Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SISTEM MANAJEMEN MUTU

LAPORAN KASUS MALPRAKTIK

(Diajukan untuk memenuhi tugas Sistem Manajemen Mutu yang diampu oleh Entuy
Kurniawan, S.Si, M. Kes)

Disusunoleh :
Fitria Asriyanti P17334116414
Dhea Yolanda T. P17334116420
Siti Sofia M. P17334116424
M. Irbah Hayyan J. P17334116425
Ayu Windy O. P17334116429

Program studi
D4 /Tingkat 4

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada tanggal 26 Mei 2010, Muhamad Rizky (16 tahun) diantar oleh orang tua nya ke
RSUD Lahat Sumatera Selatan. Rizky didiagnosa anemia dimana Hb-nya 5.9 g/dl. Maka dr.
Rahadian menyarankan perlu dilakukan transfusi darah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
golongan darah dan hasil dari PMI Lahat secara jelas disebutkan bahwa golongan darah yang
dibutuhkan adalah AB dan akhirnya Rizky mendapatkan 2 kantong darah AB. Kemudian
dilakukan transfusi darah kepada Rizky, namun baru setengah kantong darah yang
ditransfusikan Rizky menggigil dan sulit bernapas. Orang tua korban meminta menghentikan
transfusi yang sedang berjalan kepada tenaga medis yang sedang melakukan transfusi
tersebut.
Pada 27 Mei 2010, pihak RSUD Lahat akan melakukan transfusi darah kembali, namun
orang tua Rizky menolak karena korban dalam kondisi lemah dan masih sulit bernapas. Pada
3 Juni 2010,korban kembali ditransfusikan darah namun baru seperempat kantong darah yang
ditransfusikan, Rizky kembali menggigil dan susah bernapas. Kemudian orang tua Rizky
meminta tim medis menghentikannya.
Karena kondisi korban yang lemah dan terkadang sulit bernapaskorban dirawat di RSUD
Lahat hingga 6 Juni 2010. Setelah keluar dari RSUD Lahat, Rizky mengalami pingsan 2 kali.
Kemudian Rizky dibawa berobat ke RSUP Dr. Muhammad Hoesin Palembang pada bulan
Juli 2010. Setelah dilakukan pemeriksaan golongan darah,di unit transfusi darah cabang PMI
kota Palembang, golongan darah korban adalah B+, diduga terjadi kesalahan pemeriksaan
sebelumnya di laboratorium RSUD Lahat yang mengatakan golongan darah Rizky adalah
AB.
Oleh sebab itu, dari hasil pemeriksaan dokter di RS Muhammad Hoesin Palembang,
Rizky diharuskan cuci darah 2x seminggu hingga saat ini dmana sebelumnya dilakukan cuci
darah 3x dalam seminggu.

B. ANALISIS MASALAH
Kesalahan yang terjadi pada kasus di atas bersumber dari kesalahan pihak PMI Lahat
yang mengeluarkan hasil golongan darah untuk kebutuhan transfusi. Kesalahan tersebut
menyebabkan kerugian pada pasien dimana pasien tersebut harus mengalami cuci darah
selama kurang lebih sepuluh bulan.
Kasus di atas melanggar beberapa peraturan, antara lain UU No. 36 tahun 2009 dan UU
No. 36 tahun 2014. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009, pasal-pasal yang dilanggar dalam
kasus ini antara lain:
1. Pasal 88 ayat (1) yang berbunyi: “Pelayanan transfusi darah yang meliputi perencanaan,
pengerahan transfusi darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis
pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.”
Pelanggaran terhadap pasal ini dikarenakan PMI yang seharusnya memfasilitasi
kesembuhan dan pemulihan penyakit pasien justru menambah keparahan penyakit pasien
tersebut.
2. Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.”
Pelanggaran terhadap pasal ini dikarenakan PMI melakukan kesalahan yaitu tidak
melakukan pekerjaan sesuai prosedur.

Sedangkan berdasarkan UU No. 36 tahun 2014, pasal-pasal yang dilanggar dalam kasus
tersebut antara lain:
1. Pasal 58 ayat (1) poin a yang berbunyi:
“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.”
2. Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
berkewajiban untuk memnuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar
Prosedur Operasional.”

C. KETENTUAN PIDANA
Tindak pidana yang dijatuhkan atas tindakan pelanggaran di atas berdasarkan UU No 36
tahun 2009 dan UU No. 36 tahun 2014. Adapun tindak pidana yang dijatuhkan menurut UU
No. 36 tahun 2009, yaitu:
1. Pasal 190 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal peraturan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
2. Pasal 201 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal
199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana dnda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200.”
3. Pasal 201 ayat (2) yang berbunyi: “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan izin usaha; dan/atau
b. Pencabutan status badan hukum.”
Sedangkan menurut UU No. 36 tahun 2014, tindak pidana yang dijatuhkan pada
pelanggar adalah:
1. Pasal 84 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian
berat mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun.”
2. Pasal 82 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat
(1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat
(2), Pasal 70 ayat (3), dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
3. Pasal 82 ayat (3) yang berbunyi: “Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi
administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).”
4. Pasal 82 ayat (4) yang berbunyi: “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat berupa:
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis;
c. Denda administratif; dan/atau
d. Pencabutan izin.”
5. Pasal 82 ayat (5) yang berbunyi: “Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap
Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
D. SOLUSI PERMASALAHAN

Berdasarkan kasus di atas, solusi yang dapat diambil antara lain:

1. Perhatikan kembali prosedur pemeriksaan mulai dari tahap pra-analitik, analitik,


sampai pasca-analitik. Verifikasi dan validasi hasil pemeriksaan apabila terjadi
kejanggalan atau kesalahan.
2. Sebelum melakukan pemeriksaan, setiap petugas yang berwenang melakukan
pemeriksaan harus membaca Standar Prosedur Operasional agar dapat mengurangi
tingkat kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai