Anda di halaman 1dari 13

PUSTAKA

Volume XII, No. 1 • Februari 2012

ANTROPOLOGI SASTRA:
Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik
dan Metodologi Campuran

Nyoman Kutha Ratna


Jurusan Sastra Indonesia Faksas Unud

Abstract:

Literary anthropology has not developed yet. In fact, as an interdisciplinary, literary anthropology has a very
important role in order to explore and develop cultural diversity in Indonesia. In accordance with its nature,
literary anthropology serves to analyze the literature in relation to cultural aspects. As an interdisciplinary,
literary anthropology requires a means of analysis drawn from the disciplines involved, either directly or
indirectly. Ways that are meant referred to as eclectic, triangulation, and mixed methodologies.

Key words: literary anthropology, eclectic, triangulation, mixed methodologies.

1. Pendahuluan

Antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Secara
etimologis antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia, sedangkan
sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Kelompok kata yang dimaksudkan
belum menunjukkan arti dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, secara luas
yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan
ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi.
Dengan kalimta lain, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya
sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas
karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai
pelengkap.
Sebagai istilah antropologi sastra disejajarkan dengan sekaligus dikondisikan
melalui stagnasi psikologi sastra dan sosiologi sastra, dua interdisiplin yang sudah
berkembang cukup lama di Indonesia. Dalam disiplin lain juga dikenal luas istilah
sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, dan sebagainya. Sepanjang
diketahui isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul dalam kongres
’Folklore and Literary Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi—xv) yang berlangsung di
Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Meskipun
demikian Poyatos mengakui bahwa sebagai istilah antropolgi sastra pertama kali
dikemukakan dalam tuisannya yang yang dimuat dalam Semiotica (1977).

52
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

2. Penggunaan Teori dan Metode secara Eklektik

Keterlibatan sejumlah ilmu, sebagai interdisiplin jelas menampilkan sejumlah


teori, metode, teknik, dan berbagai peralatan lainnya, termasuk objek. Di sinilah
letak perbedaan antara model analisis monodisiplin dengan interdisiplin. Seperti
diketahui dalam model pertama penelitian seolah-olah telah memiliki batas-batas
yang jelas, baik objek maupun metodologi yang digunakan untuk memahaminya.
Monodisiplin mengarahkan seorang peneliti tidak keluar dari batas-batas yang
telah ditentukan. Pada umumnya penelitian terbatas sebagai semata-mata bersifat
intrinsik, otonom. Dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai tapal pemandangan
kuda. Untuk menentukan batas-batas tersebut dilakukan dengan menentukan ciri,
paradigma masing-masing ilmu yang disebut sebagai rumpun ilmu.
Rumpun terbesar adalah ilmu kealaman dan ilmu sosial, ilmu nomotetis dan
ideografis seperti dikemukakan oleh Kuhn dan Windelband (Runes, ed., 1959:
992—994; Wellek dan Warren, 1962: 16—17). Dalam dunia kontemporer rumpun
ilmu kedua kemudian dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu sosial itu
sendiri dan ilmu humaniora. Dalam rangka penyusunan kurikulum dengan berbagai
implikasinya Dirjen Dikti membedakan ilmu pengetahuan menjadi 12 rumpun,
yaitu: a) rumpun matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA), b) ilmu tanaman,
c) ilmu hewani, d) ilmu kedokteran, e) ilmu kesehatan, f) ilmu teknik, g) ilmu bahasa
(linguistik), h) ilmu ekonomi, i) ilmu sosial humaniora, j) ilmu agama dan filsafat, k)
ilmu kesenian dan media, dan l) rumpun ilmu pendidikan.
Secara historis eklektik (eclect, eclectus, Latin) berarti seseorang yang terpilih,
khususnya dalam kaitannya dengan agama, keyakinan, dan pemerintahan. Namun,
dalam perkembangan kemudian diartikan sebagai cara-cara memilih teori, metode,
dan berbagai perangkat penelitian. Eklektik juga diartikan sebagai memilih objek
yang terbaik sesuai dengan manfaat dan tujuan penelitian. Sesuai dengan hakikat
penelitian dengan tujuan memperoleh objektivitas, eklektik mensyaratkan suatu
pemilihan dengan pertimbangan yang matang, bukan mana suka, bukan karena
pertimbangan tertentu yang bersifat subjektif. Memilih lokasi dan objek penelitian
bukan didasarkan dengan pertimbangan dekat dengan tempat tinggal peneliti,
memberikan manfaat lebih besar terhadap kepentingan peneliti, dan sebagainya.
Demikian juga eklektisitas dalam teori dan metode. Proses eklektik dilakukan atas
dasar hakikat objek sehingga yang menjadi pertimbangan pokok adalah objektivitas
tersebut. Oleh karena itulah, secara praktis pada dasarnya tidak ada teori yang secara
khusus digunakan untuk memahami bab tertentu, objek tertentu. Sebuah teori dapat
digunakan untuk memecahkan berbagai masalah. Demikian juga sebaliknya sebuah
objek atau masalah dapat dipecahkan melalui beberapa teori.

53
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

Melalui uraian di atas jelas bahwa proses eklektik dalam interdisiplin tidak
mungkin dihindarkan, eklektik merupakan satu-satunya pilihan itu sendiri. Paling
sedikit ditemukan tiga alasan mengapa eklektik memegang peranan dalam analisis
interdisiplin. Pertama, sebuah objek atau masalah memiliki berbagai dimensi
sehingga memerlukan berbagai cara untuk memecahkannya. Kedua, dari segi peneliti
ditunjukkan adanya keluasan wawasan, kekayaan teori sekaligus kesanggupan dalam
menggunakannya. Ketiga, eklektik dengan demikian berfungsi untuk mengevokasi
makna keragaman budaya, khazanah nusa dan bangsa yang selama ini belum
terpecahkan.
Secara praktis, khususnya dalam penyusunan karya ilmiah, seperti: skripsi,
tesis, dan disertasi, termasuk penyusunan penelitian dalam bentuk pesanan yang
lain, proses eklektik dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu: a) pemilihan pada
saat penyusunan proposal, dan b) pemilihan yang dilakukan dalam penelitian yang
sesungguhnya. Proses eklektik pertama seolah-olah bersifat artifisial sebab pada
dasarnya penelitian belum sepenuhnya dimulai. Pemilihan dilakukan atas dasar
pengetahuan berbagai teori yang sudah dimiliki, sehingga seolah-olah belum
ada hubungan yang bermakna antara teori dengan objek yang sesungguhnya.
Eklektisitas yang lebih penting jelas pada proses kedua, di dalamnya data penelitian
sudah terkumpul secara relatif lengkap, sehingga memungkinkan untuk dilakukan
analisis secara keseluruhan. Dalam hubungan inilah diperlukan teori-teori yang
dianggap relevan, dalam hubungan ini juga diperlukan kecermatan peneliti dalam
menggunakannya.
Eklektisitas jelas mengimplikasikan banyak teori. Pertanyaan yang timbul
kemudian, berapa buahkah teori yang diperlukan, teori yang tercantum secara
eksplisit dalam proposal? Dalam hubungan ini justru dengan adanya proses eklektik,
maka tidak diperlukan banyak teori, melainkan cukup hanya satu teori, yaitu teori
yang secara eksplisit tercantum dalam kerangka teori sebab akan digandakan dalam
proses penelitian selanjutnya. Analisis antropologis terhadap puisi-puisi Rendra,
misalnya, dengan menggunakan teori semiotika, dengan adanya kekayaan aspek-
aspek kultural di dalamnya, maka secara tidak langsung akan memerlukan teori-
teori lain, seperti: resepsi, interteks, mitologi, religi, dan sebagainya. Benar, teori
semiotika, sebagai teori imperial telah mampu untuk mengungkap keberagaman
aspek-aspek objeknya, tetapi perlu dipahami bahwa kemampuan sejumlah teori
jelas memiliki nilai tambah dibandingkan hanya menggunakan satu teori, lebih-
lebih apabila dikaitkan dengan model penelitian interdisiplin. Kehadiran teori-teori
lain semata-mata sebagai akibat relevansinya terhadap hakikat objek, sebagai akibat
gravitasi objek terhadap proses pengungkapannya secara optimal.
Eklektik dengan demikian tidak membatasi antara teori kritis I dan II, antara

54
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

strukturalisme dan postrukturalisme, bahkan juga teori-teori positivistik. Seperti di


atas, masalah yang perlu ditekankan adalah penggunaan teori makro yang secara
eksplisit tercantum dalam kerangka penelitian sebab di sinilah terletak kemampuan
peneliti yaitu dalam memilih teori mana yang paling relevan dalam kaitannya dengan
tujuan penelitian. Sepertti di atas dalam menganalisis karya-karya Chairil Anwar,
Rendra, Panji Tisna, Oka Rusmini, dan sebagainya, dengan adanya ciri-ciri arkhais,
maka diperlukan studi filologi, bahkan mungkin sejarah, psikologi, dan sebagainya.
Chairil Anwar dalam ”Isa” (Deru Campur Debu) demikian juga Rendra dalam
”Ballada Penyaliban” (Ballada Orang-orang Tercinta) memerlukan pemahaman
sistem religi, khususnya agama Kristen untuk menjelaskan makna darah, salib, bukit
Golgota, perempuan (Maria), dan sebagainya. Memahami karya-karya Panji Tisna (Ni
Rawit Ceti Penjual Orang), Oka Rusmini (Tarian Bumi) memerlukan pengetahuan
tentang peranan taksu dalam seni tari, superioritas kedudukan kelompok Brahmana
dalam masyarakat Bali. Penulisan dan dengan demikian pemahaman terhadap karya
sastra dapat dilakukan secara optimal apabila pengarang dan pembaca memiliki
pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek sosial, psikologis, dan kebudayaan
pada umumnya.
Teori hanyalah alat, teori bukan segala-galanya seperti pendapat sejumlah
orang. Oleh karena itulah, fungsi dan manfaatnya tergantung bagaimana
menggunakannya. Penggunaan teori strukturalisme yang kemudian berkembang
menjadi postrukturalisme yang dianggap sebagai teori-teori tercanggih di abad
kontemporer, sama sekali bukan jaminan bahwa suatu penelitian akan berhasil
dengan baik. Kesalahan yang sering terjadi peneliti terlalu banyak mengungkapkan
masalah teori sehingga seolah-olah terlepas dari analisis penelitian secara keseluruhan,
khususnya yang berkaitan dengan objek. Sebaliknya, teori yang digali melalui
penelitian secara langsung, sebagai teori grounded, apabila digunakan secara tepat
akan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu pulalah, sepanjang proses
penelitian diperlukan lima langkah agar hasilnya tercapai dengan baik. Pertama,
bagaimana ketersediaan khazanah teori dalam dunia akademik, penyebarluasannya,
termasuk cara-cara pelayanan yang dilakukan dalam perpustakaan. Kedua,
bagaimana cara memilih, dalam hubungan ini secara eklektik, yaitu teori-teori yang
benar-benar memiliki relevansi yang tinggi terhadap objek. Ketiga, bagaimana
menggunakan teori-teori yang sudah terpilih sehingga benar-benar relevan dengan
hakikat objek. Keempat, bagaimana pembaca dapat memahaminya sehingga masuk
dalam kerangka pemikirannya. Kelima, bagaimana penelitian dapat disebarluaskan,
diaplikasikan pada masyarakat yang berkepentingan.
Pada dasarnya penggunaan teori secara eklektik bukanlah masalah yang baru.
Sesuai dengan hakikat manusia, baik secara subjektif maupun objektif, segala sesuatu

55
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

yang dilakukan akan diperhadapkan pada pemilihan tertentu. Masalah baru yang
ditawarkan dalam hubungan ini adalah kesadaran, bahwa peneliti sedang melakukan
suatu pemilihan, sehingga secara sadar juga menemukan aspek-aspek positif
yang akan dihasilkan. Seperti di atas, bukan canggih dan tidak canggihnya suatu
teori yang akan menentukan kualitas penelitian, melainkan bagaimana pemilihan
dilakukan, eklektisitas itu sendiri. Sebagai model penelitian interdisiplin terakhir
sesudah psikologi sastra dan sosiologi sastra, antropologi sastra akan diperhadapkan
dengan berbagai macam teori, baik positif maupun kritis, baik struktur maupun
postruktur, baik sastra maupun nonsastra, baik makro maupun mikro. Seperti di atas,
pertanyaan sekaligus jawaban yang harus diberikan, bukan semata-mata pada apa
yang dipilih sebab memilih merupakan pekerjaan yang lebih mudah dibandingkan
dengan bagaimana cara menggunakannya. Keberhasilan suatu penelitian ditentukan
melalui proses pemanfaatan tersebut.

3. Penggunaan Metodologi Campuran

Dalam menganalisis karya sastra, baik monodisiplin maupun interdisiplin


metode yang paling banyak digunakan adalah deskriptif analitik dan hermeneutika
yang dianggap memiliki cara kerja yang hampir sama dengan interpretasi,
pemahaman, verstehen, dan model-model penafsiran yang lain. Dalam ilmu sosial
pada umumnya disebut sebagai metode kualitatif, naturalistik (alamiah), studi kasus,
etnografi, etnometodologi, fenomenologi, dan analisis isi, yang secara keseluruhan
dipertentangkan dengan metode kuantitatif. Metode deskriptif analitik digunakan
dengan pertimbangan, pertama, suatu analisis didasarkan atas deskripsi permasalahan
secara keseluruhan. Kedua, deskripsi yang dimaksudkan dilanjutkan dengan analisis
sehingga pada akhirnya menghasilkan suatu simpulan. Hermeneutika (Grondlin,
2007: 48—50) baik sebagai teori maupun metode memiliki sejarah yang panjang.
Secara mitologis hermeneutika berasal dari nama Dewa Hermes, dewa pembawa
pesan Illahi ke dunia. Secara historis hermeneutika sudah ada pada zaman Plato,
tetapi memperoleh makna yang lebih khusus melalui buku Aristoteles yang berjudul
Peri Hermeneias. Meskipun demikian, sebagai istilah dan cara kerja secara ilmiah,
pertama kali digunakan oleh Dannhauer (1654) dalam kaitannya dengan penafsiran
teks klasik, khususnya kitab suci agama Kristen, yaitu Bibel. Satu abad kemudian
(1737) istilah hermeneutika sudah tercantum dalam Oxford English Dictionary.
Masalah utama hermeneutika adalah kemampuan bahasa, sebagai wacana atau
teks. Menurut Palmer (2003: 36) kemampuan yang dimaksudkan sama dengan proses
penerjemahan, di dalamnya terkandung berbagai mediator, seperti: pandangan
dunia, tema, amanat, dan berbagai pengalaman kultural yang lain. Bahkan, menurut

56
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

Palmer penerjemahan merupakan jantung hermeneutika sebab dalam proses tersebut


berperan jarak historis, jarak dan kondisi geografis, perbedaan ras, perbedaan sistem
bahasa, dan berbagai peran-peran sosial yang lain. Atas dasar kerumitan sistem
yang terjadi dalam proses penafsiran di satu pihak, untuk mengatasi proses yang
terjadi secara terus menerus sekaligus menemukan titik pijak dalam setiap langkah
di pihak lain, para filsuf, seperti Ast, Schleiermacher, dan Dilthey, menjelaskannya
melalui teknik- teknik lebih praktis yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik
(hermeneutic circle).
Dengan singkat, analisis terhadap karya sastra lebih tepat dengan menggunakan
penafsiran sebab objek apa pun bentuknya dianggap sebagai bahasa sebagai wacana.
Antropologi sastra jelas terdiri atas sastra dan antropologi. Meskipun demikian
dengan adanya dominasi sastra, bukan antropologi, maka metodenya disesuaikan
dengan sastra itu sendiri. Sama dengan disiplin lain bahkan merupakan cara-cara
yang paling umum, metode dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a) pengumpulan
data, b) analisis data, dan c) penyajian hasil analisis. Masing-masing metode
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: metode pengumpulan terdiri atas metode
pustaka dan lapangan, metode analisis terdiri atas metode kualitatif dan kuantitatif,
metode penyajian hasil analisis terdiri atas metode informal dan formal. Seperti di
atas, setiap metode dibantu dengan teknik dan instrumen masing-masing.
Dalam penelitian terdapat banyak jenis metode. Tetapi dalam kaitannya
dengan istilah metode campuran yang dimaksudkan adalah gabungan antara metode
kuantitatif (kuan) dan metode kualitatif (kual). Seperti di atas metode yang kedua
dianggap memiliki cara kerja yang relatif sama dengan hermeneutika dan berbagai
padanannya. Seperti diketahui pada umumnya metode pertama digunakan dalam
ilmu positivistik, sebaliknya metode kedua untuk ilmu-ilmu sosial humaniora. Melihat
perkembangan pesat peradaban dan kebudayaan manusia yang terjadi sekarang ini, di
dalamnya seolah-olah terjadi ketidakseimbangan antara masalah-masalah jasmaniah
dengan rohaniah, maka perbedaan secara dikotomis dengan model penelitian secara
terpisah-pisah tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, timbul pendapat bahwa ilmu
pengetahuan seharusnya dimanfaatkan demi kebutuhan manusia secara utuh. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap ilmu pengetahuan perlu digabungkan.
Menurut Creswell (2010: 3—4) pada umumnya kedua metode dibedakan
melalui ciri-cirinya yang paling menonjol, seperti kuantitatif dengan menggunakan
hipotesis secara eksplisit, proses pengukuran dengan menggunakan angka-angka,
dan pertanyaan tertutup, sehingga secara keseluruhan disebut sebagai cara-cara
penyajian formal. Sebaliknya, metode kualitatif dengan menggunakan hipotesis
secara implisit dalam keseluruhan penelitian, analisis lebih banyak disajikan melalui
kata-kata, pertanyaan terbuka sehingga secara keseluruhan disebut sebagai cara

57
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

penyajian informal. Creswell tidak sepenuhnya sependapat dengan pernyataan


tersebut. Menurutnya kedua metode pada dasarnya dibedakan melalui asumsi
filosofis, jenis strategi dasar seperti eksperimen dalam penelitian kuantitatif,
studi lapangan dan observasi dalam penelitian kualitatif. Kedua metode dengan
demikian bukan merupakan antitesis atau dikotomi, melainkan semata-mata saling
merepresentasikan hasil akhir yang berbeda, tetapi tetap dalam satu kontinum.
Pada gilirannya penelitian akan lebih kuantitatif atau kualitatif, sehingga metode
campuran berada dalam kontinum tersebut. Creswell (2010: 4—5) pada gilirannya
membedakan ketiga jenis metode sebagai berikut.
1. Metode kuantitatif pada umumnya berfungsi untuk menguji teori tertentu
dengan meneliti hubungan antarvariabel.
2. Metode kualitatif untuk memahami makna yang dianggap berasal dari masalah
sosial kemanusiaan.
3. Metode campuran untuk mengkombinasikan (mixing) antara metode
kuantitatif dan kualitatif dengan melibatkan asumsi filosofis kedua metode.
Penelitian ini lebih dari sekesar menggabungkan, sehingga kemampuannya
lebih besar.

Metode campuran disebut dengan berbagai istilah, seperti: data campuran,


strategi penelitian ganda, metode beragam, metode jamak, dan multimetode,
termasuk triangulasi. Sebagai metode yang relatif baru di satu pihak, ambiguitas
pemaknaan dengan adanya istilah ’campuran’ di pihak lain, metode campuran
jelas menimbulkan berbagai penafsiran, khususnya dalam kaitannya dengan
desain termasuk berbagai sarana penelitain lain. Metode campuran memiliki dua
kemungkinan, pertama, hanya melibatkan metode sehingga disebut sebagai metode
campuran (mixed methods). Kedua, melibatkan semua komponen, seperti: data,
teori, metode, dan berbagai sarana pendukung analisis lainnya, termasuk peneliti,
sehingga disebut sebagai metodologi campuran (mixed methodology). Mengingat
kaitan erat antara berbagai komponen yang dimaksudkan, pada dasarnya sulit bahkan
tidak mungkin semata-mata menggabungkan metodenya. Oleh karena itu, istilah
metodologi campuran dianggap lebih tepat. Kajian metode tunggal jelas dilakukan
melalui paradigma masing-masing yang telah diyakini, sebagai paradigma dominan
sehingga peneliti seolah-olah bekerja secara eksklusif, lepas dari paradigma yang lain.
Sebaliknya metode dan metodologi campuran menggunakan metode kuantitatif
dan kualitatif dengan perangkat yang menyertaninya secara bersama-sama.
Dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, yang lahir
lebih dulu adalah metode kuantitatif. Seperti diketahui metode kuantitatif adalah cara-
cara yang khas digunakan untuk memahami ilmu-ilmu nomotetis, ilmu pengetahuan

58
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

kealaman, yang pada umumnya disebut sebagai paradigma positivistik. Sebaliknya,


metode kualitatif digunakan untuk memahami ilmu-ilmu sosial humaniora yang
dikategorikan sebagai postpositif, ilmu pengetahuan dengan paradigma ideografis.
Secara historis ilmu kealaman telah berkembang sejak Abad Renaissance hingga
sekarang. Tetapi awal abad ke-20 terjadi pergeseran paradigma yaitu dari positivistik
itu sendiri ke postpositivistik. Bahkan selama hampir dua dekade, tahun 1980-an
hingga 1990-an terjadi ’perang paradigma’, di dalamnya masing-masing paradigma
mencoba mempertahankan argumentasinya.
Perkembangan paradigma dan berbagai bentuk pendekatan menyangkut
pemberian hak terhadap ilmu-ilmu sosial humaniora yang semula selalu bersifat
komplementer. Artinya, dalam masyarakat kontemporer mulai terjadi pergeseran
sudut pandang bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh keseimbangan
antara kebutuhan jasmani dan rohani yang dengan sendirinya harus diikuti adanya
keseimbangan antara penelitian ilmu-ilmu kealaman dengan ilmu sosial humaniora.
Di antara berbagai bentuk sarana penelitian teorilah yang mengalami perkembangan
paling dinamis. Sejak ditemukannya teori-teori struktur awal abad ke-20, secara silih
berganti lahir teori-teori baru. Struktur itu sendiri berkembang menjadi struktur
dinamik, struktur genetik, struktur fungsi, struktur semiotika, dan postruktur.
Teori terakhir inilah yang berkembang sangat pesat, bahkan hampir setiap tahun
melahirkan teori baru, seperti: resepsi, interteks, feminis, postkolonial, dekonstruksi,
dan sebagainya. Dalam ilmu humaiora yang lain tentu terjadi perkembangan yang
berbeda, dengan teori-teori yang berbeda, seperti: teori komodifikasi, teori praktik,
teori kekuasaan, dan sebagainya. Perkembangan lain membedakan antara teori positif
dan kritis, kemudian teori kritis itu sendiri dibedakan menjadi teori kritis I dan II.
Teori terakhir inilah, teori kritis II yang disamakan dengan prostrukturalisme. Secara
sederhana perkembangan yang dimaksudkan dapat dilukiskan sebagai berikut.
1. Teori-teori positivisme
2. Teori-teori postpositivisme
a) Teori kritis I-------------Teori-teori strukturalisme
b) Teori kritis II----------- Teori-teori postrukturalisme

Menurut Creswell (2010: 21) kecenderungan untuk mencampur metode-


metode yang berbeda mulai diperkenalkan oleh Campbell dan Fiske (1959) dengan
istilah metode jamak (multimethods), pendekatan jamak (multiple approaches).
Meskipun demikian, sampai saat ini buku-buku teks yang berkaitan dengannya belum
banyak. Di Indonesia diawali dengan terbitnya sebuah buku terjemahan karangan
Julia Brannen berjudul Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif
(1997). Tahun 2010 Pustaka Pelajar menerbitkan tiga buku terjemahan masing-

59
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

masing berjudul Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed


(John Creswell), Mixed Methodology: Mengombinasikan Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif (Abbas Tashakkori dan Charles Teddie), dan Handbook of Mixed
Methods in Social & Behavioral Research (Abbas Tashakkori dan Charles Teddie
(eds.). Penggunaan metode campuran masih menimbulkan perdebatan, khususnya
pada ilmu-ilmu interdisiplin seperti kajian budaya yang pada awalnya masih bertahan
untuk semata-mata menggunakan metode kualitatif. Tetapi kemudian disadari bahwa
kedua metode dapat digunakan secara bersama-sama dan penelitian sementara
menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh lebih lengkap. Intersisiplin, termasuk
antropologi sastra justru lebih tepat menggunakan metode campuran.
Apabila diperhatikan secara sungguh-sungguh perbedaan antara kedua
metode semata-mata bersifat teoretis. Dalam pelaksanaannya, baik pada saat
pengumpulan dan analisis data, maupun penyajian analisis keduanya tidak bisa
dipisahkan. Dikaitkan dengan manusia sebagai peneliti, perbedaan yang terjadi
semata-mata sebagai akibat arogansi masing-masing pakar, besar kemungkinan
dalam rangka untuk melakukan semacam pemurnian metode. Menurut Tashakkori
dan Teddie (18—19) perbedaan pendapat antara kedua metode merupakan akibat
kesalahpahaman antara keduanya, misalnya, antara kekuatan dan kelemahan masing-
masing metode. Dalam kenyataannya, disadari atau tidak model penggabungan,
dengan memberikan intensitas terhadap salah satu bidang sudah biasa dilakukan,
bahkan sudah mempengaruhi berbagai kebijakan.
Tidak ada penelitian yang murni dilakukan menurut kaidah-kaidah kuantitatif,
demikian juga sebaliknya secara murni kualitatif. Penggunaan teknik triangulasi dan
eklektik, misalnya, tidak jauh berbeda dengan metode campuran. Seperti diketahui
triangulasi (Erzberger dan Kelle, 2010: 411—412; Tashakkori dan Teddie, 2010: 68)
adalah istilah yang sudah biasa digunakan dalam bidang navigasi dan suvai tanah,
sebagai hukum trigonometri, misalnya, untuk menghitung sudut dan sisi dari sebuah
segi tiga. Sejak tahun 1950-an istilah yang dimaksudkan diadopsi dalam penelitian
ilmu-ilmu sosial yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Denzin dengan
membedakannya menjadi empat tingkatan, yaitu: triangulasi data, peneliti, teori,
dan triangulasi metode itu sendiri.
Perkembangan paradigma, pendekatan, teori, dan metode menandai dinamika
ilmu pengetahuan. Sebaliknya dapat dikatakan, apabila tidak terjadi perubahan-
perubahan, baik secara intrinsik dalam struktur ilmu pengathaun maupun ekstrinsik
sebagai akibat perkembangan masyarakat pendukungnya, justru menunjukkan
terjadinya stagnasi, involusi, bahkan kemunduran dalam arti seluas-luasnya. Dengan
membandingkan jumlah sumber daya manusia, sekitar dua ratus juta lebih, dengan
jumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, termasuk sebarannya di seluruh

60
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

tanah air, secara kasar dapat disebutkan, khususnya sejak dicapainya kemerdekaan
pertengahan abad ke-20, perkembangannya masih belum memadai. Kenaikan
anggaran pendidikan menjadi 20% juga belum berhasil menopang perkembangan
tersebut.
Dengan menggabungkan antara pendapat Creswell (2010: 22—23) dan
Tashakkori dan Teddie (2010: 28) desain metode campuran dapat dibedakan menjadi
lima macam, sebagai berikut.
1. Kajian secara berurutan, penelitian dilakukan secara terpisah, peneliti
mula-mula melakukan penelitian kuantitatif kemudian ke kualitatif, atau
sebaliknya.
2. Kajian sejajar atau bersamaan, kedua metode dilakukan secara bersama-
sama.
3. Kajian transformatif, prosedur analisis dengan terlebih dulu melakukan kajian
secata teoretis sehingga sebelum dianalisis data seolah-olah telah mengalami
perubahan bentuk.
4. Kajian domain dan kurang domain, penelitian di dalamnya paradigma dominan
dibantu oleh paradigma yang kurang dominan, sebagai desain alternatif.
5. Pendekatan beragam tingkatan, yaitu dengan menggunakan metode yang
berbeda pada berbagai macam tingkatan.

Di antara kelima cara yang ditawarkan di atas, cara pertama dianggap tidak
mungkin dilakukan sebab seolah-olah akan menghasilkan dua penelitian dengan
hasil yang sama. Keempat cara berikut dapat dilakukan dengan kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, tergantung dari tujuan penelitian. Sesuai dengan
pendapat Tashakkori dan Teddie (2010: 6-2—603), dengan mempertimbangkan
kelemahan sekaligus kekuatan masing-masing metode, demikian juga perkembangan
lebih lanjut interdisiplin, khususnya antropologi sastra, paling sedikit terkandung
tiga manfaat metode campuran, yaitu:
a) menjelaskan permasalahan yang belum terjawab dalam metode tunggal,
b) menghasilkan simpulan yang lebih baik sekaligus lebih lengkap,
c) memberikan kesempatan untuk menampilkan berbagai sudut pandang yang
dengan sendirinya memiliki jangkauan lebih luas.

4. Peranan Peralatan Penelitian yang Lain

Teori, metode, teknik, instrumen, dan peralatan penelitian yang lain, termasuk
peneliti dan objek penelitian berkaitan erat, setiap komponen berada dalam posisi
yang saling mementukan, saling mempengaruhi. Sebagai sarana penelitian pada

61
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

umumnya dua komponen pertamalah yang paling banyak memperoleh perhatian


sebab dianggap sebagai komponen yang menentukan hasil suatu penelitian. Tetapi,
dalam kenyataannya, yang secara langsung dihadapi adalah dua komponen berikut,
yaitu teknik dan instrumen. Pemahaman terhadap keseluruhan komponen yang
dimaksudkan akan memerlukan banyak waktu dan tenaga. Tetapi apabila dilakukan
dengan sungguh-sungguh diharapkan akan memberikan hasil yang memuaskan.
Dalam penelitian pustaka, khususnya sastra, pemahaman dan dengan demikian
proses analisis terhadap objek seolah-olah dapat dilakukan secara langsung, yaitu
dengan membaca puisi, novel, drama, dan sebagainya. Cara-cara analisis seperti
ini perlu disempurnakan, pertama dari segi pengumpulan korpus data, kedua dari
segi teknik dan instrumen itu sendiri. Puisi, novel, drama, dan bentuk-bentuk karya
tulis lainnya adalah objek material, sebagai bahasa, sedangkan yang akan dianalisis
adalah objek formalnya, sebagai wacana. Puisi karya Rendra, Chairil Anwar, novel
karya Marah Rusli, Armijn Pane, dan sebagainya terlebih dahulu harus dipilah-pilah,
dimasukkan ke dalam sistem kartu data, dengan memberikan label tertentu sesuai
dengan tujuan penelitian. Kartu-kartu data yang juga disebut sebagai korpus data
inilah yang dianalisis, yaitu dengan menggunakan metode tertentu.
Dalam interdisiplin, khususnya antropologi sastra penelitian terhadap karya
sastra tidak semata-mata menggunakan metode pustaka, tetapi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode lapangan, tergantung dari model penelitian. Lebih-
lebih dalam kaitannya dengan interdisiplin, dalam hubungan ini antropologi sastra.
Seperti diketahui, dalam bidang antropologi penelitian lapangan merupakan satu-
satunya pilihan dalam rangka memperoleh data. Konsekuensi logis yang ditimbulkan
dalam antropologi sastra adalah dimanfaatkannya penelitian lapangan, sebagai
metode sekunder dalam rangka menopang perolehan data secara optimal. Analisis
terhadap novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli) perlu dilengkapi dengan melakukan
penelitian lapangan, melalui observasi dan wawancara dalam kaitannya dengan
keberadaan kuburan Sitti Nurbaya yang terletak di sebuah gua di puncak Gunung
Padang. Konon, kuburan tersebut dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan
bahkan dijadikan tempat untuk bersemadi dalam rangka memperoleh suatu tujuan.
Seperti diketahui, novel Sitti Nurbaya jelas merupakan karya fiksi, terbit tahun 1922,
tetapi dalam kenyataannya masyarakat Padang memberikan apresiasi justru melalui
bentuk nyata, yaitu kuburan dalam bentuk fisik. Kasus yang sama juga terjadi pada
manifestasi benda-benda fisik yang dianggap sebagai peninggalan tokoh mitologi
Malin Kundang demikian juga Sang Kuriang (Sunda) dan Jayaprana dan Layonsari
(Bali).
Seperti juga teori, tidak ada metode yang siap pakai, tidak ada cara-cara
yang dapat dianggap sebagai bersifat universal sehingga dapat digunakan untuk

62
Antropologi Sastra: Penggunaan Teori dan Metode Secara Eklektik dan Metodologi Campuran
Nyoman Kutha Ratna

menganalisis semua bidang ilmu. Teori dan metode yang terbaik adalah cara-cara yang
sesuai dengan ciri-ciri objeknya. Hubungan bermakna antara ’apa’ yang dianalisis
dengan ’bagaimana’ cara menganalisisnya inilah yang berhasil untuk menampilkan
penelitian yang berkualitas.

5. Simpulan

Sebagai alat, teori dan metode, demikian juga berbagai prasarana yang
menyertainya, seperti teknik dan instrumen merupakan komponen-komponen
utama dalam penelitian. Objek penelitian, meskipun penting dan berharga, apabila
dianalisis dengan peralatan yang tidak tepat tidak akan memberikan hasil secara
optimal. Dalam banyak hal terjadi bahwa objek yang sederhana, bahkan mungkin
dilupakan orang, apabila dianalisis dengan cara-cara yang tepat akan menghasilkan
penelitian yang baik. Peralatan yang relevan berhasil untuk mengungkap dimensi-
dimensi objek tersembunyi yang selama ini belum memperoleh perhatian. Proses
analisis pada gilirannya hampir sama dengan proses kreatif, kualitas yang dihasilkan
tergantung ’bagaimana’ cara mengungkapkan, bukan ’apa’ yang diungkapkan.
Sebagai disiplin baru, belum teruji kebenarannya, baik secara ontologis dan
epistemologis maupun aksiologis, bahkan belum diakui keberadaannya, maka
teori dan metode antropologi sastra pada dasarnya belum ada. Tetapi sebagai salah
satu pendekatan interdisiplin yang dianggap memiliki sejumlah persamaan bahkan
dikondisikan melalui keberadaan psikologi sastra dan sosiologi sastra, maka dari
segi teori dan metode, termasuk teknik dan instrumennya sebagian besar disamakan
dengan kedua disiplin, bahkan dengan ilmu-ilmu sosial humaniora yang lain. Sebagai
alat, sebuah teori dan metode, khususnya teori-teori yang dikategorikan sebagai
telah teruji keterandalannya, seperti strukturalisme dan semiotika, dapat digunakan
untuk menganalisis objek disiplin yang berbeda-beda.

Daftar Pustaka

Cresswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Erszberger, Christian dan Udo Kelle. 2010. ”Menarik Kesimpulan dalam Metode
Campuran: Aturan Integrasi” (dalam Handbook of Mixed Methods in
Social & Behavioral Research, Abbas Tashakkori dan Charles Teddies, eds.,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 410—437).
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.

63
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 • Februari 2012

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Poyatos, Fernando. 1988. ”Introduction: the Genesis of Literary Anthropology”
(dalam Literary Anthropology: a New Interdisciplinary Approach to People,
Signs, and Literature, Fernando Poyatos, ed., Amsterdam: John Benjamins
Publishing Company, hlm. xi—xxiii).
Runes, Dagobert D. (ed.). 1959. Treasury of World Philosophy. New Jersey:
Littlefield, Adams & Co. Paterson.
Tashakkori, Abbas dan Charles Teddie. 2010. Mixed Methodology: Mengombinasikan
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitattif. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1962. Theory of Literature. New York: A Harvest
Book Harcourt, Brace & World, Inc.

64

Anda mungkin juga menyukai