Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ETIKA PROFESI HUKUM KESEHATAN DAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

“Analisis kasus serta keterkaitannya dengan kebijakan/peraturan


yang berhubungan dengan praktek kebidanan”

Dosen Pembimbing: Alfina Hidayat, SST,SKM,MKM

DISUSUN OLEH :

ADE ELVINA
NPM: 1726040049.P

PROGRAM STUDI KEBIDANAN JENJANG D IV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES )
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2018 / 2019
Kasus yang di ambil adalah tentang “Aborsi”.
Di Indonesia kasus aborsi bukanlah hal sebuah hal yang tabu. Apalagi di
kota-kota besar, banyak dilakukan penggerebekan klinik-klinik praktik yang
beroperasi melakukan aborsi. Salah satu modus yang digunakan dalam
menjalankan praktik ilegal tersebut adalah dengan menjaring klien melalui iklan
di media sosial. Calon klien awalnya berkomunikasi lewat online, kemudian
diajak bertemu di lokasi yang tidak jauh dari areal klinik guna membahas tarif
aborsi. Berdasarkan perkiraan Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), sekitar 2 juta kasus aborsi terjadi setiap tahunnya di
indonesia. Hasil penelitian WHO di sepuluh kota besar da 6 kabupaten di
Indonesia memperkirakan 50% dari 2 juta kasus aborsi terjadi di perkotaan. Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak mengatakan, tingginya aborsi di Indonesia
tak lepas dari persoalan adanya perilaku hidup yang diiringi sikap permisif
terhadap seks, perkembangan teknologi yang dapat mengakses pornografi dengan
mudah dan faktor lain yang mempengaruhi maraknya aborsi karena banyaknya
oknum-oknum tenaga medis di Indonesia yang membuka praktik-praktik aborsi.
Ragam contoh klinik aborsi ilegal hanya gambaran sekumit dan maraknya praktik
aborsi di tanah air. Selain adanya klinik-klinik yang membuka praktik aborsi,
perkembangan teknologi yang membuat banyaknya obat-obatan untuk aborsi
sudah banyak dijual melalui media sosial.
Keterkaitann kasus dengan kebijakan/peraturan yang berhubungan dengan
praktek kebidanan:
A. UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Dalam UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, menyebutkan
Pasal 75 yaitu:
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kegawatdaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan, atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
3) Tindakan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tinakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang berkopeten dan berwenang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan meis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan pemerintah.
Pada pasal 75, dikatakan secara tegas negara melarang keras dilakukannya
tindakan aborsi kecuali aborsi dapat dilakukan ketika adanya indikasi atau
alasan yang benar-benar menganjurkan klien untuk mendapatkan tindakan
aborsi atau ketika kondisi medis terindikasi darurat, darurat yang dimaksud
adalah keadaan yang membahayakan bagi ibu ataupun janin. Aborsi pada
korban pemerkosaan pun dapat dilakukan tindakan apabila usia kehamilan
paling lama berusia 40 hari dihitung sejak HPHT. Namun, realita yang terjadi
di masyarakat masih banyak terdapat praktik-praktik yang melakukan tindakan
aborsi.
Pasal 77: “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan
ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pada pasal 77, menyebutkan tentang melindungi. Melindungi berarti
mendapatkan hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan
oleh hukum dan undang-undang. Oleh karena itu untuk setiap pelanggaran
hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya, ia
berhak pula untuk mendapat perlindungan dari hukum yang sesuai dengan asas
hukum.
B. UU no. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan.
Dalam UU no. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, menyebutkan
Pasal 46 yaitu:
1) Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang
pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.
2) Izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk SIP.
3) SIP sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota atas menjalankan
praktiknya.
4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tenaga kesehatan harus memiliki:
a. STR yang masih berlaku.
b. Rekomendasi dari organisasi profesi
c. Tempat praktik.
5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing
berlaku hanya untuk 1 tempat.
6) SIP masih berlaku sepanjang :
a. STR masih berlaku
b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum
dalam SIP.
7) Ketentua lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) datur dengan peraturan menteri.
Pada pasal 46 menyebutkan bahwa dokter atau bidan yang melakukan
tindakan aborsi harus dilakukan oleh dokter yang sudah mendapatkan perizinan
yang memenuhi syarat yaitu memiliki STR yang berlaku, memiliki tempat
praktik seperti (Rumah Sakit, PUSKESMAS, Klrinik), memiliki STR yang
berlaku, adanya rekomendasi dari organisasi profesi dan yang sudah
mendapatkan pembinaan praktik. Bidan wajib memiliki STR yang berlaku
sebelum melakukan pelayanan kesehatan.
Pasal 68 yaitu:
1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. Tata caratindakan pelayanan
b. Tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan.
c. Alternatif tindakan lain
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan,
baik secara tertulis maupun lisan
5) Setiap tindakan tenaga kesehatan yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Pada pasal 68 dikatakan bahwa sebelum melakukan tindakan aborsi,
tenaga kesehatan wajib melakukan informed concent yaitu menjelaskan semua
tata carantindakan, persetujuan tindakan dan resiko serta komplikasi yang
mungkin terjadi. Tenaga kesehatan yang melakukan tindakan aborsi juga wajib
meminta persetujuan yang tertulis ditandatangani oleh pihak persetujuan.
Sebelum dilakukan tindakan aborsi, pasien wajib mendapatkan konseling yang
dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang. Serta untuk
diperkenankan melakukan aborsi, korban perkosaan misalnya harus
menyertakan surat keterangan dokter, penyidik, psikologdan ahli lain yang
mengamini adanya kejahatan tersebut.
C. PMK no. 28/Menkes/per/X/2017 tentang izin dan penyelenggaraan
praktik bidan.
Dalam PMK no. 28/Menkes/per/X/2017 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan, menyebutkan:
Pasal 2: “Dalam menjalankan praktik kebidanan, bidan paling rendah
memiliki jenjang pendidikan diploma tiga kebidanan”
Pasal 3: (1) Setiap bidan harus memiliki STRB untuk dapat melakukan
praktik keprofesiannya.
(2) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
seteah bidan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 5 tahun
Pasal 5: (1) bidan yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib
memiliki SIPB.
(2) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Bidan yang telah memiliki STRB.
(3) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
satu Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(4) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama STR bidan masih berlaku, dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan.
Pasal 15: (1) bidan dapat menjalankan praktik kebidanan secara mandiri
dan/atau bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) praktik kebidanan secara mandiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa praktik mandiri bidan.
(3) fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. klinik
b. puskesmas
c. rumah sakit dan/atau
Pasal 23: (1) kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan penugasan
diri pemerintah sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 huruf a.
(2) kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
bidan setelah mendapatkan pelatihan.
(3) pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diselenggarakan Daerah bersama organisasi profesi terkait
berdasarkan modul dan kurikulum yang terstandarisasi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(4) bian yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berhak memperoleh sertifikat pelatihan.
(5) bidan diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mendapatkan penetapan dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
Pada pasal 2, pasal 3 dan pasal 5 dijelaskan bidan yang masih
menyandang lulusan jenjang pendidikan dibawah DIII, tidak boleh
melakukan tindakan aborsi meskipun bidan tersebut sudah senior dan ahli
dalam melakukan pertolongan pada pengeluaran jani. Dan bidan yang tidak
memilki STRB dan SIPB juga tidak boleh melakukan tindakan aborsi
meskipun bidan tersebut sudah DIV, sudah melakukan pelatihan tentang
aborsi. Namun, karena masa berlaku STRB dan SIPB telah habis maka harus
melakukan perpanjangan STRB dan SIPB terlebih dahulu.
Pada pasal 15, dijelaskan bahwa bidan dapat membuka praktik mandiri
dan dapat juga bekerja di Rumah sakit, klinik, PUSKESMAS atau fasilitas
kesehatan lainnya. Dan untuk bidan yang bekerja diklinik, PUSKESMAS,
Rumah Sakit atau fasilitas kesehatan lainnya boleh membantu atau terlibat
dalam melakukan tindakan aborsi yang gawatdarurat. Sedangkan bidan yang
membuka praktik mandiri dilarang untuk melakukan tindakan aborsi secara
ilegal, apabila ditemukan bidan praktik mandiri melakukan tindakan ilegal
dapat diberikan hukum tindak pidana.
Pada pasal 23, dijelaskan kewenangan bidan untuk melakukan aborsi
dikarenakan tidak adanya tenaga kesehatan lain di wilayah bidan bertugas dan
kewenangan yang dimaksud diperoleh bidan setelah mendapatkan pelatihan
yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, memperoleh sertifikat dan
bidan tersebut juga harus mendapatkan penetapan tertulis dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.

D. KMK no 369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi


bidan.
Dalam KMK no 369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi
bidan menyebutkan stndar profesi bidan meliputi :
1. Pra konsepsi, KB dan Ginekologi
2. Asuhan dan konseling selama kehamilan.
3. Asuhan dan konseling selama persalinan.
4. Asuhan pada ibu nifas dan menyusui.
5. Asuhan bayi dan balita.
6. Kebidanan komunitas.
7. Asuhan dengan gangguan reproduksi.
Jika dilihat dalam KMK no 369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar
profesi bidan, tidak disebutkan bahwa bidan boleh atau tidak melakukan
tindakan aborsi. Tindakan aborsi boleh dilakukan oleh dokter yang
berkompeten dan telah mendapatlkan pelatihan oleh penyelenggara yang
telah terakreditasi. Namun, ada pengecualian untuk daerah-daerah yang
sangat terpencil yang sangat kesulitan mengakses layanan dokter. Dalam
kondisi ini, menteri kesehatan memperbolehkan bidan untuk turun tangan
dengan syarat bidan yang melakukan tindakan aborsi sudah memperoleh
pelatihan dan sudah mengetahui betul tentang prosedur aborsi. Namun, jika
bidan, dokter atau juru obat yang tidak memperoleh pelatihan dan tidak ada
sertifikat pelatihan melakukan aborsi maka akan dikenakan sanksi hukum
tindak pidana.
E. PP no 161/MENKES/PER/I/2010 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
Dalam PP no 161/MENKES/PER/I/2010 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan menyebutkan:
Pasal 2 :
(1) Setiap tenaga kesehatan yang akan
menjalankankeprofesiannya wajib memiliki STR.
(2) Untuk memperoleh STR harus melengkapi persyaratan.
(3) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diperoleh melalui Uji Kompetensi.
(4) STR berlaku selama 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang
setiap 5 tahun sekali degan setiap memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 2 dalam PP no 161/MENKES/PER/I/2010 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan menjelaskan mengenai STR bidan. Sebelum bidan
melalukan praktik pelayanan kebidanan bidan wajib harus memiliki STR.
STR diperoleh melalui uji kompetensi dan STR berlaku selama5 tahun dan
dapat diregistrasi ulang apabila masa beralaku STR sudah habis. Apalagi
untuk mendapatkan pelatihan, sertifikat, izin dan penetapan yang dikeluarkan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten serta untuk mendapatkan izin melakukan
tindakan aborsi, bidan wajib mengikuti Uji Kompetensi dan wajib memiliki
STR.

Anda mungkin juga menyukai