Anda di halaman 1dari 4

B.

PENAHANAN

1. Pengertian Penahanan
Maksud penahanan menurut penjelasan Pasal 1 butir 21 KUHAP:
“Penahanan, adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.1
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak
seseorang. Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak
seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan
kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang hars dipertahankan untuk orang
banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.2
Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali.
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahan.
Ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan dalam pasal 21 ayat (4)
KUHAP: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296,
pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal
378, pasal 379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan
pasal 506 Kitan Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai,
terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, pasal
2, pasal 4 UU Tindak Pidana Imigrasi (UU Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
lembaran Negara tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal
42, pasal 43, pasal 47dan pasal 48 UU nomor 9 tahun 1976 tentang

1
P.A.F. Laminating, Theo Laminating, Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hokum pidana dan
yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 4
2
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 129
Narkotika (lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, tambahan lembaran
Negara nomor 3086). ”3
Sedangkan perlunya penahanan dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindk pidana”. 4
2. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penahan
KUHAP menentukan bahwa ada 3 macam pejabat atau instansi yang
berwenang melakukan penahanan, yaitu penyidik atau penyidik pembantu,
penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas
hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (Pasal 20
sampai Pasal 31 KUHAP).5
Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut :
1) Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik 20 Hari
2) Perpanjangan oelh penuntut umum 40 Hari
3) Penahanan oleh penuntut umum 20 Hari
4) Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri 30 Hari
5) Penahanan oleh hakim pengadilan negeri 30 Hari
6) Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri 60 Hari
7) Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi 30 Hari
8) Perpanjangan oleh ketua pengadilan tinggi 60 Hari
9) Penahanan oleh Mahkamah Agung 50 Hari
10) Perpanjangan oleh ketua Mahkamah Agung 60 Hari

3
P.A.F. Laminating, Theo Laminating, Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hokum pidana dan
yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 120-121
4
P.A.F. Laminating, Theo Laminating, Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hokum pidana dan
yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal.120
5
Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 132-133
Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam
rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400
Hari.6
3. Persyaratan Penahanan
Penahanan harus memenuhi syarat undang-undang seperti yang ditentukan
Pasal 21 ayat (1) :
 Tersangka atau terdakwa “diduga keras” sebagai pelaku tindak
pidana yang bersangkutan,
 Dugaan yang keras itu didasarkan pada “bukti yang cukup”.
Syarat penahan berbeda dengan syarat penangkapan. Perbedaan itu dalam
hal bukti. Pada penangkapan, syarat bukti ini didasarkan pada “bukti permulaan
yang cukup”. Sedang pada penahanan, didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan
demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya daripada tindakan
penangkapan.7
Maksud yang terkandung dalam KUHAP, yakni harus didasarkan pada
syarat “bukti yang cukup”. Sebab dengan bukti yang cukuplah tersangka atau
terdakwa dapat dinyatakan “bersalah”, atau sebaliknya, seseorang baru dapat
dinyatakan bersalah harus berdasarkan bukti yang cukup.8
Jika ditinjau dari segi penegakan hukum dan teknis peradilan, yang
berwenang menentukan cukup tidaknyabukti atau bersalahnya seorang terdakwa
adalah sidang peradilan, bukan pejabat penyidik atau penuntut umum. Dari jalan
pikiran ini, dapat diambil kesimpulan, oleh karena wewenang penentuan cukup
tidaknya bukti atau bersalah tidaknya seseorang ada di tangan hakim dalam suatu
persidangan maka pengertian “bukti yang cukup” disini tidak serupa dengan
pengertian cukup bukti yang dapat dipergunakan hakim dalam persidangan
sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa. Dengan
demikian, pengertian bukti yang cukup, harus diproporsionalkan sesuai dengan
taraf pemeriksaan. Pada penyidikan sudah dapat dianggap cukup bukti apabila
telah ditemukan penyidik batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke

6
Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 134
7
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal. 167
8
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal. 167
muka sidang pengadilan, sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam
Pasal 184 KUHAP.9

9
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal. 168

Anda mungkin juga menyukai