Anda di halaman 1dari 6

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana


di Pelayanan Primer

Handoko Lowis,* Maula N Gaharu**

*Universitas Pelita Harapan, Tangerang,


**Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center, Jakarta

Abstrak: Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa adanya penyakit neurologik lain. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000
orang setiap tahun. Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah
satunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masih
diperdebatkan, walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2
bulan dan rekurensi terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapat
menegakkan diagnosis Bell’s palsy serta mengobati dengan tepat. J Indon Med Assoc.
2012:62;32-7
Kata kunci: Bell’s palsy, kelemahan wajah, paralisis, layanan primer, HSV tipe 1

Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care

Handoko Lowis,* Maula N Gaharu**


*Universitas Pelita Harapan, Tangerang,
**Neurologist, Jakarta Medical Center Hospital, Jakarta

Abstract: Bell’s palsy is a syndrome of facial weakness with lower motor neuron sign caused by
idiopathic facial nerve involvement outside the central nervous system, without any other neuro-
logical diseases. The incidence of this syndrome is around 23 cases in 100.000 people each year.
Various theories try to explain the existing abnormality, one of which involves Herpes Simplex
Virus type I. Controversies in the management are still on debate, although most of the cases
(85%) completely resolve in 1-2 months and recurrence was found in 8% of cases. Doctors in
primary health care are expected to be able to make a prompt diagnosis and treatment for Bell’s
palsy. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7
Keywords: Bell’s palsy, facial weakness, paralysis, primary care, HSV type 1

32 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012


Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer

Pendahuluan muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani.


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin
lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis;
fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter
penyakit neurologik lainnya.1 Sindrom ini pertama sekali sebesar 0,66 mm.2,4
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan
dokter bedah bernama Sir Charles Bell.2 Etiologi dan Patofisiologi
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 Terdapat lima teori2,5,6 yang kemungkinan menyebabkan
orang setiap tahun. 3 Manifestasi klinisnya terkadang terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri,
dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tu- herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
mor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al7 mengidentifikasi
distorsi wajah yang akan bersifat permanen. Oleh karena itu, genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum
perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter pelayanan seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah
primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa mengalami Bell’s palsy.
melupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan. Murakami et al.8 menggunakan teknik reaksi rantai
polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus,
Anatomi dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s
komponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus
wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus yang berat. Murakami et al.8 menginokulasi HSV dalam telinga
intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus
depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan ca- tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada
bang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis.2,4 saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau
memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya herpetika dapat diadopsi.4,9 Gambaran patologi dan mikros-
berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk kopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan
ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke gangguan vaskular saraf.9

Gambar 1. Skema dari Saraf Kranialis Ketujuh (fasialis).


Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan cabang
aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus dan titik.

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 33


Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Taksana di Pelayanan Primer

Manifestasi Klinis suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri
dapat berbeda.4 Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre
ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan
melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot
lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering)
Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor
yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus
wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis,
korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1,3,4,9
menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
Pemeriksaan Penunjang
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga ante-
rior lidah pada sisi yang sama. Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan
stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri ter- etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan
hadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang,
dapat melibatkan saraf kedelapan. dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).2,4,5 Pemeriksaan
MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
Pemeriksaan Fisik tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan peme- mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat
riksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. fasialis.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah
gerakan dan ekspresi wajah.2 Pemeriksaan ini akan mene- dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan,
mukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat
Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien tindakan dekompresi intrakanikular.10,11 Grosheva et al10
pada sisi yang terkena memutar ke atas. melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-
telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-
yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan value (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%.
yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh. blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilat-
eral.11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena
Diagnosis Banding 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnor-
menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi
yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer Tata Laksana
serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan
dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di primer berupa identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf
bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi di-
trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, ba- agnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum
sis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1,3,4,9 dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum
otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis
radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan seperti dijelaskan di bawah ini.

34 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012


Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer

Terapi Non-farmakologis sual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan


Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2
benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan peng- kali per hari.13-15
gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak
kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
dan bawah).2,5,9 memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.15
gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung
dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila
tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan
14 hari onset.4,5 glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan
dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi Terapi Farmakologis
pasien dengan paralisis fasialis.12,13 Namun, diketahui pula Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab
bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison paling mungkin dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan
dan valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi fasial steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen
meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi- dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.
relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, pengobatan.1,2,4,16 Dosis pemberian prednison (maksimal 40-
dan relaksasi.13-15 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai tappering off.17-19
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada
berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)
secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
dan menghindari gerakan wajah berlebih.13-15 osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien infeksi), dan Cushing syndrome.19
dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh
menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam pena-
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak nganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil
otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih
di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif
ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk Hato et al13 mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/
dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya
hari.13-15 diterapi dengan prednisolon.
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang Axelsson et al20 juga menemukan bahwa terapi dengan
ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. de
saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, Almeida et al21 menemukan bahwa kombinasi antivirus dan
dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja.
reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan ste-
fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan roid pada 48-72 jam pertama setelah onset.4,13,21
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien
strategi meditasi-relaksasi.13-15 dan Quant et al22 dengan 1145 pasien menunjukkan tidak
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral
pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan
sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus
reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan
strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi- untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 35


Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer

kombinasi.2,22 atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.2,4


Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah Kimura et al11 menggunakan blink reflex sebagai
80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset,
pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua
dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.
lima kali pemberian selama 7-10 hari.17,18,23 Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve
darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan
mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.13,17,18 dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s
Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat palsy.
antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa
adalah mual, diare, dan sakit kepala.19 Kesimpulan
Bell’s Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf
Komplikasi
fasialis yang bersifat perifer. Keterlibatan virus Herpes Sim-
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy plex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan
mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih
komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah2,5,9 menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter di
(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal pelayanan primer yang diharapkan adalah dapat menegakkan
yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus diagnosis Bell’s palsy, menyingkirkan diagnosis banding
fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan yang ada, serta mengobati dengan tepat.
disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang
pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi Daftar Pustaka
yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi
1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral
yang salah dari saraf fasialis. nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP,
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menye- editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Com-
babkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti panies, Inc; 2005. p. 182.
gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi 2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Vir-
ginia: Medscape. 2010.
involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau 3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and
pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear prognosis of Bell’s palsy in the population of Rochester, Minne-
phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis sota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya 4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal
cord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH,
air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, editors. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA:
dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat 5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial
terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The hu-
man nervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey:
mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). Humana Press; 2005. p. 253.
6. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN,
Prognosis Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak.
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-
72.
komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele 7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in
permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh localising lesions in Bell’s palsy: comparison with MRI. J Neurol
total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik Neurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20.
dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus 8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain
reaction amplification of Herpes Simplex Viral DNA from the
fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, geniculate ganglion of a patient with Bell’s palsy. Ann Otol Rhinol
serta 8% kasus dapat rekuren.1,2,9 Laryngol. 1994;103:775.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah 9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo
palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabe- K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial
palsy. Neurology. 1998;51:1202.
tes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan penge- 10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg
capan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, L, editor. Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), 2005. p. 35.
dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.2,4 11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value
of electroneurography and electromyography in facial palsy.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah Laryngoscope. 2008;118:394-7.
paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan to- 12. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris
tal), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/ AM. The spectrum of electrophysiological abnormalities in Bell’s

36 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012


Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer

palsy. Can J Neurol Sci. 2001;28:130-3. 19. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & adrenocortical antago-
13. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et nists. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology.
al. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a 9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 641-60.
multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 20. Axelsson S, Lindberg S, Stjernquist-Desatnik A. Outcome of treat-
2007;28:408-13. ment with valacyclovir and prednisone in patients with Bell’s
14. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial palsy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2003;112:197.
rehabilitation improves function in people with facial paralysis: 21. de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY,
a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Nedzelski JM, et al. Combined corticosteroid and antiviral treat-
Phys Ther. 2010;90:391-7. ment for Bell’s palsy: a systematic review and meta-
15. Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeduca- analysis. JAMA. 2009;302:985-93.
tion, patient-centered approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250- 22. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg
9. AY. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals for
16. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML. treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009;339:3354.
Multimodality approach to management of the paralyzed face. 23. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH,
Laryngoscope. 2006;116:1385-9. McKinstry B, et al. Early Treatment with Prednisolone or
17. Gilden DH. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004; Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-607.
351:1323-31. 24. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system.
18. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and manage- Otolaryngol Head Neck Surg. 1985;93:146-7.
ment. Am Fam Physician. 2007;76(7):997-1002.
KN/FS

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 37

Anda mungkin juga menyukai