Anda di halaman 1dari 32

Short Case

SIROSIS HEPATIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik

di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Bari Palembang

Oleh:
Rovania Yantinez Quardetta 04084821921157
Bhagatdeep Kaur Kaur Singh 04084821921165

Pembimbing:
dr. Masdianto Musa, Sp.PD., KAI., FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BARI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah
dan rahmat-Nya penulis mendapat kesempatan untuk menyelesaikan studi kasus
dengan judul “Sirosis Hepatis”. Kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas ilmiah
yang diberikan sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian
kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Sriwijaya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Masdianto Musa, Sp.PD., KAI., FINASIM, selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga studi kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3


2.1. Definisi ....................................................................................................3
2.2. Epidemiologi ..........................................................................................3
2.3. Etiologi ....................................................................................................4
2.4. Klasifikasi ...............................................................................................5
2.5. Faktor Risiko .........................................................................................6
2.6. Manifestasi Klinis ..................................................................................8
2.7. Patofisiologi ............................................................................................9
2.8. Pemeriksaan Penunjang .....................................................................10
2.9. Penegakkan Diagnosis .........................................................................11
2.10. Tatalaksana ........................................................................................12

BAB 3 STATUS PASIEN ....................................................................................19


3.1. Identifikasi Pasien ...............................................................................19
3.2. Anamnesis ............................................................................................19
3.3. Pemeriksaan Fisik ...............................................................................20
3.4. Pemeriksaan Penunjang .....................................................................22
3.5. Diagnosis ...............................................................................................24
3.6. Diagnosis Banding ...............................................................................24
3.7. Pemeriksaan Anjuran .........................................................................24
3.8. Tatalaksana ..........................................................................................24
3.9. Prognosis ..............................................................................................25

BAB 4 ANALISIS KASUS ..................................................................................26


DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium


akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis
hepatoselular. Lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatik dan kebanyakan
ditemukan saat pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.1
Secara global, tingkat kematian akibat sirosis meningkat dari 676.000 jiwa
pada tahun 1980 menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2010. Mesir, diikuti oleh
Moldova memiliki tingkat mortalitas tertinggi yaitu 72,7 dan 71.2 per 100.000
penduduk, sedangkan Islandia memiliki tingkat mortalitas paling rendah. Di
Amerika Serikat, sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan dan
menyumbang angka kematian 1,2% dari seluruh total kematian. Sebanyak 35.000
kematian terjadi pertahun di Amerika Serikat. Lain halnya di Indonesia, tingkat
mortalitasnya sebesar 27 per 100.000 penduduk. Data yang dilaporkan dari RS.
Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan jumlah pasien sirosis hari berkisar 4,1%
dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun
(2004). Kebanyakan pasien meninggal pada usia dekade ke 5 dan ke 6 dengan
perbandingan pria dan wanita yaitu 2:1.1,2,3
Penyebab sirosis hepatis dapat berupa infeksi seperti virus hepatitis,
penyakit herediter dan metabolic seperti defisiensi α1-antitripsin, penyakit
Wilson, hemokromatosis, akibat obat dan toksin seperti alcohol, amiodaron dan
obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik serta sirosis bilier primer.
Gejala klinis yang ditimbulkan berupa mudah lelah, berat badan menurun,
anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ikterus, muntah darah, warna urine gelap,
melena. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar. Gejala yang ditimbulkan ini tentunya menurunkan kualitas hidup
penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas seperti biasa.4,5
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.

1
Pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan
hidup tidak lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi
seorang dokter agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis
sehingga angka kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran
ini terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular.4

2.2. Epidemiologi
Sirosis hepar mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya
di Amerika.5 Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada
penderita berusia 45-46 tahun setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Di
seluruh dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita
SH lebih banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionnya sekitar
1,5:1. Umur rata-rata penderitanya golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Penyebab terbanyak yaitu penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia
data prevalensi sirosis hepatis menunjukkan pria lebih banyak menderita
sirosis dari wanita (2–4:1). Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis
hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis
adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.Di
Asia Tenggara, penyebab utama SH adalah hepatitis B (HBV) dan C (HVC).
Angka kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-
46,9% dan hepatitis C 38,7-73,9%.4

3
2.3. Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas
penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hepar kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan
dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain
dari penyakit hepar kronis diantaranya adalah infestasi parasit
(schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel
bilier, penyakit hepar bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease,
kondisi inflamasi kronis (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan
hipervitaminosis A), dan kelainan vaskular, baik yang didapat ataupun
bawaan.2 Komplikasi sirosis pada dasarnya tidak terlepas dari etiologi.
Meskipun demikian, hal ini berguna untuk mengklasifikasikan pasien dengan
penyebab penyakit liver yang diderita.3

Tabel 1. Penyebab SH4


Penyebab Sirosis Hepatis
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/ atau tanpa hepatitis D
Steato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan
dengan DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner,
pemakaian obat kortikosteroid
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hemokromatosis
Penyakit wilson
Defisiensi Alpha 1- antitrypsin
Sirosis kardiak
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat obat atau toksin
Infeksi parasit tertentu (Schistomiasis)

4
2.4.Klasifikasi
Secara klinis sirosis hepar dibagi menjadi:6
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.

Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya


nodul, yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar
atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler
atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk
karena banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutritional cirrhosis, atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi
sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis.
Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam
stadium sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat
pembagian tingkatan sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini
sesuai dengan konsensus Baveno IV, dimana klasifikasi sirosis hepatis
ini berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites

5
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis
dekompensata.15

2.5.Faktor Risiko
Penyebab pasti dari sirosis hepar sampai sekarang belum jelas, tetapi
sering disebutkan antara lain:6
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor
gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hepar. Dari
hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hepar di
Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian
makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani, dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hepar yang berpenghasilan rendah, yang
digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar,
mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah.
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab sirosis hepar, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit
hepar kronis, maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosa sel hepar sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah
dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan
untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan
perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.

6
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hepar secara akut dan kronis. Kerusakan hepar akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan
kronis akan berupa sirosis hepar. Zat hepatotoksik yang sering disebut-
sebut ialah alcohol.
Tumbuhan obat seringkali terkontaminasi oleh berbagai cendawan,
yang akan mengakibatkan pembusukan dan memproduksi mikotoksin.
Beberapa tumbuhan obat yang dipakai sebagai bahan campuran jamu di
Malaysia dan Indonesia (seperti jahe, kunyit, kencur, kayu rapat,
sambiloto, dll), dideteksi mengandung aflatoksin. Aspergillus flavus, A.
parasiticus.7
Infeksi Hepatitis B kronis dan paparan aflatoksin (AFB1) berperan
dalam terjadinya Hepatocellular carcinoma (HCC) di negara-negara
berkembang. 4,6-28,2% dari semua kasus HCC mungkin disebabkan
paparan AFB1. Apalagi jika individu yang terkena virus hepatitis B
kronis (HBV) dan AFB1 bersama-sama, risiko kanker menjadi lebih
serius melalui peningkatan risiko 30 kali lebih besar.8
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-
orang muda dengan ditandai sirosis hepar, degenerasi basal ganglia dari
otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan
disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi
bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan
hepar.
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua
kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:

1. Sejak dilahirkan penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.

7
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hepar alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hepar.
f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hepar terjadi sekunder terhadap
reaksi dan nekrosis sentrilobuler
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran
empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini
lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepar yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
4. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan
sirosis 40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40 %.
sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini
kelompok virus yang bukan B atau C.

2.6.Manifestasi Klinis

Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala


kegagalan hati ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang
masih berjalan bersamaan dengan sirosis hati yang telah terjadi dalam proses
penyakit hati yang berlanjut sulit dibedakan hepatitis kronik aktif yang berat
dengan permulaan sirosis yang terjadi.

- Fase kompensasi sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak fit, merasa kurang
kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan
otot dan perasaan cepat lelah akibat deplesi protein. Keluhan dan gejala

8
tersebut tidak banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa
sirosis hati dan tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati.

- Fase dekompensasi

Pasien sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan


diagnosisnya dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi portal dengan manifestasi seperti
eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus, edema pretibial dan asites. Ikterus dengan air kemih berrwarna
teh pekat mungkin disebabkan proses penyakit yang berlanjut atau
transformasi kearah keganasan hati, dimana tumor akan menekan
saluran empedu atau terbentuknya thrombus saluran empedu
intrahepatik. Bisa juga pasien datang dengan gangguan pembekuan
darah seperti epistaksis, perdarahan gusi, gangguan siklus haid, atau
siklus haid berhenti. Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis
dan melena, atau melena saja akibat perdarahan varises esofagus.
Perdarahan bisa masif dan menyebabkan pasien jatuh kedalam renjatan.
Pada kasus lain sirosis datang dengan gangguan kesadaran berupa
ensefalopati hepatik sampai koma hepatik. Ensefalopati bisa akibat
kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut atau akibat perdarahan varises
esofagus. (9, 10, 11)

2.7. Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-reversibel pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai
makronodul. Hal ini disebabkan oleh adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya
jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi
jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intra hepatik antara

9
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena
hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya.18
Sirosis hepatis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis),
sesuai dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini,
perubahan tersebut masih sepenuhnya reversibel. Ciri patologis dari sirosis
adalah pengembangan jaringan parut yang menggantikan parenkim normal,
memblokir aliran darah ke portal melalui organ dan mengganggu fungsi organ
normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel
yang biasanya menyimpan vitamin A dalam pengembangan sirosis. Kerusakan
parenkim hepar menyebabkan sel stellata menjadi kontraktil (miofibroblast)
dan menghalangi aliran darah dalam sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TFG-β1
yang mengarah pada respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Selain itu,
juga mengganggu keseimbangan antara matriks metalloproteinase dan
inhibitor alami (TIMP 1dan 2) yang menyebabkan kerusakan matriks. Pita
jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosit yang pada akhirnya
menggantikan arsitektur seluruh hepar yang berujung pada penurunan aliran
darah di seluruh hepar. Limpa menjadi terbendung mengarah ke
hipersplenisme dan peningkatan sekuesterasi platelet. Hipertensi portal
bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah sirosis.12

2.8.Pemeriksaan Penunjang9
• Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer,


hipokrom mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat
splenomegali dengan leukopenia dan trombositopenia.

2. Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan


petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati.
Kenaikan kadarnya didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel
yang mengalami kerusakan. Peninggian kadar gamma GT sama
dengan transaminase, ini lebih sensitif tetapi kurang spesifik.
Pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat

10
pada sirosis inaktif.

3. Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin


merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.

4. Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan
turun.

5. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan


pembatasan garam dalam diet.

6. Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan


fungsi hati. Pemberian Vit. K parenteral dapat memperbaiki masa
protrombin.

7. Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.

8. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg/HBsAb,


HBeAg/HBeAb, HBV DNA, HCV RNA.

Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi


transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer.

• Pemeriksaan fisik.

Terdapat pembesaran hati pada awal sirosis, pembesaran limfe, pada


perut terdapat vena kolateral dan asites, spider naevi/kaput medusa,
eritema palmaris.

• Pemeriksaan penunjang lainnya.

Esofagoskopi, USG, CT-Scan, ERCP, Angiograf.

2.9.Penegakkan Diagnosis9, 10
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan
fisik, laboratorium, USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi
hati.

11
Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosa
sirosis hati diantaranya :

1. Splenomegali
2. Asites
3. Edema pretibial
4. Laboratorium khususnya albumin
5. Tanda kegagalan berupa eritema palmaris, spider naevi, vena
kolateral.

Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah ini


sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises
4. Albumin yang merendah
5. Spider naevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral.

2.10. Tatalaksana
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:
1. Sirosis hati kompensata
2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.
Penanganan SH kompensata ditunjukkan pada penyebab hepatitis kronis.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak
semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia
Tenggara penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis
bisa diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan
preparat analog nukleosida jangka panjang. Preparat nukelosida analog ini
juga bisa diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain

12
penanganan untuk komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis
diberikan preparat interferon. Namun pada SH dekompensata pemberian
preparat interferon ini tidak direkomondasikan.18

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa : 19,20


1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih
baik dalam penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet
rendah garam I (jika asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang
telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi
induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung
berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg)
yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4
minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu
selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti.19,20

13
1) Asites
2) Spontaneous bacterial peritonitis
3) Hepatorenal syndrome
4) Perdarahan karena pecahnya varises esofagus
5) Ensefalopati Hepatikum

Asites
Penyebab ascites yang banyak pada SH adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal
yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan
ascites yaitu tirah baring, diet rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram
atau 90 mmol/hari. Bila tidak berhasil dapat dikombinassikan dengan
spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan adanya
penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa edema dan 1 kg/hari bila ada edema.
Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40mg/hari dengan dosis maksimal 160 mg/hari.
Parasintesis dilakukan bila ascites sangat besar. Pengeluaran ascites sampai 3-6
liter perlu diserti dengan pemberian albumin.4
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan
asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa
opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C, Protrombin <
40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3
mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. 19,20

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)


Peritonitis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering
terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa

14
adanya fokus infeksi intraabdominal. Pada penderita SH dan asites berat,
frekuensi SBP berkisar 30 % dan angka mortalitas 25%. Escheria coli
merupakan bakteri usus yang sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram
positif seperti Streptococcus viridians, Staphylococcus amerius bisa
ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites
ditemukan angka sel netrofil > 250/mm3. Untuk penanganan SBP diberikan
antibiotika golongan sefalosporin generasi kedua atau cefotaxim, dengan dosis
2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.4

Hepatorenal Syndrome19,20
Kriteria Mayor Kriteria Mayor
Penyakit hati kronis dengan asites Volume urin< 1liter / hari
Rendahnya glomerular fitration rate Sodium urin < 10 mmol/liter
(GFR)
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
Creatine clearance (24 hour) < Osmolaritas urin>osmolaritas plasma
4,0ml/menit
Absence of shock, severe infection, Konsentrasi serum sodium < 13 mmol
fluid losses and Nephrotoxic drugs / liter
Proteinuria < 500 mg/day
No improvement following plasma
volume expansion

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa


kelainan organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini
sering dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter. Sindroma hepatorenal
tipe 1 diandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens
kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan
filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe ini lebih baik
prognosisnya daripada tipe 1. Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan
transplantasi hati. Belum banyak dengan pemberian preparat somatostatin,

15
terlipressin. Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia
pada penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus
albumin.4

Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus


Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian obat
golongan beta blocker (propranolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi
perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi dengan cairan
kristaloid/koloid/penggantian produk darah. Untuk menghentikan perdarahan
digunakan preparat vasokonstriktor splanchnic, somatostatin atau ocreotide.
Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 mikrogram/h dengan infus
kontinu. Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises. Tindakan endoskopi
terapetik dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang. Transjugular
intrahepatic portosistemic (TIPS) dan pembedahan shunt bisa dilakukan namun
sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.4

Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati
hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal sistemik shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan
sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya EH
diantaranya injeksi, perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit, pemberian obat-
obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah ataupun menangani
faktor-faktor presipitasi, EH dapat diturunkan risikonya. Di samping itu
pemberian laktulosa, neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi mukosa usus)
cukup efektif mencegah terjadinya EH.4

16
Tabel 2. Tatalaksana Sirosis hepatis hati dengan komplikasi4

Komplikasi Terapi Dosis

Asites  Tirah baring  5,2 gram atau 90


 Diet rendah garam mmol/hari
 Obat antidiuretik :  100-200 mg sekali
Spironolakton, bila respons sehari maksimal 400 mg
tidak adekuat dikombinasi  20-40mg/hari maksima
Furosemid 160 mg/ hari
 Parasintesis bila asites sangat  8-10 g IV per liter
besar, hingga 4-6 Liter dan cairan parasintesis jika
dilindungi pemberian albumin >5 L
 Retriksi cairan


Direkomendasikan jika
natrium serum kurang
120-125mmol/L
Ensefalopati  Laktulosa  30-45 mL sirup oral 3-4
hepatikum kal/hari atau 300 mL
enema sampai 2-4 kali
BAB/hari dan perbaikan
status mental
 4-12 goral/hari dibagi 6-
8 jam; dapat
 Neomisin ditambahkan pada
pasien yang refrakter
laktulosa
Varises  Propranolol  40-80 mg oral 2
esofagus  Isosorbid mononitrat kali/hari
 Saat perdarahan akut diberikan  20 mg oral 2 kali/ hari
somtatostatin atau okreotid
diteruskan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
Peritonitis  Pasien asites dengan jumlah sel
Bakterial PMN >250/mm3 mendapat
Spontan profilaksis untuk mencegah PBS
dengan Sefotaksim dan Albumin
 Albumin
 Norflokasin
 Trimethoprim/Sulfamethoxazole
 2 g IV tiap 8 jam
 1,5 g per Kg IV dalam 6
jam, 1 g per kg IV hari ke
3

17
 400 mg oral 2 kali/hari
selama 7 hari untuk
perdarahan
gastrointestinal, 400 mg
ral per hari untuk
profilaksis
 1 tablet oral/hr untuk
profilaksis, 1 tabet oral 2
kali/hr selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal
Sindrom Transjugular intrahepatic
hepatorenal portosystemic shunt efektif
(HRS) menurunkan hipertensi porta dan
memperbaiki HRs, serta
menurunkan perdarahan
gastrointestinal. Bila terapi medis
gagal dipertimbangkan untuk
transplantasi hati merupakan terapi
definitif

18
BAB 3

STATUS PASIEN

3.1. IDENTIFIKASI PASIEN


a. Nama : Ny. AMNH
b. Umur : 64 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
f. Alamat : Lr. Pedatuan Darat RT 011 RW 003, 12 Ulu, Palembang
g. No. Rekam Medis : 54.29.97
h. Tgl masuk RS : 13 Mei 2019

3.2. ANAMNESIS
(Dilakukan autoanamnesis pada 17 Mei 2019 pukul 13.00 WIB)

Keluhan Utama
Muntah darah hitam sejak ±4 jam SMRS
Keluhan Tambahan
BAB cair bewarna hitam sejak ±4 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
±11 bulan SMRS pasien mengeluh muntah hitam sebanyak 3 kali dengan
banyak ±1 mangkok, mual ada, BAB cair bewarna hitam ada, BAB bercampur
darah segar sebanyak 3x, demam tidak ada, batuk tidak ada. Pasien mengeluh nyeri
ulu hati dan perut membesar, diikuti dengan bengkak pada kedua kaki, BAK biasa.
Pasien langsung di bawa ke IGD. Pasien di diagnosis memiliki masalah pada hati
dan sudah di transfusi 2 kantong.
±7 bulan SMRS pasien mengeluh muntah hitam sebanyak 1 kali dengan
banyak ±1 mangkok, mual ada, BAB cair tidak ada, BAB bewarna hitam ada,
sebanyak 1x, demam tidak ada, batuk tidak ada. Pasien langsung di bawa ke IGD.
Pasien dirawat dan di transfusi 3 kantong.
±4 jam SMRS pasien mengeluh muntah hitam sebanyak 3 kali dengan banyak
±1/2 mangkok, mual ada, BAB bewarna hitam ada, sebanyak 3x, nyeri ulu hati ada,

19
nafsu makan menurun ada, demam ada, lemas ada, pandangan berkunang ada.
Pasien mengaku perut semakin membesar dan diikuti dengan bengkak pada kedua
kaki. Batuk tidak ada, sesak tidak ada. Pasien langsung di bawa ke IGD RSUD Bari
Palembang. Pasien di rawat dan di transfusi 3 kantong.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit hipertensi ±11 bulan SMRS
- Riwayat kencing manis ±11 bulan SMRS
- Riwayat sakit kuning tahun 1977
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat operasi hemoroid tahun 2014

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat minum jamu disangkal
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat minum alkohol (-)
- Riwayat menggunakan narkoba suntik (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama
- Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal
- Riwayat kencing manis pada keluarga disangkal
- Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit kuning pada keluarga disangkal

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 30 April 2019)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 160/100 mmHg
4. Nadi : 96 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
5. Pernapasan : 26 x/menit, regular, abdominotorakal

20
6. Suhu tubuh : 36,2oC
7. Berat badan : 60 kg
8. Tinggi badan : 160 cm
9. IMT : 23,4 kg/m2
10. Status gizi : Normoweight

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam-putih, alopesia (-)
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
exophthalmus (-), pupil bulat, isokor, diameter 3mm, refleks cahaya (+/+)
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang, sekret
(-), epistaksis (-),
4. Mulut
Bibir tidak kering, pucat (+), sianosis (-), sariawan (-), cheilitis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil (+), tremor lidah (-), tonsil T1-T1,
faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus eksterna lapang, keluar
cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
7. Thoraks
Inspeksi: Simetris, spider nevi (-).
Paru
 Inspeksi : statis dan dinamis, simetris kanan = kiri, sela iga melebar (-/-),
retraksi dinding dada (-/-)
 Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-), batas paru-hepar ICS
VI, peranjakan 1 sela iga
 Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

21
Jantung
 Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
 Perkusi : batas jantung atas ICS II linea parasternalis sinistra
batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra
batas jantung kiri ICS V midclavicularis sinistra
 Auskultasi : HR= 96x/menit, , BJ I&II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : cembung, venektasi (-), caput medusae (-), striae (+)
 Palpasi : tegang, hepar dan lien sulit dinilai, nyeri tekan epigastrium
(+), ginjal sulit dinilai (-)
 Perkusi : timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
9. Genitalia : tidak diperiksa
10. Ekstremitas :akral hangat (+), palmar eritem (-), ujung jari pucat (+), pitting
edema (+), sianosis(-), clubbing finger (-), koilonikia (-), CRT
<2 detik

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (13 Mei 2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
1 Hemoglobin 7,8 12 – 14 g/dL Menurun
2 Eritrosit 2,4 4 - 4,5 x 106/uL Menurun
3 Leukosit 7,3 5 – 10 x 103/uL Normal
4 Trombosit 109 150 – 400 x 103/uL Menurun
5 Hematokrit 23 37 – 43% Menurun
6 Hitung jenis
Basofil 0 0 – 1% Normal
Eosinofil 2 1 – 3% Normal
N. Batang 0 2 – 6% Menurun

22
N. Segmen 75 50 – 70% Meningkat
Limfosit 17 Menurun
20 – 40%
Monosit 6 Normal
2 – 8%

Laboratorium (14 Mei 2019)


No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
Golongan Darah
1 ABO group (type) in O
blood
2 Rh (type) in blood +
KIMIA DARAH
3 Glukosa darah sewaktu 169 <180 mg/dL Normal
4 SGOT 53 <31 U/L Meningkat
5 SGPT 39 <31 U/L Meningkat
6 Albumin 2,41 3,8 – 5,1 mg/dL Menurun
7 Globulin 2,70 1,5 – 3,0 g/dL Normal
8 Ureum 94 20 – 40 mg/dL Meningkat
9 Kreatinin 0,9 0,6 – 1,1 mg/dL Normal
10 Uric Acid 6,3 2,4 – 5,7 mg/dL Meningkat
11 Natrium 145 135 – 155 mmol/L Normal
12 Kalium 4,76 3,6 – 6,5 mmol/L Normal

Laboratorium (18 Mei 2019)


No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
KIMIA DARAH
1 Glukosa Puasa 127 80 – 100 mg/dL
2 Glukosa PP 2 jam 145 < 140 mg/dL
LAIN-LAIN
3 HBsAG (RPHA) (-) Negatif Normal
4 Anti HCV (-) Negatif Normal

23
b. Pemeriksaan Elektrocardiografi (14 Mei 2019)
Interpretasi : normal sinus, HR 102x/m, axis normal, P normal, kompleks QRS
normal, ST-T changes (-)
Kesan : normal EKG

3.5. Diagnosis
Sirosis Hepatis + Hipertensi derajat 2

3.6. Diagnosis Banding


 Hematemesis Melena ec ruptur varises esophagus
 Hematemesis Melena ec ulkus gaster

3.7. Pemeriksaan Anjuran


 Urinalisa rutin
 Endoskopi
 USG abdomen
 CT scan abdomen
 Biopsi hati

3.8. Tatalaksana
Non Farmakologis
 Istirahat
 Edukasi bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol
gejala penyertanya menggunakan terapi suportif
 Diet rendah garam

24
Farmakologis
 IVFD RL gtt xx/m
 Inj. Omeprazole 2x1 iv
 Inj. As. Tranexamat 2x500 iv
 Sulcralfat syr 4x2 c
 Amlodipin 5mg 1x1 po
 Curcuma tab 3x1 po
 Spirolonolakton tab 1x250 po

3.9. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

25
BAB 4
ANALISIS KASUS

Pasien ini merupakan seorang wanita berusia 60 tahun dengan pekerjaan


sebagai ibu rumah tangga. Keluhan utama yang diungkapkan pasien adalah
muntah darah hitam sejak 4 jam SMRS disertai keluhan tambahan berupa BAB
cair bewarna hitam sejak 4 jam SMRS. Riwayat perjalanan penyakit pasien ini
yaitu ±11 bulan SMRS pasien mengalami muntah dan BAB hitam. Keadaan seperti
ini harus kita pikirkan bahwa adanya perdarahan saluran cerna bagian atas yang
bisa disebabkan oleh varises esofagus. Selain itu, pasien juga mengeluh adanya nyeri
ulu hati, bisa kita pikirkan diagnosis banding penyebab lainnya yang berhubungan
dengan saluran cerna bawah. Keluhan perutnya mulai membesar juga dirasakan
sejak ±11 bulan SMRS. Keluhan perut membesar seperti ini harus kita pikirkan
bahwa kemungkinan adanya gangguan pada tekanan onkotik ataupun hidrostatik
pada kelainan hati, ginjal ataupun jantung. BAK dan BAB normal, artinya belum
ada kelainan di ginjal. Anamnesis mengarah ke kelainan sirosis hepatis,
dikarenakan dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan diatas yang berulang 4
dan 10 bulan setelahnya, serta adanya riwayat kuning pada tahun 1977.
Pemeriksaan fisik memberikan beberapa gambaran khas bagi pasien dengan
kelainan hati yang bersifat kronis. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan tekanan darah (160/100 mmHg). Pada pemeriksaan mata didapatkan
gambaran konjungtiva anemis yang mungkin terjadi akibat perdarahan berulang.
Pada pemeriksaan thoraks, saat inspeksi tidak tampak spider naevi. Pada
pemeriksaan abdomen, pada inspeksi tampak bentuk abdomen cembung dan tidak
didapatkan gambaran venektasi. Pada palpasi abdomen, nyeri tekan (+) pada regio
epigastrik, hepar dan lien sulit dinilai. Pada perkusi abdomen didapatkan shifting
dullness (+). Pada pemeriksaan ekstremitas, didapatkan gambaran palmar pucat
yang juga bisa terjadi akibat perdarahan yang ada pada pasien. Baik anamnesis
dan pemeriksaan fisik secara umum maupun spesifik, keluhan pasien mengarah
kepada manifestasi klinis dari sirosis hepatis.

26
Diagnosis sirosis hepatis yang dialami oleh pasien ini, didukung oleh
manifestasi klinis berupa asites serta hasil lab yang menunjukkan adanya reversed
in albumin and globulin ratio. Manifestasi ini terjadi akibat baik hipertensi porta
yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik secara sistemik maupun
penurunan fungsi hati akibat fibrosis sel hati yang progresif yang mengakibatkan
terjadinya hipoalbuminemia (albumin = 2.41 mg/dl) yang berujung pada
penurunan tekanan onkotik koloid. Peningkatan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan onkotik koloid merupakan penyebab utama terjadinya asites.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf DC. Cirrhosis. Medscape. 2015. (http://emedicine.medscape.com/


article/ 185856-overview#a3 diakses pada 22 Mei 2019).
2. Don C. Rockey, Scott L. Friedman. 2006. Hepatic Fibrosis And
Cirrhosis.http://www.eu.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/97
81416032588/9781416032588.pdf. Diakses pada tanggal 14 Juli 2012
3. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th
ed. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia. 2014.h. 1978.
4. Harrison’s. 2013. Principles of Internal Medicine, 18h Edition. USA:
McGraw-Hill.
5. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in
the setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009.
18(3):299-302.
6. Malau AS. 2012. Karakteristik penderita sirosis hati yang dirawat inap di
Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2006-2010. Artikel karya
tulis ilmiah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
7. Noveriza, R. 2008. Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan
Obat. Perspektif ; 7 (1)h. 35 – 46
8. Basak, K and Zehra , H. 2015. Challenging Role of Dietary Aflatoxin B1
Exposure and Hepatitis B Infection on Risk of Hepatocellular
Carcinoma. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences;
3(2):363-369.Noer Sjaifoelah, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, Balai
Penerbit FK-UI, Jilid 1, Edisi ketiga, Jakarta, 1996, Hal 271-279
9. Isselboucher, Kurt, Braunwald, Eugene, “Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam”, Edisi 13, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Hal. 1668.
10. Sherlock, Sheila, “Disease of the liver and biliary system”, fifth edition,
Blackwell Scientific Publications, Hal 425-439.

28
11. Jagiello, J.Z.,Simon, M.P., Simon, K., Warwas, M. 2011. Advanced
Oxidation Protein Product and Inflamatory Markers in Liver Cirrhosis :
A Comparison Between Alcohol Related and HCV related cirrhosis :
Acta Biochimica Polonica: 58 (1) 59 - 65.
12. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol.
2007. 102:2086–2102.
13. Kesuma, DG. 2014. A Women 51 Years With Decompensated Liver
Cirrhosis With Gastritis Chronic And Kidney Chronic Disease Stage III.
J medula unila; 3(1).h.151-159
14. Ersley AJ. 2001. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM,
Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th
ed. vol 1. New York: McGraw Hill. p. 481–7
15. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku
Ajar Patologi.Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,;h.463.
16. Cohen HJ. 1986. Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis
PJ, Ford AB, editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB
Saunders Company. p. 519–31.
17. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, et al. Liver Cirrhosis Mortality in 187
Countries between 1980 and 2010: a Systematic Analysis. BioMed
Central. 2014;12:145
18. WHO in World Health Rankings. Liver Disease. 2014.
(http://www.worldlifeexpectancy.com/cause-of-death/liver-disease/by-
country/ diakses pada tanggal 22 Mei 2019).
19. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit
Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45
20. Tjokroprawiro, A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran UNAIR. Airlangga University Press: 2010.

29

Anda mungkin juga menyukai