Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1

Dosen Pengampu:
Ns. Dian Nur Adkhana Sari., S.Kep., M.Kep.

DISUSUN OLEH :
Ade Putri Bayau (04194778)
Ajeng Pratiwi (04194779)
Alifah Rahmawati Ningsih (04194780)
An Indah Nur Izzati (04194781)
Anggi Nurwardanik (04194782)
Aggun Salmah Lubis (04194783)
Agriyani (04194784)
Anissa Nur Majiidah (04194785)
Annisa Febrianti (04194786)

Kelas : A/KP/I
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Rasa Syukur Alhamdulillah yang sedalam - dalamnya kami panjatkan kehadirat Allah
Yang Maha Kuasa karena hanya dengan rahmat dan petunjuk-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini.
Menyadari akan keterbatasan kemampuan kami, maka dalam hal ini kami mengharap kritik
dan saran membangun.

Besar harapan kami semoga penulisan makalah ini dapat memenuhi syarat.
Mudah - mudahan hasil dari tugas makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi
kita sekalian, Amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


A. PENGERTIAN CARING DAN PELAYANAN KESEHATAN
1. CARING
Secara bahasa, istilah caring diartikan sebagai tindakan kepedulian. Caring
secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang
lain, pengawasan dengan waspada, serta suatu perasaaan empati pada orang lain dan
perasaan cinta atau menyayangi.
Pengertian caring berbeda dengan care. Care adalah fenomena yang
berhubungan dengan orang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku kepada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan
kualitas kehidupan manusia. Sedangkan caring adalah tindakan nyata dari care yang
menunjukkan suatu rasa kepedulian.
Terdapat beberapa pengertian caring menurut beberapa ahli, antara lain :
Florence nightingale (1860) : caring adalah tindakan yang menunjukkan
pemanfaatan lingkungan pasien dalam membantu penyembuhan, memberikan
lingkungan bersih, ventilasi yang baik dan tenang kepada pasien.
Delores gaut (1984) : caring tidak mempunyai pengertian yang tegas, tetapi ada tiga
makna dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan, yaitu perhatian, bertanggung jawab,
dan ikhlas.
Crips dan Taylor (2001) : caring merupakan fenomena universal yang mempengaruhi
bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam hubungannya
dengan orang lain.
Rubenfild (1999) : caring yaitu memberikan asuhan, tanggunggung jawab, dan ikhlas.
Crips dan Taylor (2001) : caring merupakan fenomena universal yang mempengaruhi
bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam hubungannya
dengan orang lain.
Rubenfild (1999) : caring yaitu memberikan asuhan, dukungan emosional pada klien,
keluarga, dan kerabatnya secara verbal maupun nonverbal.
Jean watson (1985) : caring merupakan komitmen moral untuk melindungi,
mempertahankan, dan meningkatkan emosional pada klien, keluarga, dan kerabatnya
secara verbal maupun nonverbal.
Jean watson (1985) : caring merupakan komitmen moral untuk melindungi,
mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipersingkat bahwa pengertian
caring secara umum adalah suatu tindakan moral atas dasar kemanusiaan, sebagai
suatu cerminan perhatian, perasaan empati dan kasih sayang kepada orang lain,
dilakukan dengan cara memberikan tindakan nyata kepedulian, dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas dan kondisi kehidupan orang tersebut. Caring merupakan inti
dari keperawatan.
2. PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam
memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. definisi pelayanan kesehatan
menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan
kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan
promotif( peningkatan kesehatan ) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan
menurut Levey dan Loomba (1973), Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang
diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau
masyarakat. definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah
setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok dan atupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah
dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak
macamnya. Karena kesemuanya ini ditentukan oleh:
 Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi.
 Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan
kesehatan atau kombinasi dari padanya.
Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat
dibedakan atas dua, yaitu:
1. Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok
pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian
yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu
organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam
kelompok kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara
pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi.
Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

B. MASALAH YANG SERING TERJADI CARING DI PELAYANAN


KESEHATAN
Ada beberapa masalah yang sering muncul dalam kehidupan seorang perawat
dan berpotensi memberi dampak besar pada kehidupan perawat, maka terkadang,
mereka merasa malas bahkan hanya untuk bangun dan pergi kerja. Tetapi
bagaimanapun, mereka harus tetap kuat dan menerima setiap masalah dengan lapang
dada. Berikut beberapa masalah yang sering ditemui perawat:
1. Kurang direspek
Perawat merasa bahwa hampir selalu, mereka tidak mendapat respek
yang seharusnya mereka terima. Baik dari rekan sejawatnya atau bahkan
dari pasien; khususnya ketika dibandingkan dengan dokter. Sulit bagi
perawat untuk bekerja dalam lingkungan dimana tidak ada respek dan
kerjasama tim. Kerjasama tim hanya dapat terjadi ketika rekan sejawatnya
saling memberikan respek dan menikmati pekerjaan bersama satu sama
lain.
Dalam profesi perawat, terdapat satu waktu dimana perawat merasa
pasiennya sudah kelewatan, dalam bentuk sikap yang tidak layak; seperti
marah-marah, keras kepala, frustasi dan lain sebagainya. Parahnya lagi,
beberapa pasien melampiaskan kemarahannya pada perawat atau bahkan
hingga melakukan kekerasan. Kurangnya respek ini menyebabkan
perawat menganggap dirinya tidak terlalu berharga dan tidak dihargai di
pekerjaannya, yang sama sekali tidak benar.
2. Gaji kecil
Kebanyakan orang berpikir bahwa mereka tidak menerima gaji yang
cukup – yang menjadi masalah universal. Perawat juga ingin diberi
kompensasi lebih untuk pekerjaannya dan mereka juga ingin mendapat
lebih banyak keuntungan. Perawat harus diberikan kompensasi yang
sepantasnya untuk jam-jam yang mereka gunakan dalam bekerja dan
pengorbanan yang mereka lakukan.
3. Menjadi sasaran utama PHK
Ini merupakan fakta bahwa perawat memainkan peran besar dalam
industri medis. Memberikan alasan yang sama mengapa ketika rumah
sakit atau klinik harus mengurangi pengeluarannya, perawat selalu
menjadi target utama. Sebagaimana yang diketahui perawat, pekerjaannya
merupakan sesuatu yang menantang dan berguna, terkadang di dalam hati
kecilnya, mereka juga merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan
masa depan yang pasti.
4. Waktu kerja yang panjang
Semua orang tahu bahwa industri medis meliputi jam kerja yang
panjang untuk mereka yang bekerja di rumah sakit dan klinik. Perawat,
khususnya, perlu memiliki jam kerja yang panjang dan terkadang mereka
diberikan pembagian jam yang berganti-ganti, khususnya jika mereka
harus menggantikan perawat yang tidak masuk. Dalam alur kerja yang
menjemukan ini, perawat harus memiliki kekuatan batin dan pada waktu
yang sama, memiliki sejumlah empati pada pasiennya. Hal ini susah
dicapai jika mereka tidak memiliki waktu untuk beristirahat dan merasa
sangat lelah.
5. Melakukan banyak hal dalam satu waktu
Tidak seperti tenaga kesehatan lainnya, perawat harus melakukan
banyak hal dalam jadwal kerja harian mereka. Ketika mereka bekerja
lembur, mereka akan merasa lebih sulit untuk menyelesaikan
pekerjaannya dan melakukan tanggungjawabnya saat bekerja. Ini
merupakan kasus tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan
semuanya. Profesi perawat merupakan profesi yang sempurna hanya
untuk orang yang mengerti seninya melakukan banyak hal dalam suatu
waktu.
6. Meningkatnya paparan terhadap infeksi
Dibandingkan tenaga kesehatan lain, perawat memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk terinfeksi penyakit dari pasien jika
mereka tidak melakukan tindak pencegahan yang tepat. Ini dapat muncul
ketika pasien dengan infeksi batuk atau bersin di tengah prosedur medis
tertentu. Di samping menggunakan masker dan mengenakan sarung
tangan untuk perlindungan, perawat juga harus mengeluarkan uang untuk
suplemen untuk memastikan mereka tidak terkena penyakit apapun dari
pasien yang mereka temui setiap hari.
C. MASALAH YANG SERING TERJADI DI PELAYANAN KESEHATAN
Permasalahan utama pelayanan kesehatan saat ini antara lain adalah masih
tingginya disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan
antara perkotaan dengan perdesaan. Secara umum status kesehatan penduduk dengan
tingkat sosial ekonomi tinggi, di kawasan barat Indonesia, dan di kawasan perkotaan,
cenderung lebih baik. Sebaliknya, status kesehatan penduduk dengan sosial ekonomi
rendah, di kawasan timur Indonesia dan di daerah perdesaan masih tertinggal.
Permasalahan penting lainnya yang dihadapi adalah terjadinya beban ganda
penyakit, yaitu belum teratasinya penyakit menular yang diderita oleh masyarakat
seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, dan diare,
serta munculnya kembali penyakit polio dan flu burung. Namun, pada waktu yang
bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan
pembuluh darah, serta diabetes melitus dan kanker.
Di sisi lain, kualitas, pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesehatan
juga masih rendah. Kualitas pelayanan menjadi kendala karena tenaga medis sangat
terbatas dan peralatan kurang memadai. Dari sisi jumlah, rasio tenaga kesehatan
terhadap jumlah penduduk yang harus dilayani masih rendah. Keterjangkauan
pelayanan terkait erat dengan jumlah dan pemerataan fasilitas kesehatan. Pada tahun
2002, untuk setiap 100.000 penduduk hanya tersedia 3,5 Puskesmas. Itu pun sebagian
penduduk, terutama yang tinggal daerah terpencil, tidak memanfaatkan Puskesmas
karena keterbatasan sarana transportasi dan kendala geografis.
Pelindungan masyarakat di bidang obat dan makanan masih rendah. Dalam
era perdagangan bebas, kondisi kesehatan masyarakat makin rentan akibat
meningkatnya kemungkinan konsumsi obat dan makanan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan keamanan. Ketersediaan, mutu, keamanan obat, dan perbekalan
kesehatan masih belum optimal serta belum dapat dijangkau dengan mudah oleh
masyarakat. Selain itu, obat asli Indonesia (OAI) belum sepenuhnya dikembangkan
dengan baik meskipun potensi yang dimiliki sangat besar.
Perilaku masyarakat juga sering tidak mendukung hidup bersih dan sehat. Hal
ini dapat terlihat dari meluasnya kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu
ibu (ASI) eksklusif, tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi lebih pada balita, serta
kecenderungan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, penderita
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (Napza), dan kematian akibat
kecelakaan.
Selain permasalahan mendasar seperti itu, dalam sepuluh bulan terakhir,
paling tidak terdapat lima isu penting di bidang kesehatan yang perlu penanganan
segera, yaitu penjaminan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan,
penanganan masalah gizi buruk, penanggulangan wabah penyakit menular, pelayanan
kesehatan di daerah bencana, dan pemenuhan jumlah dan penyebaran tenaga
kesehatan.
1. Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin
Secara nasional status kesehatan masyarakat telah meningkat. Akan
tetapi, disparitas status kesehatan antara penduduk mampu dan penduduk
miskin masih cukup besar. Berbagai data menunjukkan bahwa status
kesehatan penduduk miskin lebih rendah jika dibandingkan dengan
penduduk kaya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari tingginya angka
kematian bayi dan angka kematian balita pada kelompok penduduk
miskin. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2002-2003, angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61
berbanding 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya.
Demikian juga, angka kematian balita pada penduduk termiskin (77 per
1.000 kelahiran hidup) jauh lebih tinggi daripada angka kematian balita
pada penduduk terkaya (22 per 1.000 kelahiran hidup). Penyakit infeksi
yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti
ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit kelahiran, juga lebih sering
terjadi pada penduduk miskin.
Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terkait erat dengan
terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan, baik karena kendala
geografis maupun kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003
menunjukkan bahwa kendala terbesar yang dihadapi penduduk miskin
untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan adalah ketiadaan uang
(34 persen), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terlalu jauh (18
persen), serta adanya hambatan dengan sarana angkutan atau transportasi
(16 persen).
Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa kendala biaya menjadi
permasalahan yang cukup serius, terutama bagi penduduk miskin, karena
selama ini sebagian besar (87,2 persen) pembiayaan kesehatan bersumber
dari penghasilan penduduk sendiri. Pembiayaan yang berasal dari jaminan
pemeliharaan kesehatan (kartu sehat yang dikeluarkan Pemerintah) hanya
sebesar 6,3 persen dan yang berasal dari asuransi sebesar 5,2 persen.
Artinya, penduduk harus menanggung biaya yang besar untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini tentu amat memberatkan bagi
penduduk miskin karena mereka harus mengeluarkan biaya yang besar
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.
2. Masalah Gizi Buruk
Masalah kesehatan yang menimbulkan perhatian masyarakat cukup
besar akhir-akhir ini adalah masalah gizi kurang dan gizi buruk. Walaupun
sejak tahun 1989 telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang
relatif tajam, mulai tahun 1999 penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk pada balita relatif lamban dan cenderung tidak berubah. Saat ini
terdapat 10 provinsi dengan prevalensi gizi kurang di atas 30, dan bahkan
ada yang di atas 40 persen, yaitu di Provinsi Gorontalo, Nusa Tenggara
Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.
Kurang energi dan protein pada tingkat parah atau lebih populer
disebut busung lapar, dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang
besar dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak. Menurut data
Susenas 2003, diperkirakan sekitar 5 juta (27,5 persen) anak balita
menderita gizi kurang, termasuk 1,5 juta (8,3 persen) di antaranya
menderita gizi buruk. Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa
pada tahun 2004 masih terdapat 3,15 juta anak (16 persen) menderita gizi
kurang dan 664 ribu anak (3,8 persen) menderita gizi buruk. Pada tahun
2005 dilaporkan adanya kasus gizi buruk tingkat parah atau busung lapar
di Provinsi NTB dan NTT, serta beberapa provinsi lainnya. Penderita
kasus gizi buruk terbesar yang dilaporkan terjadi di Provinsi NTB, yaitu
terdapat 51 kasus yang dirawat di rumah sakit sejak Januari sampai
dengan Mei 2005. Jumlah kasus di sembilan provinsi sampai Juni 2005
dilaporkan sebanyak 3.413 kasus gizi buruk dan 49 di antaranya
meninggal dunia.
Munculnya kejadian gizi buruk ini merupakan “fenomena gunung es”
yang menunjukkan bahwa masalah gizi buruk yang muncul hanyalah
sebagian kecil dari masalah gizi buruk yang sebenarnya terjadi. Di
Provinsi NTB, misalnya, berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan
sejak Januari-Juni 2005 hanya ditemukan sekitar 900 kasus. Namun,
diperkirakan terdapat 2.200 balita marasmus kwashiorkor. Masalah
busung lapar terutama dialami oleh anak balita yang berasal dari keluarga
miskin.
Dua faktor penyebab utama terjadinya gizi buruk tersebut adalah
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan
terjadi dalam kurun waktu yang lama. Penyebab kedua adalah terjadinya
serangan penyakit infeksi yang berulang. Kedua faktor ini disebabkan
oleh tiga hal secara tidak langsung, yaitu (1) ketersediaan pangan yang
rendah pada tingkat keluarga; (2) pola asuh ibu dalam perawatan anak
yang kurang memadai; dan (3) ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terbatas. Penyebab tidak langsung
tersebut merupakan konsekuensi dari pokok masalah dalam masyarakat,
yaitu tingginya pengangguran, tingginya kemiskinan, dan kurangnya
pangan.
3. Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Menular
Masalah kesehatan lainnya yang menjadi keprihatinan masyarakat
adalah terjadinya KLB berbagai penyakit menular. Penyakit menular yang
diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi seperti
tuberkulosis paru yang saat ini menduduki urutan ke-3 terbanyak di dunia,
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, dan diare. Selain itu
Indonesia juga menghadapi emerging diseases (penyakit yang baru
berkembang) seperti HIV/AIDS dan Severe Acute Respiratory Syndrom
(SARS) dan re-emerging diseases (penyakit yang sebelumnya mulai
menurun, tetapi meningkat kembali) seperti demam berdarah dengue
(DBD) dan TB paru.
Salah satu penyakit menular yang akhir-akhir ini menonjol adalah
munculnya kasus polio di beberapa wilayah seperti Provinsi Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah, Lampung, dan DKI Jakarta. Polio merupakan
penyakit menular yang sangat berbahaya yang disebabkan oleh virus yang
menyerang sistem syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan menetap
atau kematian. Satu dari 200 kasus infeksi virus akan menyebabkan
kelumpuhan, 5–10 persen pasien meninggal dunia akibat kelumpuhan
pada otot pernapasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini
hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin untuk imunisasi ini aman
dan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dinyatakan halal.
Sejak tahun 1995, kasus polio liar tidak pernah ditemukan lagi di
Indonesia. Akan tetapi, Indonesia masih memiliki risiko terhadap virus
polio impor dan risiko terhadap Vaccine Derived Polio Virus (VDPV) di
daerah cakupan imunisasi rendah. Virus polio liar yang kembali muncul
akhir-akhir ini di Indonesia diperkirakan berasal dari negara lain.
Kasus polio pertama dilaporkan pada bulan April 2005 pada anak
umur 20 bulan di Desa Giri Jaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Setelah dilakukan surveilans
epidemiologi, kasus polio juga ditemukan di Kabupaten Lebak, Jawa
Barat. Penularan kasus polio liar berkembang sangat cepat dan hingga saat
ini sudah menyebar di lima provinsi yaitu Lampung, Banten, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Jumlah kasus positif yang
dilaporkan sampai 1 Agustus 2005 berjumlah 189 kasus dengan 8 kasus
di antaranya meninggal dunia.
Selain polio, penyakit menular yang cukup menjadi perhatian adalah
flu burung (avian influenza). Penyakit ini dilaporkan mulai menyerang
ayam ternak di Provinsi Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Kalimantan Barat pada tahun 2003 dan awal tahun 2004. Pada awal Juli
2005, ditemukan 3 kasus korban jiwa manusia yang positif menderita flu
burung yang terjadi di Tangerang, Banten. Selain dampak kesehatan,
kejadian ini juga mengakibatkan keresahan masyarakat dan kerugian
ekonomi yang cukup besar, khususnya bagi peternak.
Berbagai emerging dan re-emerging diseases, kasus polio, dan flu
burung dapat terjadi antara lain karena tingginya mobilitas penduduk
antarnegara. Dengan demikian penularan penyakit antarnegara
(transnasional) ini dapat terjadi dengan mudah, mengingat semakin
mudahnya transportasi manusia, hewan, dan lain-lain antarnegara.
Selain penyakit polio dan flu burung, penyakit DBD, malaria, TB
paru, dan HIV/AIDS perlu pula mendapat penanganan yang memadai.
Sejak pertama kali ditemukan kasus DBD di Indonesia, jumlah kasus dan
daerah terjangkit terus meningkat meskipun kasus kematian akibat DBD
dapat ditekan. Sementara itu, meskipun angka kesakitan malaria
cenderung menurun, prevalensi malaria masih cukup tinggi. Beberapa
provinsi dengan angka kesakitan malaria yang tinggi adalah Provinsi
Papua, Maluku, NTT, Sulawesi Tengah, dan Bangka Belitung. Dalam hal
jumlah kasus penyakit TB paru, Indonesia menduduki peringkat ke-3
terbesar di dunia, setelah India dan Cina. Semua provinsi di Indonesia
sampai dengan bulan Juni 2005, telah melaporkan penduduk yang
terinfeksi HIV. Jumlah kumulatif penderita AIDS di Indonesia telah
mencapai lebih dari 3.000 penderita.
4. Penanganan Masalah Kesehatan di Daerah Bencana
Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh, Nias, Alor,
dan Nabire telah menimbulkan dampak yang besar di bidang kesehatan.
Banyak sekali korban yang meninggal, hilang, dan luka-luka. Sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan banyak yang hancur dan tidak berfungsi
secara optimal, seperti rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu,
kantor dinas kesehatan, balai laboratorium kesehatan (BLK), gudang
farmasi, gudang vaksin, politeknik kesehatan (poltekes), dan kantor
kesehatan pelabuhan. Bencana tsunami di Aceh mengakibatkan kerusakan
pada 9 rumah sakit, 43 puskesmas, 59 puskesmas pembantu, 700
poliklinik desa, dan 55 pusksemas keliling, dan sarana lain seperti rumah
sakit, laboratorium dan kantor dinas kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan
yang meninggal atau hilang adalah 683 orang.
5. Masalah Tenaga Kesehatan
Indonesia saat ini mengalami kekurangan pada hampir semua jenis
tenaga kesehatan yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per
100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum, 2,7 dokter
gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan
masyarakat, per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 0,5 sarjana
kesehatan masyarakat, 1,7 apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi,
dan 4,7 tenaga sanitasi. Kondisi tenaga kesehatan pada tahun 2004 tidak
jauh berbeda dengan itu karena sistem pendidikan masih belum bisa
menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, serta
sistem perekrutan dan pola insentif bagi tenaga kesehatan kurang optimal.
Di samping itu, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan masyarakat
masih belum memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki
dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh
distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua
pertiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas rasio dokter
umum per 100.000 penduduk antarwilayah juga masih tinggi dan berkisar
dari 2,3 di Lampung hingga 28,0 di DI Yogyakarta.
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini,
misalnya, masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum.
Akibatnya, banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya
dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Susenas 2004
menunjukkan bahwa masih banyak penduduk (29,8 persen) yang harus
menunggu setengah hingga satu jam untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan rawat jalan. Sebagian masyarakat (8,1 persen) menyatakan
kurang atau tidak puas dengan pelayanan kesehatan dan 33,21 persen
menyatakan cukup puas.
BAB II
ANALISA JURNAL KEPERAWATAN

1. Uraian PICO (Problem, Intervention, Comparison, Outcome)


a. Person/Problem/Population:
Person Problem Population
Diah Fitri Purwaningsih Bagaimana perilaku Populasi dalam
caring perawat penelitian ini adalah
pelaksana di ruang rawat perawat pelaksana yang
inap bekerja di ruang rawat
inap.

b. Intervention:
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku caring yang dilaksakan di
ruang rawat inap. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah non probability
sampling dengan teknik pengambilan sample consecutive sampling yaitu suatu
metode penelitian sample yang di lakukan dengan memilih semua individu yang
ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah sample yang di inginkan
terpenuhi.

c. Comparison:
1) Jurnal yang di analisa:
Perilaku Caring Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perilaku caring terdapat perawat
pelaksana dalam kategori baik 57,9%. Menurut peneliti hal ini
dikarenakan karena mayoritas perilaku caring baik dikarenakan usia
responden yang sudah masuk usia 23-50 tahun, semain tua usia perawat
maka semakin caring, dikarena perawat tersebut akan makin sabar,
berpengalaman dan akan lebih dewasa (Wahyudi,2016).
2) Jurnal pembanding:
Hubungan Karakteristik Perawat dan Karakteristik Organisasi
dengan Perilaku Caring Perawat Pelaksana di Ruag Rawat Inap
Rumah Sakit Husada Pontianak 2017. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat hubungan antara pola komunikasi dengan perilaku caring perawat
pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Kartika Husada Pontianak.
Manajemen keperawatan dapat menjadi mediator yang baik untuk
meningkatkan upaya bagi perawat pelaksana dalam meningkatkan
perilaku caring.

d. Out Come:
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa usia dan pendidikan berpengaruh pada caring perawat. Usia
menunjukkan aspek demografis yang penting untuk diamati karena dapat
mencerminkan beberapa nilai seperti pengalaman, kematangan berfikir,
kemampuan, beberapa nilai tertentu. Usia juga dapat mempengaruhi keadaan
fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Karyawan yang
umurnya lebih tua kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja ulet dan memiliki
tanggung jawab yang besar (Hasibuan, 2003).
Peran pendidikan dalam membangun caring perawat sangat penting.
Pengetahuan seseorang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Semakin
luas pengetahuan perawat, maka berhubungan dengan tingkat caring yang
semakin tinggi dan berdampak pada penerimaan tanggung jawab dalam
menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik (Suarli, 2010, Gibson, 2010).

2. Tabel
No. Komponen Aspek Hasil Analisa
Dimensi Abstrak Abstrak dalam penelitian ini sudah
Substansi dan memuat latar belakang, tujuan, metode,
Teori hasil, dan kesimpulan.
Pendahuluan Pada pendahuluan sudah mencantumkan
1.
latar belakang, namun untuk tujuan dan
manfaat penelitian belum dicantumkan.
Kerangka Kerangka teori dalam penelitian ini sudah
Teori dicantumkan
2. Dimensi Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah
Desain desain penelitian deskriptif.
Metodologi Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah
perawat pelaksana yang bekerja di ruang
rawat inap. Sampel dalam penelitian ini
adalah 19 responden. Teknik sampling
dalam penelitian ini adalah non
probability sampling dengan teknik
pengambilan sampel consecutive
sampling yaitu metode pemilihan sampel
dengan memilih semua individu yang
ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan
sampai jumlah yang diinginkan terpenuhi.
Instrument Alat untuk pengumpulan data pada
Penelitian penelitian ini tidak disebutkan.
Analisis
Statik
3. Dimensi Pembahasan Hubungan Usia dengan Perilaku Caring:
Pembahasan  Semakin tua usia perawat mak
semakin caring, dikarenakan perawat
tersebut akan semakin sabar,
berpengalaman, dan akan lebih
dewasa (Wahyudi, 2016)
 Umur dapat mempengaruhi kondisi
fisik, mental, kemampuan kerja, dan
tanggung jawab seseorang.
Karyawan yang umumnya lebih tua
kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja
ulet dan memiliki tanggung jawab
yang besar (Hasibuan, 2003)
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan
Perilaku Caring
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
tingkat pendidikannya. Semakin luas
pengetahuan perawat, maka berhubungan
dengan tingkat caring yang semakintinggi
dan berdampak pada penerimaan
tanggung jawab dengan baik (Suarli,
2010, Gibson, 2010)
4. Dimensi Etik Subjek Subjek penelitian ini adalah responden
Penelitian berjumlah 19 orang yaitu berusia terendah
23 tahun dan tertinggi 50 tahun, laki-laki
7 orang dan perempuan 12 orang, 15
orang dengan tingkat pendidikan D3 dan
4 orang dengan tingkat pendidikan S1, 15
orang dengan status kepegawaian PNS
dan 4 orang dengan status kepegawaian
nonPNS, 6 orang dengan masa kerja ≤5
tahun dan 13 orang dengan masa kerja >5
tahun.
Dilema Etik Di dalam jurnal tidak dijelaskan
dan Hukum persetujuan dilakukan penelitian
Pelanggaran Di dalam jurnal tidak ada permohonan
Prinsip Etik izin yang disertakan.
5. Presentasi dan Kejelasan Pada penelitian ini informasi, peneliti
Penulisan Informasi tidak menjabarkan setiap variabel dengan
jelas. Karena untuk variabel peneliti
hanya menuliskan variabel independen
saja.
Teknik Teknik yang digunakan dalam penulisan
Penulisan jurnal sudah bagus, tersususn rapi dan
sistematis.
6. Daftar Pustaka
7. Kelebihan Hasil penelitian cukup jelas dengan 5
Jurnal tabel yang masing-masing memuat
distribusi usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status kepegawaian, masa
kerja, dan tabel perilaku caring perawat
kemudian dijelaskan lebih detail pada
pembahasan.
8. Kekurangan Jurnal ini kurang lengkap mulai dari
Jurnal instrument yang digunakan tidak
dituliskan, variabel yang dituliskan tidak
detail, tidak menjelaskan lembar
persetujuan dilakukan penelitian, dan
tidak disertakan permohonan izin
penelitian.

Anda mungkin juga menyukai