Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA


TAHUN 2017 & LUAS LAHAN KRITIS

Disusun oleh :

Sephira Amelia 4120542511703

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2019
A. Status Lingkungan Hidup Indonesia th 2018
(Kondisi Dan Pengelolaan Sampah Rumah Tangg A Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga)

Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2008, pertambahan jumlah sampah


disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan
bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam;
2. pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan
sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan;
3. sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan
secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara
ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah
perilaku masyarakat;
4. pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan
kewenangan pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha
sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien;

Pertambahan jumlah penduduk adalah salah satu faktor naiknya jumlah timbulan sampah.
Tahun 2025 perkiraan jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 284.829.000 orang atau
bertambah 23.713.544 dari tahun 2016. Jika diasumsikan jumlah sampah yang dihasilkan per
tahun adalah sama maka jumlah sampah yang akan bertambah adalah sebesar 5.928.386 ton
(tahun 2016 jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 65.200.000 ton per tahun dengan
penduduk sebanyak 261.115.456 orang, KLHK dan Kementrian Perindustrian dalam World
Bank). Produksi sampah per hari di ibu kota provinsi seluruh Indonesia tahun 2016-2017
disajikan pada Tabel 5.21. Tahun 2017, produksi sampah per hari yang cukup tinggi terjadi di
Pulau Jawa, antara lain Surabaya menghasilkan sampah 9.896,78 m3 per hari dan Jakarta
menghasilkan sampah sebanyak 7.164,53 m3 , sedangkan di luar Pulau Jawa, antara lain Makasar
menghasilkan 6.485,65 m3 per hari selanjutnya Denpasar, Manado, dan Medan secara berurutan
menghasilkan sampah 3.657,20; 2.064,00 ; dan 1.892,00 m3 per hari. Selain penambahan jumlah
penduduk sebagaimana dicantumkan dalam undangundang di atas, penambahan timbulan sampah
juga disebabkan perubahan pola konsumsi. Semakin mengarah ke daerah perkotaan maka
perubahan pola konsumsi semakin nyata menambah naiknya jumlah timbulan sambah, bahkan
data timbulan sampah World Bank mengabaikan sampah di pedesaan dikarenakan masih
sedikitnya menghasilkan sampah.

Pola konsumsi yang berubah terlihat dari kehidupan sehari-hari penduduk perkotaan,
misalnya kebiasaan membeli makanan siap saji yang menghasilkan sampah berupa wadah tempat
makanan, sendok dan garpu sekali pakai, dan pembungkusnya. Pola konsumsi ini sangat
memengaruhi penambahan timbulan sampah khususnya di daerah perkotaan.
Selain pertambahan penduduk, perubahan pola konsumsi penduduk dimasingmasing wilayah
mempengaruhi pertambahan timbulan sampah. Hal ini berhubungan dengan pendapatan suatu
daerah (GDP), World Bank. menunjukkan semakin tinggi pendapatan maka terjadi penambahan
timbulan sampah yang dihasilkan per orang per harinya. Saat ini, Indonesia masuk dalam kategori
lower middle income (World Bank), sebagai negara yang perekonomiannya terus membaik, maka
sebagaimana Gambar 1 timbulan sampah yang dihasilkan akan terus bertambah. Penambahan ini
tidak dapat dihindari, oleh sebab itu perlu dilakukan pengurangan dan penanganan sampah karena
banyak permasalahan yang diakibatkan dari sampah, baik secara langsung maupun tidak
langsung, seperti pencemaran air, udara, dan tanah; meningkatkan gas rumah kaca (GRK),
sumber penyakit seperti diare; bencana banjir; dan permasalahan lainnya.

Permasalahan Akibat Sampah Penumpukan sampah merupakan masalah yang dapat


menimbulkan masalah lainnya apabila tidak ditangani seperti terjadinya polusi air, tanah dan
udara (Pervez Alam dan Kafeel Ahmade). Hasil Survei Potensi Desa 2014 dan 2018
menunjukkan terjadi peningkatan pencemaran air dan penurunan pencemaran kualitas udara
Tumpukan sampah menghasilkan limpasan cairan beracun yang disebut leachate, yang dapat
mengalir ke sungai, air tanah, dan tanah. Sampah organik yang memasuki saluran air mengurangi
jumlah oksigen yang tersedia dan mendorong pertumbuhan organisme berbahaya (Bhada-Tata
dan Hoornweg, 2016). Kualitas air sungai di Indonesia pada umumnya berada pada status
tercemar berat, dari 82 sungai yang dipantau pada tahun 2016 dan 2017, terdapat 50 sungai yang
kondisinya relatif tidak berubah dan terdapat 18 sungai yang kualitasnya membaik, namun
sebanyak 14 sungai kualitasnya memburuk, selengkapnya di Tabel 1.14. Penanganan sampah
yang tidak baik juga akan memberikan dampak yang menjadi perhatian dunia yaitu GRK. World
Bank memperkirakan 1,6 miliar ton emisi GRK (CO2 e) dihasilkan dari sampah pada tahun 2016.
Ini sekitar 5 persen dari emisi global. Tanpa perbaikan di sektor ini, emisi yang terkait dengan
sampah diperkirakan akan meningkat menjadi 2,6 miliar ton CO2 e pada tahun 2050. Tumpukan
dan penanganan yang tidak baik secara tidak langsung berkontribusi terhadap bencana banjir
(World Bank) dan sumber penyakit seperti diare (UN-Habitat, 2010). Di Indonesia, berdasarkan
data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terlihat pada Gambar 4, terdapat 1.805
kejadian banjir pada tahun 2016-2017, jumlah ini terus meningkat bila dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Selain jumlah kejadian terlihat dampak dari banjir yang sampai
menyebabkan korban meninggal dan hilang mencapai 433 korban.

Daerah dengan pelayanan penanganan sampah yang buruk, mengalami kejadian diare dua
kali lebih tinggi dan infeksi pernafasan akut enam kali lebih tinggi daripada daerah dengan
pengumpulan sampah yang baik (UN-Habitat 2010). Perkiraan diare di fasilitas kesehatan dari
tahun 2015-2017 terus mengalami peningkatan (Tabel 5.18). Angka kematian (CFR) saat
kejadian luar biasa (KLB) diare diharapkan kurang dari 1 persen namun dari tahun 2008 sampai
dengan tahun 2016 terlihat bahwa CFR saat KLB masih cukup tinggi (lebih besar dari 1 persen),
kecuali pada tahun 2011, CFR pada saat KLB sebesar 0,40 persen, sedangkan tahun 2016
meningkat menjadi 3,04 persen.
Pengelolaan Sampah

Dampak dari pengelolaan sampah yang tidak baik perlu mendapat perhatian agar hak
setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 amandemen perubahan kedua pada pasal 28H ayat 1
dapat terpenuhi. Upaya pengelolaan sampah tidak saja menjadi tanggung jawab penuh pemerintah
namun perlu dilakukan bersama-sama dengan pihak swasta dan masyrakat karena tidak dapat
dipungkiri makhluk hidup sangat bergantung dengan alam, kita perlu melestarikan dan membuat
bumi menjadi tempat yang layak untuk ditinggali, tidak hanya untuk kebutuhan kita saat ini,
tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Pemerintah

Pemerintah dalam menangani permasalahan sampah sudah memiliki UU Nomor 18 tahun


2008 tentang pengelolaan sampah dan turunannnya. Dalam Pepres No. 97 Tahun 2017 tentang
kebijakan dan strategi nasional pengelolaan SRT dan SSRT memuat arah kebijakan, strategi,
target, dan program pengurangan dan penanganan SRT dan SSRT. Arah Kebijakan
1. Pengurangan sampah meliputi pembatasan timbulan, pendauran ulang, dan
pemanfaatan kembali.
2. Pemilahan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemrosesan akhir. Strategi Pengurangan sampah, meliputi:
a. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria
b. Penguatan koordinasi dan kerja sama antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
c. Penguatan komitmen lembaga eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah
dalam penyediaan anggaran
d. Peningkatan kapasitas kepemimpinan, kelembagaan, dan sumber daya
manusia;
e. Pembentukan sistem informasi;
f. Penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan
edukasi
g. Penerapan dan pengembangan sistem insentif dan disinsentif;
h. Penguatan komitmen dunia usaha melalui penerapan kewajiban produsen

B. Luas Lahan Kritis


Luas lahan kritis di Indonesia saat ini disebut mencapai 14 juta hektare (ha).
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) Ida Bagus
Putera Prathama menyatakan kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi lahan hanya mencapai
500.700 ha.

Sehingga, diperlukan waktu 48 tahun agar zero net degradation dapat tercapai, dengan
asumsi ceteris paribus, dalam sambutan pada Peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan
Se-Dunia, di Gedung KLHK, Kamis (5/7). Dari angka 500.700 ha tersebut, rinciannya yakni
rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dari APBN sebesar 52 ribu ha per tahun, RHL Kebun Bibit
Rakyat (KBR) dan bibit produktif 30 ribu ha per tahun, RHL kerjasama pelajar, mahasiswa dan
pengantin 151.450 ha per tahun. Kemudian, RHL APBD 125 ribu ha per tahun, dan RHL CSR
BUMN dan BUMS 95 ribu ha per tahun. Serta, reklamasi dan rehabilitasi bekas tambang 47.250
ha per tahun. Jika target LDN 30 tahun, Putera melanjutkan, masih diperlukan tambahan
rehabilitasi hutan dan lahan seluas 9 juta ha. Jika dikonversi dengan angka, nilai luas lahan itu
setara dengan USD9 miliar. Dalam rangka perbaikan tata kelola, telah diinisiasi corrective
action untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan tahun 2019 seluas 230 ribu
ha. Pemerintah, kata Putera, terus berupaya menyelesaikan permasalahan lahan kritis melalui
berbagai program seperti rehabilitasi, reboisasi, pembangunan persemaian permanen, Kebun Bibit
Rakyat serta pembuatan bangunan Konservasi Tanah dan Air.

Termasuk, meminta kepada seluruh BUMN, BUMD, dan BUMS untuk mengalokasikan
sepuluh persen dana CSR. Serta meminta seluruh gubernur, bupati, dan/atau walikota untuk
mengalokasikan satu persen dana APBD untuk kegiatan penanaman dan pemeliharaan pohon.
Berbagai bentuk kerugian pun mengadang kita. Kerugian ekonomi akibat erosi di Pulau Jawa
tahun 2005 sebesar US$400 juta per tahun. Itu saja 13 tahun yang lalu. Tingginya laju
sedimentasi itu, kata Putra, berakibat menurunnya produktivitas lahan dan peningkatan frekuensi
bencana hidrometeorologis, seperti banjir, longsor hingga puting beliung.

Hal itu juga berdampak terhadap ketersediaan air bersih. Berdasarkan laporan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2015, secara total kuantitas air seluruh
pulau di Indonesia terjadi surplus sebesar 449.045 juta meter kubik. Namun, untuk Jawa dan Bali
terjadi defisit sebesar 105 milyar meter kubik dan Nusa Tenggara defisit sebesar 2,3 miliar meter
kubik. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,8 persen per tahun serta laju kerusakan
hutan dan lahan yang cenderung tinggi, dapat dibayangkan krisis sumber daya air yang terjadi
saat ini dan masa mendatang. Saat ini, kata Putera, sekitar 1,9 miliar orang di dunia hidup di
daerah yang terancam krisis air. Sebanyak 1,8 miliar orang mengonsumsi air yang tidak layak
minum karena terkontaminasi zat pencemar. Secara global, 80 persen air limbah dibuang ke alam
tanpa melalui proses pengolahan. Dengan demikian, Putera menyebut jumlah orang yang berisiko
terdampak bencana hidrometeorologis akan meningkat dari 1,2 miliar saat ini ke 1,6 miliar pada
tahun 2050.
Menurutnya, kondisi alam Indonesia memiliki lahan yang subur dan sumber daya alam
sedemikian kaya. Namun, proses perubahan fisik dan kimia di permukaan dataran Indonesia
cenderung intensif. Artinya negara kita, jika sedikit saja salah tata kelola, proses degradasi lahan
akan terjadi dan cenderung meluas,

Anda mungkin juga menyukai