Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Intregasi keuangan global untuk sementara waktu sedang ditahan pasca terjadinya krisis
keuangan global. Hal tersebut mengindikasikan berkurangnya klaim cross-border di dunia per-
bankan. Beberapa orang menganggap hal tersebut sebagai masalah regional bukan ranah global
karena sebagian besar terjadi di Eropa. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa hal terse-
but hanyalah siklus deleveraging pasca krisis keuangan global, bukan sebuah proses
defragmentasi yang lebih terstruktur.

Setelah krisis keuangan 2008, IMF menaikkan dukungan penggunaan capital control,
tindakan IMF tersebut sering disebut sebagai pengukuran manajemen arus modal untuk negara-
negara yang rentan terhadap efek volatilitas arus modal. Dari tahun 2009 ke awal 2011,
sejumlah negara berkembang meminjam ke capital control IMF untuk menahan apresiasi mata
uang mereka dan mulai merumuskan kebijakan moneter independent untuk meredam inflasi
dan bubbles. Pada tahun 2012, IMF mengubah posisi mereka dalam penggunaan capital con-
trol dari diizinkan hingga hanya menerima permohonan pinjaman dalam situasi tertentu.

Selama dua tahun terakhir, keuangan global menghadapi faktor baru yakni kebangkitan
proteksionisme. Proteksionisme dipicu oleh trade war antara Amerika Serikat dengan Cina.
Dilihat dari pengalihan dagang atau strategi impor subtitusi potensial, trade war dapat mengu-
bah arush FDI dari satu negara ke negara lain. Dan karena perbankan mengikuti model bisnis
tersebut, efek trade war dapat berpengaruh pada locational banking juga. Singkatnya, kebang-
kitan proteksionisme akibat trade war dapat mengarah ke fragmentasi keuangan internasional.

Sebagai bank sentral Eropa, ECB telah melakukan proses integrasi lebih dari satu dekade.
Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha untuk menelaah pandangan serta pengalaman ECB dalam
hal integrase finansial. Terutama pada topik proses integrasi, tren serta faktor-faktor utama,
manfaat serta beban yang harus dikeluarkan ditambah dengan implikasi terhadap kebijakan
moneter dan kestabilan keuangan.

Sementara itu, Indonesia merupakan small open economy yang sangat dipengaruhi oleh
kondisi finansial global. Financial depth yang masih tertinggal di satu sisi membuat Indonesia
kurang vulnerable, namun di sisi lain membuat kapasitas pembiayaan ekonomi relatif terbatas.
Di sisi lain, tren kebijakan dunia saat ini diwarnai oleh meningkatnya kecenderungan proteksi
baik pada arus barang maupun arus modal, yang kemudian dapat membuat kondisi pembiayaan
internasional semakin disintegrasi, atau terfragmentasi.

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berkepentingan untuk mengetahui risiko pen-
ingkatan proteksionisme terhadap fragmentasi international finance, karena selain dapat
berdampak terhadap risiko stabilitas perekonomian domestik terhadap shock eksternal, juga
dapat berdampak terhadap potensi pembiayaan eksternal. Selain itu, pemahaman atas hal ter-
sebut juga dapat dikembangkan lebih lanjut terkait dampak fragmentasi international finance
terhadap risiko stabilitas sistem keuangan (SSK) dan formulasi kebijakan moneter yang tepat
dalam menjaga stabilitas perekonomian.

Temuan riset-riset terdahulu terkait global spillover secara implisit mengindikasikan


pentingnya pemetaan yang baik terkait hubungan finansial antar negara (lihat a.l. Harahap et
al, 2015; Harahap dan Bary, 2017). Selama ini, analisis dampak eksternal pada umumnya dil-
akukan secara langsung dengan mengaitkan variabel makro antar negara, padahal informasi
yang dapat menjustifikasi besarnya keterkaitan finansial terbilang terbatas tanpa pembanding.
Untuk menjelaskan dampak eksternal secara lebih baik dan meyakinkan, perlu dilakukan suatu
riset yang fokus dalam mengelaborasi hubungan finansial antar negara, termasuk isu-isu terkait
khususnya kecenderungan peningkatan proteksionisme di pasar global, baik dari sisi
perdagangan maupun hubungan finansial.

Studi Literatur
Menurut laporan dari ECB, Sistem finansial yang terintegrasi memperkuat ke-
lancaran dan keefektifan transmisi kebijakan moneter di Euro Area.1 Sejak keputusan
kebijakan moneter diimplementasikan dan ditransmisikan melalui sektor finansial, tingkat in-
tegrasi sangat mempengaruhi keefektifan transmisi ini. Dalam konteks saluran transmisi suku
bunga, bank sentral mempengaruhi alokasi sumber daya melalui sensitivitas agreggate demand
yang berkaitan dengan perubahan suku bunga. Sensitivitas ini dipengaruhi oleh efisiensi yang
disalurkan melalui sektor finansial ketika merespon pada suku bunga atau yield. Perkembangan
suku bunga pada pinjaman dan deposit juga memiliki pengaruh pada keputusan finansial dan
menabung dari sektor rumah tangga dan swasta. Perbedaan suku bunga dapat terjadi tidak
hanya karena kondisi asimetri namun juga karena faktor institusional (seperti perpajakan, reg-
ulasi, dan efektifitas supervisi) dan struktur finansial (seperti tingkat pembiayaan bank terkait
dengan pembiayaan pasar modal dan keterbukaan dan daya saing peserta pasar negara-negara
Euro Area). Perbedaan reaksi suku bunga bank dapat menyebabkan transmisi kebijakan
moneter yang tidak efesien. Oleh sebab itu, peningkatan integrasi dalam sektor perbankan
dapat mengurangi heterogenitas tanggapan suku bunga bank terhadap money market rates di
seluruh negara-negara Euro Area.

Melalui saluran kredit, kebijakan moneter bank sentral dapat mempengaruhi jumlah
persediaan pinjaman. Saluran ini mempunyai dampak terhadap perusahaaan-perusahaan yang
sangat bergantungan pada pinjaman bank dimana mereka akan menunda proyek-proyek inves-
tasi jika tidak dapat memperoleh pinjaman. Integrasi yang lebih kuat memperluas kumpulan
aset yang tersedia untuk investasi dan akan mendukung diversifikasi portofolio bank. Hal ini
tentunya memperbolehkan mereka mengurangi dampak pengetatan kebijakan moneter.
Perkembangan pasar obligasi yang terintegrasi juga penting karena berpindahnya pembiayaan
melalui bank ke pasar berarti berkurangnya peran transmisi kredit dari kebijakan moneter. Se-
jak persatuan moneter dimulai, para akademisi telah menduga kemungkinan adanya asimetri
dan inefisiensi transmisi kebijakan moneter di Euro Area. Santis dan Surico (2013)
menemukan dampak kebijakan moneter yang heterogen di Jerman dan Italia (memiliki jumlah
bank yang banyak) dan homogen di Prancis dimana industri perbankan lebih terkonsentrasi.

Dalam pidatonya, Otmar Issing menyatakan bahwa ada elemen-elemen utama pada pan-
dangan mengenai hubungan antara kebijakan moneter dan harga aset.2 Pertama, elemen
mengenai peran bank sentral dalam menjaga kestabilan harga melalui indeks harga konsumen.
Di Euro Area sendiri, HICP menjadi acuan untuk kebijakan moneter ECB dimana harga-harga
aset seperti perumahan dan saham tidak termasuk dalam perhitungannya. Elemen kedua yaitu
pengaruh pergerakan harga aset pada variabel-variabel makroekonomi lainnya. Contohnya, ke-
naikan harga perumahaan mendorong konsumen untuk berkonsumsi lebih atau kenaikan harga
saham mendorong perusahaan untuk berinvestasi sehingga kedua hal ini meningkatkan inflasi
barang konsumen dan modal. Oleh karena itu, bank sentral perlu memasukan wealth effect ini

1
Artikel: The Contribution of The ECB and The Eurosystem to European Financial Integration. ECB Monthly
Bulletin, May 20016.
2
kedalam proyeksi inflasi dan pertumbuhan PDB. Elemen ketiga adalah pandangan bahwa bank
sentral seharusnya tidak menargetkan harga aset.

Issing juga menekankan masalah yang timbul ketika pasar tidak terintegrasi. Masalah ini
muncul karena bank sentral cenderung menggunakan harga aset untuk mendapatkan informasi
tentang ekspektasi pasar akan kondisi perekonomian ke depan. Jika pasar aset terfragmen-
tasi, informasi tentang ekonomi secara keseluruhan dapat menjadi bias. Kedua, jika harga
pasar untuk aset yang sama menyimpang di seluruh wilayah, maka overall wealth effect pada
inflasi dan pertumbuhan PDB dapat menjadi kabur. Akibatnya, pasar aset yang terdisintegrasi
berkontribusi pada transmisi kebijakan moneter yang heterogen pada perekonomian.

Di sisi lain, laporan ECB3 terkait integrasi keuangan di Eropa menunjukkan bahwa indi-
kator komposit integrasi finansial ECB berdasarkan pengukuran price-based menunjukkan ke-
naikan selama tahun 2017 setelah adanya koreksi pada akhir tahun 2015 dan 2016. Tren kenai-
kan agregat pasca krisis ini disebabkan oleh konvergensi pada return of equity dan bond yield.
Suku bunga perbankan ritel juga turut meningkat mengikuti tren kenaikan price-based ini.

Penyebab utama di balik proses integrasi modal berorientasi pasar ini adalah penguatan
dan perkembangan ekspansi makroekonomi di Kawasan Euro Area secara seragam. Dengan
kata lain, kondisi ekonomi fundamental memainkan peran penting dalam konvergensi price-
based ini. Namun kenaikan pengukuran price-based tidak diimbangi oleh pengukuran kuanti-
tas karena turunnya indikator komposit sejak tahun 2015. Penurunan yang terjadi selama be-
berapa tahun belakangan tersebut berefek pada rendahnya pinjaman antar bank dan antar
negara. Naiknya tren agregat reintegrasi di sisi pengukuran price-based namun turun di sisi
pengukuran kuantitas direspon oleh ECB. ECB menyuntikkan dana berlebih untuk mengurangi
efek samping dari lemahnya perdagangan pasar keuangan cross-border di Kawasan Uni Eropa.

Gambar 1. Perbandingan Pengukuran Indikator Komposit Price-Based dan Quantity Based pada Integrasi Finansial

Integrasi Finansial pada Kawasan Euro Area juga berarti adanya risk sharing. Pembagian
risiko cross-regional dan intertemporal dapat mempengaruhi keseimbangan makroekonomi
melalui consumption smoothing. Dalam sebuah persatuan moneter yang berfungsi dengan baik,
masing-masing daerah yang mengalami penurunan ekonomi seharusnya mampu untuk me-
nyerap pendapatan dari daerah yang mengalami kenaikan ekonomi. Hubungan timbal balik
tersebut diasumsikan dapat meredam shock regional dan menghindari kesenjangan ekonomi

3
https://www.ecb.europa.eu/pub/pdf/fie/ecb.financialintegrationineurope201805.en.pdf
antar wilayah. Oleh sebab itu sangat penting agar integrasi keuangan berdasarkan harga dan
kuantitas dapat menghasilkan keuntungan ekonomi.

Kualitas integrasi finansial sendiri tergantung dari kemampuan kebijakan yang diberlakukan
untuk mengatasi shock asimetris dan besarnya pembagian risiko antar-wilayah di dalam Ka-
wasan perserikatan. Dapat dilihat dalam Grafik 2 bahwa pembagian risiko konsumsi cross-
border belum memiliki kemampuan untuk mengurangi agregat konsumsi domestik di tengah
keberadaan shock yang berimbas pada pendapatan domestik.

Gambar 2. Risk Sharing Konsumsi di Kawasan Euro Area dan channel yang berkontribusi

Dari grafik di atas, dapat diasumsikan bahwa pembagian risiko antar-negara di Kawasan
Uni Eropa masih rendah terlihat dari turunnya kontribusi capital channel yang menyusut sejak
tahun 2013 akibat sovereign debt crisis. Kontribusi credit channel yang semula berada di level
positif pada tahun 2001 hingga 2006 beralih ke level negatif pada tahun 2007 hingga 2017.
Kontribusi credit channel yang berada di level negatif ini mengkonfirmasi turunnya pembagian
risiko konsumsi di kawasan Uni Eropa. Ditambah lagi, sebanyak 80% shock idiosinkretik tim-
bul dari shock terhadap pertumbuhan GDP yang bersifat unsmoothed. Akibat rendahnya pem-
bagian risiko antar-negara di kawasan EU ini, progress kebijakan yang berkaitan dengan capital
market union (CMU) dan banking union harus menjadi prioritas utama ECB.

Pada tahun 2017, aktivitas ECB dalam mendukung integrasi finansial dan perkem-
bangannya dipusatkan pada arsitektur pengawasan finansial, antara lain: melengkapi banking
union dan membangun capital markets union (CMU) dalam Kawasan Uni Eropa. Pembentukan
arsitektur pengawasan finansial dimulai dari proposal Komisi Uni Eropa yang bertujuan untuk
memperkuat sistem pengawasan keuangan Eropa (European System of Financial Supervision).
ESFS sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010 dan sejak saat itu memegang peran kunci
dalam integrasi keuangan uni Eropa dengan cara mengkoordinir dan mengharmonisasikan per-
aturan pengawasan di Kawasan Euro Area. Selain itu ada juga praktik Single Supervisory
Mechanism (SSM) yang menimbulkan hasil positif terhadap konvergensi dan peningkatan
kualitas pengawasan perbankan Eropa.

Pembentukan SSM dan ESFS bertujuan untuk membangun kembali kepercayaan ter-
hadap sistem keuangan dan juga memberikan jaminan perlindungan efektif pada masyarakat
Uni Eropa mengenai stabilitas keuangan. Dilanjutkan pada tahun 2017, dirilis proposal yang
bertujuan untuk memperkuat sistem ESFS. Mengadopsi proposal ESFS berarti menga-
mandemen peraturan yang ditetapkan untuk ESA dan ESRB, hal itu juga berarti memodifikasi
Solvency II dan regulasi infrastruktur pasar eropa (EMIR). Selain itu, untuk mewujudkan pen-
guatan terhadap sistem ESFS dilakukan perpanjangan pengawasan langsung oleh European
Securities and Market Authority terhadap sektor pasar modal terpilih. Tujuan perpanjangan
pengawasan oleh ESMA ini adalah mengurangi cross-border barriers dan mempromosikan in-
tegrasi pasar lebih jauh.

Kebijakan Single Supervisory Mechanism ini dianggap memberikan hasil positif dalam
mengatur integrasi keuangan. Berdasarkan laporan Staff Working Document Komisi Keu-
angan Uni Eropa, efektifitas pengawasan perbankan di Kawasan Uni Eropa makin meningkat
dan pengawasan terintegrasi atas institusi kredit telah menghasilkan manfaat yang jelas.
Kesukseskan kebijakan SSM ini juga mendapatkan pujian dari badan keuangan lain seperti
European Court of Auditors (ECA) dan International Monetary Fund (IMF). Kebijakan SSM
mencakup kemampuan pengawasan yang meliputi deduksi modal prudensial dan kebijakan
provisioning yang relevan untuk menyesuaikan NPL perbankan. Karena sistem kebijakan SSM
sudah dianggap mumpuni, Komisi Keuangan Eropa merasa tidak perlu ada perubahan sistem
kecuali rekomendasi safeguarding untuk jasa ECB bersama serta proporsi dan transparansi
biaya pengawasan.

Usaha untuk menurunkan NPL dapat mendukung integrasi keuangan dalam bermacam
cara, hal ini merupakan salah satu fungsi kebijakan SSM. Penurunan NPL sendiri memiliki
peran penting karena semakin rendah angka NPL maka risiko keuangan juga semakin rendah.
Kebijakan SSM membantu pembuatan common rulebook, dengan kebijakan ini ECB merilis
panduan NPL kualitatif yang bisa diterapkan untuk berbagai institusi terkait. Panduan tersebut
menyebutkan bahwa bank dengan tingkat NPL tinggi untuk mengembangkan tata kelola inter-
nal dan untuk mengimplementasikan strategi yang realistis mengenai jangka waktu pengu-
rangan NPL. Hasil dari kebijakan ini adalah turunnya stok NPL sebesar 15%, mengindikasikan
turunnya rasio NPL terhadap total hutang dari 6.61% ke level 5.48%.
Hasil Benchmarking dan Pembahasan
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Anda mungkin juga menyukai