Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qashashul Qur’an
Kata Qashashul berasal dari bahas Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berartitatabbu’ al-atsar
(napak tilas/ mengulang kembali masa lalu). Qishash menurut Muhammad Ismail Ibhrahim yang berarti “hikayat (dalam bentuk)
prosa yang panjang”. 1 Sedang menurut Manna Khalil al-Qattan “qashashtu atsarahu” yang berarti “kisah ialah menelusuri jejak”. 2
Kata al-qashash adalah bentuk masdar seperti dalam firman Allah QS. Al-Kahfi (18): 64 disebutkan:

        


 
Terjemahnya:
“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula”.3
Maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak darimana keduanya itu datang. Dan firmanNya melalui lisan ibu Musa, QS. Al-
Qashash (28): 11 sebagai berikut: Terjemahnya:

         


 
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ikutilah dia”.4
Maksudnya ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya. Secara etimologi (bahasa), al-qashash
mempunyai arti urusan (al-amr), berita (al-khabar), perbuatan (al-sya’an), dan keadaan (al-hal). Dalam kamus Bahasa Indonesia,
kata al-Qashsash diterjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya). 5 Menurut Al-Raghib al-
Ishfahani, Qashsash adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu,secara lughawi konotasinya tak jauh berbeda dari yang
disebutkan di atas, yang dipahami sebagai “cerita yang ditelusuri” 6seperti dalam firman Allah swt. Qs Yusuf (12): 111:

        


      
      
 

Terjemahnya:
Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran Yang mendatangkan iktibar bagi orang -orang Yang
mempunyai akal fikiran. (kisah Nabi-nabi Yang terkandung Dalam Al-Quran) bukanlah ia cerita-cerita Yang diada-adakan, tetapi ia
mengesahkan apa Yang tersebut di Dalam Kitab-kitab ugama Yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan Yang
menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum Yang (mahu) beriman. 7
Dengan melihat beberapa arti Qishshash di atas dapat diambil pengertian bahwa Qishash sama dengan kisah yang
mempunyai arti segala peristiwa, kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu ceri ta untuk menelusuri jejaknya.
Menurut perspektif al-Qur’an, Allah swt. mengungkapkan diriNya melalui peristiwa-peristwa, namun wahyuNya
menggunakan tema-tema yang sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-orang beriman meresapinya. 8 Al_Qur’an banyak
mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa -bangsa, keadaan neger-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik mempesona.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa pada kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an semuanya cerita
yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti tuduhan sebagian orientalis bahwa al
Qur’an ada yang tidak cocok dengan fakta sejarah. 9
B. Sejarah Perkembangan Qashshashil Qur’an
Kisah-kisah Al-Quran pada umumnya mengandung unsur pelaku, peristiwa, dan dialog. Ketiga unsur ini terdapat pada hampir
seluruh kisah Al-Quran seperti lazimnya kisah-kisah biasa. Hanya saja peran ketiga unsure itu tidaklah sama, sebab boleh jadi salah
satunya hilang. Satu-satunya pengecualian ialah kisah Nabi Yusuf, yang mengandung ketiga unsure itu dan berbagai menurut teknik kisah
biasa. Cara semacam ini tidak ditemui pada kisah lain. Hal ini karena kisah Al-Quran pada umumnya bersifat pendek. Berikut ini merupan
uraian lebih lanjut ketiga unsure itu.
1. Pelaku
Pelaku kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Quran tidak hanya manusia, tetapi malaikat, jin, bahkan burung dan semut.
a. Binatang
Seperti burung dalam kisah Nabi Sulaiman dan dalam surat An-Naml (27) ayat 18-19 yaitu semut sebagai pelakunya, dalam surat
tersebut dijelaskan semut yang memperingatkan teman-temannya agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman dengan bala tentaranya.
Contoh lainnya adalah burung hud-hud yang menjadi mata-mata bagi Nabi Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan
Saba’ yang dipimpin Ratu Balqis. (QS. An-Naml (27) ayat 20)
b. Malaikat
Contoh adalah kisah malaikat yang terdapat dalam surat Hud (11) ayat (69-83). Ayat itu mengisahkan bahwa malaikat-malaikat datang
kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth dengan menjelma sebagai tamu. Demikian pula malaikat datang kepada Maryam dalam bentuk
manusia. Sebagaimana dikisahkan dalam surat Maryam (10) ayat 10-21.
c. Jin
Dalam kisah Nabi Sulaiman, jin digambarkan mempunyai bentuk lain yang gemanya dapat dilihat pada syair jahili sebelum Nabi
Muhammas SAW, terutama syair-syair An-Nabighah. Dalam kisah ini, diantara jin-jin itu ada yang menjadi tukang selam, arsitek,
pemahat, pembuat patung dan sebagainya, seperti dijelaskan pada surat Saba’ (34) ayat 12.
d. Manusia

1
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh waAlam al-Qur’anniyat,(Dar al-Fikr-al’Arabi,1969), h.140
2
Manna Khalil al-Qattan, op.cit.,h.305
3
M. Said, Tarjamah, Op, cit., h. 272
4
Ibid., h. 350
5
Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 512
6
Al-Raghib al Isfahani, al Mufradat Fi Gharit al Qur’an, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Mesir: Mustafa al Bab al Halabih), t.t.,h.
404
7
M. Said, Op. Cit., h. 224
8
Hasan Basri, Horizon al Qur’an , dari judul asli Les Grens Themes Du Coran oleh Jacquis Joner ( Cet. I; Jakarta: Balai Kajian Tafsir
al Qur’an Pase, 2002), h. 80
Muhammad al Khidir Husain, Balogat al Qur’an, (Ali al Rida al Tunisi, 1971), h. 104
9
Dalam kisah-kisah Al-Quran yang pelakunya berupanya berupa manusia, lebih banyak diceritakan tentang laki-kisah dari pada wanita.
Di antara mereka adalah para nabi, orang biasa (seperti Firaun), dan lainnya. Adapun pelaku kisah dari kalangan wanita adalah
Maryam dan Hawa. Perlu dicatat bahwa perempuan dalam Al-Quran selalu disebut dengan kata “orang perempuan“ (imra’ah), baik
sudah menikah maupun belum, sebagaimana dapat dilihat pada surat An-Naml (27) ayat 23, atau kata “perempuan nuh“, “perempuan
Ibrahim”, dan sebagainya.

Satu-satunya pengecualian dalam hal ini adalah Maryam yang disebutkan namanya dengan jelas. Hal ini dikarenakan factor
tertentu, yakni Nabi Isa telah dianggap oleh sebagian umatnya sebagai “Putra Allah”. Al-Quran lalu berusaha menghapuskan anggapan
yang salah ini dengan cara menjelaskan bahwa Isa adalah “anak Maryam” dan bahwa ia dilahirkan dalam keadaan tak berayah, seperti
halnya Nabi Adam. Oleh karena itu, Al-Quran menyebut nama Maryam berulang ulang.

2. Peristiwa
Hubungan antara peristiwa dengan pelaku pada setiap kisah amatlah jelas karena kedua hal itu merupakan unsure-unsur pokok suatu kisah.
Tidak dapat dibayangkan adanya pelaku tanpa peristiwa yang dialaminya. Peristiwa itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian :

a. Peristiwa yang berkelanjutan


Misalnya, seorang nabi diutus kepada suatu kaum, kemudian mereka mendustakannya dan meminta ayat-ayat (bukti) yang
menunjukkan kebenaran dakwah dan kerasulannya. Kemudian datanglah ayat (bukti) yang mereka minta, tetapi mereka tetap saja
mendustakannya.
b. Peristiwa yang dianggap luar biasa
Yaitu peristiwa-peristiwa yang didatangkan Allah melalui para rasul-Nya sebagai bukti kebenarannya, seperti mukjizat-mujizatnya
para Nabi.
c. Peristiwa yang dianggap biasa
Yaitu peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh, baik rasul maupun bukan, sebagai manusia biasa
yang makan dan minum.
3. Percakapan (Dialog)
Tidak semua kisah mengandung percakapan, seperti kisah yang bermaksud menakut-nakuti, tetapi ada pula kisah yang sangat
menonjol percakapannya seperti kisah Nabi Adam as dalam surat Al-A’raf (7) ayat 11-25, surat Thaha (20) ayat 9-99, dan lainnya.
Terkadang Alqur’an menceritakan kejadian manusia pertama Nabi Adam dan kehidupannya, menerangkan kenikmatan surga dan
siksaan neraka diakhirat, sebagaimana sering menjelaskan tugas dan nama-nama para malaikat serta keadaan hari kiamat dan sebagainya.
Kisah-kisah itu sering didengarkan oleh bangsa Arab dan pakar-pakar sejarah dari berbagai bangsa yang lain, dari para ahli kitab,
orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang kafir Quraisy. Bagi orang-orang kafir, cerita-cerita Alqur’an itu menjadi bahan fitnahan dan
tertawaan, sedangkan bagi orang mukmin menambah keimanan.
Tetapi orang-orang musyrik Quraisy mempermasalahkan kisah-kisah Alqu’an itu. Mereka menanyakan, dari mana Muhammad
mempunyai pengetahuan sejarah yang begitu luas? Padahal dia hidup di lingkungan bangsa yang kebanyakan ummi, tidak pandai menulis
dan membaca. Apakah ada malaikat yang turun mengajari Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul? Seolah-olah orang
Quraisy tidak mengenal beliau sebelum menjadi Nabi atau Raasul selama 40 tahun lamanya.
Sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy tersebut sudah mengenal Nabi sejak kecil. Mereka mengenal Muhammad sebagai orang
yang mendapat julukan al-amin (orang yang terpercaya). Apakah mengherankan kalau kemudian dia diajari Allah Dzat Yang Maha
Mengetahui, sehingga dalam Alqu’an banyak kisah-kisah Nabi yang dahulu.10
C. Macam-macam Qashashul Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam, 11 yaitu:
1. Dilihat dari sisi pelaku
Dilihat dari sisi pelaku, Manna al- Qathtan membagi menjadi tiga macam yaitu:
a) Kisah para nabi
Bagian ini bersikan tentang ajakan para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang
yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat yang menimpa orang beriman (mempercayai) dan
golongan yang mendustakan para nabi. Misalnya kisah nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as., Harun as, Isa as., Muhammad saw, dan
nabi-nabi serta rasul lainnya.
b) Kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya.
Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut,
dua orang putera Adam, Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashabus Sabti (orang –orang yang menangkap ikan pada hari sabtu),
misalnya Maryam, Ashabul ukhdud, Ashabul Fil dan lain-lain.
c) Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW
Seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah al_Taubah, perang al -Akhzab, Hijrah,
Isra’ dan lain-lain.
Cerita-cerita mengenai para nabi dalam Al-Qur’an bervariasi sesuai dengan kasus, tetapi mereka semua adalah pemberi
peringatan yang mendapat perlindungan Allah swt. Kepada para hambaNya. Perlindungan ini adalah salah satu elemen dalam narasi
yang dipercepat dengan insiden. Contoh Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api yang dilempar kedalamnya oleh umatnya setelah dia
menghancurkan patung-patung QS. al Anbiya’ (21): 68-71. Nabi Isa as diselamatkan ketika Allah swt, secara mukjizat
menghalanginya dari orang-orang Yahudi dari menyalibnya QS. an-Nisa (4): 157.12
2. Dilihat dari panjang pendeknya
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah al-Qur;an dapat dibagi menjadi tiga, 13 yaitu:
a. Kisah panjang, contohnya kisah nabi Yusuf a.s dalam QS. Yusuf (12) yang hamper seluruh ayatnya mengungkapkan keh idupan
nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan.
b. Contoh lainnya adalah kisah nabi Musa a.s dalam surah al-Qashash (28), kisah nabi Nuh a.s dan kaumnya dalam QS Nuh (71),
dan lain-lain.
c. Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam QS Maryam (19), kisah Ahzab al -
Kahfi pada QS al-Kahfi (18), kisah nabi Adam a.s dalam QS al-Baqarah (2), dan QS Thoha(20), yang terdiri atas sepuluh atau
beberapa belas ayat saja.
d. Kisah pendek yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah nabi Hud a.s nabi Luth a.s dalam Qs al -
A’raaf (7), kisah nabi Shahih a.s dalam Qs Hud (110), dan lain-lain.
3. Dilihat dari jenisnya

10
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006 h. 72
11
Manna Khalil al Qattan, Op. Cit., h. 306
12
Hasan Basri, Op. Cit., h. 82
13
Hanafi, Segi-segi Kesusesteraan pada Kisah-kisah al Qur’an, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1984), h. 1516
Dilihat dari jenisnya Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam,14yaitu:
a. Kisah Sejarah (al-qishash al-tarikhiyyah), berkisar tentang kisah-kisah sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b. Kisah sejarah/ perumpamaan (al-qishash al-tamtlisiyah), untuk menerangkan atau memperjelas suatu pengertian, bahwa
peristiwa itu tidak benar terjadi tetapi hanya perkiraan.
c. Kisah asatir, kisah ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada atau menguraikan masalah
yang sulit diterima akal.
Kisah-kisah al-Qur’an pada umumnya mengandung tiga unsur 15 yaitu:
a. Pelaku (al-sakhsiyyat), kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah hanya manusia. Dalam QS an-Naml (27): 23, tetapi
juga ada malaikat, dalam QS Hud (11): 69-83, Jin dalam QS saba’ (34):12, dan binatang (burung, semut, dll), dalam QS An -
Naml (27): 18-19.
b. Peristiwa (ahdats), hal ini terbagi menjadi: peristiwa yang berkelanjutan, peristiwa yang dianggap luar biasa dalam QS
Almaidah (5): 110-115, dan peristiwa yang dianggap biasa dalam QS Almaidah (5):116 -118.
c. Dialog (alhiwar), dalam QS Al-A’raf (7):11-25, Thaha (20): 9-99.

D. Karakteristik Qashashul Qur’an


Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara berurutan (kronologis) dan memaparkan kisah -kisah itu secara
panjang lebar. Tetapi terkadang berbagai kisah disebutkan berulang-ulang dibeberapa tempat, ada pula beberapa kisah disebutkan al-
Qur;an dalam bentuk yang berbeda, disatu tempat ada bagian yang di dahulukan dan ditempat lain diakhirkan. Kadang -kadang pula
disajikan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal tersebut me nimbulkan perdebatan diantara kalangan orang yang
meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang ragu terhadap al-Qur’an sering mempertanyakan, mengapa
kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami? Karena hal itu tersebut
menurut mereka dipandang tidak efektif dan efisien. 16
Menurut Manna Khalil al-Qattan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam al-Qur’an begitu rupa mengandung beberapa
hikmah 17 yaitu,
4. Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an
5. Memberi perhatian besar terhadap kisah tersebut untuk menguatkan kesan yang mantap dan melekat dalam jiwa
6. Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
Sedang faedah Qashashul Qur’an adalah sebagai berikut 18:
1. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh setiap nabi, QS. al Anbiya’ (21):25.
2. Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya dalam menegakkan agama Allah SWT. serta menegakkan kepercayaan orang -orang
yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah SWT. dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, QS. Hud
(11):120.
3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4. Memperlihatkan kebenaran nabi Muhammad SAW. dalam penuturannya mengenai orang -orang terdahulu.
5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk, QS. Ali Imran (3):93
6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastera yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam
dalam jiwa, QS Yusuf (12): 111.
E. Tujuan Qashasul Qur’an
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka
karena sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai tua, jarang orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah me mpunyai tujuan
ganda, yakni disamping pengajaran dan pendidikan juga berfungsi sebagai hiburan. Al -Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup
kedua aspek itu, disamping tujuan yang mulia, juga kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang indah dan menarik,
sehingga tak ada orang yang bosan membaca dan mendengarnya. Sejak dahulu sampai sekarang, telah berlalu empat belas abad,
kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up dated, mendapat tempat dan hidup di hati umat, padahal
bahasa-bahasa lain telah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin dan
lain-lain.19
Cerita-cerita dalam al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang bernila sastera saja, baik gaya bahasa maupun cara
menggambarkan peristiwa-peristiwa, tetapi merupakan suatu media untuk mewujudkan tujuan yang asli. Kisah -kisah dalam al-
Qur’an secara umum mempunyai tujuan untuk kebenaran dan semata-mata untuk keagamaan. 20Adapun tujuan-tujuan kisah dalam
secara keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut 21:
1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan, QS. Yusuf (12): 2-3, QS. (28):3, QS. (3):44.
2. Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah SWT. QS. (21): 51-92
3. Menerangkan bahwa semua agama itu dasarnya satu dan semuanya dari Tuhan Yang M aha Esa, QS. Al-A’raf (7):59
4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap
dakwahnya itu juga serupa. QS. Hud
5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Dengan agama nabi Ibrahim a.s secara
khusus. Dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hugungan
umum antara semua agama.

F. Faedah Qashashil Al-Quran


Banyak faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang diutarakan Manna Al-Qaththan berikut
ini.
1. Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang -orang
yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya keb atilan beserta para pendukungnya
2. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.
3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4. Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.

14
Ibid, h. 74
15
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006 h. 67-72
16
Muhammad Chirjin, al Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1989), h. 11.
17
Menjelaskan ketinggian kualitas al-Qur’an.
18
Ibid, h. 30.
19
Nasruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.230
20
Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam al Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), h. 138
21
Muhammad Chirjin, Op. Cit,. h. 120-121
5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu, kisah -kisah itu
memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan direduksi.
6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam
dalam jiwa.

G. Hukum Dan Pandangan Para Ulama Terhadap Qashashil Al-Quran


Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah persoalan penting yang harus
dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam Al-Quran yang menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya
berlaku bagi para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara umum bagi siapa saja? Dengan kata lain, apaka h ayat itu berlaku
secara khusu atau umum?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman redaksi, bukannya
kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golonga lain.
Ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman bin Shakhar, ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, d an
ayat qadzaf dalam kisah tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus -kasus trsebut diterapkan pula terhadap peristiwa lain
yang serupa.
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah tertentu, bahkan menunjuk
pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya, surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili
secara adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn
Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan bahwa perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.
Penjelasan mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri, dikemukakan pula oleh Kuntowijoyo,
Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi. Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan
untuk membentuk pemahaman yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan
sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya, menggambarkan tipe
sempurna mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun
menggambarkan archetype mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud
yang membunuh unta milik Nabi Shaleh lebih menggambarkan archetype mengenai penghianatan masal oleh konspirasi -konspirasi
kafir.
Ungkapan yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam Al-Quran
tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa atau pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajar an
bagi umat manusia.
Thaha Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan sekularistik, lebih tertarik membahas
apakah pelaku-pelaku kisah didalam Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan semata. Dengan mengambil contoh kisah Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:
“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan tetapi, munculnya
kedua nama tokoh itu dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan keduanya secara historis. Kita terdorong untuk
melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang
Arab di satu pihak, serta agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak yang lain.”
Tidak hanya itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang kemudian mengembangkan
bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka, wajarlah jiksa para ulama konsevatif menganggap gagasan -gagasannya itu
sebagai usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah menuduhnya keluar dari Islam.
Benang merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal terpenting dari kisah -kisah yang terdapat
Al-Quran bukanlah wacana pelakunya, tetapi drama kehidupan yang mereka mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad Ab duh
mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al-Quran,
terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.

Anda mungkin juga menyukai