Anda di halaman 1dari 6

Nama: Aditya Dharma M

Kelas: XI IPA 3

Penyakit Graves
Penyakit Graves adalah salah satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh
yang menjadi penyebab umum hipertiroidisme atau produksi hormon tiroid berlebih.
Pada penderita Graves, sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh
malah menyerang kelenjar tiroid (autoimun). Hal ini membuat kelenjar tiroid
menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan
tubuh.

Hormon tiroid mengatur banyak fungsi tubuh, di antaranya sistem saraf,


perkembangan otak, dan suhu tubuh. Namun demikian, kadar hormon tiroid yang
terlalu banyak dalam tubuh bisa menimbulkan gangguan serius pada jantung, otot,
tulang, siklus menstruasi, mata, kulit, dan masalah kesuburan.

Gejala Penyakit Graves


Sejumlah gejala yang muncul pada penyakit Graves adalah:

 Pembesaran kelenjar tiroid (goiter)


 Tremor pada tangan atau jari tangan
 Palpitasi jantung (jantung berdebar)
 Disfungsi ereksi (impotensi)
 Gairah seks menurun
 Perubahan pada siklus menstruasi
 Kehilangan berat badan tanpa kehilangan nafsu makan
 Suasana hati yang mudah berubah
 Sulit tidur (insomnia)
 Diare
 Rambut rontok
 Mudah lelah
 Sensitif terhadap udara panas

Selain beberapa gejala di atas, 30 persen dari penderita Graves mengalami


sejumlah gejala khas, yaitu Graves oftalmopati dan Graves dermopati. Gejala
Graves oftalmopati terjadi akibat peradangan atau gangguan pada sistem imun,
yang memengaruhi otot dan jaringan di sekitar mata. Gejalanya antara lain:
 Mata menonjol (exophthalmos)
 Mata terasa kering
 Tekanan atau rasa sakit pada mata
 Kelopak mata membengkak
 Mata memerah yang bisa diakibatkan oleh peradangan
 Sensitif terhadap cahaya
 Penglihatan ganda dari satu objek (diplopia)
 Kehilangan penglihatan

Sedangkan Graves dermopati lebih jarang ditemukan. Gejalanya adalah kulit yang
memerah dan menebal, dan biasanya terjadi pada area tulang kering atau di bagian
atas kaki. Segera temui dokter untuk memeriksakan gejala penyakit Graves yang
dialami dan mendapatkan diagnosis yang akurat.

Penyebab Penyakit Graves


Penyakit Graves terjadi akibat gangguan pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Pada
kondisi normal, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan virus atau bakteri yang
menyerang tubuh. Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh justru
menghasilkan antibodi TSI (thyroid-stimulating immunoglobulins), yang menyerang
sel-sel tiroid yang sehat. Meski demikian, belum diketahui mengapa hal tersebut bisa
terjadi.

Faktor Risiko Penyakit Graves


Siapa pun dapat terserang penyakit Graves. Namun, beberapa faktor berikut ini
dapat membuat seseorang lebih berisiko mengalami penyakit Graves:

 Jenis kelamin. Wanita lebih berisiko terserang penyakit Graves dibanding pria.
 Usia. Penyakit Graves lebih sering terjadi pada orang berusia di bawah 40 tahun.
 Genetik. Riwayat penyakit Graves dalam keluarga dapat menyebabkan anggota
keluarga tersebut menjadi lebih rentan terserang penyakit Graves.
 Menderita penyakit autoimun lain. Memiliki penyakit autoimun lain seperti diabetes
tipe 1 atau rheumatoid arthritis juga berisiko menimbulkan penyakit Graves pada
orang tersebut.
 Stres secara emosional atau fisik. Sakit atau peristiwa yang menyebabkan stres,
dapat turut memicu penyakit Graves pada orang dengan gen yang rentan terhadap
penyakit ini.
 Merokok. Merokok dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bagi perokok yang
sedang menderita penyakit Graves, akan semakin berisiko terkena Graves
oftalmopati.
 Kehamilan. Kehamilan atau kondisi pasca persalinan pada perempuan dengan gen
yang rentan, dapat meningkatkan risiko terserang penyakit Graves.

Diagnosis Penyakit Graves


Diagnosis penyakit Graves diawali dengan menanyakan gejala yang timbul serta
riwayat penyakit yang pernah diderita. Dokter akan memeriksa denyut nadi dan
tekanan darah, serta melihat tanda-tanda tremor. Dokter juga akan memeriksa
kelenjar tiroid di leher, untuk memeriksa apakah terjadi pembesaran. Beberapa tes
lain yang dapat dijalankan adalah:
 Tes darah. Dokter akan melakukan tes darah untuk mengecek kadar hormon tiroid,
dan kadar hormon hipofisis atau pituitari yang mengatur produksi hormon dari
kelenjar tiroid, yaitu TSH (thyroid-stimulating hormone). Penderita Graves memiliki
level TSH yang lebih rendah dari batas normal, serta level hormon tiroid yang lebih
tinggi.
 Tes serapan yodium radioaktif. Yodium diperlukan oleh tubuh dalam membuat
hormon tiroid. Sehingga dalam pemeriksaan ini akan menggunakan bantuan zat
yodium radioaktif dan melihat kadarnya di kelenjar tiroid melalui kamera khusus.
Dokter akan memberi sedikit yodium radioaktif dan mengukur kadarnya di kelenjar
tiroid. Pemeriksaan ini akan membantu dokter menentukan apakah hipertiroidisme
disebabkan oleh penyakit Graves atau oleh penyakit lain.
 Tes pencitraan. Tes pencitraan dilakukan untuk melihat pembesaran pada kelenjar
tiroid. USG dapat menjadi pilihan bagi pasien yang tengah hamil. Bila diperlukan,
dokter akan menjalankan tes pencitraan lain, seperti CT scan atau MRI.

Komplikasi Penyakit Graves


Penyakit Graves yang tidak segera ditangani dapat berujung kepada komplikasi
yang bisa membahayakan, yaitu:

 Gangguan jantung. Bila dibiarkan tanpa penanganan, penyakit Graves dapat


mengakibatkan aritmia, perubahan pada struktur dan fungsi jantung, serta
menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
 Keropos tulang atau osteoporosis. Jumlah hormon tiroid yang terlalu banyak
dapat memengaruhi kemampuan tubuh dalam menyerap kalsium ke dalam tulang.
Hal ini menyebabkan kekuatan tulang menjadi berkurang sehingga menjadi mudah
rapuh.
 Gangguan kehamilan. Beberapa komplikasi penyakit Graves yang bisa terjadi pada
masa kehamilan, antara lain kelahiran prematur, disfungsi tiroid pada janin,
menurunnya perkembangan janin, tekanan darah tinggi pada ibu (preeklamsia),
gagal jantung pada ibu, hingga keguguran.
 Krisis tiroid (thyroid storm), yaitu kondisi di mana hormon tiroid diproduksi secara
cepat dan berlebihan. Kondisi ini disebabkan oleh hipertiroidisme yang tidak segera
ditangani, dan tergolong kondisi yang sangat berbahaya. Beberapa gejala krisis
tiroid, antara lain diare, keringat berlebih, demam, muntah, kejang, mengigau,
tekanan darah rendah, jantung berdebar, sakit kuning, hingga koma. Segera ke
rumah sakit agar mendapat penanganan bila Anda mengalami gejala di atas.

Pengobatan Penyakit Graves


Pengobatan penyakit Graves bertujuan untuk mengurangi kelebihan produksi
hormon tiroid dan dampaknya bagi tubuh. Pilihan pengobatan meliputi:

 Obat antitiroid. Obat antitiroid berfungsi mengganggu produksi hormon tiroid yang
dipicu oleh yodium. Selain sebagai terapi tunggal, obat antitiroid dapat dikonsumsi
sebelum atau sesudah menjalani terapi yodium radioaktif sebagai pelengkap.
Konsultasi dengan dokter diperlukan sebelum menggunakan obat-obatan ini,
terutama pada wanita hamil. Beberapa obat yang termasuk antitiroid
adalah methimazole dan propylthiouracil.
 Obat penghambat beta. Penghambat beta berfungsi menghambat efek hormon
tiroid pada tubuh, seperti detak jantung tidak beraturan, gelisah, tremor, keringat
berlebihan, dan diare. Propranolol, metoprolol, atenolol, dan nadolol termasuk ke
dalam golongan obat-obatan ini.
 Terapi yodium radioaktif. Terapi ini akan menghancurkan sel tiroid yang terlalu aktif
dan mengecilkan kelenjar tiroid, sehingga gejala akan berkurang secara bertahap.
Terapi ini tidak direkomendasikan pada wanita hamil, ibu menyusui, serta penderita
yang bermasalah dengan penglihatan, karena dapat membuat gejala semakin
memburuk. Karena terapi ini menghancurkan kelenjar tiroid, pasien dapat
memerlukan tambahan hormon tiroid sintetis untuk meningkatkan jumlah hormon
tiroid yang berkurang akibat terapi ini.
 Pembedahan. Bedah dilakukan dengan mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar
tiroid pasien. Tindakan ini berisiko menyebabkan kerusakan pada saraf pengatur pita
suara. Risiko kerusakan juga bisa terjadi pada kelenjar paratiroid (kelenjar-kelenjar
kecil yang berdekatan dengan kelenjar tiroid), yang berfungsi menghasilkan hormon
pengatur kadar kalsium dalam darah. Sama seperti terapi yodium radioaktif, pasien
dapat memerlukan terapi lanjutan berupa hormon tiroid sintetis untuk meningkatkan
kadar hormon tiroid yang rendah akibat pengangkatan kelenjar tiroid.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan pengobatan Graves oftalmopati tidak selalu


sejalan dengan keberhasilan pengobatan penyakit Graves itu sendiri. Gejala Graves
oftalmopati bisa memburuk dalam 3-6 bulan, dan bertahan hingga setahun,
kemudian mulai membaik.
Pada kasus Graves oftalmopati ringan, penanganan cukup dengan pemberian air
mata buatan dan pelumas, yang bisa diperoleh di apotek. Sedangkan pada kasus
yang lebih parah, dokter dapat memberikan obat kortikosteroid atau menyarankan
penggunaan kacamata prisma, tindakan radioterapi, hingga prosedur bedah. Metode
pengobatan tersebut bertujuan untuk mengurangi pembengkakan dan gangguan
penglihatan.
Untuk penanganan di rumah, penderita penyakit Graves bisa melakukan beberapa
hal, seperti makan dan latihan secara teratur, serta mengelola stres dengan baik.
Pada kasus Graves oftalmopati, pasien bisa menggunakan kacamata hitam,
memberi kompres dingin di mata, memberi tetes mata, meninggikan bagian kepala
jika hendak tidur, dan berhenti merokok agar gejala tidak memburuk. Sedangkan
untuk Graves dermopati, pasien bisa menggunakan salep kortikosteroid, disertai
kompres untuk mengurangi pembengkakan.
Apa yang Terjadi Pada Tubuh Saat
Terkena HIV?
HIV menyerang dan membunuh sel-sel penting pada sistem imun. Orang yang terinfeksi HIV
mungkin tidak menunjukkan gejala apapun selama bertahun-tahun. Namun, kecuali jika
diobati, jumlah sel-sel pada sistem imun akan terus menurun. Tanpa sel-sel tersebut (yang
fungsinya membunuh sel yang telah terinfeksi dengan kuman), akan muncul berbagai
penyakit berbahaya.

Bagaimana cara virus HIV menyerang sistem


imun?
Human immunodeficiency virus (HIV) menginfeksi sel-sel dari sistem imun. HIV
menyebabkan AIDS karena virus menghancurkan sel-sel imun penting yaitu sel CD4 T,
namun bagaimana tepatnya sel-sel ini terbunuh tidak diketahui secara pasti.

Setiap harinya, tubuh Anda menghasilkan jutaan sel CD4 T untuk membantu menjaga
imunitas dan melawan serangan virus dan kuman. Begitu HIV berada di tubuh Anda, virus
dapat membuat salinan terus menerus, meningkatkan kemampuan untuk membunuh sel
CD4 T. Kemudian, sel yang terinfeksi mendominasi sel T yang sehat.

4 Tahapan infeksi HIV


Infeksi HIV biasanya terbagi dalam 4 tahap, tergantung bagaimana efek HIV pada sistem
imun Anda: infeksi primer akut, infeksi laten klinis, infeksi HIV simptomatis dan
perkembangan HIV menjadi AIDS.

1. Tahap infeksi HIV akut

Dalam 2-4 minggu setelah infeksi HIV, banyak orang (namun tidak semua) mengalami
gejala yang menyerupai flu, yang merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi HIV,
seperti demam, pembengkakan kelenjar, radang tenggorokan, ruam, nyeri otot dan
sendi, nyeri dan sakit kepala. Selama periode awal infeksi ini, virus dalam jumlah besar
dihasilkan dalam tubuh. Tubuh Anda merespon dengan menghasilkan antibodi HIV dan
limfosit sitotoksik (sel T pembunuh yang mencari dan menghancurkan virus atau bakteri).
Maka, kadar HIV pada darah akan sangat menurun, serta jumlah sel T CD4+ sedikit
melambung.

Selama tahap infeksi HIV akut, Anda berisiko tinggi menularkan HIV pada pasangan seksual
dan pengguna obat karena kadar HIV pada aliran darah sangat tinggi. Untuk alasan ini,
sangat penting untuk mengurangi risiko penularan.

2. Tahap laten klinis

“Latensi” merupakan periode di mana virus tinggal atau berkembang pada tubuh manusia
tanpa menghasilkan gejala atau hanya gejala ringan, karena infeksi tidak menyebabkan
gejala atau komplikasi lainnya. Tahap kedua dari infeksi HIV memiliki rata-rata durasi 10
tahun untuk orang yang tidak menjalani pengobatan antiretroviral (ART). Jika Anda
menjalani ART, Anda dapat hidup dengan latensi klinis selama beberapa dekade karena
perawatan membantu menjaga virus.

Walau berjumlah sangat sedikit di dalam darah, HIV sangat aktif pada sistem limfa tubuh.
Jika Anda memiliki HIV dan tidak menjalani ART, jumlah virus akan mulai meningkat dan
jumlah CD4 akan menurun. Jika hal ini terjadi, Anda dapat mulai memiliki gejala
konstitusional dari HIV begitu kadar virus meningkat pada tubuh Anda.

Namun, orang dengan HIV tetap terinfeksi dan dapat menularkan HIV ke orang lain pada
fase ini.

3. Infeksi HIV simptomatis

Seiringnya waktu, HIV menghancurkan sistem imun Anda. Apabila jumlah virus terus
meningkat ke level yang lebih tinggi, sistem imun akan memburuk. Kondisi kesehatan Anda
mencapai tahap yang lebih serius. Gejala dari tahap infeksi HIV ini meliputi penurunan berat
badan dengan cepat, kehilangan ingatan, demam yang kambuh, serta diare yang
berlangsung lebih dari seminggu. Apabila perawatan obat anti-HIV tidak bekerja, atau jika
seseorang tidak melakukan perawatan, sistem imun akan mulai memburuk dengan cepat.

Dalam saat ini, infeksi oportunistik juga akan meningkat. Infeksi ini tidak akan menjadi
masalah pada orang dengan sistem imun normal, namun pada orang dengan sistem imun
yang lemah, infeksi dapat sangat berbahaya. Infeksi dapat disembuhkan, namun
perkembangan penyakit tidak dapat dihentikan.

4. AIDS

AIDS merupakan tahap infeksi HIV yang terjadi saat sistem imun sudah rusak dengan parah
dan Anda rentan terhadap infeksi oportunistik. Jumlah sel T CD4+ merosot, serta jumlah
virus meningkat dengan signifikan. Apabila jumlah sel T CD4+ seseorang jatuh di bawah
200 sel per milimeter kubik darah dan pasien didiagnosis dengan kondisi terkait HIV tahap 4
(seperti tuberkulosis, kanker, dan pneumonia),

Begitu HIV berkembang menjadi AIDS, pasien lebih mudah mengalami kematian. Tanpa
pengobatan, orang yang mengalami AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Begitu Anda
memiliki penyakit oportunistik berbahaya, harapan hidup tanpa perawatan menurun menjadi
sekitar 1 tahun. Untunglah dengan perkembangan pengobatan, harapan hidup orang
dengan AIDS meningkat.

Anda mungkin juga menyukai