Anda di halaman 1dari 38

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Program Studi Profesi Dokter/ G1A217036/April 2019


** Pembimbing/ dr.Merylla Filianty Sipayung, Sp.PD

HIPOTIROID DAN KOMA MIKSEDEMA


Alvin Pratama, S.Ked* dr.Merylla Filianty Sipayung, Sp.PD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME atas izin dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan CSS/Referat yang berjudul. “Hiportiroid dan Koma
Miksedema“. Penulisan CSS/Referat ini dibuat dan disusun untuk memenuhi serta
melengkapi syarat menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi. Dalam pembuatan dan penulisan
CSS/referat ini, penulis banyak menerima bantuan oleh berbagai pihak, baik berupa
saran, masukan, bimbingan, dorongan dan motivasi secara moril, serta data maupun
informasi. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada dr.Merylla Filianty Sipayung Sp.PD atas bimbingan yang diberikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan CSS/referat ini serta kepada semu pihak
yang telah membantu.
Sepenuhnya penulis menyadari CSS/referat ini masih jauh dari sempurna
dan masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan penulisan CSS/referat ini. Terlepas dari segala kekurangan yang
ada, semoga CSS/referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya
penulis ucapkan terima kasih.

Jambi, April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman judul .......................................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Kelenjar Tiroid..........................................................................................3
2.1.1 Anatomi ..........................................................................................3
2.1.2 Fisiologi ..........................................................................................4
2.2 Hipotiroid..................................................................................................8
2.2.1 Definisi ............................................................................................8
2.2.2 Pravelensi .........................................................................................8
2.2.3 Etiologi ..........................................................................................10
2.2.4 Pategenesis .....................................................................................12
2.2.5 Klasifikasi ......................................................................................14
2.2.6 Gejala dan Tanda ...........................................................................15
2.2.7 Diagnosis .......................................................................................20
2.2.8 Penatalaksaan .................................................................................22
2.2.9 Komplikasi.....................................................................................25
2.2.10 Prognosis .....................................................................................25
2.3 Koma Miksedema ...................................................................................29
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................35

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Hipotiroid merupakan suatu penyakit akibat kekurangan produksi hormon
tiroid atau adanya defek pada reseptornya.1 Kelainan tersebut dapat ditemukan
sejak lahir yang sering dikenal sebagai hipotiroid kongenital, namun bila tampak
gejala-gejala setelah periode fungsi tiroid yang tampaknya normal maka kelainan
ini merupakan kelainan yang “didapat” yang biasanya akibat defek kongenital
karena manifestasi defisiensinya terlambat.2.
Di seluruh dunia, hipotiroidisme kongenital terjadi pada sekitar 1 dari 4000
kelahiran. Insiden hipotiroidisme autoimun pertahun adalah 4 per 1000 wanita dan
1 per 1000 pria. Usia rata-rata adalah 60 tahun, meningkat seiring bertambahnya
usia. Hipotiroidisme subklinis ditemukan pada 6-8% wanita (10% di atas usia 60)
dan 3% pria.3 Indonesia belum memiliki data kasus hipotiroid kongenital secara
nasional. Kejadian hipotiroid kongenital di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta dan RS Hasan Sadikin Bandung tahun 2000 sampai dengan September
2014, dari 213.669 bayi baru lahir yang dilakukan skrining hipotiroid kongenital,
didapatkan hasil positif sejumlah 85 bayi atau 1:2513 kelahiran.4 Hipotiroidisme
sentral terjadi pada 1 per 100.000 kelahiran hidup.2
Hormon tiroid sangat diperlukan untuk kegiatan metabolisme, sehingga
kekurangan hormon ini akan menimbulkan tanda dan gejala sebagai akibat
menurunnya kegiatan metabolisme dalam tubuh. Hormon tiroid berkerja pada
hampir setiap sel dalam tubuh. Hormon ini mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein maupun vitamin, sehingga sel tubuh dapat
mempergunakan energi dari hasil proses metabolisme bahan-bahan tersebut.1
Hormon tiroid juga membantu regulasi pertumbuhan tulang (bekerjasama
dengan hormon pertumbuhan), sintesa berbagai protein serta maturasi jaringan
syaraf termasuk otak. Hormon ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
diferensiasi sel dengan baik. Pengaruh hormon tiroid yang lain adalah
meningkatkan kepekaan tubuh terhadap katekolamin. Apabila kadar hormon tiroid

4
dalam darah terlalu rendah, sel akan kekurangan hormon sehigga terjadi ganguan
metabolisme, petumbuhan dan diferensiasi sel, maupun aktifitas lain di dalam sel.1
Koma miksedema, merupakan hipotiroidisme darurat yang dapat mengancam
jiwa, dengan tingkat kematian yang tinggi jika tidak ditangani. Prevalensi koma
miksedema sebenarnya tidak diketahui pasti. Bahkan dengan awal deteksi dan
perawatan yang tepat, angka kematian berkisar dari 30 hingga 60% di mana
sebagian besar meninggal karena gagal napas, sepsis, dan pendarahan
gastrointestinal.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Tiroid


2.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang dihubungkan di
tengah oleh suatu bagian sempit kelenjar sehingga organ ini tampak seperti dasi
kupu-kupu.5 kedua lobus tiroid dihubungkan oleh isthmus. Tiroid terletak pada
anterior trakea, diantara kartilago cricoid dan notch suprasternal. Volume normal
tiroid adalah sekitar 12-20 gram, vaskularisasi yang sangat tinggi, dan konsistensi
yang lunak. Pada bagian posterior kelenjar tiroid terdapat empat buah kelenjar
paratiroid yang memproduksi hormone paratiroid. Pada bagian lateral tiroid
terdapat nervus laringeus rekurens. Cedera pada nervus laringeus rekurens dapat
menyebabkan paralisis pada vocal cords.5

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid berkembang dari dasar faring primitif pada minggu ketiga gestasi.
Kelenjar yang berkembang bermigrasi sepanjang duktus tiroglossus hingga

6
mencapai tempat akhir di leher. Gangguan perkembangan kelenjar tiroid dapat
menyebabkan terbentuknya kelenjar tiroid ektopik, seperti lokasi tiroid pada dasar
lidah (lingual thyroid) atau terbentuknya kista duktus tiroglossus pada sepanjang
traktus perkembangannya. Pada umumnya, kelenjar tiroid mulai mensekresikan
hormone tiroid pada usia sebelas minggu masa gestasi.5

2.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid ( T4 dan T3 ) yang membantu
mengatur temperature tubuh, metabolisme energi dan protein juga membantu
pengaturan fungsi normal sistem kardiovascular dan sistem saraf pusat. Selain itu
tiroid juga menghasilkan kalsitonin yang berfungsi mengatur jumlah kalsium di
dalam darah.6
Hormone T3 sebagian besar berasal dari konversi T4 menjadi T3 yang
berlangsung diluar kelenjar tiroid. Tirotropin Releasing Factor ( TRF ) yang
dihasilkan hypothalamus akan merangsang kelenjar hipofise mengeluarkan
tirotropin (TSH). Tirotropin juga akan merangsang pertumbuhan kelenjar tiroid. 6
Tiroksin ( T4 ) menunjukkan pengaturan timbal balik negatif dari sekresi
TSH dengan bekerja langsung pada tirotropin hipofisis. Beberapa obat dan keadaan
dapat mengubah sintesis, pelepasan dan metabolisme hormon tiroid. Obat – obat
seperti perklorat dan tiosianat dapat menghambat sintesis tiroksin. Sebagai
akibatnya, menyebabkan penurunan kadar tiroksin dan melalui rangsangan timbal
balik negatif, meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis.6

7
Gambar 2. Fisiologi Hormon Tiroid

Sel-sel sekretorik utama tiroid, yang dikenal sebagai sel folikel, tersusun
membentuk bola-bola berongga yang masing-masing membentuk satu unit
fungsional yang dinamakan folikel. Di dalam folikel terdapat koloid, yaitu bahan
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormone tiroid.
Konstituen utama koloid adalah suatu molekul protein besar yang dikenal sebagai
tiroglobulin. Tiroglobulin berikatan dengan hormone tiroid dalam berbagai stadium
sintesis.7
Sel folikel menghasilkan dua hormone yang mengandung iodium yang
berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan
triiodotironin (T3). Kedua hormone, yang secara kolektif disebut hormone tiroid,
adalah regulator penting laju metabolic basal (BMR) keseluruhan. Di ruang
interstisium di antara folikel-folikel terselip sel C, tipe sel sekretorik lain yang
mensekresi hormone peptide kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme
kalsium serta sama sekali tidak berkaitan dengan dua hormone tiroid utama
lainnya.7

8
Gambar 3. Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid

Bahan dasar untuk sintesis hormone tiroid adalah tirosin dan iodium. Tirosin,
suatu asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan zat
essensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis
hormone tiroid harus diperoleh dari makanan. Pembentukan, penyempitan, dan
sekresi hormone tiroid melibatkan langkah-langkah tersebut.7
 Semua tahap pembentukan hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin
di dalam koloid. Tiroglobulin diproduksi oleh kompleks golgi / reticulum
endoplasma sel folikel tiroid. Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul
tiroglobulin. Setelah terbentuk, tiroglobulin yang sudah mengandung tirosin di
ekspor dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses eksositosis.
 Tiroid smenangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid
melalui pompa iodium. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan
gradien konsentrasi untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormone tiroid.
Iodium tidak memiliki fungsi lain di tubuh.

9
 Di dalam koloid, iodium cepat dilekatkan ke tirosin di dalam molekul
tiroglobulin. Perlekatan satu iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin
(MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).
 Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin yang
telah beriodium untuk membentuk hormone tiroid. Penggabungan MIT dengan
satu DIT akan menghasilkan triiodotironin (T3). Penggabungan dua DIT
menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin). Antara dua molekul MIT
tidak terjadi penggabungan.

Semua produk ini tetap melekat ke tiroglobulin. Hormone tiroid tetap


tersimpan dalam bentuk ini di koloid sampai terurai dan disekresikan. Jumlah
hormone tiroid yang tersimpan umumnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk
beberapa bulan.
Pada perangsangan yang sesuai, sel folikel tiroid menelan sebagian dari
koloid yang mengandung tiroglobulin melalui proses fagositosis. Lisosom
menyerang vesikel yang ditelah tersebut dan memisahkan produk-produk
beriodium tiroglobulin. Hormone tiroid karena sangat lipofilik , mudah melewati
membrane luar sel folikel dan masuk ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT mengalami
deiodinasi, dan iodium yang bebas didaur ulang untuk membentuk hormone baru.
Setelah hormone tiroid dikeluarkan ke dalam sirkulasi, molekul-molekul hormone
tiroid yang sangat lipofilik berikatan dengan protein plasma. Sebagian besar T3 dan
T4 diangkut oleh thyroxine-binding globulin, yang secara selektif berikatan hanya
dengan hormone tiroid. Kurang dari 0.1% T4 dan kurang dari 1% T3 tetap berada
dalam bentuk bebas (tak terikat). Hanya bentuk bebas dari keseluruhan hormone
tiroid yang memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek.7

2.2 Hipotiroid
2.2.1 Definisi
Hipotiroidisme adalah defisiensi aktivitas tiroid, salah satu penyebab
kretinisme pada anak dan miksedema pada dewasa, ditandai dengan penurunan laju
metabolisme, keletihan, dan letargi. Kretinisme adalah tertahannya pertumbuhan
fisisk dan mental dengan distrofi tulang dan jaringan lunak.9

10
Hipotiroid merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya sintesis
hormon yang rendah di dalam tubuh. Berbagai keadaan dapat menimbulkan
hipotiroid baik yang melibatkan kelenjar tiroid secara langsung maupun tidak
langsung. Mengingat bahwa hormon ini sangat berperan pada setiap proses dalam
sel termasuk dalam otak, menurunnya kadar hormon ini dalam tubuh akan
menimbulkan akibat yang luas pada seluruh tubuh.1

2.2.2 Prevalensi
Di seluruh dunian, hipotiroidisme kongenital terjadi pada sekitar 1 dari 4000
kelahiran, meningkat pada daerah kekurangan yodium, yaitu 1:900 kelahiran.
Hipotiroidisme kongenital disebabkan oleh disgenesis kelenjar tiroid sebanyak 80-
85%, sintesis hormon tiroid yang terganggu sebanyak 10-15%, dan antibodi TSH-
R sebanyak 5%. Lebih sering terjadi pada anak perempuan dengan perbandingan
2:1. Angka kejadian hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, dipengaruhi oleh
faktor-faktor etnis dan ras. Prevalensi cenderung lebih tinggi pada keturunan Asia
dan sangat pada populasi kulit hitam.3
Insiden hipotiroidisme autoimun pertahun adalah 4 per 1000 wanita dan 1
per 1000 pria. Usia rata-rata adalah 60 tahun, dan prevalensi hipotiroidisme
meningkat seiring bertambahnya usia. Hipotiroidisme subklinis ditemukan pada 6-
8% wanita (10% di atas usia 60) dan 3% pria. Risiko terjadinya hipotiroidisme
klinis adalah sekitar 4% dari hipotiroidisme subklinis.3 Hipotiroidisme sentral
terjadi pada 1 per 100.000 kelahiran hidup.2 Angka kejadian di beberapa negara
adalah sebagai berikut:4

11
Tabel 1. Kasus hipotiroid kongenital di beberapa negara Asia
No Negara Angka kejadian (per jumlah kelahiran)
1 Jepang 1:7600
2 Singapura 1:3000-3500
3 Malaysia 1:3026
4 Filipina 1:3460
5 Hongkong 1:2404
6 Korea 1:4300
7 Vietnam 1:5502
8 India 1:1700
9 Bangladesh 1:2000
10 Taiwan 1:1027

Indonesia belum memiliki data kasus hipotiroid kongenital secara nasional.


Data hipotiroid kongenital di Indonesia baru dapat diperoleh dari RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta dan RS Hasan Sadikin Bandung sebagai berikut:4
 Kejadian hipotiroid kongenital tahun 2000 sampai dengan September 2014,
dari 213.669 bayi baru lahir yang dilakukan skrining hipotiroid kongenital,
didapatkan hasil positif sejumlah 85 bayi atau 1:2513 kelahiran (lebih tinggi
dari rasio global 1:3000 kelahiran)
 Telaah rekam medis di klinik endokrin RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta dan RS Hasan Sadikin Bandung menunjukkan ada lebih dari 70%
hipotiroid kongenital didiagnosis pada umur kurang dari 3 bulan. Pada bayi
yang terdeteksi sebelum usia 3 bulan hanya terjadi keterbelakangan
pertumbuhan dan perkembangan yang minimal.
 Jika angka kelahiran sebanyak 5 juta bayi/tahun, dengan kejadian 1:3000
kelahiran makan terdapat lebih dari 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital
pertahun yang akan terakumulasi tiap tahunnya.

12
2.2.3 Etiologi
Penyebab terjadinya hipotiroid dapat dikelompokkan menjadi beberapa
golongan (tabel 1). Meskipun berbagai faktor dapat merusak kelenjar tiroid
sehingga tidak mampu memproduksi hormon tiroid yang mencukupi, penyebab
yang paling sering dijumpai adalah:1

Tabel 2. Penyebab hipotiroid


Hipotiorid primer
 Didapat (acquired) Tiroiditis Hashimoto, defisiensi lodium,
bahan goitrogenik, sitokin (INF-y, IL-2),
tiroiditis infiltratif (amiloidosis,
hemokrsomatosis, sarkoidosis, struma-
 Kongenital Riedel, skleroderma)
Kelainan transportasi iodium (NIS atau
mutasi pendrin), defisiensi
dehalogenasiiodotirosin, defisiensi TPO,
gangguan sintesis tiroglobulin, agenesis atau
displasikelenjar tiroid, kelainan reseptor
TSH)
Hipotiroid sementara Terjadi setelah tiroiditis subakut atau
(transient hypothyroidism) tiroiditis post-partum
Hipotiroid konsumtif Terjadi kerusakan yang cepat akibat adanya
(consumptive ekspresi D3 yang berlebihan pada
hypothyroidism) hemangioma atau hemangioendotelioma
Gangguan deiodinasi dari Akibat adanya kelainan sequence-bindir\g
T4 menjadi T3 protein 2 (SBP-2)
Kerusakan kelenjar tiorid Akibat pemberian inhibitor tirosin-kinase
karena obat (mis: sunitinib)
Hipotiroid sentral
 Didapat (acquired) Kelianan hipopise atau hipotalamus,
pemberian retinoid X-reseptor agonis
 Kongenital (bexarotene)
Defisiensi TSH atau kelainan struktur TSH,
kelainan reseptor TSH
Hormon tiroid resisten Kelainan reseptor hormon tiroid

a. Penyakit Otoimun
Pada beberapa orang, sistem imun yang seharusnya menjaga atau mencegah
timbulnya penyakit justru mengenali secara salah sel kelenjar tiroid dan berbagai

13
yang disintesis di kelenjar tiroid, sehingga merusak sel atau enzim tersebut. Sebagai
akibatnya hanya tersisa sedikit sel atau enzim yang sehat dan tidak cukup untuk
mensitesis hormon tiroid dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Hal ini
lebih banyak timbul pada wanita dibanding pria. Tiroiditis otoimun dapat timbul
mendadak atau timbul secara perlahan. Bentuk yag paling sering dijumpai adalah
tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.1
b. Tindakan bedah
Pasien dengan nodul tiroid, kanker tiroid atau morbus Basedow, yang
menjalani tindakan bedah mempunyai risiko untuk terjadinya hipotiroid. Apabila
keseluruhan atau terlalu banyak jaringan kelenjar yang diangkat maka produksi
hormon yang diperlukan oleh tubuh tidak lagi mencukupi. Bahkan apabila
keseluruhan kelenjar diangkat maka akan terjadi hipotiroid yang permanen.1
c. Terapi dengan I
Terapi dengan I bertujuan untuk merusak sel kelenjar tiroid. Kerusakan yang
terlalu banyak dari sel kelenjar juga akan menimbulkan hipotiroid.1
d. Hipotiroid Kongenital
Beberapa bayi lahir dengan kelenjar tiroid yang tidak terbentuk atau hanya
memiliki kelenjar tiroid yang terbentuk sebagian. Beberapa yang lain kelenjar tiroid
terbentuk ditempat yang tidak seharusnya (ektopik) atau sel-sel kelenjar tiroidnya
tidak berfungsi. Terdapat juga enzim yang berperan pada sintesis hormon bekerja
dengan tidak baik. Pada keadaan demikian ini akan terjadi gangguan produksi
sehingga kebutuhan hormon tiroid tidak tercukupi dan timbul hipotiroid.1
e. Tiroiditis
Infeksi tiroid oleh virus sering diikuti terjadinya proses keradangan kelenjar
tiroid. Pada awalnya akan terjadi peningkatan sintesis hormon, akan tetapi sebagai
akibat proses yang berlanjut akan terjadi kerusakan sel kelenjar yang kemudian
diikuti dengan penurunan sintesis hormon dan mengakibatkan terjadinya
hipotiroid.1
f. Obat-obatan
Amidodarone, litium, interferon alfa dan interlekin-2 dapat menghambat
sintesis hormon tiroid. Obat-obatan ini pada umumnya menimbulkan hipotiroid
pada pasien yang memiliki bakat genetik penyakit tiroid otoimun.1

14
g. Kekurangan Asupan lodium
lodium merupakan bahan dasar sintesis hormon tiroid. Kekurangan asupan
iodium akan berpengaruh terhadap sintesis hormon.1
h. Kerusakan Kelenjar Hipofise
Tumor, radiasi, atau tindakan bedah dapat menimbulkan kerusakan pada
hipofisis. Bila hal ini terjadi maka sintesis hormon TSH (thyroid stimulating
hormone) yang memicu kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid akan
berkurang. Sebagai akibatnya akan terjadi penurunan sintesis hormon tiroid.
Meskipun sangat jarang, beberapa penyakit dapat menyebabkan terjadinya
hipotiroid. Pada penyakit sarkoidosis dapat terjadi penumpukan granuloma pada
kelenjar tiroid, sedangkan pada amiloidosis dapat terjadi penumpukan protein
amilod pada kelenjar. Demikian juga pada hemokromatosis dapat terjadi
penumpukan besi pada jaringan kelenjar. Kesemuanya akan menimbulkan
gangguan pada fungsi kelenjar tiroid dalam mensitesis hormon.1

2.2.4 Patogenesis
Patogenesis hipotiroid sangat bervariasi, tergantung pada penyebab
hipotiroid. Patogenesis hipotiroid pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut:1,8
a. Tiroiditis Autoimun
Pada tiroiditis Hashimoto suatu penyakit autoimun yang infiltrasi limfosit dan
destruksi kelenjar tiroidnya dikaitkan dengan antitiroglobulin atau antibodi
mikrosomal sel antitiroid. Terjadi peningkatan inflitrasi limfosit kedalam jaringan
kelejar tiroid yang mengakibatkan terbentuknya inti "germina", dan metaplasia
oksifil. Folikel koloid tidak terbentuk dan terjadi fibrosis ringan sampai sedang.
Pada tiroiditis atrofik terjadi proses fibrosis yang lebih banyak dengan lebih sedikit
inflitrasi limfosit dan tidak terbentuknya folikel tiroid. Faktor genetik dan
lingkungan berpengaruh terhadap timbulnya tiroiditis otoimun. Tiroiditis otoimun
banyak terjadi pada individu yang memiliki hubungan keluarga.
Polimorfisme HLA-DR, diketahui sangat terkait dengan tiroiditis otoimun
seperti HLA-DR3, DR4 dan DR5 pada kelompok kaukasia. Sedangkan
polimorfisme sel regulator gen CTLA-4 diketahui mempunyai kaitan yang tidak
begitu nyata dengan terjadinya tiroiditis otoimun. Polimorfisme HLA-DR dan

15
CTLA-4 diketahui bertanggung jawab terhadap sekitar 50% kasus tiroiditis
otoimun. Aktifasi CD-4+, CD-8+ dan limfosit-B pada tiroiditis otoimum
merupakan mediator terjadinya kerusakan sel kelenjar tiroid. CD-8+ merupakan
mediator utama timbulnya proses tersebut yang menimbulkan nekrosis sel akibat
pengaruh perforin dan terjadinya apoptosis sel oleh granzyme-B.
Lebih lanjut berbagai sitokin (TNFalpha, 11-1, IFN-gama) yang diproduksi
oleh sel-Takan memudahkan terjadinya apoptosis sel tiroid melalui aktifasi death
receptor. Berbagai sitokin tersebut juga mengganggu fungsi sel tiroid secara
langsung disamping merangsang sel tiroid menproduksi molekul pro-inflamasi
yang lain. Meskipun antibodi-TPO dan antibodi terhadap tiroglobulin merupakan
petanda adanya proses otoimun pada kelenjar tiroid, ternyata kedua antibodi
tersebut hanya berperan pada penguatan proses otoimun yang sudah terjadi.
b. Hipotiroid Akibat Defisiensi lodium
lodium merupakan bahan dasar hormon tiroid, kekurangan asupan iodium
dalam jangka panjang akan mengganggu sintesis hormon. Kekurangan iodium yang
lama menimbulkan gondok endemik yang sering diketemukan pada daerah dengan
asupan iodium penduduk yang kurang.
c. Hipotiroid pada Pemberian lodium Dosis Besar
Konsumsi iodium dalam jumlah yang besar akan menghambat proses
pengikatan iodium dengan tiroglobulin (proses binding), serta menghambat
pelepasan hormon tiroid dari dalam folikel. Gambaran histopatologis pada kelainan
ini adalah adanya hiperplasia yang berat. T4 bebas rendah dan TSH meningkat, dan
kadar iodium urin sangat meningkat.
d. Hipotiroid Akibat Tindakan Bedah dan Terapi I
Hipotiroid yang terjadi sebagai akibat terlalu banyaknya sel kelenjar yang
terangkat akibat proses pembedahan ataupun rusak akibat proses ablasi. Sebagai
akibatnya tidak cukup banyak sel kelenjar tiroid yang tersisa yang mampu
memproduksi cukup hormon tiroid. Nekrosis sel kelenjar tiroid akibat terapi I akan
terjadi secara bertahap dan diperlukan waktu sekitar 6 sampai 18 minggu untuk
terjadinya hipotiroid.
e. Hipotiroid Kongenital

16
Hipotiroid yang terjadi pada pada bayi baru lahir dapat berlangsung secara
permanen atau sementara. Hipotiroid kongenital yang permanen, ditandai dengan
adanya perubahan struktur, baik aplasia maupun hipoplasia atau terjadi perubahan
lokasi kelenjar tiroid (ektopik). Hasil penelitian dengan skaning menunjukkan
bahwa dishomogenesis {aninborn error of metabolism) yang disertai ganguan pada
sintesis T4 (tiroksin) didapatkan pada 10-20% bayi baru lahir dengan hipotiroid
kongenital. Sedangkan resistensi TSH sebagai akibat adanya kelainan pada reseptor
tirotropin didapatkan pada sekitar 10% kasus hipotiroid kongenital. Berbagai
penyebab terjadinya hipotiroid pada bayi baru lahir yang bersifat sementara antara
lain: adanya bloking antibodi ibu terhadap tirotropin, adanya paparan terhadap obat
anti tiroid yang dikonsumsi ibu, defisiensi iodium ataupun akibat iodium yang
berlebihan.

2.2.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa tipe hipotiroidisme. Hipotiroidisme sentral (kerusakan
hipotalamus/hipofisis seperti, tumor, nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi),
hipotiroidisme primer (kerusakan kelenjar tiroid seperti pasca radiasi, tiroiditis,
atrofi, dishormogenesis, hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena sebab lain
(farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer).10
Bergantung pada usia awitan hipotiroidisme, penyakit ini dapat
diklasifikasikan sebagai (1) hipotiroidisme dewasa atau miksedema, (2)
hipotiroidisme juvenilis (timbulnya sesudah usia 1 sampai 2 tahun), atau (3)
hipotiroidisme kongenital, atau kreatinin disebabkan oleh kekurangan hormon
tiroid sebelum atau segera sesudah lahir.8 Hipotiroidisme juga dapat dibedakan
berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan subklinik.10 Pasien yang
memiliki gejala hipotiroid yang nyata dan disertai dengan penurunan T4 bebas dan
kenaikan TSH disebut hipotiroid klinis. Hipotiroid sub-klinis merupakan keadaan
dimana pada pasien tidak didapatkan gejala hipotiroid, kadar T4 bebas dalam batas
normal namun kadar TSH telah meningkat.1

17
2.2.6 Gejala dan Tanda
Perjalanan penyakit biasanya terjadi secara perlahan. Pasien baru sadar
mengalami hipotiroid ketika terjadi perbaikan tanda dan gejala hipotiroid setelah
mendapatkan terapi yang memadai. Manifestasi hipotorid terlihat pada semua organ
tubuh, gejala yang timbul tergantung pada kelainan yang mendasari serta berat
ringannya hipotiroid.1
Hormon tiroid sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
jaringan otak dan saraf. Hipotiroid pada janin dalam kandungan atau bayi baru lahir
akan mengganggu pertumbuhan otak dan saraf. Bila tidak segera dikoreksi pada
masa awal kehidupan akan berdampak pada kerusakan jaringan otak dan saraf yang
permanen.1 Hipotiroidisme kongenital atau kretinisme mungkin sudah timbul sejak
lahir, atau menjadi nyata dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Manifestasi
dini kretinisme antara lain ikterus fisiologik yang menetap, tangisan parau,
konstipasi, somnolen dan kesulitan makan. Selanjutnya anak menunjukkan
kesulitan untuk mencapai perkembangan normal. Anak yang menderita
hipotiroidisme kongenital memperlihatkan tubuh yang pendek; profil kasar; lidah
menjulur keluar; hidung yang lebar dan rata; mata yang jaraknya jauh; rambut
jarang; kulit kering; perut menonjol; dan hernia umbilikalis.8
Defisiensi hormon yang terjadi pada orang dewasa, tidak terlalu nyata
menimbulkan kelainan otak dan syaraf dan dapat diperbaiki dengan terapi hormon.1
Manifestasi klinis hipotiroidisme bentuk dewasa dan bentuk juvenilis antara lain
lelah; suara parau, tidak tahan dingin dan keringat berkurang; kulit dingin dan
kering; wajah membengkak; dan gerakan lamban.8

18
Gambar 4. Gambaran wajah pasien dengan miksedema A. Pada saat
diagnosis awal, B. Setelah penggantian terapi tiroksin

Gejala yang terjadi pada orang dewasa berupa penurunan daya intektual,
menurunnya nada bicara, ganguan memori, letargi, rasa ngantuk yang berlebihan
dan pada orang tua terjadi demensia. Pada hipotiroid yang berat dapat menimbulkan
koma mixedema yang disertai kejang (ataksi serebral), penurunan pendengaran,
suara yang berat dan serak dan gerakan yang yang sangat lambat. Refiek fisiologis
menurun dan pada rekam EEG menunjukkan adanya perlambatan aktifitas dan
hilangnya amplitudo gelombang alfa.1 Aktivitas motorik dan intelektual lambat,
dan relaksasi lambat dari refleks tendon dalam.8
Pada kulit, hipotiroid menyebabkan terjadinya penumpukan asam-hialuronik
yang akan merubah komposisi jaringan dasar kulit ataupun jaringan lain. Oleh
karena asam-hialuronik merupakan bahan yang higroskopis, penumpukan materi
ini akan menimbulkan peningkatan kandungan cairan sehingga terjadi edema,
penebalan kulit dan sembab pada wajah (myxedema). Pada penyakit tiroiditis
Hashimoto, dapat disertai adanya pigmentasi kulit yang menghilang (vitiligo) dan
merupakan ciri dari kelainan kulit akibat proses otoimun.1
Dampak hipotiroid pada jantung akan mengakibatkan penurunan output-
kardiak sebagai akibat penurunan volume curah jantung dan bradikardi. Hal ini
mencerminkan adanya pengaruh inotropik maupun kronotropik dari hormon tiroid

19
pada otot jantung. Pada hipotiroid yang berat, terjadi pembesaran jantung dan suara
jantung melemah yang mungkin disebabkan adanya penumpukan cairan di dalam
perikard yang banyak mengandung protein dan glikosaminoglikan. Rekam EKG
dapat menunjukkan adanya bradikardi, perpanjangan waktu interval PR,
gelombang P dan kompiek QRS yang rendah, kelainan pada segmen ST dan
gelombang T yang lebih mendatar. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya peningkatan kadar homosistein, kreatin kinase, aspartat-amionotranferase
serta dehidrogenase-laktat.1
Gabungan kelainan ukuran jantung, perubahan EKG dan kelainan enzim
disebut sebagai mixedema jantung (cardiac myxedema). Pada sistem pernapasan,
hipotiroid dapat menimbulkan penurunan kapasitas pernapasan maksimal (maximal
breathing capacity) dan kapasitas difusi, meskipun mungkin volume paru tidak
mengalami ganguan. Hipotiroid juga dapat menimbulkan terjadinya efusi pleura.
Pada hipotiroid yang berat, kinerja otot pernapasan mengalami penurunan dan
mengakibatkan terjadinya hipoksia. Kelainan yang terjadi pada organ pernapasan
tersebut ikut berperan pada timbulnya koma pada mixedema.1
Pengaruh pada organ pencernaan antara lain terjadinya gangguan penyerapan.
Meskipun diketahui adanya penurunan penyerapaan berbagai bahan makanan, tidak
semua bahan makanan mengalami hal yang sama. Hal ini dimungkinkan oleh
adanya penurunan motilitas usus, sehingga masa penyerapan berlangsung lebih
lama untuk bahan-bahan tertentu. Meskipun terjadi penurunan nafsu makan, sering
berat badan justru meningkat, oleh karena adanya edema yang terjadi sebagai akibat
adanya retensi cairan di dalam tubuh.1
Hasil pemeriksaan laboratorium fungsi hati pada umumnya normal, hanya
mungkin terjadi penigkatan transaminasi sebagai akibat terjadinya gangguan
klirens. Gejala yang dapat timbul pada otot antara lain timbulnya rasa nyeri dan
kekakuan otot yang semakin memberat bila suhu udara menjadi dingin.
Perlambatan kontraksi dan relaksasi otot berpengaruh pada gerak ekstremitas dan
refleks tendon. Masa otot mungkin akan berkurang, namun dapat terjadi
pembesaran otot akibat adanya edema jaringan.1
Aliran darah ke ginjal, filtrasi glomerulus, reabsorbsi pada tubulus akan
mengalami penurunan. Pemeriksaan asam urat menunjukkan adanya peningkatan,

20
meskipun urea nitrogen maupun keratin mungkin masih normal. Penurunan filtrasi
cairan akan menimbulkan penumpukan cairan dalam tubuh, meskipun volume
plasma turun.1
Hormon tiroid berpengaruh pada pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi
wanita maupun pria. Hipotiroid yang timbul pada masa anak dan tidak diobati
dengan benar akan menghambat proses pendewasaan sistem reproduksi dan masa
pubertas akan timbul terlambat. Pada wanita dewasa yang menderita hipotiroidisme
sering mengeluh hipermenore.8 Hipotiroid yang berat menimbulkan penurunan
libido dan gagalnya ovulasi. Sekresi progresteron menurun sedangkan proliferasi
endometrium tetap berlangsung dan sering menimbulkan menstruasi yang tidak
teratur. Sekresi LH terganggu, terjadi atrofi ovarium dan gangguan menstruasi
sampai amenoroe. Kesuburuan menurun, dan bila terjadi kehamilan sering
mengalami abortus spontan atau kelahiran premature. Metabolisme androgen dan
estrogen terganggu, sekresi androgen mengalami penurunan dan metabolisme
testoteron beralih dari androsteron menjadi etiokolanolon. Sintesis protein
(globulin) pengikat hormon sex mangalami penurunan sehingga konsentrasi
testoteron dan estradiol dalam bentuk terikat diplasma menurun, sedangkan
testoteron dan estradiol bebas meningkat.1
Terjadi penurunan kecepatan metabolisme basal (BMR) tubuh dan produksi
panas. Nafsu makan menurun, suhu badan cenderung rendah dan tidak tahan
terhadap hawa dingin. Sintesis dan pemecahan protein mengalami penurunan dan
hal ini dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan otot dan tulang.
Degradasi jaringan lemak lebih banyak terjadi dibanding sintesisnya. Sebagai
akibatnya terjadi peningkatan kadar LDL dan trigliserida di dalam darah.1

21
Tabel 3. Tanda dan Gejala10
Gejala Tanda
• Merasa lelah dan lemah • Lambat bergerak
• Kulit kering • Lambat berbicara
• Tidak tahan terhadap suhu dingin • Kulit kering dan kasar
• Rambut rontok • Ujung ekstremitas yang
• Sulit berkonsentrasi, cepat lupa dan terkadang disertai dingin
gangguan mental • Bengkak pada wajah, kaki
• Depresi dan tangan (myxedema)
• Konstipasi • Botak
• Berat badan bertambah dengan nafsu makan yang • Bradikardia
berkurang • Edema non pitting
• Sesak • Hiporefleksi
• Suara yang memberat • Relaksasi tendon
• Parestesi terlambat
• Atralgi • Sindrom Carpal tunnel
• Gangguan pendengaran • Efusi rongga tubuh
• Reproduksi: gangguan haid menoragi, oligomenorea,
infertil
• Tipe sentral: gangguan visus, sakit kepala, muntah

Tabel 4. Gejala klinis hipotiroidisme berdasarkan sistem organ10


Organ/Sistem Organ Keluhan/Gejala/Kelainan
Kardiovaskuler Bradikardia
Gangguan kontraktilitas
Penurunan curah jantung
Kardiomegali(palingbanyakdisebabkanolehefusiperikard)
Respirasi Sesak dengan aktivitas
Gangguan respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia
Hipoventilasi
Sleep apnea
Efusi Pleura
Gastrointestinal Anoreksia
Penurunan peristaltic usus, konstipasi kronik,impaksi feses dan ileus
Ginjal Penurunan laju filtrasi ginjal
(air dan elektrolit) Penurunan kemampuan ekskresi kelebihan cairan dan intoksikasi
Cairandanhiponatremia
Hematologi Anemia, disebabkan:
Gangguan sintesis hemoglobin karena defisiensi tiroksin
Defisiensi besi karena hilangnya besi pada menoragia dan gangguan absorbs
besi
Defisiensi asam folat karena gangguan absorbs asam folat
Anemiapernisiosa
Neuromuskular Kelemahan otot proksimal
Berkurangnya refleks
Gerakan otot melambat
Kesemutan
Psikiatri Depresi
Gangguan memori
Gangguankepribadian
Endokrin Gangguan pembentukan estrogen dan gangguan ekskresi FSH dan LH, siklus
anovulatoar, infertilitas, menoragia

22
2.2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan melakukan beberapa pendekatan,
seperti:1,3,8
a. Melakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang timbul.
Gejala hipotiroid timbul secara perlahan dan tidak spesifik. Hal ini
menyebabkan kesulitan deteksi dini keadaan hipotiroid. Beberapa keadaan atau
penyakit lain dapat memberikan gejala yang sama dengan hipotiroid. Hanya pada
keadaan hipotiroid yang berat gejala yang timbul lebih mudah dikenali.
b. Riwayat penyakit dan keluarga
Adanya riwayat pengobatan kelenjar tiroid dengan obat, tindakan bedah,
ablasi I, radiasi daerah leher ataupun menkonsumsi obat-obat lain seperti
amiodaron, interferon alfa, interleukin serta litium akan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis hipotiroidisme. Demikian pula bila mempunyai riwayat
keluarga dengan kelainan tiroid.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sangat membantu penegakan diagnosis hipotiroid. Adanya
pembesaran kelenjar, kulit kering, edema piting, menurunnya refiek tendon
Achilles, bradikardi dan gejala-gejala yang lain dapat membantu diagnosis pasien
dengan hipotiroid. Hanya pada keadaan awal hipotiroid dan hipotiroid ringan,
sering tanda-tanda fisik tidak diketemukan.
d. Pemeriksaan penunjang
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantaraan tes-tes
fungsi tiroid. Tes-tes berikut ini sekarang digunakan untuk mendiagnosis penyakit
tiroid:
• Kadar total tiroksin dan triyodotironin serum, Tiroksin bebas, TSH serum
• Darah perifer lengkap (bisa terdapat sitopenia)
• Kreatin fosfokinase
• Antibodi TPO
• Anti-Tg-Ab
• Profil lipid
• Biopsi aspirasi jarum halus bila terdapat struma

23
• Elektrokardiogram (untukmencari komplikasi jantung)
• Ambilan yodium radioisotop
Pengukuran kadar TSH dan T4 (khususnya T4 bebas) merupakan
pemeriksaan yang spesifik dan dipergunakan untuk menegakkan diagnosis
hipotiroid. Peningkatan kadar TSH dan menurunnya kadar T4 bebas menunjukkan
adanya hipotiroid. Pemeriksaan tunggal kadar T4 total tidak dapat memberikan
kepastian diagnosis hipotiroid. Hal ini mengingat bahwa T4 setelah dilepaskan dari
kelenjar tiroid akan berikatan dengan protein pengikat (thyroid binding globulin =
TBG, thyroid binding pre-albumin = TBPA, maupun albumin) sehingga tidak aktif.
Hanya sekitar 1 -2% T4 yang bebas dan dapat masuk kedalam sel dan dirubah
menjadi T3 bebas melalui proses deiodinasi yang akan memberikan efek biologis.
Kadar tiroksin dan triyodotironin serum diukur dengan radioligand assay.
Pengukuran termasuk hormon terikat dan hormon yang bebas. Kadar normal
tiroksin adalah 4 sampai 77 µg/dl; untuk triyodotironin kadarnya berkisar dari 80
sampai 160 ng / dl. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi
yang secara metabolik aktif.
Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik; nilai
normal dengan assay generasi ketiga, berkisar dari 0,02 hingga 5,0 µU /ml. Kadar
TSH plasma sensitif dan dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Terdapat
kadar yang tinggi pada pasien dengan hipotiroidisme primer, yaitu pasien yang
memiliki kadar tiroksin rendah akibat timbal balik peningkatan pelepasan TSH
hipofisis. Dengan adanya assay radioimunometrik yang sangat sensitif terhadap
TSH, uji ini sendiri dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Pada hipotiroidisme primer, kadar TSH serum akan tinggi,
sedangkan kadar tiroksin rendah. Sebaliknya, kedua pengukuran tersebut akan
rendah pada pasien dengan hipotiroidisme sentral. Pada hipotiroidisme subklinis,
TSH naik, namun kadar hormon tiroid dalam batas normal. Gejala dan tanda tidak
ada atau minimal.
Beberapa uji dapat digunakan untuk mengukur respons metabolik terhadap
kadar hormon tiroid dalam sirkulasi namun uji-uji ini tidak digunakan secara rutin
dalam menilai fungsi tiroid secara klinis. Uji-uji ini terdiri dari laju metabolisme
basal (BMR) yang mengukur jumlah penggunaan oksigen pada keadaan istirahat;

24
kadar kolesterol serum; dan tanda respons refleks tendon Achilles. Pada pasien
dengan hipotiroidisme, BMR menurun dan kadar kolesterol serumnya tinggi.
Tes ambilan yodium radionaktif (1231 IRAII) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida. Pasien
menerima dosis RAI yang akan ditangkap oleh tiroid dan dipekatkan setelah
melewati 24 jam. Kemudian radioaktivitas yang ada dalam kelenjar tiroid tersebut
dihitung. Normalnya, jumlah radioaktif yang diambil berkisar dari10% hingga 35%
dari dosis pemberian. Pada hipotiroidisme nilainya rendah.
Pemeriksaan radiologi rangka menunjukkan tulang yang mengalami
keterlambatan dalam pertumbuhan, disgenesis epifisis, dan keterlambatan
perkembangan gigi

Tabel 5. Tes-tes fungsi tiroid


Tes Hasil
Ambilan RAI Menurun
Tiroksin serum Menurun
Triyodotiroksin serum Menurun
Tirokdin bebas Menurun
Serum TSH Meningkat

2.2.8 Penatalaksanaan
Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan melihat
manifestasi klinis pada penderita. Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata
dan disertai dengan penurunan T4 bebas dan kenaikan TSH (hipotiroid klinis)
memerlukan terapi levotiroksin (T4) pada pagi hari dalam keadaan perut kosong.
Pada umumnya dosis yang diperlukan sebesar 1.6 µg/kbBB/hari (total: 100-150
µg/hari). Untuk L-T3 adalah 25 - 50 µg.11 Kadar TSH diukur 2 bulan dihitung dari
mulai awal terapi. Peningkatan dosis levotiroksin dilakukan secara perlahan apabila
kadar TSH belum mencapai batas normal. Penambahan sebesar 12.5 - 25 µg/hari
dilakukan setiap 2 bulan (sesuai dengan pemeriksaan kadar TSH). Penurunan dosis
sebesar 12.5 - 25 µg/hari juga dilakukan apabila kadar TSH menurun dibawah
normal sebagai akibat adanya penekanan produksi TSH.1

25
Pada pasien dewasa <60 tahun tanpa disertai penyakit jantung dan pembuluh
darah, pemberian levotiroksin dimulai dengan dosis rendah (50 µg/hari). Untuk
pasien-pasien kanker tiroid pasca tiroidektomi, dosis T4 rata-rata adalah 2,2
µg/kgBB/hari.11 Pada pasien dengan penyakit Grave yang mengalami hipotiroid
setelah pengobatan, pada umumnya membutuhkan dosis levotiroksin yang lebih
kecil. Hal ini mengingat masih ada sebagian jaringan tiroid yang otonom dan
menghasilkan hormon.1
Levotiroksin mempunyai masa paruh yang panjang (sampai 7 hari), sehingga
apabila pasien lupa minum sekali, maka dosis yang seharusnya diminum hari itu
ditambahkan pada dosis hari berikutnya. Adanya kelainan malabsorbsi, pemberian
berbagai macam obat (kalsium oral, estrogen, kolesteramin, golongan statin,
antasida, rifampisin, amiodaron, karbamazepin, sulfas ferosus) dapat menggangu
penyerapan maupun sekresi levotiroksin. Sehingga pada pasien yang mendapat
terapi obat tersebut harus mendapatkan perhatian khusus.1
Efek klinis terapi levotiroksin tidak segera terlihat. Pasien baru merasakan
hilangnya gejala 3 - 6 bulan setelah kadar TSH mencapai kadar normal. Hal ini
perlu diberitahukan kepada pasien agar tidak menghentikan program pengobatan
yang memang memerlukan waktu yang panjang. Apabila kadar TSH telah dapat
dipertahankan dengan dosis levotiroksin tertentu, maka pemberian levotiroksin
tetap dipertahankan pada dosis tersebut. Selanjutnya pemeriksaan kadar TSH dapat
dilakukan setiap 1 – 2 tahun sekali.1
Pada pasien hipotiroid sub-klinis belum ada kesepakatan rekomendasi terapi
levotiroksin. Hipotiroid sub-klinis merupakan keadaan dimana pada pasien tidak
didapatkan gejala hipotiroid, kadar T4 bebas dalam batas normal namun kadar TSH
telah meningkat. Pada umumnya terapi levotiroksin belum diberikan apabila kadar
TSH masih < 10 mIU/L. Terapi baru diberikan apabila peningkatan TSH
berlangsung lebih dari 3 bulan yang diketahui dari beberapa kali pemeriksaan kadar
TSH. Kecenderungan menjadi hipotiroid klinis pada kelompok ini semakin besar
pada pasien yang disertai dengan hasil TPO-Ab yang positif. Pada pasien yang tidak
memerlukan terapi levotiroksin (TSH <10 mIU/L), pemeriksaan kadar TSH perlu
dilakukan setiap tahun.1 Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan
dan kelainan objektif jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah

26
(25-50 µg/hari) dan dinaikkan secara bertahap hingga mendapatkan kadar TSH
normal.10
Berbagai keadaan khusus seperti pada orang tua atau pada masa kehamilan,
memerlukan pendekatan yang agak berbeda. Pada orang tua pada umumnya
memerlukan dosis levotiroksin yang lebih rendah. Bila disertai dengan penyakit
jantung dan pembuluh darah pemberian dosis awal juga lebih kecil, yakni 12.5
µg/hari. Pada wanita yang diketahui memiliki risiko hipotiroid yang tinggi harus
ditetapkan status fungsi tiroid sebelum konsepsi dan dipastikan tidak dalam
keadaan hipotiroid. Hipotiroid pada wanita hamil, terutama pada trimester pertama
akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan otak janin yang
dikandungnya. Bahkan adanya TPO-Ab yang positif saja pada wanita yang eutiroid
dapat mengganggu kehamilan yang mendorong terjadinya abortus ataupun
kelahiran prematur.1
Pengukuran kadar TSH pada pasien hipotiroidisme primer dapat digunakan
untuk menentukan manfaat terapi pengganti. Kadar ini harus dipertahankan dalam
kisaran normal. Pengobatan yang adekuat pada pasien dengan hipotiroidisme
sentral sebaiknya ditentukan dengan mengikuti kadar tiroksin bebas.8

Gambar 5. Tatalaksana pasien hipotiroidisme


2.2.9 Komplikasi
Komplikasi utama dari hipotiroidisme kongenital dan hipotiroidisme
juvenilis yang tidak diketahui dan tidak diobati adalah retardasi mental. Keadaan
ini dapat dicegah dengan memperhaiki hipotiroidisme secara dini. Para ahli medis
yang merawat bayi baru lahir dan bayi kecil harus menyadari kemungkinan ini.8

27
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah koma miksedema, depresi, kelainan
neuropsikiatri (myxedema madness), penyakit jantung, komplikasi pengobatan.3

2.2.10 Prognosis
Kebanyakan kasus hipotiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur
hidup. Komplikasi koma miksedema terkait dengan kematian. Sekitar 4070 kasus
hipotiroidisme subklinis akan berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini
terkait dengan kadar awal TSH. Sisanya akan mengalami resolusi spontan dalam
waktu 5 tahun.11

2.3 Koma Miksedema


Koma miksedema adalah darurat medis dan komplikasi dari hipotiroidisme
berat yang dipicu oleh keadaan lain seperti infeksi, menyebabkan kerusakan organ
lainnya; beberapa gejala mungkin termasuk suhu tubuh rendah, detak jantung
lambat, perubahan status mental.12 Koma miksedema, merupakan hipotiroidisme
darurat yang dapat mengancam jiwa,13 dengan tingkat kematian yang tinggi jika
tidak ditangani.14 Penyakit ini jarang terjadi, dalam studi Eropa dengan perkiraan
insiden 0,22/juta/tahun. Karena kelangkaannya, klinis terkait dengan penyakit ini
masih belum jelas.13
Koma miksedema mengacu pada keadaan hipotiroidisme yang parah,
mengancam jiwa, dan tidak terkompensasi di mana kadar hormon tiroid sangat
rendah. Diagnosis tampaknya lebih umum pada wanita lanjut usia dengan
hipotiroidisme yang sudah ada sebelumnya. Pemicu dapat termasuk suhu dingin
(oleh karena itu, lebih umum selama bulan-bulan musim dingin); komorbiditas
pencetus, seperti infeksi, stroke, dan gagal jantung; atau penggunaan obat
penenang, analgesik, antidepresan, hipnotis, antipsikotik, atau obat bius. Pasien
dengan hipotiroidisme yang sudah ada sebelumnya juga dapat mengalami koma
miksedema setelah periode ketidakpatuhan berkepanjangan dengan penggantian
hormon tiroid.15
Krisis/koma miksedema adalah klinis langka yang mengancam jiwa kondisi
yang mewakili hipotiroidisme berat dengan dekompensasi. Prevalensi koma
miksedema sebenarnya tidak diketahui pasti. Bahkan dengan awal deteksi dan

28
perawatan yang tepat, angka kematian berkisar dari 30 hingga 60% di mana
sebagian besar meninggal karena gagal napas, sepsis, dan pendarahan
gastrointestinal. Terjadi krisis Myxedem kebanyakan pada usia 60 tahun atau lebih
dan hampir 80% kasus terjadi pada wanita. Namun, koma myxedema dapat juga
terjadi pada pasien yang lebih muda, lebih dari 30 kasus ditemukan pada wanita
hamil.14
Patofisiologi koma miksedema menyangkut 3 aspek utama : (1) retensi CO2
dan hipoksia; (2) ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; dan (3) hipotermia.
Retensi CO2 telah lama dikenal sebagai bagian internal dari koma miksedema dan
dianggap diakibatkan oleh faktor-faktor seperti : obesitas, kegagalan jantung, ileus,
imobilisasi, pneumonia, efusi pleural atau peritoneal, depresi sistem saraf pusat dan
otot-otot dada yang lemah cukup turut berperan. Kegagalan pasien miksedema
berespons terhadap hipoksia atau hiperkapnia mungkin akibat hipotermia.
Kegagalan dorongan ventilatori sering berat, dan bantuan pernapasan hampir selalu
dibutuhkan pada pasien dengan koma miksedema.
Tanda dan gejala biasanya adalah eksaserbasi dari manifestasi hipotiroidisme
yang biasa dan mungkin termasuk kelesuan ekstrem, yang dapat berkembang
menjadi pingsan atau koma, hipotermia, depresi pernapasan, bradikardia,
hiponatremia, dan gangguan ginjal. Diagnosis koma miksedema dibuat dengan
konfirmasi profil tiroid biokimia yang konsisten dengan hipotiroidisme dan
manifestasi klinis yang sesuai. Sebuah sistem penilaian diagnostik telah diusulkan
untuk memandu menuju diagnosis koma miksedema berdasarkan suhu tubuh,
tanda-tanda sistem saraf pusat, gejala gastrointestinal, peristiwa pencetus, disfungsi
kardiovaskular, dan gangguan metabolisme.15
Tidak ada kriteria diagnostik yang divalidasi secara global untuk koma
myxedema. Diagnosis koma miksedema didasarkan pada presentasi klinis dan
pengujian laboratorium.13

Tabel 6. Manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium koma miksedem 16


Manifestasi klinis Laboratorium
Umum Hiponatremia
Hipotermia (suhu <95,9 F) Hipoglikemia
Pembengkakan umum / periorbital edem Anemia
Ptosis Kreatinin tinggi
Alopecia atau rambut kering dan kasar Peningkatan kreatinin kinase
Kelelahan Transaminase tinggi

29
Intoleransi dingin / kulit dingin Hypercapnea
Sembelit Hipoventilasi
Suara dalam Hiperlipidemia
Hipoksemia Leukopenia
Saluran pencernaan Asidosis respiratorik
Penurunan motilitas APTT tinggi
Distensi perut Waktu perdarahan yang lama
Ileus paralitik
Kardiovaskular
Sinus bradikardia
Bundle branch block
Complete heart block
Neurologis
Mentasi menurun
Relaksasi refleks yang tertunda

Krisis miksedema umumnya terlihat pada pasien yang lebih tua, terutama
pada wanita, dan dikaitkan dengan tanda-tanda hipotiroidisme, hipotermia,
hiponatremia, hiperkarbia, dan hipoksemia. Pasien mungkin datang dengan gejala
spesifik organ yang berbeda. Kejang adalah manifestasi yang dapat terjadi tetapi
jarang dari miksedema dengan angka kematian yang sangat tinggi. Diagnosis yang
cepat dan manajemen yang tepat dapat meningkatkan prognosis. Studi yang
dilakukan di Sri Lanka didapatkan bahwa banyak faktor kontribusi mungkin
melibatkan pengembangan kejang pada pasien dengan miksedema. Hiponatremia
adalah salah satu penyebabnya, yang terlihat dalam bentuk sedang-berat. Lansia
laki-laki yang mengalami kejang klonik tonik umum yang didahului oleh gangguan
daya ingat dan kantuk. Didapatkan hiponatremia dan kadar TSH yang sangat tinggi
dan kadar tiroksin bebas yang rendah. Diagnosis krisis myxedema dibuat dan
pasien berhasil diobati dengan koreksi natrium serta penggantian hormon tiroid.14
Penyakit kardiovaskular adalah komorbiditas yang paling sering terjadi pada
pasien dengan koma miksedema. Ini mungkin munculkarena hipotiroidisme dapat
menyebabkan dislipidemia, aterosklerosis, fibrosis miokard, dan cedera
kardiovaskular, termasuk kegagalan jantung.13
Triiodothyronine intraselular rendah (T3) pada hipotiroidisme adalah
patologi dasar yang mendasari di krisis myxedema yang mengarah ke hipotermia
dan penekanan aktivitas jantung. Tubuh mencoba mengimbangi dengan adaptasi
neurovaskular termasuk vasokonstriksi perifer kronis, hipertensi diastolik ringan,
dan mengurangi volume darah. Sistem saraf pusat berkurang sensitivitas terhadap
hipoksia dan hiperkapnia menyebabkan kegagalan pernapasan. Permeabilitas

30
vaskular yang berubah mengarah ke efusi dan anasarca. Retensi air dan
hiponatremia terjadi sekunder untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus,
mengurangi ke nefron distal, dan kelebihan vasopressin. Glukoneogenesis
menurun, faktor pencetus seperti sepsis dan insufisiensi adrenal yang bersamaan,
dapat menyebabkan hipoglikemia. Selain depresi umum fungsi otak, hiponatremia,
hipoglikemia, hipoksemia, dan berkurangnya aliran darah otak dapat menyebabkan
kejang fokal atau umum dan memperburuk tingkat kesadaran.14
Kelainan-kelainan lain yang dapat mendorong terjadinya koma miksedema
termasuk gagal jantung, edema paru, efusi pleural atau peritoneal, ileus, kelebihan
pemberian cairan, atau pemberian pemberian obat-obat sedatif atau narkotik pada
pasien dengan hipotiroidisme berat. Insufisiensi adrenal kadang-kadang terjadi
berkaitan dengan koma miksedema, tetapi ini relatif jarang dan biasanya
berhubungan dengan miksedema hipofisis atau insufisiensi adrenal autoimun yang
terjadi bersamaan (Sindroma Schmidt). Kejang, episode perdarahan, hipokalsemia
atau hiperkalsemia bisa dijumpai. Adalah penting untuk membedakan miksedema
hipofisis dari miksedema primer. Pada miksedema hipofisis, bisa didapatkan
insufisiensi adrenal dan pengganti adrenal perlu dilakukan. Petunjuk klinis tentang
adanya miksedema hipofisis termasuk riwayat adanya amenore atau impotensi dan
rambut pubis atau aksilar yang jarang; kolesterol serum normal dan kadar TSH
hipofisis yang normal atau rendah. Pada CT scan atau MRI dapat memperlihatkan
pelebaran sella tursika.
Sebagian besar pasien dengan krisis myxedema memiliki primer
hipotiroidisme dan hipotiroidisme sekunder sebanyak 5% dari kasus Dutta et al.
melaporkan bahwa 39% pasien dengan krisis myxedema memiliki hipotiroidisme
yang terdeteksi hanya pada saat krisis. Presentasi klinis dapat bervariasi tetapi
hampir semua pasien telah mengubah mentalitas dan 80% mengalami hipotermia.
Dapat juga terjadi nyeri atipikal sebagai blok jantung, Interval QT yang lama dan
aritmia, infark miokard, efusi perikardial / pleura, depresi pernapasan, hiperkapnia,
manifestasi perdarahan dengan APTT yang berkepanjangan, dan memperoleh cacat
faktor von Willebrand dan psikosis. Manifestasi neurologismulai dari perubahan
status mental dengan kelambatan, menurun konsentrasi dan kelesuan, sakit kepala,
kelumpuhan saraf kranial, suara serak, miopati, neuropati, perubahan refleks,

31
ataksia, episode psikotik. Hasil akhirnya akan menjadi koma dan hipotermia,
narkosis CO2, edema serebral, dan gangguan metabolisme lainnya14

Tabel 7. Skor diagnostik untuk koma miksedem17


Disfungsi termoregulasi (Suhu oF / oC) Poin
> 95/35 0
89.6-95 / 32-3 10
<89,6 / 32 20
Efek Sistem Saraf Pusat
Tidak ada 0
Somnolent / Lethargy 10
Obtunded 15
Stupor 20
Koma / kejang 30
Temuan Gastrointestinal
Anoreksia / sakit perut / sembelit 5
Penurunan motilitas usus 15
Ileus paralitik 20
Keadaan Pencetus
Tidak ada 0
Ada 10
Disfuntion Kardiovaskular
Bradikardia / Detak jantung
Tidak ada 0
50-59 10
40-49 20
<40 30

Perubahan EKG lainnya ** 10


Efusi perikardial / pleura 10
Edema paru 15
Kardiomegali 15
Hipotensi 20
Gangguan Metabolik
Hiponatremia 10
Hipoglikemia 10
Hipoksemia 10
Hypercarbia 10
Penurunan GFR 10

Total skor:
> 60 sangat sugestif / diagnostik koma miksedema
25-59 mendukung diagnosis koma miksedema
<25 mungkin tidak koma myxedema

32
Pengobatan koma miksedema harus dipertimbangkan secepat mungkin,
mengingat peningkatan mortalitas penyakit (25% -60% terlepas dari pengobatan),
dan dapat dimulai bahkan sebelum konfirmasi hasil laboratorium yang
menunjukkan konsentrasi TSH dan T4 serum yang abnormal. Manajemen koma
miksedema harus dalam pengaturan unit perawatan intensif (ICU). Prinsip utama
dari pengobatan adalah penggantian hormon tiroid, kortikosteroid dosis-tinggi jika
diduga terjadi insufisiensi adrenal, perawatan suportif, dan pengobatan segala
kondisi yang mendasarinya. Perawatan suportif dapat mencakup pemberian cairan
intravena (IV), penggantian natrium jika terdapat hiponatremia, dan penggunaan
selimut penghangat (meskipun penghangatan ulang yang agresif harus dihindari,
mengingat risiko vasodilatasi).15
Penggantian hormon tiroid harus diberikan sebagai T4 dan / atau T3, sering
secara intravena, mengingat keadaan pasien yang terganggu. Regimen yang
disarankan untuk dosis awal dan pemeliharaan hormon tiroid pada pasien dengan
koma miksedema secara umum, dosis pemuatan 200 hingga 400 μg IV
levothyroxine (T4) harus diikuti dengan dosis pemeliharaan 1,6 μg/kg/hari bila
diberikan secara oral atau 75% dari ini ketika diberikan secara intravena;
pertimbangan juga dapat dibuat untuk pemberian bersama liothyronine (T3), karena
konversi T4 ke T3 dapat terganggu pada pasien dengan koma miksedema. Penting
untuk dicatat bahwa penggantian hormon tiroid IV harus diberikan hanya sebagai
dorongan melalui jarum suntik, daripada melalui tabung infus, di mana hingga 40%
dari konsentrasi awal dapat hilang dari kepatuhan terhadap tabung polipropilena.
Peningkatan konsentrasi serum T3 dan T4 dapat dilihat sebelum normalisasi
konsentrasi TSH serum, dan pengukuran fungsi tiroid serum tes setiap 1 hingga 2
hari selama pengobatan berjalan. Perbaikan dalam parameter klinis kardiovaskular,
ginjal, paru, dan metabolisme dapat memakan waktu hingga seminggu untuk
diobservasi.15
Saat ini, penggantian awal hormon tiroid L-tiroksin intravena (LT4) dianggap
sebagai terapi standar untuk koma miksedema diinduksi oleh hipotiroidisme berat
yang sudah berlangsung lama. L-triiodothyronine (LT3) dapat digunakan secara
bersamaan, tergantung pada faktor risiko kardiak yang muncul. Namun, ada
rekomendasi untuk pengobatan koma miksedema hanya didasarkan pada pendapat

33
ahli dan laporan kasus. Di Jepang, pasien dengan koma myxedema diobati dengan
enteral LT4, dengan atau tanpa LT3, melalui tabung nasogastrik, sedangkan di
beberapa negara lain, lebih sering diberikan secara intravena.13
Manajemen koma miksedema yaitu penggantian hormon tiroksin dengan
perawatan suportif tambahan. Sebelum penggantian tiroksin, penggantian
glukokortikoid juga bisa dilakukan karena defisiensi kortisol mungkin tumpang
tindih; karenanya hormon tiroid penggantian dapat meningkatkan pembersihan
kortisol dan dapat memperburuk defisiensi kortisol. Selain itu, penyebabnya harus
segera dicari dan dirawat. Penggantian tiroxin direkomendasikan dalam bentuk
intravena (IV) tetraiodothyronine (T4), terutama untuk menghindari penyerapan
gastrointestinal yang buruk. Terapi T4 menyediakan permulaan aksi halus, stabil,
dan lambat dengan relative lebih sedikit jumlah efek samping. Nilai serum T4
mudah diinterpretasikan. Namun, triiodothyronine (T3) aktif hormon dalam tubuh,
dan dalam pengaturan penyakit parah di sana mungkin terjadi penurunan konversi
T4 ke T3.14
Keuntungan dari menggunakan T3 yaitu onset aksi yang cepat, efek
menguntungkan yang cepat pada gejala neuropsikiatri, dan perbaikan klinis yang
signifikan dalam 24 jam. Beberapa opsi tersedia untuk pengobatan miksedema:14
1. IV T4 loading dosis 200-400 µg bolus (untuk mengisi ulang pada tubuh)
diikuti oleh 75% dari dosis yang dihitung [1,6 𝜇g/Kg × 75%] IV T4 per hari
sampai pasien dalam keadaan siaga untuk minum tiroksin oral
2. IV T3 10–20 µg diikuti oleh 2,5–10 𝜇g setiap 8 jam selama 2 hari pertama
sampai pasien waspada untuk minum oral tiroksin
3. Kombinasi IV T4 4 𝜇g/Kg (atau 200–300 𝜇g) + IV T3 10 µg bolus diikuti
oleh T4 100 𝜇g dalam 24 jam dan 50 𝜇g/hari sesudahnya dengan T3 2.5–10
µg setiap 8 jam sampai pasien pulih.
Terapi hormon tiroid pada pasien-pasien miksedema memperbaiki hipotermia
dan sangat meningkatkan respons ventilasi terhadap hipoksia. Karena dorongan
ventilasi yang terganggu, respirasi yang dibantu hampir selalu perlu pada pasien
dengan koma miksedema. Gangguan cairan dan elektrolit yang utama adalah
intoksikasi cairan akibat syndrome of inappropriate secretion of vasopressin
(SIADH). Kelainan ini terlihat sebagai hiponatremia dan ditangani dengan restriksi

34
air. Hipotermia sering tidak dikenali karena termometer klinis biasanya hanya
sampai kira-kira 34°C (93°F); suatu jenis termometer laboratorium yang mencatat
skala yang lebih besar harus digunakan untuk mendapatkan pembacaan suhu tubuh
yang tepat. Suhu tubuh yang rendah bisa disebabkan karena hilangnya stimulasi
tiroksin pada mekanisme transpor natrium kalium dan aktivitas ATPase yang
menurun. Penghangatan kembali tubuh secara aktif adalah kontra indikasi, karena
dapat menginduksi vasodilatasi dan kolaps vaskular. Peningkatan suhu tubuh
adalah indikasi yang berguna untuk melihat efektivitas tiroksin.
Miksedema dan Penyakit Jantung : Dahulu, terapi pasien dengan miksedema
dan penyakit jantung, khususnya penyakit arteri koronaria, sangat sukar karena
penggantian levotiroksin seringkali dihubungkan dengan eksaserbasi angina, gagal
jantung, infark miokard. Namun karena sudah ada angioplasti koronaria dan bypass
arteri koronaria, pasien dengan miksedema dan penyakit arteri koronaria dapat
diterapi secara operatif dan terapi penggantian tiroksin yang lebih cepat dapat
ditolerir.
Hipotiroidisme dan Penyakit Neuropsikiatrik : Hipotiroidisme sering disertai
depresi, yang mungkin cukup parah. Lebih jarang lagi, pasien dapat mengalami
kebingungan, paranoid, atau bahkan maniak ("myxedema madness"). Skrining
perawatan psikiatrik dengan FT4 dan TSH adalah cara efisien untuk menemukan
pasien-pasien ini, yang mana seringkali memberikan respons terhadap terapi
tunggal levotiroksin atau dikombinasi dengan obat-obat psikofarmakologik.
Efektivitas terapi pada pasien hipotiroid yang terganggu meningkatkan hipotesis
bahwa penambahan T3 atau T4 pada regimen psikoterapeutik untuk pasien depresi,
mungkin membantu pasien tanpa memperlihatkan penyakit tiroid. Penelitian lebih
jauh harus dilakukan untuk menegakkan konsep ini sebagai terapi standar.

35
BAB III
KESIMPULAN

Hipotiroid adalah suatu kondisi yang dikarakteristikan oleh produksi


hormon tiroid yang abnormal rendahnya atau suatu penyakit yang disebabkan oleh
gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid dan organ,
dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, serta gangguan respon jaringan
terhadap hormon tiroid.
Tatalaksana hipotiroid antara lain dengan pemberian tiroksin, biasanya
mulai dalam dosis rendah (50µg/ hari), khususnya pada pasien yang lebih tua atau
pada pasien dengan miksedema berat, dan setelah beberapa hari atau minggu sedikit
demi sedikit ditingkatkan samai akhirnya mencapai dosis pemeliharan maksimal
150µg/ hari. Pada dewasa muda, dosis pemeliharaan maksimal dapat dimulai
secepatnya.
Koma miksedema adalah darurat medis dan komplikasi dari hipotiroidisme
berat yang dipicu oleh keadaan lain seperti infeksi, menyebabkan kerusakan organ
lainnya; beberapa gejala mungkin termasuk suhu tubuh rendah, detak jantung
lambat, perubahan status mental. Koma miksedema, merupakan hipotiroidisme
darurat yang dapat mengancam jiwa, dengan tingkat kematian yang tinggi jika tidak
ditangani.
Pengobatan koma miksedema harus dipertimbangkan secepat mungkin,
mengingat peningkatan mortalitas penyaki. Manajemen harus dalam pengaturan
unit perawatan intensif (ICU). Prinsip utama adalah penggantian hormon tiroid,
kortikosteroid dosis-tinggi jika diduga terjadi insufisiensi adrenal, perawatan
suportif, dan pengobatan segala kondisi yang mendasarinya. Penggantian hormon
tiroid harus diberikan sebagai T4 dan / atau T3, sering secara intravena, mengingat
keadaan pasien yang terganggu. Dapat diberikan T4 loading dosis 200-400 µg bolus
diikuti oleh 75% dari dosis yang dihitung [1,6 𝜇g/Kg × 75%] per hari sampai pasien
dalam keadaan siaga untuk minum tiroksin oral. Selain itu dapat diberikan T3 10–
20 µg diikuti oleh 2,5–10 𝜇g setiap 8 jam selama 2 hari pertama sampai pasien
waspada untuk minum oral tiroksin.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyahadi B, Syam AF


(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publisihing; 2014. hal. 2448-2454.
2. Marcadante KJ, Kliegman R, Jenson HB, dkk. Hipotiroidisme. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi 6. Jakarta: Elsevier; 2014.
3. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, et al. Disorder of The Thyroid Gland. In:
Fauci A, Kasper D, Lango D, Braunwold E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine Volume 1 Edisi 20. United
States: McGraw-Hill Education; 2018. hal. 2698-2703.
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis
Penyakit Tiroid. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI;
2015. hal. 1-7.
5. Harrisons. 2012. Disorder of the Thyroid Gland. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 18th Ed p.5767- 5806. Mc Graw Hill.
6. Vanderpump, M. P. (2011). The Epidemiology of Thyroid Disease. British
Medical Bulletin , 99, 39-51.
7. Sherwood, lauralee. 2009. Human physiology from cells to system 6th Ed.
Jakarta : EGC.
8. Price S, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC; 2005. hal.1225-1236.
9. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. hal. 266, 547.
10. Djakrnoeljonto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Di
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi l, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian
llmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. hal. 1993 – 2008.
11. Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan's basic and clinical
endocrinology. 8th ed. San Fransisco.
12. Haddady S. Risk factors for death in patients with myxedema coma. Clinical
Thyroidology for the Public April 2017;10:1-2.

37
13. Ono Y, dkk. Clinical characteristics and outcomes of myxedema coma:
Analysis of a national inpatient database in Japan. Journal of Epidemiology
2017; 27:117-22.
14. Gunatilake SS, dkk. Myxedema Crisis Presenting with Seizures: A Rare Life-
Threatening Presentation—A Case Report and Review of the Literature. Case
Reports in Endocrinology 2017; 2:(5 layar).
15. Leung A. Thyroid Emergencies. Division of Endocrinology at the David
Geffen School of Medicine at the University of California 2016; 39(5):281–6.
16. Gupta K. Myxedema Coma: A Sleeping Giant in Clinical Practice. The
American Journal of Medicine 2013;126:1-2.
17. Popoveniuc G, dkk. A diagnostic scoring system for myxedema coma. Endocr
Pract Aug 2014; 20(8):808-17.

38

Anda mungkin juga menyukai