IPS-2
Disusun Oleh :
Muhammad Abdurrahman Huzaifi
Puji syukur kehadirat Allah swt. shalawat dan salam semoga selalu tercurah
keharibaan junjungan Nabi besar Muhammad saw. Beserta seluruh keluarganya,
sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Alhamdulillah, dengan segala
rahmat dan inayah-Nya makalah ini sebagai persyaratan untuk memenuhi tugas dalam
bidang pendidikan Madrasah Ibtidaiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran (STIQ)
Amuntai ini telah dapat diselasaikan.
1. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Alquran (STIQ) Amuntai yang telah menerima dan
menyetujui makalah ini.
2. Ka Hikmatu Ruwaida, M.Pd. sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan dan petunjuk serta koreksi dalam penulisan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan.
3. Semua staf perpustakaan STIQ Amuntai yang telah membari banyak membantu
penulis dalam mengumpulkan bahan literatur sampai makalah ini bisa
diselasaikan.
4. Seluruh Dosen dan staf STIQ Amuntai yang yang telah membari banyak
pengatahuan dan nasehat selama penulis mengikuti perkuliahan di STIQ Amuntai.
5. Semua pihak yang telah memberi bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan
buku-buku dan literatur-literatur yang penulis perlukan, sehingga makalah ini bisa
diselasaikan.
Atas bantuan dan dukungan yang tak ternilai harganya tersebut penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
ii
setinggitingginya teriring do’a yang tulus semoga Allah swt membari ganjaran yang
berlipat ganda. Amin.
Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua dan
mendapat taufik serta inayah dari Allah swt.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan
di sekolah memiliki tujuan untuk memperbaiki, mengembangkan dan memajukan
hubungan-hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan. IPS terorganisasikan
secara sistematis dalam pengajaran dan kurikulum disekolah, berfungsi untuk
mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan
dengan isu sosial. IPS terdiri dari materi; geografi, sejarah, sosiologi, ekonomi
dan PKn bertujuan untuk membangun peserta didik, agar menjadi warga negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab, serta menjadi warga dunia
yang cinta damai.
Mata pelajaran ini berperan mengfungsionalkan dan merealisasikan ilmu-
ilmu sosial yang bersifat teoritik kedalam dunia kehidupan nyata di masyarakat.
Oleh karenanya secara substansi materinya, IPS mengintegrasikan dan
mengorganisasikannya secara pedagogik dari berbagai ilmu sosial yang
diperuntukan bagi pembelajaran di tingkat persekolahan, sehingga dengan
memulai pembelajaran IPS diharapkan peserta didik mampu membawa dirinya
secara dewasa dan bijak dalam kehidupan nyata, dan peserta didik tidak hanya
mampu mengusai teori-teori kehidupan dalam masyarakat tapi mampu menjalani
kehidupan nyata di masyarakat sebagai insan sosial. Dalam mengawali
pembahasan mengenai teknis dan teori pendidikan IPS di SD lebih lanjut maka
perlunya diawali dengan penjelasan mengenai hakikat IPS secara mendalam dan
juga landasan IPS, khususnya landasan Filosofisnya. 1
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Paradigma Pendidikan IPS di Sekolah Dasar (SD) ?
1
Sapriya, Pendidikan IPS Konsep dan Pembeljarannya (Bandung: PT. Rosda Karya,
2012), h. 22.
1
2
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini mempunyai tujuan, yaitu:
1. Untuk menjelaskan paradigma Pendidikan IPS di Sekolah Dasar.
2. Untuk menjelaskan landasan Filosofis pendidikan IPS.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2
Nana Supriatna, Bahan Belajar Mandiri Pendidikan IPS SD (Bandung: UPI PRESS,
2010), h. 5-14.
3
Supriatna, h. 5-14.
3
4
Materi pendidikan IPS yang akan dipelajari oleh siswa harus didasarkan
pada tujuan yang akan dicapai. Dalam hal ini, Somantri (2001; 44) merumuskan
batasan dan tujuan pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sebagai “suatu
4
Supriatna, h. 5-14.
5
Supriatna, h. 5-14.
6
Supriatna, h. 5-14.
5
Supriatna menyebutkan ada tiga aspek yang harus dituju dalam pendidikan
IPS, yaitu aspek intelektual, kehidupan social, dan kehidupan individual.
Pengembangan kemampuan intelektual lebih didasarkan pada pengembangan
disiplin ilmu itu sendiri serta pengembangan akademik dan thinking skills. Tujuan
intelektual berupaya untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami
disiplin ilmu social, kemapuan berpikir, kemampuan prosesual dalam mencari
7
Supriatna, h. 5-14.
6
8
Supriatna, h. 5-14.
9
Supriatna, h. 5-14.
10
Supriatna, h. 5-14.
7
11
Supriatna, h. 5-14.
12
Rachmah, Pengembangan Profesi Pendidikan IPS (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 33.
8
Studi sosial menurut John Jarolimek: “Tugas Studi Sosial sebagai suatu
bidang studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu
menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social,
serta membantu melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social
13
Idianto Muin, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 4.
14
Muin, h. 5.
9
15
Muin, h. 5.
10
social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar historis-
epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang “social
studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu “The Social Studies Are The
Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose” yang artinya bahwa “The Social
Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan.
Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu
sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu
geografi dan filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an
tahun bahwa bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan
adanya ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan
terutama pada tahun 1940-1970-an. 16
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam menjalankan
social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies” mendapat serangan
dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau
tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para
pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis yang mendasar
dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi
dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli
ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh “social studies” karena
pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang sangat besar untuk
pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja sama untuk
mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat
inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal
sebagai gerakan “The New Social Studies”. 17
untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan
pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi
social studies education. Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang
dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan
dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari opini
publik berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta
kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang
pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan
persekolahan.18
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari perkembangan
Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa “social
studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan
mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu, sejarawan dan ahli-ahli ilmu
sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan social studies kepada taraf
higher level of Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial secara
mendasar. Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus pembelajaran
Social Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya
mentransformasikan “social studies” ke dalam “social science” dan mengajarkan
sebagai disiplin akademik yang terpisah. Gerakan inilah yang mendorong
berdirinya The Social Science Education Concortium (SSEC) yang kemudian
menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social
Studies Curriculum. 19
sciences dan humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang
demokratis (Barr dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an mengenal pemikiran social
studies yang sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
20
Sapriya, Pendidikan IPS Konsep dan Pembeljarannya, h. 12-15.
13
individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk
mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh
akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang
kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh
berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task
Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk
pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun
1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah
yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social,
studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi
masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan
pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat
dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan
memecahkan masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum
masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang
muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan
munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis
pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat
dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang
pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar
Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan
kontroversi akademik, pemunculan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima
dengan sedikit komentar.
21
Sapriya, h. 12-15.
14
22
Sapriya, h. 12-15.
23
Sapriya, h. 12-15.
15
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat
yang pluralistik.24
1. Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan bahwa kurikulum harus
menekankan pada penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan
pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan
dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu. Tujuan dari aliran
esensialisme adalah menciptakan intelektualisme. Proses belajar-mengajar yang
dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin
ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika
dibandingkan dari siswa.
24
Hermanto, “Landasan Filsafat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,” Universitas
Pendidikan Terbuka, no. Sekolah Pasca Sarjana (2011): h. 5-9.
25
Hermanto, h. 5-9.
16
2. Perenialisme
Perenialsme adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus
dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang
kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh ruang dan
waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat
ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta
didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang diinginkan oleh Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada
Transfer Budaya (transfer of culture), seperti dalam Implementasinya pada
kurikulum IPS yang bertujuan pada pengembangan dan pembangunan jati diri
bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya integrasi bangsa. Aliran
ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran universal
yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
3. Progresivisme
Progresivisme adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki
tujuan yakni kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam
memecahkan berbagai masalah yang disajikan oleh guru atau pendidik.Masalah
tersebut biasanya ditemukan berdasarkan pengalaman siswa.Pembelajaran yang
harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan
individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong
untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam
pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah
pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat
Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali kepada
siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam
26
Hermanto, h. 5-9.
17
27
Hermanto, h. 5-9.
28
Hermanto, h. 5-9.
18
1. Positivisme.
Pemikiran August Comte dilatar belakangi oleh semaraknya berfikir
empiris dan era gelapnya abad tengah yang Teologik. Comte membagi tahap
berpikir menjadi tiga, yaitu: teologik, metaphisik, dan positivistic. August Comte
membedakan fenomena social menjadi (1) Social Statics yang membahas tentang
fungsi jenjang peradaban. (2) Social Dinamis yang menelaah perubahan jenjang
tersebut. Comte memberi corak dalam paradigma kualitatif berupa kajian teori
antropologi dan sosiologi-historik.
2. Rasionalisme.
Rasionalisme merupakan lawan dari positivisme. Menurut rasionalisme
semua ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas argumentasi
logic. Ilmu yang dibangun berdasar rasionalisme menekankan pada pemaknaan
empiri, pemahaman intelektual, dan kemampuan berargumentasi secara logic
dengan dukungan data empiric yang relevan agar produk ilmu yang melandaskan
diri pada rasionalisme bukan fiksi.
3. Pragmatisme.
Ada dua ide utama dari pragmatisme, yaitu: (1) manusia adalah makhluk
yang aktif dan kreatif, (2) manusia memadukan kebenaran dengan value dan
action. Pragmatisme memadukan antara teori dan praktik.
4. Idealisme.
Menurut idealism, realitas terdiri dari ide-ide, fikiran-fikiran, akal (mind),
atau jiwa dan bukan benda material maupun kekuatan. Akal adalah yang riil
sedang materi adalah produk sampingan. Dengan demikian idealisme mengangga
29
Hermanto, h. 5-9.
19
bahwa dunia seperti mesin besar dan harus ditafsirkan sebagai materi atau
kekuatan saja.
5. Konstruktivisme.
Konstruktivisme pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico,
seorang epistemology Italia tahun 1710. Inti dari konstruktivisme adalah bahwa
realist tidak ada dengan sendirinya melainkan sebagai hasil bentukan atau
konstruksi dari subyek (personal, interpersonal, dan komunal), dan bahwa
kebenaran pengetahuan, nilai dan sikap senantiasa berubah melalui proses
rekontruksi skema kognitif, afektif dan psikomotor. 30
30
Hermanto, h. 5-9.
20
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Paradigma IPS adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS
yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan Indonesia, dan IPS
merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan
merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial. Pendidikan IPS
lebih ditekankan pada bagaimana cara mendidik tentang ilmu-ilmu social atau
lebih kepada penerapannya (application of knowledge social studies). Ilmu yang
disajikan dalam pendidikan IPS merupakan suatu synthetic antara ilmu-ilmu social
dengan ilmu ilmu-ilmu pendidikan. Pendidikan IPS merupakan hasil rekayasa
“inter cross” dan “trans disipliner” antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin
ilmu sosial murni untuk tujuan pendidikan.
Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik
Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut
:Esensialisme, Perenialisme , Progresivisme, Rekonstruksionisme.
20
21
DAFTAR PUSTAKA
Supriatna, Nana. Bahan Belajar Mandiri Pendidikan IPS SD. Bandung: UPI
PRESS, 2010.