihat di Fatumnasi adalah terjaganya alam serta budaya mereka. Warga
memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang, apalagi mereka terikat oleh peraturan adat
yang mengutamakan keselarasan dengan alam. Meskipun sederhana, tapi mereka dapat dibilang
tidak mengalami kekurangan kebutuhan hidup. Tanaman serta ternak berkembang dengan baik.

Sebagai bagian dari kawasan Gunung Mutis, Fatumnasi kaya akan flora khas dataran tinggi, tapi
uniknya pepohonan disini tumbuh dengan bentuk yang aneh. Contohnya, terdapat area bonsai
dimana pohon-pohon Ampupu mengerdil dan dibaluti oleh lumut serta tanaman paku mini.
Formasi batang-batangnya amat memikat. Jika datang saat kabut, serasa berada di dunia fantasi.
Sedangkan hewan-hewan disini merupakan hewan endemik, misalnya Rusa Timor (Cervus
timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus jonguilaceus), dan Pergam
Timor (Ducula cineracea.
Hutan Bonsai dengan pohon-pohon nan surealis

Terlepas dari panorama serta flora fauna, tanah di Fatumnasi ternyata juga menyimpan
kandungan marmer berlimpah, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Orang awam mungkin
mengira bukit-bukit batu yang bertebaran di Fatumnasi tiada bedanya dengan gelondongan batu
granit, padahal mereka adalah batu marmer. Hanya saja formasi batunya terlihat seperti batuan
granit raksasa. Fakta tentang marmer ini kemudian mengundang investor untuk mengeksploitasi
bukit-bukit Fatumnasi, termasuk perusahaan Korea. Penambangan dibuka, dan penghancuran
alam terjadi. Efek dari ekploitasi ini akhirnya dirasakan warga beberapa tahun kemudian,
ditandai oleh keringnya sejumlah sumber air.

Penduduk yang cepat sadar lantas melakukan serangkaian aksi penolakan tambang tersebut.
Salah satu tokoh yang terkenal adalah Mama Aleta Baun (2013 Goldman Environmental Prize
Winner), perempuan lokal yang gigih berjuang menyuarakan keadaan alam mereka. Syukurlah,
awal tahun 2000-an suara warga didengar dan tambang-tambang pun enyah dari surga
Fatumnasi.

Mendatangi Benteng & Danau


Saya dan Dicky bermalam di rumah kakek Mateos Anin. Ini satu-satunya penginapan di
Fatumnasi, direkomendasikan semua orang, dan tempatnya sangat menyenangkan. Ada tiga
rumah tradisional disebut Ume Khubu, seperti butiran telur, dibuat di halaman belakang untuk
inap tamu. Lopo-lopo macam ini menjadi ciri khas kampung Fatumnasi. Karena ukurannya yang
kecil, suhu ruangnya jadi hangat, cocok sekali dengan iklim pegunungan yang senantiasa dingin.

Ume Khubu

Kami mendapat banyak cerita tentang sejarah leluhur suku Anin Fuka beserta ritual-ritual adat.
Makanan tersaji dengan keramahan yang tulus, lalu dihibur oleh permainan gambus (yang
lucunya, mereka sebut itu Biola). Saya selalu terkesima oleh suasana yang magis lantaran
burung-burung Merpati yang terus terbang keluar masuk rumah menembus pancaran matahari.
Gunung Mutis

Keesokannya, kami disarankan untuk masuk ke hutan lindung Gunung Mutis. Dua cucu kakek
Mateos menemani. Yang kecil, Justin, masih berumur empat tahun, tapi memaksa untuk ikut,
padahal kami akan mendaki ke bukit batu yang terjal. Bukit batu tersebut dinamai Benteng, dan
dipercaya menjadi tempat mula-mula leluhur suku Anin Fuka bermukim. Justin yang kecil itu
akhirnya minta digendong saat tiba di kaki bukit batu.

Cuaca yang cerah memberi kami kesempatan untuk menatap puncak Gunung Mutis dan
panorama sekitarnya dengan jelas. Menurut cucu kakek Mateos, kami beruntung, sebab jarang
sekali orang bisa memperoleh pemandangan sempurna bila naik ke Benteng. Saya dan Dicky
memahaminya sebagai restu alam.

Fatumnasi memang bagaikan potongan alam pegunungan Eropa yang terlempar di Timor. Kami
juga mendatangi danau kecil Fatukoto dan saya tak bisa berhenti memuji manakala warna-warna
senja mengambang di atas danau tersebut. Seandainya boleh menarik waktu, ingin rasanya
tinggal lebih lama di Fatumnasi dan hanyut dalam fantasi alamnya.
Rembang senja di Danau Fatukoto
Tenun Timor Berwarna Cerah

GETTING THERE
Penerbangan dari kota-kota besar Indonesia ke Kupang dilayani oleh Garuda Indonesia, Lion
Air, Batik Air, Sriwijaya Air, Susi Air, Nam Air, dan TransNusa.
Kemudian lanjut berkendaraan ke Fatumnasi, dengan transit di kota Soe. Lebih hemat dan lebih
asyik menyewa sepeda motor lalu mengemudikan sendiri, dengan harga Rp.70.000 –
100.000/hari. Kondisi jalan dari Kupang ke Soe sangat baik dan tidak ramai, namun jalan dari
Soe ke Fatumnasi masih darurat - tapi ini adalah petualangan, bukan?

SOUVENIR
Kain tenun dari Timor terkenal memiliki warna-warna mencolok dengan motif etnik kotak-
kotak. Orang menyebutnya Tenun Buna. Membelinya langsung dari tangan penenun lebih
memberi cerita personal ketimbang di pasar. Harga tenun berkisar Rp.50.000 hingga Rp. 1 juta
tergantung ukuran kain dan kerumitan motif.

Anda mungkin juga menyukai