net/publication/268015040
CITATIONS READS
0 4,594
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Iqbal Pratama Abdi Zay on 09 November 2014.
oleh
BANDUNG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
2. Pelaksana
a. Nama Lengkap : Iqbal Pratama Abdi Zay
b. NIM : 12511003
c. Jurusan / Program Studi : Teknik Metalurgi
d. Universitas / Institut : Institut Teknologi Bandung
e. No. HP : 085220389829
f. Alamat Email : iqbalpratama2011@gmail.com
g. Alamat Kampus : Jalan Ganesha No. 10 Bandung
Aluminium adalah logam yang ringan, kuat, memiliki konduktivitas termal tinggi dan
ketahanan korosi yang baik (Fitzgerald dan French). Sifat-sifat ini menyebabkan aluminium
dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti transportasi, konstruksi dan peralatan
rumah tangga. Di bidang transportasi, aluminium digunakan karena densitasnya yang
rendah yaitu sekitar 2,7 g/cm3. Densitas yang rendah ini memberikan massa yang lebih
rendah pada volume yang sama sehingga dapat menghemat penggunaan bahan bakar.
Selain itu juga aluminium memiliki kekuatannya yang tinggi sehingga ia mampu
diaplikasikan untuk keperluan transportasi. Di bidang konstruksi, aluminium dapat
digunakan sebagai material untuk pembuatan kusen atau pintu. Konduktivitas termal yang
tinggi dimanfaatkan untuk membuat peralatan memasak berbahan aluminium sedangkan
ketahanan korosi yang baik dimanfaatkan untuk pengemasan makanan dan minuman.
Selain itu, aluminium mempunyai mampu bentuk yang baik sehingga dapat digunakan
untuk bentuk-bentuk yang rumit seperti profil aluminium hasil ekstrusi. Pemakaian
aluminium juga lebih disukai karena ketika teroksidasi maka akan dihasilkan lapisan
protektif Al2O3 yang akan menempel pada permukaan aluminium dan mencegah terjadinya
oksidasi lebih lanjut.
Sumber : Kemenperin
60
50
Permintaan Alumunium (Juta Ton)
40
negara lain
30 Asia (tidak termasuk Cina)
Cina
Amerika
20
Eropa (tidak termasuk Rusia)
10
0
2011 2012 2013
Tahun
Permintaan aluminium di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 845 ribu ton
sementara kapasitas produksi PT Inalum hanya mencapai sekitar 250 ribu ton
(Kemenperin, 2014). Hal ini menyebabkan sebagian besar kebutuhan aluminium nasional
masih harus diimpor dari negara lain seperti australia dan cina. Berbagai cara sudah
dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah impor aluminium seperti mencari
investor untuk mendirikan pabrik pengolahan alumina dan meningkatkan kapasitas
produksi PT Inalum. Akan tetapi dua cara ini mengalami kendala seperti kebutuhan energi
yang cukup tinggi untuk memproduksi aluminium dari bijih bauksit. Energi yang diperlukan
untuk memproduksi 1 ton aluminium sekitar 14.555 kWh (International Aluminium Institute,
2014).
Saat ini di dunia hanya terdapat satu jalur pengolahan bijih bauksit menjadi
aluminium yaitu pencucian, proses Bayer dan proses Hall-Heroult.
Bauksit
Pencucian
Proses Bayer
Alumina
Proses Hall-Heroult
Aluminium
Gambar 1.3 Diagram Alir Proses Produksi Aluminium dari Bijih Bauksit
Pencucian
Bijih bauksit yang telah ditambang kemudian dicuci untuk memisahkan silika
dan pengotor lainnya yang dapat menurunkan efisiensi proses Bayer.
Proses Bayer
Proses Bayer dilakukan untuk menghasilkan alumina dengan kemurnian yang
tinggi. Hal ini dilakukan karena kadar alumina di dalam bijih bauksit masih rendah.
Pada proses Bayer, bijih bauksit yang sudah dicuci kemudian dilindi dengan larutan
natrium hidroksida. Larutan natrium hidroksida akan melarutkan alumina dan sebagian
silika, menurut reaksi sebagai berikut :
Adanya silika dalam bijih bauksit tidak diinginkan karena akan mengonsumsi reagen
pelindi natrium hidroksida dan mengendapkan kembali aluminium yang telah terlarut
menghasilkan senyawa kompleks natrium aluminosilikat. Senyawa NaAlO2 yang
terbentuk kemudian akan terpresipitasi dan menghasilkan kristal alumina hidrat,
menurut reaksi sebagai berikut :
2 NaAlO2(aq) + 4 H2O(l) → Al2O3.3H2O(s) + 2 NaOH(aq)
Proses Hall-Heroult
Alumina hasil proses Bayer diumpankan ke proses Hall-Heroult. Alumina
dilarutkan di dalam lelehan garam kriolit (Na3AlF6) dan dilakukan elektrolisis. Di katoda
akan terjadi reduksi menghasilkan aluminium. Aluminium yang dihasilkan berfasa cair
karena elektrolisis dilakukan pada suhu tinggi. Lelehan aluminium yang dihasilkan
kemudian dialirkan dan dicetak menjadi ingot atau lembaran. Reaksi di katoda adalah
sebagai berikut :
Al3+(aq) + 3 e- → Al(l)
Sementara di anoda akan terjadi oksidasi karbon menghasilkan karbon dioksida atau
karbon monoksida. Reaksi di anoda adalah sebagai berikut :
2 Al2O3 + 3 C → 4 Al + 3 CO2
Cara lain yang dapat dilakukan untuk memproduksi aluminium adalah dengan
melakukan proses daur ulang scrap aluminium. Scrap aluminium ini sangat potensial untuk
didaur ulang karena sumbernya yang melimpah. Sebagai contoh PT Dirgantara Indonesia
menghasilkan sekitar 5 ton scrap aluminium/hari. Selain itu, produksi aluminium dari scrap
dapat menghemat energi karena kebutuhan energinya jauh lebih rendah daripada energi
yang dibutuhkan untuk memproduksi aluminium dari sumber primer (bauksit).
BAB II TUJUAN
A. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mencari informasi yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Data yang dimaksud adalah data yang bersumber dari
internet, kajian, penelitian, artikel dan wawancara yang berkaitan dengan proses daur
ulang scrap aluminium.
B. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh kemudian diolah dalam bentuk tabel atau grafik. Data
ini kemudian diinterpretasi untuk menentukan korelasi antara data yang didapat
dengan peluang dan tantangan aplikasi proses daur ulang scrap aluminium di
Indonesia.
C. Analisa Data
Hasil pengolahan data digunakan untuk menganalisa peluang dan tantangan
aplikasi proses daur ulang scrap aluminium di Indonesia serta memberikan solusi
alternatif untuk mengurangi ketergantungan aluminium impor di Indonesia.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara garis besar, untuk melakukan proses daur ulang scrap aluminium,
dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga tahap, yaitu (1) Proses separasi dan pre-melting,
(2) Proses melting, dan (3) Proses penghilangan inklusi dan gas hidrogen (Gaustad, et
al, 2011).
1. Sedimentasi, proses ini dilakukan berdasarkan prinsip perbedaan massa jenis dari
masing-masing logam, proses dilakukan dalam kondisi campuran berada dalam
fasa cair/lelehan. Ketika di dalam tanur, lelehan dibiarkan lebih lama sehingga
partikel yang lebih berat akan mengendap, efeknya adalah penggunaan energi
yang lebih besar dari proses ini kadang membuat proses menjadi tidak ekonomis,
2. Flotasi atau degassing, proses ini digunakan untuk mengurangi banyaknya gas
hidrogen yang terperangkap bersamaan dengan inklusi alumina, caranya dengan
menghembuskan gas argon dan klorin dari dasar wadah sehingga muncul
gelembung yang akan bergerak dari bagian dasar ke permukaan lelehan,
sepanjang perjalanan, gelembung tersebut menjadi tempat gas hidrogen untuk
berdifusi sehingga ketika gelembung sampai ke permukaan dan pecah, gas
hidrogen akan dilepaskan.
Pada akhirnya, keseluruhan proses daur ulang scrap aluminium tetap harus
mempertimbangkan beberapa faktor, seperti (1) Flow dan life cycle dari scrap
aluminium yang digunakan untuk mengurangi kemungkinan salah pengaturan
komposisi akibat bahan baku yang tidak baik, (2) metode yang digunakan untuk
mengevaluasi nilai ekonomis dari proses daur ulang dibandingkan dengan proses
produksi primer, (3) mengetahui pengaruh dari masing-masing parameter terhadap
berjalannya proses daur ulang (Niels, 2007).
Komoditas
Tingginya permintaan ini tidak diimbangi dengan kapasitas produksi dalam negeri. PT
Inalum sebagai satu-satunya produsen aluminium primer di Indonesia hanya mampu
memproduksi aluminium sebanyak 242.252 ton aluminium ingot pada tahun 2012. Hal
ini menyebabkan sebagian besar kebutuhan aluminium dalam negeri masih harus
diimpor.
Neraca aluminium dapat dinyatakan sebagai berikut :
Jumlah produksi aluminium di Indonesia saat ini masih sangat sedikit dibandingkan
kebutuhannya. Hal ini menyebabkan nilai impor aluminium indonesia sangat tinggi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah impor aluminium
indonesia adalah dengan mendaur ulang scrap aluminium. Daur ulang ini akan
meningkatkan produksi aluminium dalam negeri sehingga jumlah impor bisa
diturunkan. Produk aluminium hasil daur ulang ini diharapkan mampu mensubstitusi
produk aluminium impor seperti aluminium ingot, billet, slab, bar, rod, profil aluminium,
pipa, kawat, aluminium plate/sheet dan aluminium foil.
Sampai dengan saat ini penelitian dan pengembangan daur ulang scrap
aluminium di Indonesia masih sangat sedikit. Berdasarkan data yang diperoleh, sudah
terdapat beberapa perusahaan yang bergerak di bidang ini namun jumlahnya masih
sangat sedikit dan memiliki kapasitas yang kecil (Lihat Lampiran A). Hal ini tentu sangat
disayangkan melihat besarnya jumlah scrap yang dapat diolah di Indonesia. Pada
tahun 2011 jumlah ekspor scrap aluminium mencapai 9954 ton karena keterbatasan
kapasitas peleburan scrap aluminium di Indonesia. Angka ini belum termasuk scrap
yang belum dikumpulkan ke pengumpul seperti aluminium foil untuk kemasan
makanan. Masa pakai produk aluminium untuk kemasan makanan adalah sekitar satu
tahun (Lihat Lampiran B), maka seharusnya masih ada potensi scrap aluminium sekitar
26.626 ton yang dapat didaur ulang. Oleh karena itu sudah seharusnya indonesia
mendirikan industri peleburan scrap aluminium termasuk industri pengumpulan scrap.
Berdasarkan uraian di atas, proses daur ulang scrap aluminium berpeluang
untuk diimplementasikan di Indonesia karena :
1. Daur ulang scrap aluminium membutuhkan energi yang lebih rendah
Daur ulang scrap aluminium membutuhkan energi yang lebih rendah yaitu
sebesar 2,8 kWh/kg aluminium sementara produksi aluminium primer dari bijih
bauksit membutuhkan 45 kWh/kg aluminium (Choate dan Green, 2004). Hal ini
terjadi karena energi yang diberikan pada proses daur ulang hanya digunakan
untuk pemisahan aluminium secara fisik, peleburan dan pemurnian. Berbeda
dengan produksi aluminium primer dari bijih bauksit. Pada proses ini energi yang
diberikan jauh lebih besar karena energi tersebut digunakan untuk penambangan,
pelindian (proses Bayer) dan elektrolisis garam lebur (proses Hall-Heroult). Pada
tahap penambangan, energi diperlukan untuk mengambil bijih bauksit dari kulit
bumi, kominusi dan transportasi. Pada tahap pelindian, energi diperlukan untuk
memanaskan tangki pelindian. Pada tahap elektrolisis, energi diperlukan untuk
mereduksi alumina menjadi aluminium. Pada tahap ini energi yang diperlukan
sangat besar karena elektrolisis dilakukan dengan menggunakan lelehan garam
kriolit. Sebagian energi yang diberikan digunakan untuk melebur kriolit.
2. Mengurangi penggunaan sumber daya alam
Daur ulang scrap aluminium dapat mengurangi penggunaan sumber daya
alam seperti bauksit, batubara, gas alam dan minyak bumi. Daur ulang scrap
aluminium tidak membutuhkan bijih bauksit karena sumber aluminium yang
digunakan adalah sumber sekunder yaitu scrap aluminium. Oleh karena itu, proses
ini dapat menghemat penggunaan bauksit. Daur ulang scrap aluminium tidak
memerlukan batubara sebagai elektroda sehingga proses ini dapat menghemat
penggunaan batubara. Kebutuhan energi yang lebih rendah dapat menghemat
penggunaan gas alam dan minyak bumi.
3. Mengurangi penggunaan lahan
Penambangan bijih bauksit memerlukan lahan yang cukup luas.
Penambangan biasanya dilakukan dengan cara open cast mining. Pada sebagian
besar kasus, topsoil, lapisan tanah di atas deposit bauksit, akan digali dan
disimpan. Hal ini menyebabkan lahan tersebut tidak bisa digunakan selama
kegiatan penambangan berlangsung. Daur ulang scrap aluminium tidak
memerlukan bijih bauksit sehingga bisa mengurangi jumlah penggunaan lahan
yang biasanya dibutuhkan untuk keperluan penambangan.
4. Mengurangi polusi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa daur ulang scrap aluminium
menggunakan sumber daya alam yang lebih sedikit daripada produksi aluminium
primer. Penggunaan sumber daya alam yang lebih sedikit memberikan polusi yang
lebih sedikit pula. Oleh karena itu, polusi yang dihasilkan dari daur ulang scrap
aluminium akan lebih sedikit daripada polusi yang dihasilkan dari produksi
aluminium primer. Sebagai contoh produksi 1 ton aluminium hasil daur ulang di
Eropa dapat menghemat 1370 kilogram bauksit dan mengurangi polusi CO 2 dan
SO2 masing-masing sebesar 9800 dan 64 kilogram.
5. Ketersediaan scrap yang cukup melimpah
Scrap aluminium yang ada di Indonesia cukup melimpah. Namun
sayangnya sebagian scrap ini masih diekspor karena terbatasnya kapasitas
peleburan scrap di Indonesia. Hal ini tentu dapat membuka peluang untuk
menciptakan industri peleburan scrap yang baru supaya sumber scrap yang ada
dapat dimanfaatkan secara optimal.
Meskipun daur ulang scrap aluminium ini berpeluang untuk diimplementasikan
di Indonesia namun masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Tantangan
tersebut adalah :
1. Belum adanya kebijakan yang mendukung peleburan scrap di Indonesia
Meskipun di Indonesia sudah terdapat perusahaan yang bergerak di bidang
pengumpulan dan peleburan scrap. Namun, belum diketahui mengenai
mekanisme pengumpulan scrap yang dilakukan. Pengumpulan scrap ini
memegang peranan penting dalam industri daur ulang karena ia merupakan kunci
terhadap suplai scrap aluminium. Pengumpulan scrap yang terintegrasi dapat
diwujudkan dengan adanya kerjasama antara pemerintah sebagai penentu
kebijakan, industri sebagai pengumpul dan masyarakat sebagai konsumen.
Dalam hal ini pemerintah dapat membuat kebijakan supaya scrap yang
sudah terkumpul kemudian dapat digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri sebelum diekspor. Kebijakan yang dibuat dalam bentuk
peraturan pemerintah (PP) ataupun undang-undang (UU). Kebijakan tersebut
dapat berisikan mengenai aturan larangan ekspor atau bea keluar yang tinggi. Hal
ini dilakukan supaya Indonesia tidak mengekspor scrap aluminium ketika masih
membutuhkannya. Hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun 2012, Indonesia
mengekspor scrap aluminium sebanyak 9954 ton sementara di saat yang sama
42999 ton scrap aluminium diimpor ke dalam negeri. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa kebutuhan scrap aluminium dalam negeri masih belum terpenuhi akan
tetapi ada scrap aluminium yang diekspor.
Selain itu pemerintah juga dapat menyediakan tempat sampah khusus
untuk menampung sampah aluminium seperti kaleng minuman. Masyarakat
sebagai konsumen perlu diberikan sosialisasi bagaimana cara mengenali kaleng
yang terbuat dari aluminium.Jika hal ini dapat dilakukan, tentu proses daur ulang
akan menjadi lebih efisien karena kaleng yang sudah terkumpul bisa langsung
dilebur tanpa dipisahkan terlebih dahulu.
2. Teknologi penanganan salt cake
Salt cake adalah salah satu jenis limbah yang dihasilkan dari proses daur
ulang scrap aluminium. Salt cake mengandung senyawa oksida, klorida, sedikit N
dan SO3 (Gil dan Korili, 2007). Komposisi salt cake IDALSA, perusahaan
aluminium di Spanyol, ditunjukkan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Komposisi limbah peleburan scrap aluminium IDALSA
1. Secara garis besar, untuk melakukan proses daur ulang scrap aluminium, dibutuhkan
sekurang-kurangnya tiga tahap, yaitu (1) Proses separasi dan pre-melting, (2) Proses
melting, dan (3) Proses penghilangan inklusi dan gas hidrogen.
2. Daur ulang scrap aluminium berpeluang untuk diimplementasikan di Indonesia karena
daur ulang scrap aluminium membutuhkan energi yang lebih rendah, mengurangi
penggunaan sumber daya alam, penggunaan lahan dan polusi serta tersedianya
jumlah scrap aluminium yang cukup melimpah di Indonesia.
3. Implementasi daur ulang scrap aluminium di Indonesia memiliki dua tantangan yaitu
belum adanya kebijakan yang mendukung peleburan scrap di Indonesia serta teknologi
penanganan salt cake.
4. Daur ulang scrap aluminium dapat menjadi solusi alternatif untuk mengurangi
ketergantungan aluminium impor di Indonesia.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA