ANTROPOLOGI SASTRA:
Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik
dan Metodologi Campuran
Abstract:
Literary anthropology has not developed yet. In fact, as an interdisciplinary, literary anthropology has a very
important role in order to explore and develop cultural diversity in Indonesia. In accordance with its nature,
literary anthropology serves to analyze the literature in relation to cultural aspects. As an interdisciplinary,
literary anthropology requires a means of analysis drawn from the disciplines involved, either directly or
indirectly. Ways that are meant referred to as eclectic, triangulation, and mixed methodologies.
1. Pendahuluan
Antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Secara
etimologis antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia, sedangkan
sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Kelompok kata yang dimaksudkan
belum menunjukkan arti dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, secara luas
yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan
ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi.
Dengan kalimta lain, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya
sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas
karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai
pelengkap.
Sebagai istilah antropologi sastra disejajarkan dengan sekaligus dikondisikan
melalui stagnasi psikologi sastra dan sosiologi sastra, dua interdisiplin yang sudah
berkembang cukup lama di Indonesia. Dalam disiplin lain juga dikenal luas istilah
sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, dan sebagainya. Sepanjang
diketahui isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul dalam kongres
’Folklore and Literary Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi—xv) yang berlangsung di
Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Meskipun
demikian Poyatos mengakui bahwa sebagai istilah antropolgi sastra pertama kali
dikemukakan dalam tuisannya yang yang dimuat dalam Semiotica (1977).
52
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
53
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Melalui uraian di atas jelas bahwa proses eklektik dalam interdisiplin tidak
mungkin dihindarkan, eklektik merupakan satu-satunya pilihan itu sendiri. Paling
sedikit ditemukan tiga alasan mengapa eklektik memegang peranan dalam analisis
interdisiplin. Pertama, sebuah objek atau masalah memiliki berbagai dimensi
sehingga memerlukan berbagai cara untuk memecahkannya. Kedua, dari segi peneliti
ditunjukkan adanya keluasan wawasan, kekayaan teori sekaligus kesanggupan dalam
menggunakannya. Ketiga, eklektik dengan demikian berfungsi untuk mengevokasi
makna keragaman budaya, khazanah nusa dan bangsa yang selama ini belum
terpecahkan.
Secara praktis, khususnya dalam penyusunan karya ilmiah, seperti: skripsi,
tesis, dan disertasi, termasuk penyusunan penelitian dalam bentuk pesanan yang
lain, proses eklektik dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu: a) pemilihan pada
saat penyusunan proposal, dan b) pemilihan yang dilakukan dalam penelitian yang
sesungguhnya. Proses eklektik pertama seolah-olah bersifat artifisial sebab pada
dasarnya penelitian belum sepenuhnya dimulai. Pemilihan dilakukan atas dasar
pengetahuan berbagai teori yang sudah dimiliki, sehingga seolah-olah belum
ada hubungan yang bermakna antara teori dengan objek yang sesungguhnya.
Eklektisitas yang lebih penting jelas pada proses kedua, di dalamnya data penelitian
sudah terkumpul secara relatif lengkap, sehingga memungkinkan untuk dilakukan
analisis secara keseluruhan. Dalam hubungan inilah diperlukan teori-teori yang
dianggap relevan, dalam hubungan ini juga diperlukan kecermatan peneliti dalam
menggunakannya.
Eklektisitas jelas mengimplikasikan banyak teori. Pertanyaan yang timbul
kemudian, berapa buahkah teori yang diperlukan, teori yang tercantum secara
eksplisit dalam proposal? Dalam hubungan ini justru dengan adanya proses eklektik,
maka tidak diperlukan banyak teori, melainkan cukup hanya satu teori, yaitu teori
yang secara eksplisit tercantum dalam kerangka teori sebab akan digandakan dalam
proses penelitian selanjutnya. Analisis antropologis terhadap puisi-puisi Rendra,
misalnya, dengan menggunakan teori semiotika, dengan adanya kekayaan aspek-
aspek kultural di dalamnya, maka secara tidak langsung akan memerlukan teori-
teori lain, seperti: resepsi, interteks, mitologi, religi, dan sebagainya. Benar, teori
semiotika, sebagai teori imperial telah mampu untuk mengungkap keberagaman
aspek-aspek objeknya, tetapi perlu dipahami bahwa kemampuan sejumlah teori
jelas memiliki nilai tambah dibandingkan hanya menggunakan satu teori, lebih-
lebih apabila dikaitkan dengan model penelitian interdisiplin. Kehadiran teori-teori
lain semata-mata sebagai akibat relevansinya terhadap hakikat objek, sebagai akibat
gravitasi objek terhadap proses pengungkapannya secara optimal.
Eklektik dengan demikian tidak membatasi antara teori kritis I dan II, antara
54
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
55
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
yang dilakukan akan diperhadapkan pada pemilihan tertentu. Masalah baru yang
ditawarkan dalam hubungan ini adalah kesadaran, bahwa peneliti sedang melakukan
suatu pemilihan, sehingga secara sadar juga menemukan aspek-aspek positif
yang akan dihasilkan. Seperti di atas, bukan canggih dan tidak canggihnya suatu
teori yang akan menentukan kualitas penelitian, melainkan bagaimana pemilihan
dilakukan, eklektisitas itu sendiri. Sebagai model penelitian interdisiplin terakhir
sesudah psikologi sastra dan sosiologi sastra, antropologi sastra akan diperhadapkan
dengan berbagai macam teori, baik positif maupun kritis, baik struktur maupun
postruktur, baik sastra maupun nonsastra, baik makro maupun mikro. Seperti di atas,
pertanyaan sekaligus jawaban yang harus diberikan, bukan semata-mata pada apa
yang dipilih sebab memilih merupakan pekerjaan yang lebih mudah dibandingkan
dengan bagaimana cara menggunakannya. Keberhasilan suatu penelitian ditentukan
melalui proses pemanfaatan tersebut.
56
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
57
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
58
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
59
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
60
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
tanah air, secara kasar dapat disebutkan, khususnya sejak dicapainya kemerdekaan
pertengahan abad ke-20, perkembangannya masih belum memadai. Kenaikan
anggaran pendidikan menjadi 20% juga belum berhasil menopang perkembangan
tersebut.
Dengan menggabungkan antara pendapat Creswell (2010: 22—23) dan
Tashakkori dan Teddie (2010: 28) desain metode campuran dapat dibedakan menjadi
lima macam, sebagai berikut.
1. Kajian secara berurutan, penelitian dilakukan secara terpisah, peneliti
mula-mula melakukan penelitian kuantitatif kemudian ke kualitatif, atau
sebaliknya.
2. Kajian sejajar atau bersamaan, kedua metode dilakukan secara bersama-
sama.
3. Kajian transformatif, prosedur analisis dengan terlebih dulu melakukan kajian
secata teoretis sehingga sebelum dianalisis data seolah-olah telah mengalami
perubahan bentuk.
4. Kajian domain dan kurang domain, penelitian di dalamnya paradigma dominan
dibantu oleh paradigma yang kurang dominan, sebagai desain alternatif.
5. Pendekatan beragam tingkatan, yaitu dengan menggunakan metode yang
berbeda pada berbagai macam tingkatan.
Di antara kelima cara yang ditawarkan di atas, cara pertama dianggap tidak
mungkin dilakukan sebab seolah-olah akan menghasilkan dua penelitian dengan
hasil yang sama. Keempat cara berikut dapat dilakukan dengan kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, tergantung dari tujuan penelitian. Sesuai dengan
pendapat Tashakkori dan Teddie (2010: 6-2—603), dengan mempertimbangkan
kelemahan sekaligus kekuatan masing-masing metode, demikian juga perkembangan
lebih lanjut interdisiplin, khususnya antropologi sastra, paling sedikit terkandung
tiga manfaat metode campuran, yaitu:
a) menjelaskan permasalahan yang belum terjawab dalam metode tunggal,
b) menghasilkan simpulan yang lebih baik sekaligus lebih lengkap,
c) memberikan kesempatan untuk menampilkan berbagai sudut pandang yang
dengan sendirinya memiliki jangkauan lebih luas.
Teori, metode, teknik, instrumen, dan peralatan penelitian yang lain, termasuk
peneliti dan objek penelitian berkaitan erat, setiap komponen berada dalam posisi
yang saling mementukan, saling mempengaruhi. Sebagai sarana penelitian pada
61
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
62
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna
menganalisis semua bidang ilmu. Teori dan metode yang terbaik adalah cara-cara yang
sesuai dengan ciri-ciri objeknya. Hubungan bermakna antara ’apa’ yang dianalisis
dengan ’bagaimana’ cara menganalisisnya inilah yang berhasil untuk menampilkan
penelitian yang berkualitas.
5. Simpulan
Sebagai alat, teori dan metode, demikian juga berbagai prasarana yang
menyertainya, seperti teknik dan instrumen merupakan komponen-komponen
utama dalam penelitian. Objek penelitian, meskipun penting dan berharga, apabila
dianalisis dengan peralatan yang tidak tepat tidak akan memberikan hasil secara
optimal. Dalam banyak hal terjadi bahwa objek yang sederhana, bahkan mungkin
dilupakan orang, apabila dianalisis dengan cara-cara yang tepat akan menghasilkan
penelitian yang baik. Peralatan yang relevan berhasil untuk mengungkap dimensi-
dimensi objek tersembunyi yang selama ini belum memperoleh perhatian. Proses
analisis pada gilirannya hampir sama dengan proses kreatif, kualitas yang dihasilkan
tergantung ’bagaimana’ cara mengungkapkan, bukan ’apa’ yang diungkapkan.
Sebagai disiplin baru, belum teruji kebenarannya, baik secara ontologis dan
epistemologis maupun aksiologis, bahkan belum diakui keberadaannya, maka
teori dan metode antropologi sastra pada dasarnya belum ada. Tetapi sebagai salah
satu pendekatan interdisiplin yang dianggap memiliki sejumlah persamaan bahkan
dikondisikan melalui keberadaan psikologi sastra dan sosiologi sastra, maka dari
segi teori dan metode, termasuk teknik dan instrumennya sebagian besar disamakan
dengan kedua disiplin, bahkan dengan ilmu-ilmu sosial humaniora yang lain. Sebagai
alat, sebuah teori dan metode, khususnya teori-teori yang dikategorikan sebagai
telah teruji keterandalannya, seperti strukturalisme dan semiotika, dapat digunakan
untuk menganalisis objek disiplin yang berbeda-beda.
Daftar Pustaka
63
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012
64