Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit yang sudah cukup sering ditemui di Indonesia.
Sebagian besar penyakit kanker ditemukan pada stadium lanjut, ditambah
dengan ditemukannya kasus-kasus yang tidak mendapatkan pengobatan kanker
menyebabkan angka harapan hidup yang lebih pendek. Salah satu kanker yang
angka kejadiannya cukup tinggi yaitu kanker saluran pencernaan.
Pasien-pasien dengan kondisi tersebut mengalami masalah yang
memerlukan pendekatan terintegrasi berbagai disiplin agar pasien memiliki
kualitas hidup yang baik dan pada akhirnya meninggal secara bermartabat.
Integrasi perawatan paliatif ke dalam tata laksana kanker terpadu telah lama
dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, seiring dengan terus
meningkatnya jumlah pasien kanker dan angka kematian akibat kanker.
Penatalaksanaan kanker telah berkembang dengan pesat. Walaupun demikian,
angka kesembuhan dan angka harapan hidup pasien kanker belum seperti yang
diharapkan. Sebagian besar pasien kanker akhirnya akan meninggal karena
penyakitnya. Pada saat pengobatan kuratif belum mampu memberikan
kesembuhan yang diharapakan dan usaha preventif baik primer maupun
sekunder belum terlaksana dengan baik sehingga sebagian besar pasien
ditemukan dalam stadium lanjut, pelayanan paliatif sudah semestinya menjadi
satu satunya layanan fragmatis dan jawaban yang manusiawi bagi mereka yang
menderita akibat penyakit- penyakit tersebut di atas.
Sebagai disiplin ilmu keperawatan yang relatif baru, pelayanan paliatif
merupakan filosofi dan bentuk layanan kesehatan yang perlu terus
dikembangkan, sehingga penatalaksanaan pasien kanker menjadi efektif dan
efisien. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengambil
kasus tentang Perawatan Paliatif Pada Pasien Kanker Saluran Pencernaan
khususnya kanker kolon.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
berikut:
1. Bagaimana konsep dasar kanker saluran pencernaan?
2. Bagaimana asuhan paliatif pada kanker saluran pencernaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar kanker saluran pencernaan
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan paliatif pada pasien dengan kanker
saluran pencernaan

2
BAB II
PELAYANAN PALIATIF PADA PASIEN KANKER SALURAN
PENCERNAAN

A. Konsep Dasar Kanker Saluran Pencernaan


Menurut WHO, kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar
penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang
digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma. Salah satu fitur mendefinisikan
kanker adalah pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang tumbuh
melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah
tubuh dan menyebar ke organ lain. Proses ini disebut metastasis. Metastasis
merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (WHO, 2009).
Ada berbagai macam kanker pada saluran pencernaan, yaitu kanker
rongga mulut, kanker esofagus, kanker hati, kanker lambung, dan kanker
kolon.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu jenis kanker sauran
pencernaan yaitu kanker kolon.
1. Definisi
Kanker adalah proses pernyakit yang bermula ketika sel abnormal
diubah oleh mutasi genetik dari DNA seluler (Smeltzer & Bare, 2001).
Kanker kolorektal adalah kanker yang berasal dalam permukaan usus
besar (kolon) atau rektum/rektal, umumnya kanker kolorektal berawal
dari pertumbuhan sel yang tidak ganas terdapat adenoma atau berbentuk
polip Distribusi kanker pada kolon adalah 20% terdapat di sepanjang
kolon asenden, 10% di kolon transversum, 15% di kolon desenden, dan
50 % di rektosigmoideus.
Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal /
neoplasma yang muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono,
2010). Kanker kolorektal ditunjukan pada tumor ganas yang ditemukan
di kolon dan rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar
pada sistem pencernaan yang disebut traktus gastrointestinal. Lebih

3
jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum
dibagian distal sekitar 5- 7 cm diatas anus. Kolon dan rektum merupakan
bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana
fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang
zat-zat yang tidak berguna (Penzzoli dkk, 2007).
2. Etiologi
Adapun beberapa faktor yang menpengaruhi kejadian kanker kolon
menurut (Soebachman, 2011) yaitu :
a. Usia
Risiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya
usia. Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 - 70
tahun. Jarang sekali ada penderita kanker kolon yang usianya
dibawah 50. Kalaupun ada, bisa dipastikan dalam sejarah
keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga.
b. Polip
Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis
adenomatosa. Jika polip ini langsung dihilangkan pada saat
ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan bisa
mengurangi risiko terjadinya kanker kolon di kemudian hari.
c. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon
( bahkan pernah dirawat untuk kanker kolon ) berisiko tinggi
terkena kanker kolon lagi dikemudian hari. Wanita yang pernah
mengidap kanker ovarium ( indung telur), kanker uterus, dan
kanker payudara juga memiliki risiko yang lebih besar untuk
terkena kanker kolon.
d. Faktor keturunan / genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya
pada keluarga dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat
penyakit FAP ( Familial Adenomatous Polyposis ) atau polip
adenomatosa familial memiliki risiko 100% untuk terkena

4
kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati.
Penyakit lain dalam keluarga adalah HNPCC ( Hereditary Non
Polyposis Colorectal Cancer ), yakni

penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam


keluarga, atau sindrom Lynch.
e. Penyakit kolitis ( radang kolon ) ulseratif yang tidak diobati.
f. Kebiasaan merokok.
Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena
kanker kolon dibandingkan dengan yang bukan perokok.

g. Kebiasan makan
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah
( dan sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan ) turut
meningkatkan risiko terjadinya kanker kolon. Mengapa? Sebab
daging merah ( sapi dan kambing ) banyak mengandung zat besi.
Jika sering mengonsumsi daging merah berarti akan kelebihan
zat besi.
h. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung
pewarna, apalagi jika pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.
i. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang
mengandung bahan pengawet.
j. Kurangnya aktivitas fisik, Orang yang beraktivitas lebih banyak
memiliki risiko lebih rendah untuk terkena kanker kolon.
k. Berat badan yang berlebihan ( obesitas ).
l. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut
andil dalam terjadinya kanker kolon.
m. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat,
toksin, dan ototoksin serta gelombang elektromagnetik.

n. Keniasaan mengonsumsi minuman beralkohol, khususnya bir.


Usus mengubah alkohol menjadi asetilaldehida yang
meningkatkan risiko terkena kanker kolon.

5
o. Bekerja sambil duduk seharian. Misalnya para eksekutif,
pegawai administrasi, atau pengemudi kendaran umum

6
3. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian
tubuh yang lain (paling sering ke hati). (Japaries, 2013).
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder meliputi penyumbatan
lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan.
Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya
metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada
mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah
terjadi mestatase ke kelenjr limfe (Japaries, 2013).
Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut
 Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum
dan kolon).
 Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
 Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
 Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke
organ lain.

Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat


tumbuh secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini
melalui beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam
lapisan dinding usus sampai keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker
tersebut akanmengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih
luas lagi didalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi.
Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut
dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke orgab paru-paru.
Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak. Sel kanker
pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilakukan reseksi
tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma
jenis villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma

7
ini, hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi
premaligna. Jenis tubular berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan
jenis villous berstuktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai.
Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga kol didalam kolon sehingga
massa tesebut akan menekan dinding mukosa kolon. Penekanan yang terus-
menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang akhirnya akan menjadi
perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun kadang dapat
terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan. Bila
adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi ( feses masih mempunyai
konsentrasi air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan
mengubah bentuk (disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan
massa). Tetapi bila adenoma tersebut tumbuh dan berkembang di daerah
lumen yang sempit (descendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan
terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang telah terdesak oleh massa.
Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial (Diyono,
2013).
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks.
Perubahan genetik s ring dikaitkan dengan perkembangan dari lesi
permalignan (adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa
molekuler dan genetik yang menyebabkan transformsi dari keganasan polip
adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen)
yang pertama kali ditemukan pada individu dengan keluarga adenomatosa
poliposis (FAP= familial adenomatous polyposis). Protein yang dikodekan
oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc dan siklinD1, yang
mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).

8
4. Pathway
Gaya hidup/pola
Usia lanjut Infeksi usus Genetika makan

Peningkatan
asam lambung
Mutase
genetik Colitis

Polip
adenomatosa Penyumbatan
lumen

Lapisan epitel
usus Ulserasi

Adeno Perotinitis
karsinoma perrforasi,
abses

Kanker kolon

Perubahan ileus
fisik/penurunan
fungsi tubuh

Disensi abdomen

Gangguan
defekasi
Nyeri

Obstipasi

Resiko infeksi Kolostomi Flatus

9
5. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada
kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar
hingga lanjut sekali sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena
lumen usus lebih besar dari feses masih encer. Gejala klinis sering brupa
rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia
(menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor
yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola
defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
ukuran feses, dan komplikasi karena lesi kolon kiri yang cenderung
melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid
bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi proksimal, maka
prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010).
Menurut Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua
stadium yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang
air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih
berganti, tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar
abdomen. Pasien lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka

nyeri, kadang kala setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru


merasakan nyeri dan berobat.
b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah
segar atau merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika
posisi tumor agak tinggi, darah dan feses becampur menjadikan feses
mirip selai. Kadang kala keluar lendir berdarah.
c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi
kiri sering ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik
menginvasi kesekitar dinding usus membuat lumen usus menyempit
hingga ileus, sering berupa ileus mekanik nontotal kronis, mula-
mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut intermiten,
borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti pensil atau

10
tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses. Sedangkan
ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif.
Tidak jarang terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien
lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus memikirkan
kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut maupun kronik,
gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah, mungkin usus
kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu
didaerah abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan
pada koon belahan kanan. Pasien lansia umumnya mengurus,

dinding abdomen relatif longgar, massa mudah diraba. Pada awalnya


massa bersifat mobil, setelah menginvasi sekitar menjadi infeksi.
e. Anemia, pengurusan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik lain.
Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan
kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumo
adalah penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar
timbul grjala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam
kavum pelvis menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan
neuralgia obturatoria; ke anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika
urinaria menimbulkan perdarhan pervaginam atau hematuria, bila parah
dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikel; obstruksi ureter
bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada retra menimbulkan
retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan pada vena
iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi
menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke paru
menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak
menyebabkan koma; metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang,
pincang dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia, kegagalan sistemk
(Japaries, 2013).

11
6. Pemeriksaan penunjang

Menurut Casciato (2004) ada beberapa macam pemeriksaan penunjang yang


dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker kolon yaitu :
a. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukanya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato, 2004).
b. Carsinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikopretein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi
untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi
dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa
digunakan sebagai screening kanker kolorektal.
Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan
beberapa parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade
1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam.
Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004).
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes
ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum
opersai sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer
berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA
preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari dari metastase karena sel
tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato,
2004).
c. Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral,posterior, dan
anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan
mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum
dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat
infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang
mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker
12
kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara
yang tidak dapat begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).
d. Barium Enema
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras varium
enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium eneme sangat rendah, yaitu sebesar 0,02% jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan dari
pada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat
serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis.
Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukan detail yang
penting untuk menunjukam lesi kecil pada mukosa kolon (Schwartz, 2005).
e. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3%
dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk
mempunyai polip premaligna (Casciato, 2004).
f. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk
dapat menunjukan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar sebesar 94%, lebih baik dari pada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah
kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol
perdarahan dan dilatasi dari struktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang
sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan
perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen
dari Inflamatory Bowel Disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus,
gastrointestinal bleedin, megakolon non toksik, struktur kolon dan

13
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).
7. Penatalaksanaan umum
a. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penangan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif untuk kaker
kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi
dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan
minimum margin 5 cm bebas tumor (Casciato, 2004).
Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan primer pada
kira-kira 75% pasien dengan kanker kolorektal.
Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang terbatas pada
satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi laparoskopik
dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk
meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop
digunakan sebagai pedoman dalan membuat keputusan dikolon massa tumor
kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas
A dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk
mengatasi kanker kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah
palliative. Apabila tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital
sekitarnya, maka operasi tidak dapat dilakukan.
b. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian
terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan
cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker (Henry
Ford, 2006).
c. Kemotherapi
Kemoterapi dalam bahasa inggris (chemotherapy) adalah penggunaan zat
kimia untuk perawatan penyakit. Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia
untuk perawatan penyakit. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini hampir

14
merujuk secara eksklusif kepada obat sitostatik yang digunakan untuk
merawat kanker.
Kemoterapi bermanfaat untuk menurunkan ukuran kanker sebelum operasi,
merusak semua sel-sel kanker yang tertinggal setelah operasi, dan mengobati
beberapa macam kanker darah. Kemoterapi Merupakan bentuk pengobatan
kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat
menghambat proliferasi sel- sel kanker.
Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk menghancurkan sel kanker.
Walaupun obat ideal akan menghancurkan sel kanker dengan tidak
merugikan sel biasa, kebanyakan obat tidak selektif. Malahan, obat didesain
untuk mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sel kanker daripada
sel biasa, biasanya dengan menggunakan obat yang mempengaruhi
kemampuan sel untuk bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan
cepat adalah ciri khas sel kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu
bertambah besar, dan beberapa bertambah besar cukup cepat (seperti yang di
sumsum tulang dan garis sepanjang mulut dan usus), semua obat kemoterapi
mempengaruhi sel biasa dan menyebabkan efek samping.
Tujuan pemberian kemoterapi : Pengobatan, Mengurangi massa tumor
selain pembedahan atau radiasi, Meningkatkan kelangsungan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup, Mengurangi komplikasi akibat metastase.
Kemoterapi dapat diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada otot,
bawah kulit, rongga tubuh) dan cara Diminum (tablet/kapsul).
Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: Lemas, Mual dan Muntah,
Gangguan Pencernaan, Sariawan, Efek Pada Darah, Otot dan Saraf, Kulit
dapat menjadi kering dan berubah warna, dan Produksi Hormon.
Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan jumlah kematian
penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita kanker tahap akhir /
metastase, tindakan kemoterapi hanya mampu menunda kematian atau
memperpanjang usia hidup pasien untuk sementara waktu. Bagaimanapun
manusia hanya bisa berharap sedangkan kejadian akhir hanyalah Tuhan yang
menentukan.

15
B. Pelayanan Paliatif Kanker Saluran Pencernaan
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami
berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan
aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut
suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah
lain, fisik, psikososial dan spiritual.
Pelayanan paliatif pasien kanker saluran pencernaan adalah pelayanan
terintegrasi oleh tim paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan
memberikan dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui
identifikasi dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah masalah
lain, baik masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002), dan pelayanan masa
duka cita bagi keluarga (WHO 2005) khususnya pada klien dengan masalah kanker
saluran pencernaan.
C. Tahapan Program Pencegahan Timbulnya Kanker Saluran Pencernaan
1. Pendidikan Masyarakat
2. Pencegahan penyakit stadium lanjut melalui program deteksi dini
3. Penurunan angka kematian dengan terapi kanker
4. Pencegahan penderita dengan perawatan paliatif
D. Masalah Pasien Kanker Saluran Pencernaan
1. Fisik
Gejala fisik juga dapat muncul karena pengobatan yang dilakukan.
Kemoterapi atau radiasi dibagian tertentu dapat memberikan efek samping
mual, muntah, tidak nafsu makan, cepat lelah dsb. Nyeri atau gangguan fungsi
bagian tubuh yang dioperasi dapat terjadi akibat operasi. Kondisi tirah baring
16
dalam waktu lama dapat menimbulkan pasien merasa semakin lelah, gangguan
buang air besar, luka dibagian tubuh yang tertindih dan sebagaimnya. Kondisi
lain yang menyertai yang telah ada sebelumnya juga dapat menambah gejala
yang muncul.
2. Psikologis
Gangguan psikologis dapat juga muncul akibat gejala fisik, progresifitas
penyakit, kecacatan yang timbul, perubahan bentuk tubuh, ketergantungan fisik,
kelelahan fisik, kegagalan pengobatan, biaya yang harus dibayarkan,
komunikasi yang buruk dengan petugas kesehatan.
3. Spiritual dan Agama
Masalah spiritual dan agama seperti menganggap penyakit akibat hukuman,
menyalahkan diri sendiri, hidup tidak berguna dapat menjadi sumber
penderitaan.
E. Prinsip Pelayanan Paliatif Pasien Kanker Saluran Pencernaan
Pada pelayanan paliatif, pasien memiliki peran yang penting dalam membuat
keputusan yang akan diambil. Tujuan pelayanan paliatif bagi setiap pasien berbeda dan
dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin dicapai oleh pasien bila memungkinkan,
hal ini biasanya disampaikan dalam bentuk fungsi tubuh misalnya Aku ingin bisa
melakukan….atau kejadian penting misalnya Aku ingin melihat anakku menikah.
Secara umum pelayanan paliatif bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan
gejala lain, meningkatkan kualitas hidup, memberikan dukungan psikososial dan
spiritual serta memberikan dukungan kepada keluarga selama pasien sakit dan selama
masa dukacita.
Prinsip-prinsip pada pelayanan paliatif pasien kanker saluran pencernaan sama
dengan pasien kanker pada umumnya, yaitu:
1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain
2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal
3. Tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya
8. Menghindari tindakan yang sia sia
F. Indikator Pelayanan Paliatif Saluran Pencernaan

17
Pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila didapatkan
satu atau lebih kondisi di bawah ini :
1. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi
2. Stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi kanker
3. Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya
4. Permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang akan atau sedang
dilakukan
5. Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
6. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanofsky < 50%, metastasis otak,
dan leptomeningeal, metastasis di cairan interstisial, vena cava superior sindrom,
kaheksia, serta kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak respon
terhadap tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin ≥2,5 mg/dl, kreatinin
≥3 mg/dl ). *tidak berlaku pada pasien kanker anak
7. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan terapi yang diberikan
G. Langkah-langkah Dalam Pelayanan Paliatif :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Membantu pasien dalam membuat Advanced Care Planning (wasiat atau
keingingan terakhir)
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang muncul
4. Tata laksana gejala ( sesuai panduan dibawah )
5. Informasi dan edukasi perawatan pasien
6. Dukungan psikologis, kultural dan social
7. Respon pada fase terminal: memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan
keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya: penghentian atau tidak memberikan
pengobatan yang memperpanjang proses menuju kematian (resusitasi, ventilator,
cairan, dll)
8. Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal

EVALUASI, apakah
a. Nyeri dan gejala lain teratasi dengan baik
b. Stress pasien dan keluarga berkurang
c. Merasa memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi yang ada
d. Beban keluarga berkurang

18
e. Hubungan dengan orang lain lebih baik
f. Kualitas hidup meningkat
g. Pasien merasakan arti hidup dan bertumbuh secara spiritual
Jika Pasien MENINGGAL
a. Perawatan jenazah
b. Kelengkapan surat dan keperluan pemakaman
c. Dukungan masa duka cita ( berkabung )

H. Tim dan Tempat Pelayanan Paliatif


Dalam mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien kanker, yaitu mengurangi
penderitaan pasien , beban keluarga, serta mencapai kualitas hidup yang lebih baik,
diperlukan sebuah tim yang bekerja secara terpadu ( lihat tabel tim paliatif ). Pelayanan
paliatif pasien kanker juga membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan.
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam menentukan
tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna mencapai tujuan),
tim paliatif secara berkala melakukan diskusi untuk melakukan penilaian dan
diagnosis, untuk bersama pasien dan keluarga membuat tujuan dan rencana pelayanan
paliatif pasien kanker, serta melakukan monitoring dan follow up.
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program secara keseluruhan harus
memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan kesehatan bekerja sebagai tim
multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat dengan tokoh
masyarakat dan organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk mencapai tujuan
bersama. Komposisi tim perawatan paliatif terdiri :
1. Dokter
Dokter memainkan peran penting dalam pelayanan paliatif interdisipliner,
harus kompeten di kedokteran umum, kompeten dalam pengendalian rasa sakit dan
gejala lain, dan juga harus akrab dengan prinsip-prinsip pengelolaan penyakit
pasien. Dokter yang bekerja di pelayanan paliatif mungkin bertanggung jawab
untuk penilaian, pengawasan dan pengelolaan dari banyak dilema pengobatan sulit.
2. Perawat
Merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama
dengan pasien sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui pasien dan
pengasuh, menilai secara mendalam apa yang terjadi dan apa yang penting bagi
pasien, dan untuk membantu pasien mengatasi dampak kemajuan penyakit. Perawat

19
dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam membuat rujukan sesuai
dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan. Peran perawat dalam
a. Konsultasi layanan paliatif
b. Penanggulangan nyeri
c. Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer
d. Bimbingan psikologis, social dan spiritual
e. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien dirumah
f. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
g. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
h. Membantu penyediaan tenaga perawat homecare
i. Membantu penyediaan pelaku perawat (caregiver)
j. Membantu kesiapan akhir hayat dengan tenang dalam iman
k. Membantu dukungan masa duka cita
l. Konsultasi melalui telepon.
3. Pekerja sosial dan psikolog
Perannya membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan
emosional/konseling selama perkembangan penyakit dan proses berkabung.
Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi keuangan, terutama karena keluarga
mulai merencanakan masa depan.
4. Konselor spiritual
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak
menghakimi, mampu menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna
kehidupan. Sering juga berfungsi sebagai orang yang dipercaya sekaligus sebagai
sumber dukungan terkait tradisi keagamaan, pengorganisasian ritual keagamaan
dan sakramen yang berarti bagi pasien kanker. Sehingga konselor spiritual perlu
dilatih dalam perawatan akhir kehidupan

20
BAB III
Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara,
pengumpulan riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik, serta review catatan sebelumnya. Langkah-langkah pengkajian yang
sistemik adalah pengumpulan data, sumber data, klasifikasi data, analisa data dan
diagnosa keperawatan
Pengkajian yang dapat dilakukan menurut wijaya dan putri (2013),
diantaranya adalah sebagai berikut :
i. Data Demografi
1. Kanker klorektal sering ditemukan terjadi pada usia lebih dari
40 tahun.
2. Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti
lebih sering terjadi pada laki-laki.
ii. Riwayat kesehatan dahulu
1. Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik kolon
dan kolitis ulseratif yang tidak teratasi.
2. Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.
3. Diet atau konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi
lemak dan rendah serat.
iii. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker yang
menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal adalah
diturunkan sebagai sifat dominan.
iv. Riwayat kesehatan sekarang
1. Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.
2. Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air
Besar(BAB) seperti pita, diare yang bercampur darah dan lendir
dan rasa tidak puas setelah buang air besar.
3. Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat

21
badan.

v. Pemeriksaan fisik
1. Mata : konjungtiva subanemis / anemis.
2. Leher : distensi vena jugularis (JVP).
3. Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah – pecah dan
bau yang tidak enak.
4. Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunn
bising usus dan kembung.
5. Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi / malnutrisi.
vi. Pengkajian Fungsional Gordon
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa gelisah
dan ansietas, tidak tidur semalaman karena diare, pembatasan
aktivitas / kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.
2. Pernafasan : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri yang
dirasakan) yang ditandai dengan takipnea dan frekuensi menurun.
3. Sirkulasi
Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses
inflamasi dan nyeri), hopotensi, kulit/membran : turgor buruk, kering,
lidah pecah-pecah, (dehidrasi/malnutrisi).
4. Integritas Ego
Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak
berdaya/tak ada harapan.
Faktor stress akut/kronis : misal hubungan dengan keluarga /
pekerjaan, pengobatan yang mahal.
Tanda : menolak, perhatian yang menyempit, depresi.
5. Eliminasi
Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau.
Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering
tak dapat dikontrol (sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak
nyaman/tidak puas, deteksi berdarah/ mukosa dengan atau tanpa
keluar feses

22
Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya
peristaltik yang dapat dilihat, oliguria.

23
6. Makan / Cairan
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tidak
toleran terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa otot,
kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buru, membran mukosa pucat,
luka, inflamasi rongga mulut.
7. Hygine
Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri, stomatitis,
menunjukan kekurangan vitamin.
8. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.
9. Keamanan
Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.
10. Muskuloskeletal : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise
(diare, dehidrasi, dan malnutrisi).
11. Seksualitas
Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi menurun.
12. Interaksi Sosial
Gejala : masalah hubungan / peran sehubungan dengan kondisi
ketidakmampuan aktif dalam sosial.

24
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri fisik.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan primer dan
sekunder.
3. Fokus Intervensi

No. Dx keperawatan NOC NIC


1. Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan Pain Management:
berhubungan keperawatan 2x24 jam
dengan agen diharapkan nyeri berkurang 1. kaji nyeri secara
injuri fisik. dengan kriteria hasil: komprehensif.
1. Vital sign dalam batas 2. observasi non
normal verbal dari
2. Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamana
3. ajarkan teknik
3. Melaporkan bahwa nyeri
relaksasi nafas
berkurang
dalam
4. monitor vital sign

5. anjurkan untuk
istiraha
6. kolaborasi medis
dalam pemberian
analgetik
2. Kerusakan Setelah dilkukan tindakan 1. anjurkan untuk
integritas keperawatan selama 2x24 jam memakai pakaian
jaringan diharapkan jaringan dan kulit longgar.

25
berhubungan baik, dengan kriteria hasil: 2. jaga kulit agar
dengan tetap bersih.
1. Tidak ada nekrosis
kerusakan 3. observasi luka
2. Perfusi jaringan normal
lapisan kulit.
4. ajarkan kepada
3. Menunjukan proses
keluarga tentang
penyembuhan jaringan
luka dan
5. perawatan luka
bantu mobilisasi
pasien
Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. observasi kondisi
infeksi keperawatan 2x24 jam di luka
berhubungan harapkan tidak ada infeksi, 2. monitor tanda
dengan dengan kriteria hasil: dan gejala infeksi
penurunan 1. Bebas dari tanda dan gejala 3. dorong pasien
pertahanan infeksi untuk
primer dan 2. Jumlah leukosit dalam meningkatkan
sekunder. batas normal intake nutrisi
Mampu untuk mencegah 4. batasi jumlah
timbulnya infeksi pengunjung
5. kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk diit tinggi
kalori tinggi
protein
6. kolaborasi untuk
pemberian
antibiotic

26
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana
rencana keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah
ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas
yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap
biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian
bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap
setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan
kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan
merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya
5. Evaluasi
Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang
diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan
kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan.
Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke
arah pencapaian hasil

27
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Kanker merupakan pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang tumbuh
melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah
tubuh dan menyebar ke organ lain. Salah satu kanker yang angka kejadiannya cukup
tinggi yaitu kanker saluran pencernaan, dengan kejadian paling banyak yaitu kanker
colon. Sebagian besar penyakit kanker terdeteksi saat sudah memasuki stadium
lanjut bahkan sudah menyebar ke organ lain. Maka terapi yang dibutuhkan tersebut
bersifat paliatif yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidup klien dengan
memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan spiritual. Asuhan keperawatan
yang diberikan pada pasien dengan kanker saluran pencernaan juga diberikan sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh klien dan keluarga untuk meningkatkan kualitas
hidup klien, serta mengurangi gejala dari penyakit tersebut.

B. Saran
Sebaiknya perawatan paliatif untuk klien dengan kanker turut
mengikutsertakan keluarga. Perawatan paliatif lebih berfokus pada meningkatkan
kualitas hidup dan masa kematian pasien dengan memandang kematian sebagai fase
dalam kehidupan yang harus dihadapi. Hasil akhir dari perawatan paliatif
memberikan kenyamanan dari gejala yang memberikan rasa tidak nyaman,
mengurangi rasa sakit, serta meningkatkan kualitas hidup klien.

28
DAFTAR PUSTAKA

Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC : Jakarta


Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Jakarta
Mansjoer, dkk. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. EGC : Jakarta
Sjamsuhidajat. (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. EGC : Jakarta
Tapan. (2005). Kanker, Anti Oksidan dan Terapi Komplementer, Elex Media Komputindo,
Jakarta

29
30
31
32
33
34
35
36
37

Anda mungkin juga menyukai