Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa
(MUS) sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. MUS diduga menerima hadiah atau janji
terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Tahun
Anggaran 2018 dan penerimaan-penerimaam hadiah atau janji lainnya dari calon rekanan proyek-proyek
di lingkungan Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah. Mustafa juga diduga menerima fee dari
ijon proyek-proyek di linkungan Dinas Bina Marga dengan kisaran fee sebesar 10 persen hingga 20
persen dari nilai proyek. "Total dugaan suap dan gratifikasi yang diterima MUS, yaitu sebesar
sekurangnya Rp95 miliar. Dan MUS diduga tidak melaporkan penerimaan tersebut pada Direktorat
Gratifikasi KPK," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan,
Jakarta Selatan, Rabu (30/1/2019). Total Rp95 miliar itu diperoleh Mustafa dari kurun waktu Mei 2017
hingga Februari 2018 dengan rincian Rp58,6 miliar dengan kode IN BM berasal dari 179 calon rekanan,
dan sebesar Rp36,4 miliar dengan kode IN BP berasal dari 56 calon rekanan. KPK menyangkakan MUS
melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 dan Pasal 12 b Undang-Undang No 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP. Penetapan ini merupakan pengembangan
kasus suap terkait persetujuan pinjaman daerah untuk APBD Lampung Tengah Tahun 2018.
Pertanyaan :
a. Dampak apa yang ditimbulkan dari pelanggaran terhadap Nilai - Nilai Dasar PNS pada kasus di atas ?
b. Deskripsikan gagasan pemecahan masalah yang Anda tawarkan bila dikaitkan dengan Manajemen
ASN terhadap kasus di atas !
soal 2
Pelayanan petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Pinrang dikeluhkan
warga. Pasalnya, petugas di kantor dinas yang berada di Jl. Jend Sukawati, Kecamatan Watang Sawitto
tersebut dinilai tidak ramah. Warga Desa Kaballangang, Kecamatan Duampanua yang tak ingin
disebutkan namanya, Senin (17/9/2018), mengatakan, petugas Disdukcapil Pinrang sangat tidak
profesional. Menurutnya, dirinya mondar-mandir antara Kantor Disdukcapil dan Kantor Polsek untuk
mengurus akta lahirnya akibat petugas tidak komunikatif. "Petugas Capil menyampaikan info seadanya,
tidak tuntas. Saya disuruh ke kantor polisi minta surat kehilangan tapi tidak memberi surat rekomendasi.
Pas di kantor polisi, eh malah disuruh kembali lagi ke kantor Disdukcapil oleh Pak polisi untuk
mengambil surat rekomendasi," jelasnya. Lanjutnya, petugas kepolisian pun kerap mendapati pelayanan
serampangan oleh petugas Disdukcapil. "Pak polisi juga mengakui, banyak sekali warga yang pernah
mengalami kasus seperti saya ini, disuruh minta surat kehilangan tapi tak diberi surat rekomendasi dari
Capil," keluhnya. Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare itu berharap, hal tersebut
dapat dibenahi oleh Disdukcapil. "Ini kan pusat pelayanan publik. Harusnya diperbaiki servisnya.
Harusnya sudah tahu dong bagaimana harus bersikap terhadap customer, itu namanya profesional.
Ramah lah sedikit," tandasnya.
Pertanyaan :
a. Bagaimana tanggapan anda terhadap dampak dari Pelayanan Publik di atas bila dikaitkan dengan
konsep Komitmen Mutu?
b. Bagaimana bentuk Pelayanan Publik yang seharusnya dilakukan bila dikaitkan dengan konsep
Akuntabilitas?
soal 3
Dosen FISIP Unhas, Azwar Hasan merongrong diskusi forum Dosen Makassar terkait refleksi Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 dengan cerita kehancuran kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Bahkan, Ketua Komisi Informasi Publik ini menganggap lunturnya Nasionalisme di kerajaan ini menjadi
pemicu hancurnya kedua kerajaan besar ini. Hal ini dia ungkapkan di Redaksi Tribun Timur, Jl.
Cendrawasih No 430, Makassar, Sulsel, Rabu (17/8/2016). Hadir pula Guru Besar Hukum Universitas
Bosowa Prof. Marwan Mas, Guru Besar UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. Qashim Mathar, Guru Besar
Unhas Prof. Dr. Arsuna Arsin, Dosen FISIP Unhas Dr.Das'ad Latief, Dosen FISIP Unismuh Makassar Arqam
Azikin, Dosen UVRI Saifuddin Al Mughni dan Guru Besar Hukum Tata Negara UMI Prof.Muin Fahmal.
"Kerajaan Sriwijaya dahulu kala hancur karena faktor eksternal tapi kerajaan Majapahit hancur dari
internal. Apakah negara Indonesia akan bernasib serupa? Apalagi negara kita penuh dengan gonjang-
ganjing saat ini," ujar Azwar membuka diskusi.
Pertanyaan :
a. Bagaimana tanggapan anda terhadap hasil diskusi di atas bila dikaitkan dengan konsep Etika Publik?
b. Bila dikaitkan dengan dampak Nasionalisme bagi masa depan bangsa Indonesia di era globalisasi ini,
bagaimama solusi yang anda tawarkan?
soal 4
Alkisah, terdapat dua orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), tapi berbeda nasib, baik pada saat bekerja,
maupun setelah pensiun.
Pejabat pertama, sebut saja Pak Donte. Dia seorang PNS yang rajin dan ulet, sehingga diberi amanah
menjadi pejabat di kantornya. Namun, dalam kesehariannya sebagai pejabat, dia mudah tergoda dengan
hal-hal duniawi, berperilaku kurang hati-hati dalam memutuskan sesuatu, kurang jujur, serta sering
menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingannya dirinya sendiri.
Dengan perilakunya itu, dia dapat menghasilkan harta yang berlimpah, antara lain: rumah besar
bertingkat dua dengan perabotan mewah; punya beberapa mobil berbagai merek, dan beberapa sepeda
motor mulai dari motor kecil sampai besar. Dia juga memiliki tabungan yang banyak di rekeningnya plus
mata uang asing dan perhiasan miliaran di brankas bank atas nama istrinya. Dia dapat menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah favorit, bahkan di waktu-waktu liburan, dia sanggup mengajak berlibur
keluarganya, sampai ke negeri tetangga, antara lain: Singapore, Malaysia, dan Thailand.
Menurut pandangan para tetangga dan orang mengenalnya, dia dianggap sebagai PNS yang sukses,
walaupun ada juga sebagian yang mencela, “Kok bisa, pejabat kaya-raya? Dapat uang dari mana?,
sedangkan dia tidak memiliki bisnis sampingan”. Akhirnya, dia bisa naik Jabatan lebih tinggi lagi sebelum
pensiun.
Pejabat kedua, sebut saja Pak Tama. Dia juga seorang PNS yang rajin dan ulet, sehingga diberi amanah
menjadi Pejabat juga. Di samping itu, dalam bekerja dia juga dikenal pandai membawa diri. Namun
karena terlalu ”kaku” dengan prinsipnya, tidak mudah tergoda dengan hal-hal duniawi, selalu berhati-
hati dalam setiap memutuskan sesuatu; jujur, serta selalu taat dan patuh dengan berbagai peraturan
dan etika profesi dalam bekerja.
Di saat melaksanakan tugasnya tidak jarang dia mendapatkan tawaran sejumlah uang dari rekanannya,
namun dia tolak dengan halus, walaupun kesempatan seperti itu terjadi berulang kali. Ia dia tidak mau
memberi makan keluarganya dari hasil yang tidak halal, karena menurut dia akan mempengaruhi
pertumbuhan keluarga dan anak-anaknya. Ia juga berkeyakinan, bahwa segala rejeki telah ada yang
mengatur dan baginya rejeki tidak selalu berkorelasi dengan materi, tetapi bisa juga berkorelasi dengan
kesehatan dan kemudahan dalam hidup. Akhirnya, dia hanya pensiun sebagai Pejabat, walaupun banyak
orang menilai dengan kompetensinya, dia sebenarnya bisa naik Jabatan setingkat lebih tinggi lagi
sebelum pensiun.
Dengan perilaku yang seperti itu, Pak Tama tidak dapat menghasilkan banyak harta. Rumahnya relatif
kecil dan tidak terawat, serta cuma 5 tahun sekali dicat ulang. Kendaraannya cuma mobil dinas, bahkan
sepeda motorpun tidak punya. Teman-teman kantor yang datang ke rumahnya sering geleng-geleng
kepala, melihat banyak perabotan yang sudah usang, bahkan kursi ruang tamunya sudah lapuk.
Berhubung adanya keterbatasan harta, walaupun Pak Tama ini sangat dengan peduli dengan pendidikan
anak-anaknya, dia hanya bisa menyekolahkannya ke sekolah-sekolah negeri biasa. Anak-anaknya pun
kadang-kadang tidak diberi uang jajan ketika sekolah. Untuk menguliahkan anak-anaknya dia harus
”menyekolahkan” Surat Keputusan PNS-nya ke Bagian Keuangan untuk dapat pinjaman, serta meminta
bantuan saudaranya yang lebih lapang rejekinya. Benar-benar perbedaaan yang timpang dengan
keadaan Pak Donte.
Setelah pensiun nasib kedua mantan pejabat itupun berbeda. Dengan tabungannya yang melimpah, Pak
Donte mencoba membuka usaha, namun tampaknya kurang berhasil, bahkan kemudian merugi dan
bangkrut. Anak-anaknya entah mengapa, kuliahnya kurang lancar, bahkan setelah lulus Sarjana, masih
kesulitan mencari pekerjaan. Dengan gaya hidup Pak Donte yang relatif tidak berubah, dia harus
mengurangi asetnya sedikit demi sedikit. Keadaan itu merongrong keharmonisan keluarga dan
kesehatannya. Sampai suuatu hari Pak Donte jatuh sakit dan sempat mengalami kesulitan untuk
membayar biaya Rumah Sakitnya.
Kondisi berbeda dialami Pak Tama. Walaupun dia tidak punya mobil (dinas) lagi, karena harus
dikembalikan saat pensiun, tetapi karena kejujurannya, dia masih diminta bantuannya dalam menyeleksi
calon-calon PNS oleh teman-temannya. Selain itu, anak-anaknya yang dibesarkan dalam suasana
kesulitan, ternyata diberikan kemudahan olehNya. Bahkan salah satu anaknya dapat kuliah di luar negeri
dengan beasiswa, suatu kebanggaan tersendiri bagi Pak Tama. Dia juga mendapatkan menantu orang
baik-baik, dan terlihat kehidupan anak cucunya yang harmonis. Terbayarlah semua kejujuran yang telah
dilakukannya selama ini.
Semoga Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa, memelihara kita dari harta yang tidak berkah.
Pertanyaan:
Setelah menganalisis kedua pejabat di atas, bagaimana penilaian Saudara terhadap Tindak Pidana
Korupsi?
Apabila Saudara menemui teman-teman Saudara menjadi Pejabat sebagaimana digambarkan dalam
kasus di atas, apa saran Saudara untuk Pak Donte dan Pak Tama!