Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN HASIL KEGIATAN

PELATIHAN PPGD (GELS)

( Penanganan Penderita Gawat Darurat,


General Emergency Life Support )

dr. INTAN WIDAYATI


480 140 978

DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOGOR


UPTD PUSKESMAS WILAYAH CIBUNGBULANG
2007
LAPORAN KEGIATAN PELATIHAN
PENANGANAN PENDERITA GAWAT DARURAT (PPGD) /
GENERAL EMERGENCY LIFE SUPPORT (GELS)
ANGKATAN III TAHUN 2007

I. Pendahuluan
Bencana merupakan kejadian yang mendadak, dengan banyak korban, baik
korban medis maupun non medis, yang perlu ditangani secara menyeluruh,
terpadu dan dengan system yang jelas agar dapat dicapai hasil yang baik. Pada
bencana selain masalah korban yang jumlahnya besar, pada umumnya juga
terjadi kerusakan / kelumpuhan pada infrastriktur setempat sehingga
penanganannya memerlukan bantuan dari luar. Dengan demikian yang perlu
ditangani bukan hanya korban saja, melainkan juga sarana pendukung
kehidupan yang rusak tersebut. Demikian juga mengenai fase penanganannya
tidak hanya pada saat kejadian saja, tetapi harus secara menyeluruh sesuai fase
bencana.
Pada bencana, penanganan korban hanyalah bagian dari penanganan
secara keseluruhan. Demikian juga unsure Medis hanyalah merupakan bagian
dari system yang harus melibatkan unsure lain seperti Keamanan, Logistik, dan
unsure penunjang lainnya.

Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)


Yang dimaksud dengan pasien Gawat Darurat (GD) adalah pasien yang
terancam kehidupannnya atau beresiko kehilangan fungsi organ atau anggota
tubuhnya akibat keadaan yang akut. Untuk dapat melakukan PPGD, paling tidak
ada tiga hal yang harus dipenuhi yaitu : tersedianya petugas yang memenuhi
kualifikasi tertentu, sarana yang cukup, dan system yang memungkinkan
terselenggaranya PPGD itu sendiri.
Petugas yang terlibat dalam PPGD wajib memiliki kemampuan tertentu
seperti untuk dokter minimal harus menguasai keterampilan untuk memberikan
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) serta mengenal keadaan GD akibat
trauma maupun non trauma yang sering dijumpai. Demikian pula untuk
paramedic serta petugas non medis. Sedangkan sarana yang memadai jelas
diperlukan supaya petugas dapat bekerja secara optimal. Namun demikian,
walaupun ada petugas yang terampil dan sarana yang cukup bila tidak ditunjang
oleh system yang baik maka interaksi antara pasien GD dan petugas akan
terhambat. Oleh karena itu diperlukan system yang baik yang memungkinkan
terselenggaranya PPGD secara optimal.

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat


Sejak beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan bekerja sama
dengan para pakar dari profesi Kesehatan telah mengembangkan apa yang
diebut Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). SPGDT
sehari-hari adalah SPGDT yang diterapkan pada pelayanan GD sehari-hari
terhadap individu seperti penanganan kasus serangan jantung, stroke, ileus,
kecelakaan lalu lintas, dsb. Sedangkan SPGDT Bencana adalah system
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu yang ditujukan untuk mengatur
pelaksanaan penanganan korban (medis) pada bencana. SPGDT Bencana pada
dasarnya merupakan eskalasi dari SPGDT sehari-hari, oleh karena itu SPGDT
Bencana tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik bila SPGDT Sehari-hari
belum dapat dilakukan dengan baik. Perlu ditekankan bahwa SPGDT ini harus
terintegrasi dengan system penanggulangan bencana di daerah setempat, dalam
hal ini Stauan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi
(Satkorlak PBP).
Sebagai pelaksana SPGDT di daerah, dapat dilakukan oleh badan swasta
maupun pemerintah, dan yang lebih baik lagi bila merupakan gabungan
keduanya. Beberapa daerah dimana SPGDT sudah terlihat berjalan secara
kontinyu adalah di Makasar, Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta.

Dasar Penanggulangan Penderita Gawat Darurat


Istilah Gawat Darurat saat itu disepakati untuk tidak lagi dapat diartikan
secara terpisah seperti gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat.
Penanganan penderita GD harus mengikuti prinsip dasar yang sudah berlaku
umum yaitu berdasar prioritas A (Airway) – B (Breathing) – C (Circulation).
Untuk lankah berikutnya yaitu D – E – dan seterusnya, dapat berlainan sesuai
kasus yang dihadapi. Sebagai contoh pada kasus trauma, maka D diartikan
sebagai Disability dan E adalah Environment.
Pelaksanaan pemberian pertolongan berdasar prinsip ABC yang langsung
disertai tindakan resusitasi dikenal dengan nama Innitial Assessment adalam arti
sempit. Sedangkan Innitial Assessment dalam arti luas meliputi tahap persiapan
pertolongan sampai pasien siap untuk tindakan definitive atau di transfer.
Pada keadaan bencana atau pada musibah dimana korban lebih satu orang
maka perlu ada dasar pemikiran untuk menentukan pasien mana yang harus
didahulukan untuk mendapat pertolongan. Triase adalah tindakan untuk
memilah pasien berdasar beratnya kegawatan, besarnya kemungkinan
keberhasilan pertolongan, sarana yang tersedia dan dengan memperhatikan
siatuasi lingkungan. Triase dilakukan oleh satu orang yang disebut petugas
Triase (Triage Officer). Yang dilakukan petugas triase adalah memilah pasien
saja, sedangkan tindakan pertolongannya dilakukan oleh petugas lain.

II. Dasar Kegiatan


 Kep Menkes dan Kesos RI no 265/Menkeskesos/SK/IV/2001 tentang Safe
Community
 Kep Menkes RI no 979/Menkes/SK/2001 tentang Protap pelayanan
kesehatan penanggulangan bencana dan pengungsi.

III. Tujuan :
Umum : Terbentuknya Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
dengan organisasi yang baik.
Khusus : Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter-dokter
puskesmas Kabupaten Bogor dalam hal SPGDT.

IV. Pelaksanaan :
a. Sasaran : 22 orang dokter-dokter puskesmas se Kabupaten Bogor
b. Waktu : 22 – 29 April 2007
c. Tempat : Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung
Jl. Pasteur No.38 Bandung
V. Hasil Kegiatan :
a. Kuliah (materi umum dan materi tambahan terampil)
b. Skill Station :
c. Melakukan pre test, untuk evaluasi pengetahuan ternyata 90% hasil masih
dibawah standar (7.5)
d. Melakukan post test, untuk pelatihan dengan hasil 100% peserta hasil diatas
standar (7.5) dan dinyatakan lulus.

VI. Foto-foto Kegiatan :

Anda mungkin juga menyukai