Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN PENDAHULUAN

I. KASUS ( MASALAH UTAMA)


WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat /
terus–menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan ( Keliat dan Akemat, 2010 )

Waham adalah keyakinan terhadap suatu yang salah dan secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal. (Stuart dan sundeen, 2011).

Waham adalah keyakinan klien yang tiak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Kenyataan ini
berasal dari pemikiran klien klien yang sudah kehilangan kontrol ( Depkes RI,
2011 ).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham adalah suatu


keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan tetapi tetap
dipertahankan.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


Perasaan diancam oleh lingkungan, cemas, merasa sesuatu yang tidak
menyenangkan hati

Mencoba mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas dengan
menyalah artikan kesan terhadap kejadian
Individu memproyeksikan pikiran dan perasaan internal pada lingkungan sehingga
perasaan, pikiran, dan keinginan negatif / tidak dapat diterima menjadi bagian
eksternal

Individu mencoba memberikan pembenaran / rasional / alasan interpretasi


personal tentang realita pada diri sendiri atau orang lain.

A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya waham, yaitu faktor
perkembangan, sosial budaya, psikologis dan genetik.
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang.
Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif. Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham. Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda
atau bertentangan, dapat menyebabkan timbulnya ansietas dan berakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan. Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi
otak.

B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya waham adalah faktor sosial budaya, biokimia, dan
psikologis.
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok. Dopamin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menyebabkan terjadinya waham pada seseorang. Kecemasan yang memanjang
dan terbatasnya kemampuan unstuck mengatasi masalah sehingga klien
mengembangkan koping unstuck menghindari kenyataan yang menyenangkan.

C. Jenis Waham
1. Waham Kebesaran
Individu menyakini bahwa ia memiliki kebebasan atau kekuasaan khusus dan
diucapkan berulang kali.
2. Waham Curiga
Individu menyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan / mencederai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan.
3. Waham Agama
Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
4. Waham Somatik
Individu menyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
5. Waham Nihilistik
Individu menyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia / meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

D. Fase – fase
Menurut Yosep (2010), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi
pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas.
Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta
dorongn kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan
sudah melampaui kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk
dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang
lain.
4. Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan
tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain.
E. Rentang respon neurologik
Respon Adaptif Respon Maladaptif

a. Pikiran logis a. Kadang – a. Gangguan isi


b. Persepsi akurat kadang prose's pikir
c. Emosi konsisten pikir halusinasi
dengan terganggu b. Perubahan
pengalaman b. Ilusi prose's emosi
d. Perilaku sesuai c. Emosi c. Perilaku tidak
e. Hubungan berlebihan terorganisasi
sosial d. Perilaku yang d. Isolasi sosial
tidak biasa
e. Menarik diri

F. Mekanisme koping
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya
akurat. Pengendalian implus pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat
adanya rencan bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang
lain.
Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat
penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan libik otak. Bisa
dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya
perubahan emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan
menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain
dan lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respon
lingkungan kurang mendukung terhadap perilakunya dimungkinkan akan
timbul risiko perilaku kekerasan pada orang lain.
III. A. POHON MASALAH

Resiko tinggi perilaku kekerasan

Gangguan proses pikir : waham

Harga diri rendah


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1) Masalah keperawatan yang mungkin muncul
a. Gangguan proses pikir : waham

2) Data yang perlu dikaji


a. Subjektif :
a) Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat
b) Klien mengatakan bahwa dirinya memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus

b. Objektif :
a) Klien terlihat terus ngocehtentang pemahaman yang dimilikinya
b) Pembicaraan klien cenderung diulang
c) Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Setelah pengkajian dilakukan dan data subjektif dan objektif sudah ditemukan pada
pasien, diagnosa yang dapat ditegakkan adalah Gangguan Proses Pikir : Waham.

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN ( Terlampir )


DAFTAR PUSTAKA

Direja . (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika

Keliat dan Akemat. (2010). model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta : EGC

Yosep. (2010). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN

1. KASUS (MASALAH UTAMA )

Harga Diri Rendah

A. PENGERTIAN

Gangguan konsep diri adalah suatu keadaan negatif dari perubahan mengenai

perasaan, pikiran atau pandangan tentang dirinya sendiri yang negatif. Harga diri

rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang

berkepanjangan akibat evaluasi diri yang negatif terhadap diri sendiri atau

kemampuan diri. Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat

mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain terutama

kesehatan jiwa. Gangguan harga diri rendah biasanya digambarkan sebagai perasaan

yang negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri

karena gagal mencapai keinginan (Budi Ana Keliet, 2014).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri rendah

meliputi penolakan dan kurangnya penghargaan diri dari orang tua, harapan orang tua

yang tidak realistis, orang tua yang tidak benar, membenci dan tidak menerima akan

mempunyai keraguan atau ketidakpastian, kegagalan yang berulangkali, kurang

mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri

yang tidak realistis, gagal mencintai dirinya dan menggapai cinta orang lain, misalnya

karena orang tua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang

berubah.
B. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti

penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam

kehidupan seperti kehilangan bagian tubuh, perubahan aturan, bentuk dan

penampilan fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang

normal, adanya kegagalan yang mengakibatkan produktifitas menurun. Selain itu

faktor presipitasi lain yaitu ketegangan peran berhubungan dengan peran atau

posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Pada mulanya klien

merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam

berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang

penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin

mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan

orang lain yang menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan

diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu

sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman tidak tercapai.

Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas

dari pada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan.

Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam

mengembangkan hubungan dengan orang lain.

C. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan Depresionalisasi

Diri Positif Rendah Identitas


Keterangan :

1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan

latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.

2. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif

dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif

dair dirinya.

3. Harga diri rendah adalah individu cendrung untuk menilai dirinya negatif dan

merasa lebih rendah dari orang lain.

4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek

identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial

kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.

5. Depresionalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri

sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat

membedakan dirinya dengan orang lain.

D. Mekanisme Koping

Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip oleh Anna Budi Keliat, 1998,

mekanisme koping pada pasien dengan gangguan konsep diri menjadi 2 yaitu :

1. Koping jangka pendek

 Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari

kasus.

 Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan mengganti identitas

sementara.

 Aktifitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara

terhadap konsep diri atau identitas yang kabur.

 Aktifitas yang memberi arti dalam kehidupan.


2. Koping jangka panjang

Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka

panjang. Penjelasan positif akan menghasilkan identitas dan keunikan

individu.

III. A. POHON MASALAH

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

Gangguan Citra Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI

1. Masalah Keperawatan

Harga Diri Rendah

2. Data Yang Perlu Dikaji

Data Subyektif :

 Mengkritik diri sendiri atau orang lain

 Perasaan tidak mampu

 Pandangan hidup yang pesimis

 Perasaan lemah dan takut

 Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri

 Pengurangan diri / mengejek diri sendiri

 Hidup yang berpolarisasi

 Ketidakmampuan menentukan tujuan


 Mengungkapkan kegagalan pribadi

 Merasionalisasikan penolakan

Data Obyektif :

 Produktifitas menurun

 Perilaku destruktif pada diri sendiri dan orang lain

 Penyalahgunaan zat

 Menarik diri dari hubungan sosial

 Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah

 Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)

 Tampak mudah tersinggung / mudah marah

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Harga Diri Rendah

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N. 2017. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Strategi

Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosa.

Jakarta : Salemba Medika.

Stuart, Gail W. 2015. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC 4.

Wilkinson, J. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN

I . KASUS ( MASALAH UTAMA )


Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 2011)
Perilaku kekerasan adalah prilaku yang ditandai dengan menyentuh orang lain secara
menakutkan, mengucapkan kata-kata ancaman, dan melukai pada tingkat ringan dan
paling berat atau merusak secara serius.(Budi Anna Keliat , 2014)
Kesimpulan : Perilaku kekerasan adalah perilaku dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan dirinya maupun orang lain sebagai akibat dari
perasaan jengkel yang timbul sebagai respon kekesalan atau kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman.

II . PROSES TERJADINYA MASALAH


A . Factor predisposisi
Factor perkembangan merupakan faktor hambatan perkembangan dan
mengganggu hubungan intrapersonal yang dapat meningkatkan stress dan ansietas
yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi, klien mungkin menekan perasaan
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif. Kemudian factor
budaya yang tertutup dan membatas secara diam dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap prilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah prilaku kekerasan
diterima. Sedangkan factor psikologis merupakan faktor terjadinya kegagalan yang
dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk,
masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu ditolak atau dihina dan dianiaya.
Selain itu factor biologis juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan system
limbik (pusat marah), lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan
membrane transmitter turut berespon terhadap terjadinya prilaku kekerasan .
B . Factor presipitasi :
Faktor presipitasi adalah sebagai faktor pencetus terjadinya suatu perilaku
kekerasan.
Dapat bersumbar dari klien, lingkungan atau interaksi dari orang lain, kondisi klien
seperti kelemahan fisik (penyakit fisik) keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya
diri yang kurang, dapat menjadi penyebab prilaku kekerasan
C . Rentang Respons :
Respons kemarahan dapat berfluktuasi sepanjang rentang respons adaptif dan
maladaptif
Respons adaptif Respons maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan
1. Respons adaptif
Respons yang bisa diterima norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum
yang berlaku, diantaranya :
a. Asertif (pernyataan) adalah respons marah dimana individu mampu menyatakan
atau mengungkapkan perilaku kekerasan rasa marah (tidak setuju tanpa
menyalahkan orang lain)
b. Frustasi adalah respons yang terjadi akibat individu gagal mencapai tujuan
kepuasan, rsa aman yang biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak
menemukan alternative.
2. Respons maladaptif
Respons yang diberikan individu dalam menyelesaikan masalah yang sudah
menyimpang dari norma sosial dan kebudayaan , diantaranya :
a. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan prilaku kekerasan perasaan yang sedang dialami untuk
menghindari suatu tuntutan nyata.
b. Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
induvidu untuk menuntut sesuatu yang dianggap benar dalam bentuk destruktif
tetapi masih terkontrol.
c. Kekerasan (amuk) adalah respon atau perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat disertai hilang kontrol dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang
lain dan lingkugan.
D .Mekanisme Koping :
Mekanisme koping yang sering digunakan pada klien dengan prilaku kekerasan
adalah :
1. Displacemen
Pengalihan emosi yang semula ditunjukkan pada seseorang atau benda kepada
orang lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam jiwanya
2. Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimana suatu masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyaluran secara normal
3. Proyeksi
Pengalihan unsur emosianal dari suatu pikiran yang menggangu dapat bersifat
sementara atau berjangka waktu
4. Persepsi
Mengesampingkan secara tidak sadar tentang suatu pikiran, impuls atau ingatan
yang menyakitkan atau bertentangan dari kesadaran seseorang

III . A. Pohon Masalah


Resiko perilaku kekerasan

Perilaku Kekerasan

Harga diri rendah


B. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji :
1. Masalah Keperawatan :
Perilaku Kekerasan
2. Data yang dikaji
Data Subyektif :
 Klien mengatakan pernah melakukan tindakan kekerasan
 Klien mengatakan merasa orang lain mengancam
 Klien mengatakan orang lain jahat
Data Obyektif :
 Muka tampak merah
 Mata melotot
 Tegang saat berbicara
 Nada suara tinggi
 Sering mengepalkan tangan
 Mengatupkan rahangnya
 Jalan mondar mandir

IV. Diagnose Keperawatan


Prilaku kekerasan

V. Rencana Tindakan Keperawatan


(Terlampir).
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk.(2013). Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang.


RSJD Dr. Amino Gonohutomo.

Ernawati, Dalami.(2015). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa I.


Jakarta : Trans Info Media.

Keliat Budi Ana. (2014).Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I.


Jakarta : EGC.

Stuart GW, Sundeen. (2011). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book.

Tim Direktorat Keswa.(2013). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1.


Bandung: RSJP Bandung.
LAPORAN PENDAHULUAN

I . KASUS ( MASALAH UTAMA )


Isolasi Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan
ketergantungan dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 2011).
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu kerusakan interpersonal yang terjadi akibat
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif yang
mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial.
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang
lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam.

II . PROESES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor perkembangan sosial budaya yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain,
ragu-ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang
lain, menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa
tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi
dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri dan menyendiri.
B. Faktor Presipitasi
Tingkat kecemasan yang berat menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasi masalah yang diyakini menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan (menarik diri).
C. Rentang Respons
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya menimbulkan respons-
respons sosial pada individu yaitu :

Respons adaptif Respons maladaptif

 Solitude Merasa sendiri Manipulasi


 Bekerjasama
 Saling Menarik diri Impulsif
tergantung
 Kebebasan Tergantung Narkisisme
 Mutuality

Keterangan :
1. Respons adaptif
Yaitu respons individu dalam penyesuaian masalah yang dapat diterima
oleh norma-norma sosial dan budaya yang meliputi :
a. Solitude (merenung) merupakan respons yang dibutuhkan seseorang
untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya,
dan merupakan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
b. Autonomy (kebebasan) merupakan respon individu untuk menentukan
dan menyampaikan ide-ide pikiran dan perasaan dalam hubungan
sosialnya.
c. Mutuality merupakan respons individu dalam berhubungan
interpersonal dimana individu saling memberi dan menerima.
d. Interdependence (saling ketergantungan) merupakan respons individu
dimana terdapat saling ketergantungan dalam melakukan hubungan
interpersonal.
2. Respons antara adaptif dan maladaptif
a. Aloness (merasa sendiri) dimana individu merasakan kesepian,
terkucilkan dan tersisihkan dari lingkungannya.
b. Withdrawl (menarik diri) gangguan yang terjadi dimana seseorang
menemukan kesulitan dalam membina hubungan saling terbuka dengan
orang lain, dimana individu sengaja menghindari hubungan interpersonal
ataupun dengan lingkungannya.
c. Dependence (ketergantungan) individu mulai tergantung kepada individu
yang lain dan mulai tidak memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.
3. Respons maladaptif
Yaitu respons individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya,yang
meliputi :
a. Loneliness (kesepian) merupakan gangguan yang terjadi apabila
seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain
atau tanpa bersama orang lain untuk mencari ketenangan sementara
waktu.
b. Manipulation (manipulasi) merupakan hubungan yang berpusat pada
masalah pengendalian lain dan individu cendrung berorientasi pada diri
sendiri atau tujuan dan bukan pada orang lain.
c. Narksisme merupakan rasa cinta pada diri sendiri yang berlebihan
D. Mekanisme Koping
Individu mempunyai respons sosial maladaptif yang menggunakan berbagai
mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme yang disajikan
disini berkaitan dengan jenis spesifik dari masalah-masalah berhubngan :
1. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian anti sosial yaitu
proyeksi, pemisahan dan merendahkan orang lain.
2. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian borderline yaitu
pemisahan, reaksi formasi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain,
merendahkan orang lain dan identifikasi – proyeksi.
III .A. POHON MASALAH

Resiko gangguan sensori persepsi : halusinasi (akibat)

Isolasi sosial (core problema)

Harga diri rendah (penyebab)

A. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


1. Masalah keperawatan
Isolasi sosial
2. Data yang perlu dikaji
a. Data subyektif
 Klien mengatakan malas berinteraksi
 Klien mengatakan tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
b. Data obyektif
 Mematung
 Mondar mandir tanpa arah
 Menyendiri
 Mengurung diri
 Tidak mau berbicara dengan orang lain
 Tidak berinisiatif berhubungan sosial

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi sosial

V . RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail W. 2016. Buku Saku keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Stuart adn Sundeen. 2011. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EG


LAPORAN PENDAHULUAN

I . KASUS (MASALAH UTAMA)


Halusinasi
Gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan
antara ransang yang timbul dari sumber internal seperti perasaan, pikiran, sensasi,
somatik dengan impulsif dan stimulus eksternal persepsi mengacu pada respons
reserptor sensori terhadap stimulus eksternal persepsi sehingga gangguan persepsi
dapat terjadi pada proses sensasi dari pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan atau pengecapan. Gangguan ini bersifat ringan, berat atau sementara, lama
(Harsir, Nudis, 2012).
Halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu obyek gambaran dan pikiran yang
sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan)
(Cook & Fonntare, 2013)
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi pancaindra tanpa adaanya
rangsang dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaann dimana terjadi pada
saat individu itu penuh atau baik. Dengan kata lain klien berespons terhadap
rangsang yang tidak nyata dan hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat ditentukan
oleh yang lain (Wilson, 2016).
Jadi Halusinasi adalah keadaan dimana pancaindra tidak dapat membedakan
rangsangan interna dan eksterna yang menimbulkan respons yang tidak sesuai
dengan jumlah (interpretasi yang datang).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Proses Prediposisi
Pada pasien dengan halusinasi (Stuart and Lumala, 2015) adalah faktor
perkembangan yaitu jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungn
interpersonal yang terganggu maka individu mengalami stres dan kecemasan.
Dan faktor sosio kultural di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakharmonisan
sosial budaya, hidup terisolasi dan stres yang menumpuk. Selanjutnya faktor
biokimia yang menyebabkan terjadinya pelepasan zat-zat halusinogen (bupatin
dan simotil transerase) yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses
informasi dan penurunan kemampuan menanggapi rangsangan.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi halusinasi menurut Stuart and Sundeen, 2011 adalah
stressor sosial dimana stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadinya
penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dari orang sangat penting atau
diasingkan oleh kelompok masyarakat.Faktor biokimia dimana karena klien
kurang berinteraksi dengan kelompok lain, suasana terisolasi (sepi) sehingga
dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
zat-zat halusigenik. Kemudian masalah keperawatan yang menjadi penyebab
munculnya halusinasi antara lain adalah harga diri rendah dan isolasi sosial.
Akibat kurangnya ketrampilan berhubungan sosial, klien jadi menarik diri dari
lingkungan. Dampak selanjutnya klien akan lebih terfokus pada dirinya sendiri.
Stimulus eksternal menjadi lebih dominan dibandingkan dengan stimulus
internal.
C. Rentang Respons
Rentang respons neurobiolgical

Adaptif Ilusi Maladaptif


 Pemikiran Reaksi emosional Kelainan pikiran
logis berkembang/lbh Halusinasi
 Emosi konsisten Perilakunya Ketidakmampuan
dgn penglman ganjil emosi
 Perilakunya Menarik diri Ketidakteraturan
Sesuai Isolasi sosial
 Hubngn sosial
D. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart & Sundeen, 2011). Mekanisme koping
merupakan upaya langsung dalam mengatasi stres yang berorientasi pada tugas yang
meliputi upaya pencegahan langsung, mengurangi ancaman yang ada. Mekanisme
koping yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah regresi yaitu
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas, klien jadi malas beraktifitas sehari-hari. Proyeksi yaitu upaya untuk
menyelesaikan kehancuran persepsi dan mencoba menjelaskan gangguan persepsi
dengan mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau suatu benda. Denial
adalah menghindari kenyataan yang tidak diinginkan dengan mengabaikan dan
mengakui adanya kenyataan ini.
E. Fase –fase Halusinasi
Menurut Stuart and Laraia, 2016, halusinasi dibagi menjadi 4 fase yaitu :
1. Fase pertama :
Individu mengalami stres, cemas, perasaan terpisah kecuali kesepian klien
mungkin melamun dan memfokuskan pada hal-hal yang menyenangkan untuk
menghilangkan kecemasan dan stres. Hal ini menolong sementara integrasi
pemikirannya meningkat tetapi masih bisa mengontrol kesadaran dan
mengenal pikirannya.
2. Fase kedua :
Ketakutan meningkat dipengaruhi oleh pengalaman berada pada tingkat
pendengaran halusinasi pikiran internal menjadi menonjol. Halusiansi sensori
dapat berupa bisikan yang tidak jelas dan suara aneh tetapi klien takut bila
orang lain mendengar atau memperhatikannya, perasaan klien tidak efektif
untuk mengontrol dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan
pengalaman sehingga seolah-olah halusinasi datangnya dari tempat lain.
3. Fase ketiga :
Halusinasi semakin menonjol menguasai dan mengontrol klien menjadi lebih
terbiasa dan tidak berdaya dengan halusinasinya tersebut memberi
kemungkinan dan rasa aman sementara.
4. Fase keempat :
Klien merasa tidak berdaya dan terpaku untuk melepaskan dirinya dan kontrol
yang sebelumnya menyenangkan menjadi memerintah, memarahi,
mengancam dirinya, klien tidak behubungan dengan orang lain karena terlalu
sibuk dengan halusinasinya. Mungkin klien berada dalam dunia menakutkan.
Bila tidak dilakukan intervensi secepatnya proses tersebut bisa menjadi
kronik.
F. Klasifikasi jenis dan sifat masalah
Adapun jenis dan sifat halusinasi menurut Wilson & Kneils, 2016 yaitu :
1. Halusinasi dengar (Auditarik dan Akustik) yaitu suara atau ucapan yang
didengar oleh klien tetapi tidak ada obyek realita, merupakan proyeksi
ketidakmampuan klien menerima persepsi dari dirinya yang dihubungkan
dengan kekuatan ketakutan luar yang kadang-kadang suara tersebut memaki-
maki, menghina orang lain, menertawakan dan mengancam.
2. Halusinasi lihat (Visual) yaitu bayangan visual atau sensasi yang dialami oleh
klien tanpa adanya stimulus, klien mungkin melihat bayangan dari figure obyek
atau kejadian orang lain tidak melihat obyek tersebut.
3. Halusinasi kecap (Eustatorik) yaitu halusinasi rasa yang terjadi bersama-sama
dengan halusinasi bau, klien merasa mengecap sesuatu bau atau rasa di dalam
mulitnya.
4. Halusinasi hirup atau bau (Olfaktori) yaitu klien mengalami atau mengatakan
mencium bau-bauan seperti bunga, kemenyan dan bau-bau lain yang sebenarnay
tidak ada sumbernya.
5. Halusinasi raba (Taktil) yaitu klien merasa ada seseorang yang memegang,
meraba, memukul klien. Halusinasi septik yaitu klien merasakan rabaan yang
merupakan rangsangan seksual.
Dari semua tipe halusinasi tersebut dapat terjadi sendiri atau secara
kombinasi halusinasi dapat menimbulkan perubahan yang jelas pada perubahan
lingkungan yang nyata, sehingga klien dapat sulit diajak bicara, komunikasi
mengenai diri dan lingkungannya serta mengukur efek yang terdapat pada klien
tersebut.

III . A. POHON MASALAH

Resiko Perilaku kekerasan

Gangguan sensori persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial
A. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI
1. Masalah Keperawatan
Gangguan Sensori persepsi : Halusinasi
2. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif
 Klien mengatakan sering mendengar suara bisikan di telinga.
 Klien mengatakan sering melihat sesuatu
Data Obyektif
 Klien tampak ketakutan
 Klien tampak bicara sendiri
 Klien tampak marah tanpa sebab
 Klien kadang tertawa sendiri
 Klien sering menyendiri
 Klien tampak mondar-mandir

IV . DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi

V . RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Lynda Juall. 2016. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Keliat, B.A 2016. Proses Keperawatan dan Keperawtan Kesehatan Jiwa.


Jakarta : EGC

Stuart and Sundeen. 2011. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan aktifitas perawatan diri secara mandiri
(Tarwoto dan Wartonah, 2014).
Personal hygene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, dan kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya (Poter Perry, 2017).
Syndroma kurang perawatan diri adalah keadaan dimana individu mengalami
suatu kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktifitas diri yang
meliputi makan, mandi, berdandan dan instrumental (Carpenito, 2016).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya defisist perawatan diri dan
yang sangat berpengaruh terhadap kondisi klien adalah faktor perkembangan
dimana keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu. Faktor biologis dimana penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri. Disamping itu ada
faktor sosial yang menyebabkan klien kurang mendapat dukungan dan latihan
kemampuan perawatan diri di lingkungannya, situasi lingkungan mempengaruhi
letihan kemampuan dalam perawatan diri. Selanjutnya faktor kemampuan realitas
turun, dimana klien dengan gangguan jiwa dan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
B. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya
motivasi, kerusakan kognitif atau preseptual, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.
Menurut Depkes, 2016 : 59 : faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah : faktor body image dimana gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. Dan faktor sosial dimana pada
masa anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene. Faktor sosial ekonomi dimana personal
hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, odol, sikat gigi, shampo, alat
mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. Faktor
pengetahuan dimana pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena
pengetahan yang baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien
diabetes melitus harus menjaga kebersihan kuku kakinya. Faktor budaya dimana
sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu maka tidak boleh dimandikan.
Faktor kebiasaan sesorang dimana ada kebiasaan orang yang menggunakan
produk tertentu dalam perawatan dirinya seperti penggunaan sabun,dll.
Selanjutnya faktor kondisi fisik atau psikis dimana pada keadaan tertentu atau
sakit, kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan orang lain.
C. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes, 2012 : tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah :
1. Fisik :
 Badan bau, pakaian kotor
 Rambut dan kulit kotor
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor dan bau mulut
 Penampilan rapi
2. Psikologis :
 Malas, tidak ada inisiatif
 Menarik diri, isolasi diri
 Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa dihina
3. Sosial :
 Interaksi kurang
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma
 Cara makan tidak teratur, BAK/BAB disembarang tempat, gosok gigi
dan mandi tidak mampu.
D. Etiologi
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat diri, makan secara mandiri, berhias secara mandiri, dan
toileting secara mandiri.
E. Akibat
 Dapat berakibat terjadinya resiko gangguan sensori persepsi : halusinasi.
 Semakin sulit membina hubungan dengan orang lain
 Dapat memperlambat proses penyembuhan atau pengobatan klien
 Klien dapat dikucilkan dalam keluarga maupun masyarakat
F. Jenis-jenis defisit perawatan diri
a. Kurang perawatan diri : mandi atau kebersihan adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktifitas mandi atau kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian atau berhias adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktifitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : makan adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktifitas makan.
d. Kurang perawatan diri : toileting adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktifitas toileting sendiri (Nurjannah,
2014:79).
G. Mekanisme Koping
a. Regresi adalah kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri
khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
b. Penyangkalan
c. Isolasi diri atau menarik diri adalah pemisahan unsur emosional dari suatu
pikiran yang mengganggu yang dapat bersifat sementara atau dalam waktu
yang lama.
d. Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
III. A. POHON MASALAH
Resiko gangguan sensori persepsi : Halusinasi

Isolasi Sosial DPD

HDR

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
2. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif
 Klien mengatakan dirinya malas mandi, tidak mau menyisir rambut,
tidak mau menggosok gigi dan tidak mau memotong kuku.
 Klien mengatakan juga tidak mau berhias, tidak mau menggunakan
alat mandi atau kebersihan diri.
Data Obyektif
 Klien tampak kotor, rambut kotor
 Badan bau
 Pakaian kotor
 Kuku kaki dan kuku tangan panjang dan kotor
 Mulut bau
 Gigi kotor
 Penampilan tidak rapih
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Defisit Perawatan Diri.
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Keliat, Budi Anna. 2016. Proses Keperawatan Dan Kesehatan Jiwa. Edisi 2.
Jakarta : EGC.

Yosep. 2017. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)

Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien

untuk mengakhiri kehidupannya (Budi Anna Keliat, dkk, 2017).

Usaha bunuh diri adalah tindakan yang merupakan bagian dari depresi

(kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan integritas tubuh atau status,

gambaran diri buruk) dan dapat dipandang sebagai tangisan untuk meminta

pertolongan dan intervensi (Brunner dan Suddarth, Edisi 8, 2012).

Pencederaan diri adalah aniaya diri, agresi yang diarahkan kepada diri

sendiri, membahayakan diri, cedera yang membebani diri dan mutilasi diri dengan

tujuan mengakhiri hidup (Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J.Sundeen, Edisi 3 ,

2012).

Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku bunuh diri

merupakan tindakan dari depresi kehilangan yang merupakan tangisan untuk

meminta pertolongan, dengan tindakan yang agresif,merusak diri sendiri dan

bertujuan untuk mengakhiri kehidupannya.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart dan Sundeen,1997, faktor presdisposisi bunuh diri antara

lain faktor diagnostik dimana lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri

hidupnya dengan bunuh diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa.Tiga


gangguan jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu

gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia. Faktor sifat kepribadian

dimana ada tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko

bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi. Faktor lingkungan

psikososial adalah seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan atau

perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan

faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri. Faktor riwayat keluarga

yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko penting untuk

perilaku destruktif. Faktor biokomia menunjukkan bahwa secara serotogenik,

apatengik dan depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan

perilaku destruktif diri.

B. Faktor Presipitasi

Faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri adalah perasaan

terisolasi yang dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal

melakukan hubungan yang berarti. Faktor kegagalan beradaptasi sehingga tidak

dapat menghadapi stres. Faktor perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri

dapat merupakan hukuman pada diri sendiri.

C. Rentang Respons

Rentang sehat sakit dapat dipakai untuk menggambarkan respons

adaptif sampai respons maladaptif pada bunuh diri :

Adaptif Maladaptif

Menghargai Berani ambil merusak diri Bunuh diri

Diri resiko dalam sendiri secara

mengembangkan tidak langsung

diri
Keterangan :

Dalam kehidupan, individu selalu menghadapi masalah atau stressor respons

individu terhadap stressor tergantung pada kemampuan masalah yang dimiliki

serta tingkat stres yang dialami. Individu yang sehat senantiasa berespons secara

adaptif dan jika gagal ia akan berespons maladaptif dengan menggunakan koping

bunuh diri.

D. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah segala usaha yang diarahkan untuk

menanggulangi stres. Usaha ini dapat berorientasi pada tugas yang meliputi

usaha pemecahan masalah langsung. Dari sudut kedokteran dapat dikemukakan

bahwa setidak-tidaknya orang yang hendak melakukan bunuh diri egoistik atau

anomik berada dalam keadaan patologis. Mereka semua sedang mengalami

gangguan fungsi mental yang bervarariasi dari yang ringan sampai yang berat

karena itu perlu ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistik boleh dikatakan tidak

mungkin kecuali bila kebudayaan dan norma-norma masyarakat diubah.

III. A. POHON MASALAH

Resiko Bunuh Diri

Harga Diri Rendah

Keputusasaan
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI

1. Masalah Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
3. Data yang dikaji
Data Subyektif
 Klien mengungkapkan ingin untuk bunuh diri
 Klien mengungkapkan keinginan untuk mati
 Klien mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
 Klien sering berbicara tentang kematian, menanyakan dosis obat
yang mematikan
 Klien mengungkapkan adanya konflik interpersonal
 Klien mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat
kecil
 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari
keluarga
Data Obyektif
 Impulsif
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh)
 Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis dan penyalahgunaan
alkhohol)
 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal)
 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau kegagalan
dalam karier)
 Status perkawinan yang tidak harmonis

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Resiko Bunuh Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan suddarth. 2012. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC

Ernawati, Dalami, dkk. 2017. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Jiwa. Jakarta : Trans Info Medika.

Keliat Anna Bdi, Akemat. 2017. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.

Jakarta : EGC

Surya, herman, Ade. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha

Medika
STRATEGI PELAKSANAAN ( SP 1 P )

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi pasien
Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat, memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus, klien terlihat terus ngoceh tentang pemahaman
yang dimilikinya, Pembicaraan klien cenderung diulang, Isi pembicaraan tidak
sesuai dengan kenyataan

2. Diagnosa keperawatan
Gangguan proses pikir : Waham Agama

3. Tujuan khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
b. Klien dapat mengidentifikasi perasaan yang muncul secara berulang dalam
pikiran klien
c. Klien dapat mengidentifikasi stressor / pencetus wahamnya
d. Klien dapat mengidentifikasi wahamnya

4. Tindakan keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bantu orientasi realita
c. Diskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
d. Bantu pasien memenuhi kebutuhannya
e. Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
B. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM TINDAKAN
a. Fase Orientasi
1. Salam terapeutik
“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya ................., sering dipanggil

.............. Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu, saya adalah

mahasiswa S1 keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini

selama 4 minggu dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya

praktek pada pagi hari dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?.”

2. Validasi
Bagaimana perasaan ibu sekarang ini?
Bagaimana tidurnya semalam?

3. Kontrak :
a. Topik : Boleh kita berbincang – bincang sebentar bu untuk
melakukan perkenalan? Dan berbincang – bincang tentang apa yang
ibu rasakan sekarang ini?
b. Waktu : ibu mau kita berbincang – bincang berapa lama bu?
Bagaimana kalau 15 menit saja? Dari pukul 10.00 – 10.15 ya pak.
c. Tempat : Dimana enaknya kita berbincang – bincang ya bu?
Bagaimana kalau dimeja makan ya bu?
d. Tujuan : Agar kita saling mengenal, ibu lebih mengenal bruder,
dan bruder lebih mengenal ibu, serta ibu dapat mengenal perasaan apa
yang ibu rasakan sekarang ini.

b. Fase kerja
Ibu sudah berapa lama dirawat disini?. Kalau bruder boleh tahu ada
masalah apa sampai ibu dibawa ke sini bu?
Saya mengerti ibu merasa kalau ibu adalah seorang nabi, tetapi sulit bagi
saya untuk mempercayainya bu karena setahu saya semua nabi sudah tidak
ada lagi bu. Bisa kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus tadi bu?
Tampaknya ibu gelisah sekali, bisa ibu ceritakan apa yang ibu rasakan
sekarang?
O…jadi ibu merasa takut nanti diatur – atur oleh orang lain dan tidak
punya hak untuk mengatur diri ibu sendiri?
Menurut ibu siapa orang – orang yang suka mengatur ibu?
O …jadi bapak yang sering mengatur – ngatur ibu ya bu,?
Kalau ibu sendiri inginnya seperti apa bu?
Bagus, bapak sudah sudah punya jadwal dan rencana sendiri untuk diri bu,
coba kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut ya bu. Wah bagus sekali bu,
jadi sekarang setiap hari ibu ingin melakukan kegiatan di luar rumah
karena bosan kalau di rumah terus ya pak? Sekarang bruder juga punya
jadwal ini bu buat ibu, ibu isi jam dan tanggal berapa ibu melakukan
kegiatan, kegiatan apa yang ibu lakukan, dan keterangannya dapat ibu
tuluskan hurup M : Jika melakukan secara mandiri tanpa bantuan orang
lain, B : Jika melakukan dengan bantuan orang lain dan T : Jika tergantung
penuh pada orang lain, apabila ibu melakukan kegiatan diluar rumah dan
mengisi jadwal kegiatan yang ibu punya maka ibu juga jangan lupa
sekalian isi jadwal kegiatan yang bruder kasik ya bu.
c. Fase terminasi
a) Evaluasi
1) Evaluasi subjektif :
Bu, bagaimana perasaan bu setelah berbincang – bincang dengan
bruder tadi,,?
Kegiatan apa yang sudah ibu lakukan?
2) Evaluasi Objektif
Bu masih ingat siapa nama bruder? Coba ibu ulangi kembali
kegiatan apa yang akan dilakukan dan yang sudah diajarkan tadi?
Bagaimana kalau jadwal yang sudah ibu buat untuk diri sendiri ini
ibu coba lagi bu, setuju?

b) Rencana tindak lanjut


Bu hari ini sampai disini dulu ya pertemuan kita, apabila ibu
melakukan kegiatan diluar rumah dan ibu mengisi jadwal kegiatan ibu
yang ibu punya, dan jangan lupa masukan dalam jadwal kegiatan
harian yang sudah saya kasih ya bu. Saya berharap setiap ibu bertemu
dengan saya dan saat memerlukan bantuan saya, ibu mau memanggil
saya supaya selama ibu di sini dapat bekerjasama dengan saya serta ibu
mampu sembuh kembali.

c) Kontrak yang akan datang


1) Topik : Bu bagaimana kalau besok saya akan datang kembali
untuk mengevaluasi jadwal kegiatan harian yang sudah saya kasih
tadi ya bu dan kita berbincang - bincang tentang kemampuan yang
ibu miliki ya bu.
2) Waktu : Kita mau berbincang – bincang berapa lama bu?
Bagaimana kalau 15 menit ya bu, dari pukul 10.00 – 10.15 ya bu.
3) Tempat : Mau dimana kita berbincang – bincang besok bu?
Bagaimna kalau disini lagi bu?
STRATEGI PELAKSANAAN ( SP 1 P )

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I . PROSES KEPERAWATAN

A. Kondisi Klien

Klien mengatakan dirinya tidak berguna dan malu, merasa tidak mampu, malu

bertemu orang lain, klien terlihat melamun.

B. Diagnosa Keperawatan

Harga Diri Rendah

C. Tujuan Khusus

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang

dimiliki klien

3. Klien dapat menilai kemampuan yang masih dapat digunakan

4. Klien dapat memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan

kemampuan klien

5. Klien dapat memilih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih

D. Tindakan Keperawatan

1. Bina hubungan saling percaya

2. Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

3. Bantu klien menilai kemampuan klien yang masih dapat digunakan


4. Bantu klien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan

klien

5. Latih klien sesuai kemampuan yang dipilih

6. Berikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien

7. Anjurkan klien memasukkan dalam kegiatan jadwal harian

II. STRATEGI KOMUNIKASI

C. Tahap Orientasi

1. Salam Terapeutik

“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya ........, sering dipanggil ............

Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu, saya adalah mahasiswa S1

keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini selama 4 minggu

dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya praktek pada pagi hari

dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?.”

2. Kontrak

a. Topik :”Bagaimana kalau kita bincang-bincang tentang hal-hal positif

yang biasa ibu lakukan sehari-hari? Tujuannya agar ibu dapat menilai

kemampuan positif yang masih ibu miliki”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit”

c. Tempat :”Ibu mau bincamg bincang di mana? Bagaimana kalau di

taman.”
B. Tahap Kerja

Bu, dari tadi saya melihat ibu melamun dan diam saja? Apa yang menyebabkan

ibu melamun memandang ke bawah? Kegiatan apa yang ibu lakukan sehari-hari?

Oh..ternyata ibu setiap hari kegiatannya merapihkan tempat tidur setiap pagi , doa

bersama, senam bersama, dan hari-hari tertentu seperti Selasa dan Kamis ikut

pengajian. Kalau begitu kegiatan apa yang paling ibu suka, dan sering ibu

lakukan?

C. Tahap Terminasi

1. Evaluasi

a. Evaluasi subyektif : “Bagaimana perasaan ibu setelah kita bincang-

bincang?.”

b. Evaluasi obyektif :

“Coba ibu sebutkan lagi kegiatan apa yang sering ibu lakukan?

Bagus....ibu masih ingat.”

2. Rencana tindak lanjut

“Saya harap ibu dapat mengingat apa yang telah kita perbincangkan tadi.”

3. Kontrak yang akan datang

a. Topik :”Bu, waktu kita berbincang-bincang sudah selesai dan besok kita

akan berbincang-bincang lagi tentang bagaimana cara memilih

kegiatan latihan, kegiatan yang positif yang masih ibu miliki

yang dapat digunakan untuk kegiatan selanjutnya.”

b. Tempat :”Besok kita bincang-bincang di mana? Bagaimana kalau di taman

lagi?.”

d. Waktu :”Jam berapa besok kita bertemu? Bagaimana kalau jam 10.00

pagi?.”
STRATEGI PELAKSANAAN ( SP 1 P )

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I . PROSES KEPERAWATAN
A. Kondisi Klien
Klien mengatakan pernah melakukan tindak kekerasan, merasa orang sekitar
jahat, dan mengancam, juga tampak tegang, muka merah, matanya melotot,
nada suaranya tinggi, sering mengepalkan tangan, mengatupkan rahangnya dan
jalan mondar mandir.

B. Diagnosa Keperawatan :
Perilaku Kekerasan

C. Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Kien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang digunakan
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
6. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
7. Klien dapat mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik 1

D. Tindakan Keperawatan :
1. Bina hubungan saling percaya
2. Diskusikan penyebab perilaku kekerasan
3. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Diskusikan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
5. Diskusikan akibat perilaku kekerasan
6. Latih mencegah perilaku kekerasan dengan cara fisik : tarik nafas dalam
7. Masukkan ke jadwal kegiatan harian

II. STRATEGI KOMUNIKASI


A. Tahap Orientasi :
1. Salam Terapeutik

“Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya ................., sering dipanggil

........ Nama bapak siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Bapak, saya adalah

mahasiswa S1 keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini

selama 4 minggu dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya

praktek pada pagi hari dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?.”

2. Kontrak

a. Topik :”Bagaimana kalau kita bincang-bincang tentang hal-hal positif

yang biasa ibu lakukan sehari-hari? Tujuannya agar bapak dapat

menilai kemampuan positif yang masih bapak miliki”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit”

c. Tempat :”ibu mau bincang bincang di mana? Bagaimana kalau di

taman.”

B. Tahap Kerja :
“Apa yang menyebabkan ibu marah?.Apakah sebelumnya ibu pernah
marah?Terus, penyebabnya apa?.Samakah dengan yang sekarang?.O....ya, jadi
ada 2 penyebab marah ibu”.” Pada saat penyebab marah itu ada, seperti ibu
pulang ke rumah dan keluarga belum menyediakan makanan, apa yang
rasakan?.”Apakah ibu merasakan kesal kemudian dada ibu berdebar-debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat dan tangan mengepal?”.”Setelah itu apa yang ibu
lakukan? O...ya, jadi ibu memukul anak ibu dan memecahkan piring, apakah
dengan cara ini makanan terhidang? Iya, tentu tidak. Apa kerugian dari cara
yang ibu lakukan? Betul, keluarga jadi sakit dan takut,piring-piring pecah.
Menurut ibu adakah cara lain yang lebih baik? Maukah ibu belajar cara
mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?.”Ada
beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, ibu. Salah satunya adalah dengan
cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkan rasa marah”. “Ada beberapa
cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?.”Begini ibu, kalau tanda-
tanda marah tadi sudah ibu rasakan maka ibu berdiri, lalu tarik nafas dari hidung
sambil mengangkat kedua tangan ke atas, tahan sebentar, lalu keluarkan
perlahan-lahan melalui mulut seperti mengeluarkan kemarahan sambil
membungkukkan badan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung sambil mengangkat
kedua tangan ke atas, bagus....tahan sebentar dan tiup melalui mulut sambil
membungkukkan badan. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, ibu sudah bisa
melakukannya. Bagaimana perasaannya?”.”Nah, sebaiknya latihan ini ibu
lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-waktu rasa marah itu muncul ibu
sudah terbiasa melakukannya”.
C. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi (respons klien terhadap tindakan keperawatan)
 Data Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah melakukan latihan teknik nafas dalam tadi?.”
 Data Obyektif
“Coba ibu praktekkan lagi bagaimana cara melakukan tehnik nafas dalam.”
2. Tindak Lanjut :
Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah ibu yang lalu, apa
yang ibu lakukan kalau marah, dan jangan lupa latihan nafas dalamnya ya ibu.
Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali sehari ibu mau latihan
nafas dalam?.Jam berapa saja bu?
3 . Kontrak Topik Yang Akan Datang :
a. Topik :”Baik ibu kita sudah selesai berbincang-bincang, besok saya akan
menemui ibu kembali untuk melihat perkembangan kondisi ibu dan
mengajarkan tehnik relaksasi yang lain”.
b. Tempat :”Di mana sebaiknya kita bertemu besok bu? Bagaimana di sini saja?”
c. Waktu :”Ibu mau jam berapa kita bertemu besok? Bagaimana kalau jam 09.00
pagi? Baiklah bu, saya permisi dulu,sampai jumpa besok.
STRATEGI PELAKSANAAN ( SP 1 P )

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I . PROSES KEPERAWATAN

A. Kondisi Klien

Klien mengatakan malas berinteraksi dan klien mengatakan tidak mau


berinteraksi dengan orang lain. Dan klien tampak mematung, mondar
mandir tanpa arah, menyendiri, mengurung diri,tidak mau berbicara dengan
orang lain dan tidak berinisiatif berhubungan sosial
B. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
C. Tujuan Khusus
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri
3. Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan
kerugian menarik diri
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
5. Klien dapat menjelaskan perasaannya setelah hubungan sosial
D. Tindakan keperawatan
1. Membinan hubungan saling percaya
2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial klien
3. Mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
4. Mendiskusikan dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain.
5. Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang
6. Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian.

II . STRATEGI KOMUNIKASI
B. Tahap Orientasi
1. Salam terapeutik :

“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya ................, sering dipanggil

............ Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu saya adalah

mahasiswa S1 keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini

selama 4 minggu dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya

praktek pada pagi hari dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?

2. Evaluasi validasi :

“Bagaimana perasaan ibu pagi ini? Bagaimana tidurnya semalam?”

3. Kontrak :

a. Topik :”Ibu , pagi ini kita bertemu untuk berkenalan dan berbincang-

bincang mengenai masalah yang ibu alami?”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?

c. Tempat :”Ibu mau berbincang-bincang di mana? Bagaimana kalau di

ruang makan?

d. Tujuannya :Tujuan kita berbincang-bincang hari ini agar kita kenal

lebih dekat satu sama lain dan mengetahui permasalahan yang ibu

hadapi.

C. Tahap Kerja

“Ibu sudah berapa lama dirawat di sini? Apa ibu tahu, ibu sekarang berada

di mana? Apakah ibu punya teman di sini? Kegiatan apa yang ibu lakukan di

sini? Apa ibu punya hoby? Hoby ibu apa? Mengapa ibu bilang tidak punya
teman? Bukannya di sini banyak teman? Menurut ibu apa keuntungan

berhubungan sosial atau berinteraksi dengan orang lain dan apa kerugiannya

jika tidak berinteraksi dengan orang lain? Apakah ibu mengenal semua

orang yang ada di sini? Apakah ibu sering ngobrol-ngobrol dengan mereka

semua? Apakah ada penghambat yang ibu rasakan untuk berinteraksi

dengan orang lain? Jadi jika ibu mau berkenalan atau berinteraksi dengan

orang lain berarti ibu akan mempunyai banyak teman, ibu mau tidak

mempunyai banyak teman?Jika ibu mempunyai banyak teman, ibu tidak

akan kesepian, bisa berdiskusi dan saling menolong dan akan ada banyak

orang yang akan membantu ibu jika ibu ada masalah dan sebaliknya jika ibu

tidak mau berkenalan dengan banyak orang, ibu akan merasa sendirian,

kesepian dan tidak bisa diskusi.

“Nah, sekarang bruder akan mengajarkan bagaimana cara berkenalan yang

baik. Pertama, ibu ucapkan salam, lalu berjabat tangan dan sebutkan nama

ibu dan senang dipanggil siapa, lalu ibu tanyakan nama lawan bicara dan

senang dipanggil siapa? Setelah itu ibu bisa ngobrol-ngobrol tentang

alamatnya di mana, asalnya dari mana dan hobynya apa, dan lain-lain.

Sekarang bruder akan mempraktekkan dengan ibu dan coba ibu

mempraktekkannya pada bruder. Bagus...ibu dapat melakukannya, jadi ibu

bisa melakukannya dengan siapa saja. Nah, sekarang kita masukkan ke

dalam jadwal harian, ibu mau latihan jam berapa saja?.”


D. Tahap Terminasi

1. Evaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan

 Evaluasi Subyektif

“Bagaimana perasaan ibu setelah berbincang-bincang dan melakukan

latihan perkenalan dengan orang lain?.”

 Evaluasi Obyektif

“Tadi ibu sudah tahu cara berkenalan, coba ibu praktekkan lagi cara

berkenalan dengan orang secara benar, bagus sekali.”

2. Rencana tindak lanjut

“Ibu, ingat-ingat cara berkenalan dengan orang lain yang benar seperti

tadi bunda ajarkan dan ibu bisa melakukannya dengan siapa saja. Tadi

kegiatan dan cara berkenalan sudah kita masukkan ke dalam jadwal

harian ibu, nanti ibu latihan sesuai jadwal ya...nanti dalam mengisi

jadwal berikan tanda pada huruf M bila dilakuakn mandiri, huruf B bila

dengan bantuan dan huruf T bila tidak dikerjakan dan besok akan bruder

tanyakan lagi ke ibu ya?.”

c. Kontrak yang akan datang

1. Topik :”Sesuai janji bruder, karena sudah 15 menit maka kita berhenti

dulu diskusi kita. Besok kita akan lanjutkan pembicaraan kita tentang

bagaimana berkenalan dengan satu orang.”

2. Waktu :”Jam berapa besok kita bertemu, bagaimana kalau jam 10.00

pagi?.”Berapa lama kita berbincang-bincang, bagaimana kalau 15

menit?.”

3. Tempat :”Di mana kita bertemu besok, bagaimana kalau di taman?


STRATEGI PELAKSANAAN ( SP 1 P )

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I . PROSES KEPERAWATAN

A. Kondisi Klien

Klien mengatakn mendengar suara-suara. Klien mengatakan mendengar suara

yang tidak jelas, klien mengatakan suara itu datang setiap saat, klien

mengatakan suara itu muncul sekitar 5-10 menit, klien mengatakan bila suara

itu muncul saya gelisah tidak bisa tidur, yang biasa saya lakukan adalah

berdoa. Klien terlihat tersenyum sendiri, klien tampak senang berbicara sendiri

dan klien tampak mondar-mandir.

B. Diagnosa Keperawatan

Gangguan Sensori persepsi : Halusinasi

C. Tujuan Khusus

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasi

3. Klien dapat mengendalikan halusinasi

D. Tindakan Keperawatan

1. Bina hubungan saling percaya

2. Diskusikan jenis halusinasi klien

3. Diskusikan isi halusinasi


4. Diskusikan waktu halusinasi

5. Diskusikan frekuensi halusinasi

6. Diskusikan situasi yang menimbulkan halusinasi

7. Diskusikan respons klien terhadap halusinasi

8. Ajarkan klien menghardik halusinasi

9. Ajarkan klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal

kegiatan harian.

II . STRATEGI KOMUNIKASI

A. Tahap Orientasi

1. Salam terapeutik :

“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya ..........., sering dipanggil ..........

Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu saya adalah mahasiswa

S1 keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini selama 4

minggu dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya praktek pada

pagi hari dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?

2. Evaluasi validasi :

“Bagaimana perasaan ibu pagi ini? Bagaimana tidurnya semalam?”

3. Kontrak :

a. Topik :”Ibu , pagi ini kita bertemu untuk berkenalan dan berbincang-

bincang mengenai masalah yang ibu hadapi”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?

c. Tempat :”Ibu mau berbincang-bincang di mana? Bagaimana kalau di

ruang makan?
d. Tujuannya : kita berbincang-bincang hari ini agar kita kenal lebih dekat

satu sama lain dan mengetahui permasalahan yang ibu hadapi.

B. Tahap Kerja

“Sudah berapa lama ibu berada di sini?Coba ibu ceritakan, apa yang

menyebabkan ibu di bawa ke sini? Sekarang ini permasalahan apa yang ibu

hadapi? Apa ibu mendengar suara-suara yang mengganggu ibu? Bruder

percaya dengan apa yang ibu dengar, tetapi bruder tidak mendengar suara-

suara yang ibu dengar adalah halusinasi.”

“Suara apa yang ibu dengar? Apa yang dikatakan oleh suara-suara tersebut?

Oh ...begitu ya.Biasanya jam berapa suara-suara itu muncul? Kira-kira berapa

lama suara-suara itu muncul?”

“Dalam satu hari, berapa kali suara-suara itu muncul? Pada saat ibu lagi

ngapain suara-suara itu muncul? Apa yang ibu rasakan? Apakah ibu merasa

tenang atau merasa tidak nyaman? Terus apa yang ibu lakukan saat suara-

suara itu muncul? Apa ibu marah-marah, memukul-mukul atau ibu diam saja?

Oh...ya jadi begitu ya bu .

“Sekarang bruder akan mengajarkan ibu cara mengusir suara-suara tersebut

dengan menghardik bila suara-suara itu muncul. Caranya : tutup telinga

dengan menggunakan kedua tangan kemudian kataakan pergi-pergi, saya tidak

mau mendengar kamu, suaramu palsu”.

“Apakah ibu sudah mengerti? Nah ...coba sekarang ibu lakukan sendiri cara

menghardik halusinasi seperti yang saya ajarkan tadi. Benar sekali bu, Ibu

sudah bisa memperagakan cara mengontrol halusinasi dengan cara

menghardik.” Sekarang mari kita masukkan cara mengontrol halusinasi

dengan menghardik ke dalam jadwal kegiatan harian ibu. Apakah ibu sudah
tahu cara mengisi jadwal kegiatan? Caranya adalah apabila ibu bisa

mempraktekkannya sendiri, ibu tuliskan dalam jadwal, bila ibu melakukannya

dengan bantuan orang lain, ibu tulis dan bila ibu tergantung sepenuhnya pada

orang lain ibu tulis.” Ibu sudah mengerti? Bagus.”

C. Tahap Terminasi

1. Evaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan

 Evaluasi Subyektif

“Bagaimana perasaan ibu setelah berkenalan dengan bruder dan

berbincang-bincang tentang cara mengontrol halusinasi dengan

cara menghardik?”

 Evaluasi Obyektif

“Coba ibu sebutkan lagi siapa nama bruder? Tadi kita sudah

mempelajari cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik,

sekarang coba ibu peragakan lagi dengan cara seperti yang bruder

ajarkan tadi”.Bagus...ibu sudah dapat memperagakannya dengan

baik dan benar.”

2. Rencana Tindak Lanjut

“Ibu, bruder berharap bila ibu mendengar suara-suara, ibu dapat

mengusirnya dengan cara menghardik dan jangan lupa memasukkannya ke

dalam jadwal kegiatan harian ibu.”

3. Kontrak Yang Akan datang

a. Topik :”Ibu besok kita akan bertemu lagi dan berbincang-bincang cara

mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.”


b. Waktu :”Besok kita bertemu jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00

WIB? Berapa lama ibu mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?”

c. Tempat :”Ibu mau kita berbincang-bincang di mana? Di ruang makan

atau di taman? Bagaimana kalau di taman?”

Baik bu, Rita pamit dulu sampai bertemu lagi besok pagi, selamat

pagi,
STRATEGI PELAKSANAAN (SP 1 P)

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I. PROSES KEPERAWATAN
A. Kondisi Klien
Klien mengatakan malas mandi, tidak mau menyisir rambut, tidak mau
menggosok gigi, tidak mau memotong kuku, tidak mau berhias dan tidak mau
menggunakan alat mandi atau kebersihan diri.
Klien tampak kotor, badan bau, pakaian kotor, mulut bau, gigi kotor, rambut
kotor, kuku panjang dan penampilan tidak rapi.
B. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri.
C. Tujuan Khusus
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat menjelaskan pentingnya kebersihan diri
3. Klien dapat menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
4. Klien dapat mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
D. Tindakan Keperawatan
1. Bina hubungan saling percaya
2. Diskusikan dengan klien pentingnya kebersihan diri
3. Diskusikan dengan klien cara menjaga kebersihan diri
4. Bantu klien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
5. Berikan pujian kepada klien atas usahanya
6. Anjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
II. STRATEGI KOMUNIKASI
A. Tahap Orientasi
1. Salam terapeutik :
“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya .........., sering dipanggil ............

Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu saya adalah mahasiswa S1

keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini selama 4 minggu

dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya praktek pada pagi hari

dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?

2. Evaluasi validasi :

“Bagaimana perasaan ibu pagi ini? Bagaimana tidurnya semalam?”

3. Kontrak :

a. Topik :”Ibu , pagi ini kita bertemu untuk berkenalan dan berbincang-

bincang mengenai masalah yang ibu hadapi”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?

c. Tempat :”Ibu mau berbincang-bincang di mana? Bagaimana kalau di

ruang makan?

d. Tujuannya :Tujuan kita berbincang-bincang hari ini agar kita kenal

lebih dekat satu sama lain dan mengetahui permasalahan yang ibu

hadapi.

B. Tahap Kerja

“Nah....sekarang kita akan berbicara tentang pentingnya perawatan diri. Apakah

ibu sudah mandi hari ini? Apa yang menyebabkan ibu tidak melakukan

perawatan diri? Menurut ibu apa kegunaan atau manfaat kalau kait menjaga

kebersihan diri? Apa alasan ibu sehingga tidak bisa merawat diri atau mandi?

Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa ya?
Misalnya badan gatal. Apalagi ya? Apa yang ibu lakukan untuk merawat rambut

dan muka? Kapan saja ibu menyisir rambut? Bagaimana dengan bedakan? Apa

maksud atau tujuan sisiran dan berdandan?

“berapa kali ibu makan sehari? Apa yang ibu lakukan setelah makan? Apa betul

kita harus sikat gigi setelah makan?

“Di mana biasanya ibu berak atau kencing?Bagaimana membersihkannya?

“Menurut ibu kalau mandi itu kita harus bagaimana? Sebelum mandi apa yang

perlu kita persiapkan? Bagaimana kalau sekarang kita ke kamar mandi, bunda

Bara akan membantu ibu melakukannya. Sekarang ibu siram seluruh tubuh

termasuk rambut lalu ambil shampo gosokkan pada kepala ibu sampai berbusa

lalu bilas sampai bersih. Bagus sekali. Selanjutnya ambil sabun, gosokkan di

seluruh tubuh secara merata lalu siram dengan air sampai bersih. Jangan lupa

sikat gigi pakai odol, giginya disikat mulai dari arah atas ke bawah, gosok

seluruh gigi mulai dari depan sampai belakang, bagus sekali, lalu kumur-kumur

sampai bersih. Terakhir siram lagi seluruh tubuh ibu sampai bersih lalu

keringkan dengan handuk, ibu sudah bagus melakukannya. Selanjutnya ibu pakai

baju dan sisir rambutnya dengan rapih.”

C. Tahap Terminasi

1. Evaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan

a. Evaluasi Subyektif

“Bagaimana perasaan ibu setelah mandi dan mengganti pakaian, dan

bagaimana perasaan ibu setelah mendiskusikan tentang pentingnya

kebersihan diri tadi?.”


b. Evaluasi Obyektif

“Sekarang coba ibu sebutkan apa saja yang disiapkan saat mandi serta

cara-cara mandi yang baik yang sudah ibu lakukan tadi?” Bagus sekali.

Mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian. Nah tadi ibu

melakukan sendiri ya beri tanda di huruf M.

2. Rencana tindak lanjut

“baiklah ibu, setelah kita berbicara tentang pentingnya perawatan diri,

manfaat perawatan diri, tanda-tanda orang yang tidak merawat diri serta cara-

cara melakukan perawatan diri,ibu jangan lupa tentang perawatan diri yang

benar serta cara-caranya yang telah bruder ajarkan tadi.”

3. Kontrak yang akan datang

a. Topik :”Bagaimana bu, besok bruder akan datang kembali untuk

membicarakan tentang cara-cara memotong kuku yang benar dan cara

berdandan”.

b. Waktu :”Jam berapa besok kita bertemu? Bagaimana kalau jam 10.00

pagi? Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?

c. Tempat :”Di mana kita bertemu? Bagaimana kalau di kamar makan?


STRATEGI PELAKSANAAN (SP 1 P)

Nama :

Ruangan :

Hari / tanggal :

Pertemuan :

I. PROSES KEPERAWATAN

A. Kondisi Klien

Klien mengatakan ingin mengakhiri hidupnya karena klien merasa

disekelilinginya (keluarga dan teman) tidak ada yang mau memperhatikannya,

klien ingin mati, klien menggatakan pernah mencoba untuk bunuh diri, klien

juga mengatakan putus asa karena diputuskan pacarnya satau tahun yang lalu,

klien tampak murung, tidak bergairah, sering menyendiri, memainkan tali, ada

bekas percobaan bunuh diri di lengan kiri.

B. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

C. Tujuan Khusus

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat terlindung dari bunuh diri

3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya

D. Tindakan Keperawatan

1. Bina hubungan saling percaya

2. Identifikasi benda-benda yang dapat membahayakan klien

3. Amankan benda-benda yang dapat membahayakan klien

4. Lakukan kontrak treatment.


5. Ajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri

6. Latih cara mengendalikan diri

II. STRATEGI KOMUNIKASI

A. Tahap Orientasi
1. Salam terapeutik :
“Selamat pagi Ibu, perkenalkan nama saya .........., sering dipanggil .........

Nama ibu siapa? Lebih suka dipanggil siapa? Ibu saya adalah mahasiswa S1

keperawatan STIKIM Jakarta Selatan, saya praktek di sini selama 4 minggu

dari tanggal 30 September – 25 Oktober 2019. Saya praktek pada pagi hari

dari pukl 08.00 – 14.00 WIB. Hoby ibu apa?

2. Evaluasi validasi :

“Bagaimana perasaan ibu pagi ini? Bagaimana tidurnya semalam?”

3. Kontrak :

a. Topik :”Ibu , pagi ini kita bertemu untuk berkenalan dan berbincang-

bincang mengenai masalah yang ibu hadapi”.

b. Waktu :”Berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?

c. Tempat :”Ibu mau berbincang-bincang di mana? Bagaimana kalau di

ruang makan?

d. Tujuannya :Tujuan kita berbincang-bincang hari ini agar kita kenal lebih

dekat satu sama lain dan mengetahui permasalahan yang ibu hadapi.
B. Tahap Kerja

“Nah...sekarang coba ibu ceritakan apa yang ibu pikirkan? Mungkin bruder dapat

membantu. Mengapa ibu sering memainkan tali di sudut ruangan tempat tidur

ibu? Saya sedih bruder karena baru diputuskan pacar saya sejak satu tahun yang

lalu, padahal saya sudah tunangan. Saya merasa sudah tidak berguna lagi, saya

ingin mati bruder karena keluarga dan teman-teman saya sudah tidak

memperhatikan keadaan saya.

“Nah...sekarang bruder akan mengajarkan ibu bagaimana cara mengendalikan

dorongan bunuh diri. Sekarang bruder akan melatih cara mengendalikan

dorongan bunuh diri dengan cara latihan fisik yaitu tarik nafas dalam dan

memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian, ibu isi jam dan tanggal berapa

melakukan kegiatan, kegiatan apa yang ibu lakukan dan keterangannya dapat ibu

tuliskan huruf : M  jika melakukan secara mandiri tanpa bantuan orang lain. B

:  jika melakukan dengan bantuan orang lain.

T :  jika tergantung penuh pada orang lain. Apabila ibu merasa ada dorongan

untuk mengakhiri kehidupan sebaiknya ibulakukan tarik nafas dalam ya, lalu ibu

masukkan ke dalam jadwal ini. Jangan lupa diisi jadwal kegiatan yang telah

bruder ajarkan tadi ya. Bruder yakin ibu bisa melakukannya.

C. Tahap Terminasi

1. Evaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan

a. Evaluasi Subyektif

“Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang tadi, dan

melatih cara mengendalikan dorongan untuk bunuh diri yang bruder

ajarkan tadi?.”
b. Evaluasi Obyektif

“Coba ibu lakukan lagi cara mengendalikan dorongan bunuh diri seperti

yang bruder ajarkan tadi? Ya..bagus, ibu.” Bagaimana kalau jadwal yang

sudah bruder beritahu tadi, ibu coba lagi isi.”

2. Rencana tindak lanjut

“Coba mulai sekarang, ibu malakukan tehnik nafas dalam apabila dorongan

untuk bunuh diri kembali muncul dan selanjutnya memasukkannya ke dalam

jadwal kegiatan harian ibu seperti yang bruder ajarkan tadi.”

3. Kontrak yang akan datang

a. Topik :”Bu bagaimana kalau besok bruder akan datang kembali untuk

mengevaluasi jadwal kegiatan harian yang sudahbruder beritahu tadi ya

ibu dan besok bruder akan ajarkan tentang cara lain mengendalikan

dorongan bunuh diri dengan cara pukul bantal atau kasur.

b. Waktu :”Jam berapa besok kita bertemu? Bagaimana kalau jam 10.00

pagi? Dan berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15

menit?

c. Tempat :”Dimana kita bertemu besok? Bagaimana kalau di ruang makan.”

Anda mungkin juga menyukai