Selain itu data Badan Pusat Statistik memberikan gambaran bahwa 1 dari 3
perempuan usia 15 – 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh
pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia
1 – 64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
Kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang
tinggal di daerah perkotaan (36.3%) dibandingkan yang tingga di pedesaan (29,8%).
Kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami perempuan usia 15-64 tahun
dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas (39.4%) dan status pekerjaan tidak
bekerja (35,1%). Hal ini memnang menjadi ironi, sebab Indonesia dikenal akan
budaya sopan santun, tetapi justru banyak menyimpan kasus kekerasan seksual.
Salah satu kasus yang masih hangat hingga saat ini adalah korban pelecehan seksual
yaitu Baiq Nuril yang dipindanakan. Baiq Nuril sedianya adalah korban pelecahan
seksual dalam kasus ini. Namun, ia dijerat UU ITE hingga divonis bersalah dalam
putusan kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 tertanggal 26 September 2018 yang
membatalkan Putusan Bebas (Vrijpraak) Pengadilan Negeri Mataram Nomor
265/Pid.Sus/2017/PN. MTR Tertanggal 26 Juli 2017.
Hal ini menunjukkan bahwa saat ini ketentuan hukum normatif dan kesan
profesionalisme putusan hakim mengalami degradasi, seharus nya Hakim dalam
membuat putusan harus menggali, menemukan, dan mengikuti cita keadilan
masyarakat, putusan tersebut dinilai justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat
itu sendiri, sebagaimana tercermin dalam kasus ini.
Jika kita meminjam teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radburch
bahwa tujuan hukum itu tidak hanya menciptakan kepastian terhadap hukum itu
sendiri dalam artian hanya melihat bunyi pasal-pasal yang dikenakan oleh terdakwa
melainkan juga harus menciptakan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Di sisi lain, disadari atau tidak disadari, masyarakat mengalami pergolakan tanpa
mengenal titik perhentian. Masyarakat senantiasa berproses sedangkan hukum positif
cenderung mengkristal sebagai produk.
Berkaitan dengan hal ini sesungguhnya sosiologi hukum adalah pandangan yang tepat
dalam menjawab persoalan ini, sosiologi hukum tidak hanya memandang hukum dari
segi positivisme sebagaimana yang diterapkan oleh Putusan MA terhadap baiq nuril
melainkan juga memandang hukum dari segi sosial, memandang hukum bukan
semata-mata sebagai Undang-Undang produk kekuasaan, tetapi produk sosial,
memandang hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi dalam realitas kehidupan
nyata, jika hukum normatif cenderung mengkristal sebagai produk (Quid Juris,
Sollen), sosiologi hukum cenderung pada kenyataan empiris yang dialami masyarakat
(Quid Facti/Sein).
Dalam sosiologi hukum, disebabkan oleh perhatian terhadap struktur sosial, maka
hukum juga tidak memiliki lingkup universal, melainkan variabel. Pada waktu
melakukan kajian sosiologi hukum, maka variabel-variabel sosiologis dimasukkan,
seperti latar belakang sosial dan ekonomi, kedudukan dalam masyarkaat, gender, etnis
dan ras. Menurut Achmad Ali, sosiologi hukum dapat memberikan manfaat dalam
penegakan hukum antara lain:
1. Sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum
dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor
sosial lain yang memengaruhinya;
2. Sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman
terhadap hukum di dalam konteks sosial.
3. Sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan
analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana
untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial
tertentu.
4. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan kemampuan untuk
mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh bahwa sosiologi hukum memiliki
kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum
dalam konteks sosial, penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan
kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat
baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana
mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
Metode kerja sosiologi hukum yaitu dengan membuat deskripsi mengenai objek kasus,
membuat penjelasan (explenation), mengungkapkan (reveling), dan membuat prediksi,
jika dibenturkan pada kasus Baiq Nuril, maka persoalan hukumnya akan terselesaikan,
karena memang secara sosial Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual sedangkan
jika dilihat dari kacamata hukum positif UU ITE, Baiq Nuril adalah tersangka.
Sosiologi hukum sangat berbeda dengan hukum normatif – positivis yang bertolak
dari hukum perundang-undangan. Karena pencarian pengungkapan dan penjelasan
mengenai hal yang sebenarnya itu maka sosiologi hukum berseberangan dengan
hukum normatif.
Sosiologi hukum sebagai wadah keilmuan yang mampu meningkatkan daya kerja
hukum positif diharapkan dapat menyatu keadalan seluruh aktivitas penegakan hukum
di Indonesia, penting halnya melibatkan pandangan sosiologi hukum dalam RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, proses legislasi menjadi hal penting dalam
menyelesaikan persoalan hukum yang ada agar kedepan kekerasan seksual terhadap
perempuan tidak lagi terjadi di Indonesia.
Oleh sebab itu, kehadiran studi-studi sosial atau kajian-kajian sosial terhadap hukum
sangat kontributif bagi kebutuhan perumusan, proses pembuatan dan pelaksanaan
norma-norma hukum dalam kenyataan. Kita semua sebetulnya sudah mengetahui
bahwa kehidupan hukum itu lebih luas, tidak hanya sebatas perundang-undangan dan
pekerjaan menerapkan undang-undnag.
Oleh karena itu, pandangan sosiologi hukum boleh juga kita syukuri. Oleh karena ia
menggarap lahan yang selama ini masih sangat diterlantarkan dengan demikian
mudah-mudahan pemahaman kita mengenai hukum memang benar-benar menjadi
semakin cerdas.