PEMBAHASAN
A. Pengertian Qashashul Qur’an
Kata Qashashul berasal dari bahas Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berartitatabbu’ al-atsar
(napak tilas/ mengulang kembali masa lalu). Qishash menurut Muhammad Ismail Ibhrahim yang berarti “hikayat (dalam bentuk)
prosa yang panjang”. 1 Sedang menurut Manna Khalil al-Qattan “qashashtu atsarahu” yang berarti “kisah ialah menelusuri jejak”. 2
Kata al-qashash adalah bentuk masdar seperti dalam firman Allah QS. Al-Kahfi (18): 64 disebutkan:
Terjemahnya:
Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran Yang mendatangkan iktibar bagi orang -orang Yang
mempunyai akal fikiran. (kisah Nabi-nabi Yang terkandung Dalam Al-Quran) bukanlah ia cerita-cerita Yang diada-adakan, tetapi ia
mengesahkan apa Yang tersebut di Dalam Kitab-kitab ugama Yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan Yang
menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum Yang (mahu) beriman. 7
Dengan melihat beberapa arti Qishshash di atas dapat diambil pengertian bahwa Qishash sama dengan kisah yang
mempunyai arti segala peristiwa, kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu ceri ta untuk menelusuri jejaknya.
Menurut perspektif al-Qur’an, Allah swt. mengungkapkan diriNya melalui peristiwa-peristwa, namun wahyuNya
menggunakan tema-tema yang sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-orang beriman meresapinya. 8 Al_Qur’an banyak
mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa -bangsa, keadaan neger-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik mempesona.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa pada kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an semuanya cerita
yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti tuduhan sebagian orientalis bahwa al
Qur’an ada yang tidak cocok dengan fakta sejarah. 9
B. Sejarah Perkembangan Qashshashil Qur’an
Kisah-kisah Al-Quran pada umumnya mengandung unsur pelaku, peristiwa, dan dialog. Ketiga unsur ini terdapat pada hampir
seluruh kisah Al-Quran seperti lazimnya kisah-kisah biasa. Hanya saja peran ketiga unsure itu tidaklah sama, sebab boleh jadi salah
satunya hilang. Satu-satunya pengecualian ialah kisah Nabi Yusuf, yang mengandung ketiga unsure itu dan berbagai menurut teknik kisah
biasa. Cara semacam ini tidak ditemui pada kisah lain. Hal ini karena kisah Al-Quran pada umumnya bersifat pendek. Berikut ini merupan
uraian lebih lanjut ketiga unsure itu.
1. Pelaku
Pelaku kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Quran tidak hanya manusia, tetapi malaikat, jin, bahkan burung dan semut.
a. Binatang
Seperti burung dalam kisah Nabi Sulaiman dan dalam surat An-Naml (27) ayat 18-19 yaitu semut sebagai pelakunya, dalam surat
tersebut dijelaskan semut yang memperingatkan teman-temannya agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman dengan bala tentaranya.
Contoh lainnya adalah burung hud-hud yang menjadi mata-mata bagi Nabi Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan
Saba’ yang dipimpin Ratu Balqis. (QS. An-Naml (27) ayat 20)
b. Malaikat
Contoh adalah kisah malaikat yang terdapat dalam surat Hud (11) ayat (69-83). Ayat itu mengisahkan bahwa malaikat-malaikat datang
kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth dengan menjelma sebagai tamu. Demikian pula malaikat datang kepada Maryam dalam bentuk
manusia. Sebagaimana dikisahkan dalam surat Maryam (10) ayat 10-21.
c. Jin
Dalam kisah Nabi Sulaiman, jin digambarkan mempunyai bentuk lain yang gemanya dapat dilihat pada syair jahili sebelum Nabi
Muhammas SAW, terutama syair-syair An-Nabighah. Dalam kisah ini, diantara jin-jin itu ada yang menjadi tukang selam, arsitek,
pemahat, pembuat patung dan sebagainya, seperti dijelaskan pada surat Saba’ (34) ayat 12.
d. Manusia
1
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh waAlam al-Qur’anniyat,(Dar al-Fikr-al’Arabi,1969), h.140
2
Manna Khalil al-Qattan, op.cit.,h.305
3
M. Said, Tarjamah, Op, cit., h. 272
4
Ibid., h. 350
5
Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 512
6
Al-Raghib al Isfahani, al Mufradat Fi Gharit al Qur’an, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Mesir: Mustafa al Bab al Halabih), t.t.,h.
404
7
M. Said, Op. Cit., h. 224
8
Hasan Basri, Horizon al Qur’an , dari judul asli Les Grens Themes Du Coran oleh Jacquis Joner ( Cet. I; Jakarta: Balai Kajian Tafsir
al Qur’an Pase, 2002), h. 80
Muhammad al Khidir Husain, Balogat al Qur’an, (Ali al Rida al Tunisi, 1971), h. 104
9
Dalam kisah-kisah Al-Quran yang pelakunya berupanya berupa manusia, lebih banyak diceritakan tentang laki-kisah dari pada wanita.
Di antara mereka adalah para nabi, orang biasa (seperti Firaun), dan lainnya. Adapun pelaku kisah dari kalangan wanita adalah
Maryam dan Hawa. Perlu dicatat bahwa perempuan dalam Al-Quran selalu disebut dengan kata “orang perempuan“ (imra’ah), baik
sudah menikah maupun belum, sebagaimana dapat dilihat pada surat An-Naml (27) ayat 23, atau kata “perempuan nuh“, “perempuan
Ibrahim”, dan sebagainya.
Satu-satunya pengecualian dalam hal ini adalah Maryam yang disebutkan namanya dengan jelas. Hal ini dikarenakan factor
tertentu, yakni Nabi Isa telah dianggap oleh sebagian umatnya sebagai “Putra Allah”. Al-Quran lalu berusaha menghapuskan anggapan
yang salah ini dengan cara menjelaskan bahwa Isa adalah “anak Maryam” dan bahwa ia dilahirkan dalam keadaan tak berayah, seperti
halnya Nabi Adam. Oleh karena itu, Al-Quran menyebut nama Maryam berulang ulang.
2. Peristiwa
Hubungan antara peristiwa dengan pelaku pada setiap kisah amatlah jelas karena kedua hal itu merupakan unsure-unsur pokok suatu kisah.
Tidak dapat dibayangkan adanya pelaku tanpa peristiwa yang dialaminya. Peristiwa itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian :
10
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006 h. 72
11
Manna Khalil al Qattan, Op. Cit., h. 306
12
Hasan Basri, Op. Cit., h. 82
13
Hanafi, Segi-segi Kesusesteraan pada Kisah-kisah al Qur’an, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1984), h. 1516
Dilihat dari jenisnya Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam,14yaitu:
a. Kisah Sejarah (al-qishash al-tarikhiyyah), berkisar tentang kisah-kisah sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b. Kisah sejarah/ perumpamaan (al-qishash al-tamtlisiyah), untuk menerangkan atau memperjelas suatu pengertian, bahwa
peristiwa itu tidak benar terjadi tetapi hanya perkiraan.
c. Kisah asatir, kisah ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada atau menguraikan masalah
yang sulit diterima akal.
Kisah-kisah al-Qur’an pada umumnya mengandung tiga unsur 15 yaitu:
a. Pelaku (al-sakhsiyyat), kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah hanya manusia. Dalam QS an-Naml (27): 23, tetapi
juga ada malaikat, dalam QS Hud (11): 69-83, Jin dalam QS saba’ (34):12, dan binatang (burung, semut, dll), dalam QS An -
Naml (27): 18-19.
b. Peristiwa (ahdats), hal ini terbagi menjadi: peristiwa yang berkelanjutan, peristiwa yang dianggap luar biasa dalam QS
Almaidah (5): 110-115, dan peristiwa yang dianggap biasa dalam QS Almaidah (5):116 -118.
c. Dialog (alhiwar), dalam QS Al-A’raf (7):11-25, Thaha (20): 9-99.
14
Ibid, h. 74
15
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006 h. 67-72
16
Muhammad Chirjin, al Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1989), h. 11.
17
Menjelaskan ketinggian kualitas al-Qur’an.
18
Ibid, h. 30.
19
Nasruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.230
20
Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam al Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), h. 138
21
Muhammad Chirjin, Op. Cit,. h. 120-121
5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu, kisah -kisah itu
memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan direduksi.
6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam
dalam jiwa.