Anda di halaman 1dari 10

PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

NAMA KELOMPOK:
1. ANGGITA DWI AYU LESTARI
2. DYKA ADE SUSILO
3. M. DENY MUKHLISIN
4. NOOR SYIFA IZZATI
5. NUR FATYA AZIZAH
6. RIDHA PURWANTIE
7. WIRANA PUTRI HANNIFA
PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Allah Swt. menjadikan kita sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Ini artinya kita
harus melakukan interaksi atau hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, agama memberi
peraturan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana kita melakukan interaksi dengan manusia
yang lainnya. Tujuannya adalah agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik dan
saling menguntungkan

A. Pengertian Mu’āmalah

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan
kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
 Menurut fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah,
pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
 Dalam melakukan transaksi ekonomi, Islam melarang umatnya melakukan :

1. Cara-cara yang batil.


2. Cara-cara ẓālim (aniaya).
3. Permainan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
4. Kegiatan riba.
5. Cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Transaksi jual-beli barang haram.

B. Macam-Macam Mu’āmalah
1) Jual-Beli → kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.

Artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S Al Baqarah/2:275)

a. Syarat-Syarat Jual-Beli
1. Penjual dan pembelinya haruslah:
a) Ballig,
b) Berakal sehat,
c) Atas kehendak sendiri.

2. Uang dan barangnya haruslah:


a) Halal dan suci.
b) Bermanfaat.

Artinya:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.(Q.S Al Isra/17:27)

c) Keadaan barang dapat diserahterimakan.


d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) Milik sendiri. Sabda Rasulullah SAW “Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang
dimiliki” (HR. ABU DAUD DAN TIRMIDZI)

3. Ijab Qobul → pernyataan jual-beli agar jual-beli berlangsung dengan dasar suka sama
suka.

b. Khiyār
1. Pengertian Khiyār → bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau
membatalkannya. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya
pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya.

2. Macam-macam Khiyar
a) Khiyār Majelis → selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-
beli.

b) Khiyār Syarat → dijadikan syarat dalam jual-beli. Penjual boleh memberi batas waktu
kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian. Jika pembeli mengiyakan,
status barang tersebut sementara waktu tidak ada pemiliknya dan penjual tidak berhak
menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi,
barang tersebut menjadi hak penjual kembali.

c) Khiyār Aibi (cacat) → pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat
cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan
sesegera mungkin.
c. Ribā
1. Pengertian Ribā → bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Ribā apa pun
bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat.
Diterangkan dalam hadits yang dirwayatkan bahwa, “ Rasulullah mengutuk orang yang
mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang
menyaksikannya.” (HR Muslim). Semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya
sebagai saksi, terkena dosanya juga.

 Guna menghindari riba, jika mengadakan jual-beli barang sejenis harus ditetapkan
syarat, yakni sama timbangan ukurannya, dilakukan serah terima saat itu juga dan
secara tunai.
 Jika tidak sama jenisnya, harus tetap secara tunai dan diserahterimakan saat itu
juga. Kecuali barang yang berlainan jenis, dapat berlaku ketentuan jual-beli
sebagaimana barang-barang yang lain.

2. Macam-Macam Ribā
a) Ribā Faḍli → pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Kelebihannya itulah
yang termasuk riba.
b) Ribā Qorḍi → pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat
mengembalikan. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi → akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan
pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima.
d) Ribā Nasi’ah → akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.

2) Utang-piutang → menyerahkan harta atau benda kepada seseorang dengan catatan akan
dikembalikan pada waktu nanti dan tidak mengubah keadaannya. Memberi utang berarti
menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

a. Rukun Utang-piutang
1. Ada yang berpiutang dan yang berutang
2. Ada harta atau barang
3. Ada lafadz kesepakatan.

Artinya : Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.(Q.S. Al-baqaroh/ 2.2.280)

 Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar


mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. Jika orang yang berutang
tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt.
menganjurkan memberinya kelonggaran.
 Jika orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya
sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang
berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
 Jika orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang
melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh.
Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba.

3) Sewa-menyewa → dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima
oleh seseorang atas jasa yang diberikannya, berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat
tinggal, atau hewan.
-Dasar hukum ijarah dalam firman Allah Swt :

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. Al-baqaroh 233/2.2.233)
Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S. at-talaq 6)

a. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa


1. Yang menyewakan dan menyewa harus sudah ballig dan berakal sehat.
2. Dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa
3. Barang menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4. Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5. Manfaat harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak
6. Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7. Harga sewa dan cara pembayarannya harus ditentukan dengan jelas serta disepakati
bersama.

 Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas
dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.

1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.


2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

C. Syirkah

 Secara bahasa, berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat
lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
 Menurut istilah, artinya suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang
bersepakat untuk melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan.

a. Rukun dan Syarat Syirkah


1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani) harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan
taṡarruf (pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal yang harus halal
dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat dan harus berupa taṡarruf, yaitu adanya
aktivitas pengelolaan.

b. Macam-Macam Syirkah
1) Syirkah ‘inān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja
(amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’
sahabat.
2) Syirkah ‘abdān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan
kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Dapat berupa kerja pikiran maupun
fisik. Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.

3) Syirkah wujūh → kerja sama berdasarkan kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat, yakni antara dua pihak yang sama-sama memberikan
kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

4) Syirkah mufāwaḍah → antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah
di atas dan boleh dipraktikkan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya.

5) Muḍārabah → akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan
semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib).
Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, jika mengalami
kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si
pengelola karena pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut jika itu
disebabkan olehnya.

6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah


a) Musāqah → kerja sama antara pemilik kebun dan petani. Pemilik kebun menyerahkan
lahannya kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya akan dibagi dua menurut
persentase yang ditentukan pada waktu akad.
b) Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana
benih tanamannya berasal dari petani.
Mukhābarah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana
benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.

 Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian


antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah
saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil
panen.

D. Perbankan
1. Pengertian → sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana
masyarakat dan disalurkan kembali dengan menggunakan sistem bunga.

2. Hakikat dan tujuan → membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan
maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga dengan imbalan bunga yang
harus dibayar oleh pengguna jasa bank.

3. Macam-macam → dilihat dari segi penerapan bunganya


a. Bank Konvensional → fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang
memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan
menggunakan sistem bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syari’ ah → menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah
bunga tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih
dari riba, misalnya :

1) Muḍārabah → kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil
dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Pihak bank sama
sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.

2) Musyārakah → kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing memiliki
saham. Kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama dan menanggung untung
ruginya secara bersama juga.

3) Wadi’ah → jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak
nasabah berupa uang atau barang titipan dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank
juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa
mengembalikan dana tersebut sewaktu-waktu pemiliknya memerlukan.

4) Qarḍul hasān → pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan
darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo.
Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut
sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.

5) Murābahah → istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana
penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk dengan ditambah jumlah
keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya
yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat
dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati.
Bank membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan
bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun pihak bank harus secara
jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E. Asuransi Syari’ah
1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan,
ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin
dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar
hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk
asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama
berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram
hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang
didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak
memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian,
kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai
musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya
sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-
kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.

Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah
ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu
menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung
musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

2. Perbedaan Asuransi Syari’ ah dan Asuransi Konvensional


Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi
konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah
premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi.
Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di
sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya
sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.

Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak
dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh
tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta
yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana
atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil
saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah
adalah bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga
bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil
bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal. Untuk
pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

Anda mungkin juga menyukai