Menjaga Marwah Pemilu
Menjaga Marwah Pemilu
pangkat tinggi.
***
MENJAGA MARWAH DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia (KBBI) kata Marwah memiliki
pengertian antara lain adalah martabat, kehormatan, gengsi, kemuliaan, pangkat
tinggi. Sedangkan secara istilah, marwah mengandung beberapa makna yaitu (1)
Tumbuhan medis yang bearoma (2) Nama bukit di mekah. Kata marwah juga sering
dijadikan sebagai nama dari anak perempuan dengan harapan bayi perempuan kita
menjelma menjadi anak bayi perempuan yang cantik, indah dan berharga.
Kemudian apakah marwah dalam arti kehormatan, kemuliaan dan pangkat
tinggi itu bisa di jaga oleh orang lain ataukah lembaga/organisasi masyarakat? Pada
dasarnya menjaga Marwah dalam arti ini tidaklah tepat, bahkan cenderung
mengada-ada (oleh orang Melayu menyebutnya mandai-mandai), pada dasarnya
Allah menciptakan manusia itu adalah sebagai mahluk yang paling berharga dan
mulia di permukaan bumi ini.
Namun tidak sedikit, manusia sendirilah yang merusak kehormatan dan
harga dirinya, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang amoral, yang tidak
sesuai dengan norma-norma agama. Karena itu, kemuliaan yang terdapat dalam diri
manusia ini haruslah selalu dijaga dari pada hal-hal yang dapat merusaknya, baik
yang berupa sikap dan perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri, maupun yang
dilakukan oleh orang lain terhadap pribadinya.
Apabila menjaga marwah dialamatkan pada seorang pejabat daerah, maka
itu tak lebih daripada membantu dan bekerjasama dengan pihak pemerintah agar
program-program pembangunan dapat sejalan dengan kehendak rakyat dan berjalan
dengan baik. Akan tetapi jika menjaga marwah dialamatkan pada seorang pejabat
tinggi daerah secara pribadi, maka ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan sia-
sia.
Harga diri seorang pejabat sangat tergantung pada apakah dalam
menjalankan pemerintahannya berlaku amanah atau tidak. Jika ia amanah, tidak
korupsi, mendahulukan kepentingan rakyat banyak dibanding kelompoknya dan
sebagainya maka dengan sendirinya pejabat tersebut telah menjaga marwahnya
sendiri. Sedangkan jika pejabat tersebut tidak amanah, maka dengan sendirinya dia
sendirilah yang menjatuhkan harga dirinya, marwah dan kehormatannya. Sehingga
tak seorang pun mampu menjaganya kecuali dirinya sendiri.
Islam memberikan tuntunan, kalaupun harus dengan mengeluarkan harta
demi menjaga kehormatan atau harga diri, hal itu boleh untuk dilakukan.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw: "Peliharalah untuk
menjaga diri kamu dengan harta kamu" (HR. Ad-Dailami). Karena itu, dalam
perspektif Islam, harga diri itu lebih berharga dan mulia daripada harta benda.
Namun yang terlihat sekarang, terkadang manusia rela menjatuhkan harga dirinya
demi memperoleh keuntungan harta benda.
Bagaimana jika ada kelompok masyarakat seperti Ormas/LSM dan
sebagimana mengklaim diri sebagai "Penjaga Marwah" seseorang?. Sekali lagi
marwah seseorang tidak tergantung pada apakah di jaga atau tidak dari pihak luar.
Marwah seseorang melekat pada dirinya sendiri, bukan pada orang atau kelompok
organisasi.
Marwah itu abstrak sifatnya, tidak kelihatan dipermukaan kecuali melalui
perilaku dan perbuatannya. Oleh karena seringkali manusia melakukan perbuatan-
perbuatan kekerasan dengan berdalih membela harga diri, membela pejabat yang
didukungnya, padahal untuk menjaga kehormatan atau harga diri seorang pejabat
menurut ajaran Islam, bukanlah dengan pertengkaran atau kekerasan, juga bukan
dengan perilaku-perilaku berlebihan yang justru malah meruntuhkan harga diri
bukan hanya pejabat yang dilindunginya tapi bahkan harga diri yang
bersangkutan.
Bagaimana sikap kita jika ada kelompok masyarakat karena kekhilafannya
dalam melakukan penjagaan marwah seseorang justru bertentangan dengan norma
agama, adat istiadat serta nilai-nilai budaya lokal yang dijunjung tinggi masyatakat?
Islam memandang, manusia itu berharga karena kemuliaannya, sedang
kemuliaan seseorang itu bersumber dari kesabaran dan kebijaksanaannya.
Sebagaimana disebutkan di dalam QS. Al A'raaf ayat 199:"Jadilah Engkau Pema'af
dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari pada orang-
orang yang bodoh".
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, sikap sabar dengan selalu
memberikan maaf inilah ajaran yang dituntunkan oleh Allah Swt. kepada hambanya
yang beriman. Karena itu, setiap pribadi muslim, hendaknya tidak terpengaruh
dengan melakukan pembalasan, ketika ada orang lain yang bersikap atau berbuat
tidak baik kepadanya. Maafkan mereka dan ingatkan agar tidak mengulanginya
kembali.
Perhatikanlah, ada yang menarik dari susunan kalimat ayat diatas.
Disebutkan bahwa, Allah menganjurkan bagi setiap muslim untuk memberikan
maaf dengan tujuan agar mereka berbuat baik, dalam artian, tidak melayani
perbuatan bodoh mereka. Sebab jika perbuatan bodoh mereka kita balas, maka
mereka akan melakukan perbuatan yang lebih bodoh lagi dari pada perbuatan
mereka yang pertama.
Selain itu juga, jika kita tidak membalas perbuatannya, maka mereka akan
merasa cukup dengan perbuatan yang pertama, karena telah membuat kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Sehingga secara tidak langsung, kita sudah membuat orang lain
berbuat baik, karena mereka tidak melakukan perbuatan buruk yang kedua dengan
sikap kita yang telah memaafkan dan tidak membalas perbuatan mereka yang
pertama.
Sikap memberikan maaf ini pulalah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Sebagaimana telah diriwayatkan ketika beliau diludahi oleh salah seorang yang
kafir, setiap kali melewati suatu jalan. Hingga suatu ketika orang kafir tersebut
sakit, dan Rasul menjenguknya. Seketika itu juga orang kafir tersebut merasa
kagum dan takjub terhadap sikap terpuji yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ini,
hingga mendorong dia mengucapkan Dua Kalimat Syahadat dihadapan Rasulullah.
Dari kisah diatas sebenarnya, jika Rasulullah menginginkan membalas
perbuatan orang kafir tersebut mudah saja beliau lakukan, tetapi hal itu tidak
dilakukannya, namun justru memaafkannya. Bahkan lebih dari itu, beliau juga
membalas dengan perbuatan yang baik dengan menjenguknya ketika dia sakit.
Sehingga membuat orang kafir tersebut tersentuh dan tergerak untuk melakukan
perbuatan yang baik juga.
Nabi Muhammad SAW ketika dihina oleh kaum jahiliah, Nabi malah
mendoakan mereka: "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena
sesungguhnya mereka tidak mengerti". Inilah contoh sikap yang diajarkan dalam
ajaran Islam, bahkan Allah Swt juga memuji hambanya yang memiliki sifat
demikian. sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Al-Furqon: 63: "Dan hamba-
hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan".
Dengan demikian, segala bentuk kekerasan, perilaku hina, yang dilakukan,
walaupun dengan dalih membela harga diri sendiri, membela marwah pejabat
jelaslah bukan merupakan cara yang benar. Ketika orang lain malakukan kesalahan,
dan dibalas dengan kesalahan, maka tidak ada beda antara keduanya, dan tentunya
cara demikian bukanlah ajaran Islam dan sangat dibenci oleh Allah Swt.
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi: "Laki-laki yang paling dibenci oleh
Allah Swt. adalah laki-laki yang keras" (HR. Bukhori Muslim).
Oleh karena itu, peristiwa pagelaran tari exotis di alun-alun pemko Batam
(14/4/2018) yang menghebohkan masyarakat kota Batam setidaknya dapat menjadi
pelajaran bagi kita semua khususnya bagi saudara-saudara yang tergabung dalam
LSM PMR. Mari menjaga marwah diri masing-masing agar jadi pribadi yang lebih
baik. Pada dasarnya menjada marwah, kehormatan diri jauh lebih berat dibanding
menjaga kehormatan orang lain. Jadikanlah pelajaran "pahit" ini sebagai obat agar
semakin baik lagi ke depannya.
Kemudian jika boleh mengusulkan kepada bapak Walikota Batam
Muhammad Rudi, ada baiknya PMR dibubarkan saja. Sebab tanpa PMR marwah
bapak baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat public sepenuhnya tergantung
pada diri bapak sendiri. Berbuat amanah dan bertanggung-jawab pada masyarakat
Kota Batam, tidak korupsi dan adil pada rakyat adalah sebaik-baik upaya menjaga
marwah.
Kepada seluruh masyarakat, ini adalah pelajaran bagi kita semua agar selalu
berhati-hati dalam mengambil tindakan karena apa yang menurut kita baik belum
tentu baik pula di mata orang banyak.
***
Sebagai ajaran yang paripurna (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3), Islam memberi
panduan terkait urusan politik. Misalnya, wajib taat kepada pemerintah, asalkan
sesuai dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW (Q.S. al-Nisa’ [5]:
59); pemerintah wajib menerapkan hukum yang benar (haq) (Q.S. Shad [38]: 26);
masyarakat berhak memilih pemimpin berdasarkan asas musyawarah (Q.S. al-
Syura [42]: 38). Realitanya, seringkali agama tidak dijadikan pemandu politik,
justru dijadikan alat politik. Inilah bentuk pertama penodaan marwah agama dalam
kontestasi politik.
Misalnya, menjelang momen pemilu, caleg, cabup, cagub hingga capres
selalu tampil berkopiah, padahal sebelumnya tidak pernah memakai kopiah di ruang
publik; berbagi sembako hingga wisata gratis ziarah wali bagi masyarakat, sebagai
modus “suap” terselubung agar masyarakat memilihnya; tiba-tiba aktif
bersilaturrahim kepada ulama atau pesantren, untuk mendapatkan dukungan politis.
Sejalan dengan itu, al-Qur’an seringkali memperingatkan umat muslim agar
tidak menjadikan agama sebagai pemoles citra, termasuk citra politik. Misalnya,
orang yang melakukan shalat sekadar demi meraih citra (riya’) agar terlihat agamis,
dinilai sebagai pendusta agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 6); orang yang berbagi
sedekah demi meraih citra (riya’) agar terlihat dermawan, justru terhapus
pahalanya, bak debu di atas batu licin yang tertimpa hujan deras (Q.S. al-Baqarah
[2]: 264).
Oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, sama persis
dengan tindak-tanduk orang munafik yang bersikap oportunis terhadap agama. Jika
dinilai menguntungkan dirinya, agama akan dieluk-elukkan. Jika dinilai merugikan
dirinya, agama akan disalah-salahkan. Dalam bahasa al-Qur’an, saat kilat
bercahaya, mereka berjalan; saat kembali gelap, mereka berdiam diri (Q.S. al-
Baqarah [2]: 20).
Sebagai ajaran yang paripurna (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3), Islam memberi
panduan terkait urusan politik. Misalnya, wajib taat kepada pemerintah, asalkan
sesuai dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW (Q.S. al-Nisa’ [5]:
59); pemerintah wajib menerapkan hukum yang benar (haq) (Q.S. Shad [38]: 26);
masyarakat berhak memilih pemimpin berdasarkan asas musyawarah (Q.S. al-
Syura [42]: 38). Realitanya, seringkali agama tidak dijadikan pemandu politik,
justru dijadikan alat politik. Inilah bentuk pertama penodaan marwah agama dalam
kontestasi politik.
Misalnya, menjelang momen pemilu, caleg, cabup, cagub hingga capres
selalu tampil berkopiah, padahal sebelumnya tidak pernah memakai kopiah di ruang
publik; berbagi sembako hingga wisata gratis ziarah wali bagi masyarakat, sebagai
modus “suap” terselubung agar masyarakat memilihnya; tiba-tiba aktif
bersilaturrahim kepada ulama atau pesantren, untuk mendapatkan dukungan politis.
Sejalan dengan itu, al-Qur’an seringkali memperingatkan umat muslim agar
tidak menjadikan agama sebagai pemoles citra, termasuk citra politik. Misalnya,
orang yang melakukan shalat sekadar demi meraih citra (riya’) agar terlihat agamis,
dinilai sebagai pendusta agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 6); orang yang berbagi
sedekah demi meraih citra (riya’) agar terlihat dermawan, justru terhapus
pahalanya, bak debu di atas batu licin yang tertimpa hujan deras (Q.S. al-Baqarah
[2]: 264).
Oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, sama persis
dengan tindak-tanduk orang munafik yang bersikap oportunis terhadap agama. Jika
dinilai menguntungkan dirinya, agama akan dieluk-elukkan. Jika dinilai merugikan
dirinya, agama akan disalah-salahkan. Dalam bahasa al-Qur’an, saat kilat
bercahaya, mereka berjalan; saat kembali gelap, mereka berdiam diri (Q.S. al-
Baqarah [2]: 20).
Sikap oportunis para politisi terhadap agama, tercermin dalam aksi politisasi
ayat al-Qur’an atau Hadis, untuk memperkuat kubu sendiri dan melemahkan kubu
lain. Ini bentuk kedua penodaan marwah agama.
Misalnya, secara gegabah memberi label ulama kepada tokoh politik yang
didukung, berdasarkan penafsiran sederhana terhadap kandungan Surat Fathir [35]:
28 dan al-Syu’ara’ [26]: 184. Padahal label ulama menurut standar al-Qur’an, jauh
lebih sulit dipenuhi daripada label ulama menurut standar umum.
Antara lain, ulama dalam standar al-Qur’an harus memiliki hati yang
khasyyah (takut plus kagum) kepada Allah SWT, sedangkan kualitas hati hanya
diketahui oleh Allah SWT (Q.S. al-Najm [53]: 32). Belum lagi jika mengacu pada
tafsir al-Qur’an, semisal pendapat Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir yang
membatasi pengertian ulama dalam Surat Fathir [35]: 28, hanya pada ahli di bidang
ilmu yang berhubungan dengan ma’rifat kepada Allah SWT dan syariat Allah
SWT.
Di sisi lain, ayat al-Qur’an dikait-kaitkan dengan peristiwa politik tertentu
melalui logika “cocokologi” (otak-atik matuk). Misalnya, saat terjadi aksi 212
tanggal 2 Desember 2016 (2-12), Surat al-Baqarah ayat 212 dimaknai sebagai
isyarat bahwa para peserta aksi 212 mendapatkan rezeki yang tak terbatas, karena
disediakan makanan dan minuman yang melimpah sepanjang aksi berlangsung.
Lebih parah lagi, saat pengambilan nomor urut capres tanggal 21 September
2018, ada pasangan yang mendapatkan nomor urut 2, sehingga membentuk angka
212 (21-2); kemudian dikait-kaitkan dengan Surat al-Baqarah [2] ayat 12 yang
memuat ulasan tentang “golongan perusak bumi”.
Jika mengacu pada kandungan Surat Ali ‘Imran [3]: 7, orang yang
mempolitisasi ayat al-Qur’an mengemukakan pendapatnya berdasarkan hawa nafsu
(“syahwat politik”), untuk menimbulkan fitnah (“kontroversi dan kegaduhan”) di
tengah masyarakat dan mencari-cari penafsiran alternatif yang mendukung
pendapatnya.
Agar terhindar dari politisasi ayat al-Qur’an, umat muslim diseru agar
bertanya kepada ulama ahli tafsir al-Qur’an yang mendarah-daging ilmunya (al-
rasikhun fi al-‘ilm) dan jernih hatinya (ulu al-albab). Dengan kata lain,
berkompeten dan tidak memihak kubu politik mana pun, sehingga hasil
penafsirannya lebih ilmiah, objektif dan layak diikuti masyarakat.
Sayangnya, sekarang ini pamor ulama semakin menurun, karena banyak
ulama yang dipandang sinis dan dihina-dina oleh masyarakat, hanya gara-gara
perbedaan pandangan politik. Ini bentuk ketiga penodaan marwah agama, yaitu
penghinaan terhadap tokoh yang selama ini dikenal masyarakat sebagai ulama;
sedangkan ulama adalah salah satu simbol (syi’ar) agama yang wajib dihormati.
Habib Rizieq Syihab, KH. Ma’ruf Amin, Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Yusuf
Mansur adalah contoh ulama yang sering dihina oleh kubu lawan yang menjadi
barisan pembecinya (haters).
Sesungguhnya perbuatan menghina ulama, identik dengan hobi kaum kafir
yang gemar menghina nabi dan rasul, sejak zaman Nabi Nuh AS hingga Nabi
Muhammad SAW, dan mereka diancam siksa yang menghinakan oleh Allah SWT
(Q.S. al-An’am [6]: 10). Sedangkan Rasulullah SAW memberi label fasik kepada
orang yang menghina sesama muslim (H.R. Bukhari-Muslim), apalagi menghina
ulama yang merupakan pewaris para nabi (H.R. Abu Dawud). Ibn al-Mubarak juga
berkomentar dalam Siyar A’lam al-Nubala, bahwa orang yang merendahkan ulama,
akan kehilangan akhiratnya.
Atas dasar itu, sikap terbaik umat muslim terhadap ulama adalah
sebagaimana sikap terhadap para shahabat yang terlibat dalam konflik politik pada
masa Khalifah ‘Utsman RA dan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib RA. Yaitu tetap
menghormati para ulama, sekalipun tidak setuju dengan pandangan politik mereka.
Sikap penghormatan ini meneladani penghormatan yang diberikan Allah
SWT kepada para ulama, dengan menyebut ulama setelah menyebut asma-Nya dan
malaikat (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 18) serta penghormatan yang diberikan Rasulullah
SAW kepada para ulama, dengan menyebut ulama lebih utama dibandingkan ahli
ibadah, sebagaimana keutamaan beliau dibandingkan shahabat yang paling rendah
kualitasnya (H.R. al-Tirmidzi).
Pada akhirnya, setiap umat muslim bertanggung-jawab menjaga marwah
agama di tengah kontestasi politik yang semakin overdosis. Wujudnya antara lain:
Pertama, Tidak mudah terkesima tampilan fisik dan lahiriah seseorang yang
berjubel simbol agama. Sebagaimana tidak mudah terprovokasi tampilan fisik dan
lahiriah yang minim simbol agama. Kedua, Membekali diri dengan wawasan
keilmuan yang memadai, agar tidak terjebak dalam pusaran politisasi ayat al-
Qur’an dan Hadis.
Lebih istimewa jika mampu menjernihkan ayat al-Qur’an dan Hadis yang
sudah dipolitisasi dan menyebar di tengah masyarakat. Ketiga. Membela harkat dan
martabat ulama, sekalipun pilihan politiknya berseberangan. Minimal hati ingkar
dan tidak bergembira saat ada ulama yang dihina. Jika hati setuju, apalagi
bergembira saat ada ulama yang dihina, dikhawatirkan termasuk dalam ancaman
Allah SWT yang akan meluluh-lantakkan siapapun yang setuju pada suatu
kemungkaran (Q.S. al-Syams [91]: 14).