Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronik yang
ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversible. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK,
semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat.
Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang 5% dari
seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas PPOK tersebut
didapatkan sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi. Pada tahun 2002,
PPOK merupakan penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan meningkat menjadi ke-3
pada tahun 2030 dengan total peningkatan kematian 30% dalam 10 tahun.3
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk
pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal
mereka masih dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal
karena sesak napas yang kronik. Komorbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit
kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder,
keberadaan asma, hiper-tensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety.4

Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas


dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan
menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,2
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana temuan klinis, klasifikasi, serta penatalaksanaan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) di Rumah Sakit Putri Hijau Medan?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
3. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan
tindakan rehabilitasi pada pasien yang menderita penyakit penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).

1.4. Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang didapatdari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu penyakit dalam
khususnya mengenai penyakit penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai penyakit penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK).
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


2.1.1. Definisi
Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan bronkitis kronis.2 Sedangkan
menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2017), PPOK
adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara
yang persisten dan progresif, akibat respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim
paru yang disebabkan gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi
pada beratnya penyakit ini.1

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap
negara dan terus mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia
harapan hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.5
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan sekitar 56,6 juta
dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah
perokok atau mantan perokok.5

2.1.3. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab terbanyak
terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90% kasus. Merokok
sigaret mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor kemotaktik dan elastase,
yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara signifikan, PPOK berkembang
pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini pasti bukan nilai sebenarnya. Usia
memulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan status merokok saat ini
memprediksi mortalitas.6 Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1: secara
fisiologis normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada
pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi
menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru sudah
muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.6

2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok. Walaupun peran
polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih kecil bila dibandingkan
dengan merokok. Pada negara berkembang, penggunaan bahan bakar biomass serta
memasak dan memanaskan dalam ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang
terbesar dalam prevalensi PPOK.6

3. Hiperesponsif jalan napas


Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan napas, seperti
pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda. Asma dilihat sebagai
fenomena alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari kerusakan dan radang karena
rokok. Studi longitudinal yang membandingkan kepekaan saluran napas pada awal
studi yang kemudian mengalami penurunan fungsi paru telah menunjukkan bahwa
peningkatan kepekaan saluran napas secara jelas merupakan prediktor penurunan
fungsi paru di waktu mendatang.7 Tetapi studi ini masih belum jelas.
4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)
Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat dipisahkan
melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di interstisium paru
sehingga melindungi paru dari penghancuran elastolisis.6 Pada keadaan defisiensi,
maka mekanisme perlindungan terhadap elastolisis ini berkurang, sehingga bisa
menyebabkan emfisema. Penelitian Erikson tahun 1963 menyatakan bahwa defisiensi
AAT diwariskan secara autosomal- kodominan dan keadaan ini menyebabkan
emfisema. Defisensi AAT disebabkan karena mutasi pada gen AAT.6
5. Sindroma Imunodefisiensi
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko untuk PPOK,
bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok, obat IV, ras dan
usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi Pneumocystis carinii terjadi
kerusakan paru yang kortikal dan apikal.6
6. Gangguan Jaringan Ikat
Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan penuaan
prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk penurunan (mis.
dominan, resesif). Emfisema prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak dari
periode neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis elastin atau
tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal dominan kolagen tipe I,
ditemukan sekitar 10% pasiennya mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema.6

2.1.4. Patogenesis

PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis terjadinya


PPOK diantaranya adalah:

1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan jaringan
dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase dan inhibitornya. Telah
dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim pendegradasi elastik
dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini diusulkan untuk emfisema
yang digambarkan dengan defisienasi AAT.8 Pasien dengan defisiensi AAT
mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah mutasi paling umum dan mutasi
ini menggangu sekresi protein dari hepatosit. Hasilnya ditandai dengan penuruan level
penghambat serin protease di sirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung
mengalami polimerisasi yang dapat menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi
elastase netrofil dan menyebabkan inflamasi.9 Matrix metalloproteinases (MMP)
memiliki kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix
Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, - 9, dan
12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting dalam patogenesis
PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta proteinase-3
(dalamnetrofil).9
2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel
atau gas berbahaya, terutama rokok.1 Pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami
peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL) dan
neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum immunoglobulin free
light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan
cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang
merupakan atraktan selektif untuk netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien PPOK
dan sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE
juga meningkat dan berhubungan dengan merokok.9
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel.9 Ketika
oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak, karbohidrat, dan DNA
terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat memodifikasi
elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik. Merokok dapat
menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan transkripsi
kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi
matriks yang mendukung terbentuknya emfisema. 9
4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa inflamasi
pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin proinflamasi
ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adiposa dan sumsum
tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen
dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik .10 Inflamasi sistemik
dapat memulai atau memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung
iskemik, osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.9

5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan PPOK dan
telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel endotel di paru
pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan proliferasi protein
struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan jaringan paru dan emfisema.9
6. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan kemampuan paru
dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak.9

2.1.5. Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil berhubungan
dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin dengan percepatan
penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran napas ini akan menjebak
udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi. Emfisema juga berperan dalam
menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi
demikian juga kapasitas residual fungsional meningkat, khususnya selama aktivitas,
menghasilkan peningkatan dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas.
Hiperinflasi berkembang pada tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama
dispnea saat aktivitas.1
2. Abnormalitas Pertukaran Gas
Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Distribusi
abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas abnormal pada
PPOK. 11 Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida memburuk selama
perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat
dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena
obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan gangguan dari otot ventilasi.1
3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK. awalnya
adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lamakelaman
hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa. Hipersekresi mukus ini
menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien dengan hipersekresi mukus adalah
bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa. 11
4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi abnormalitas
pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi pulmonal pada
PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling arteri pulmonal.
Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran ventrikel jantung
kanan.11 Ada respon inflamasi pada pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi
pada saluran napas. Emfisema dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi
terjadinya peningkatan tekanan di sirkulasi pulmonal. 1
5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi jantung
dan pertukaran gas (Barr et al., 2010). Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin
berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin
memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung iskemik,
gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma metabolik, dan
depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini berkontribusi pada pembatasan kapasitas
aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru
mereka (Postma, dan Boezen, 2006).

2.1.6. Manifestasi Klinis

Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya
sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang
paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa
mendapatkan cukup udara ".12
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama bertahun-
tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada
aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap
lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan
selalu muncul.12
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi,
sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit
kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah
cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung
untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak.4 Gejala cor pulmonale
adalah edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.12
2.1.7. Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain, yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis PPOK harus
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispnea, batuk kronis atau produksi sputum
berlebihan, dan riwayat terpajan faktor resiko penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan untuk
membuat diagnosis dalam konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70
memastikan adanya pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK.1
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis
pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu:
a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan atau
lingkungan
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal; infeksi
respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya
d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia dewasa dan
kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan bernapas dan beberapa
keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum mencari bantuan pengobatan medis
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan
muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan dampak
ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi, serta gangguan
aktivitas seksual
h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti merokok

Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-keluhan yang


disampaikan pasien tentang penyakitnya. Gejala-gejala pada PPOK diantaranya adalah:
a. Batuk
Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara progresif ada terus
sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal. Batuk kronis biasanya produktif dan sering
diabaikan dengan anggapan sebagai konsekuensi dari merokok. Sinkop batuk atau fraktur
kosta karena batuk mungkin terjadi.11
b. Produksi Sputum
Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul terus
sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit. Produksi sputum ≥3 bulan
dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi dari bronkitis kronis. Perubahan warna
sputum (purulen) atau volume memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius.11 Produksi
sputum sering sulit dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih menelannya
dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan jumlah besar
mungkin memiliki penyakit bronkiektasis.1
c. Dispnea
Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten. Saat onset,
gejala ini terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll) dan dapat dihindari
dengan perubahan perilaku yang tepat (mis. menggunakan elevator). Bagaimanapun,
selama penyakit berkembang, dispnea bahkan akan muncul dalam aktivitas ringan atau
istirahat.11 Dispnea menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang
dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya.
d. Mengi dan Dada Sesak
Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan mungkin bervariasi
setiap hari. Mengi yang dapat terdengar mungkin berasal dari laring. Dada sesak sering
diikuti usaha dalam bernapas, berasal dari kontraksi isometrik otot-otot interkostal.1
e. Gambaran pada Penyakit Berat
Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien dengan
PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop batuk terjadi karena peningkatan cepat dari
tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang batuk. Batuk yang parah ini juga
bisa menyebabkan fraktur kosta yang biasanya asimptomatis. Tanda-tanda kor-pulmonale
juga menunjukkan keadaan penyakit yang buruk. Selain itu, mungkin pasien akan
mengalami gejala depresi atau gangguan kecemasan.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak menunjukkan
kelainan.2 Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah beberapa tanda dan gejala yang
makin lama akan makin khas menjadi gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa
gangguan baik pada sistem pernapasan maupun sistemik.
a. Tanda Pernapasan
Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda
pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas 11
Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema 2
Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati dapat
teraba 11
Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki dan atau
mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang,
bunyi jantung terdengar jauh 2
b. Tanda Sistemik
Distensi vena leher, pembesaran hati dan edema perifer dapat terjadi karena cor
pulmonale atau selama inflamasi yang parah. Kehilangan massa otot dan kelemahan
otot perifer yang konsisten dengan malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK adalah:
a. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah (eritrositosis),
terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia) dalam waktu yang lama. Sel
darah merah membawa oksigen di darah. Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak
dapat memperoleh cukup udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi
sel darah merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah. 1
b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan penilaian
keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya. Nilai yang didapat
dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC, FEV1dan FEV1 /FVC.Penurunan
nilai dari ketiga parameter diatas menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru.
Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling sering
digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK dan juga
untuk memantau perjalanan penyakit.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang tidak sensitif
untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan penyakit lain (pneumonia,
kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks). Umum walaupun tidak spesifik, tanda
emfisema adalah diafragma yang mendatar, radiolusensi paru yang ireguler.11
Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan
kardiomegali.6 Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus
menjadi sering, dengan kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.
d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan keparahan
eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami hipoksemia ringan sedang tanpa
hiperkapnia. Seiring perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia
mulai berkembang. Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama
eksaserbasi akut. Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan
saat CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya
mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi tanda
gangguan akut dari sistem pernapasan 6
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat banyak. Dengan
eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya neutrofil. Peningkatan jumlah
sputum merupakan tanda eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013). Beberapa organisme
yang sering ditemukan darikultur adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan Pseudomonas aeruginosa dapat
ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan penentuan
tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang mewakili lokus Pi
untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular genotyping DNA dapat
dilakukan untuk alel Pi yang umum.6 Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada
pasien PPOK muda (dekade 4 atau 5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai
serum α1-antitripsin <15–20% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-
antitripsin 11
2.1.8. Derajat PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)
maka PPOK dikelompokkan ke dalam :13
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat
dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor
pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas
kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD


Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah suatu
kriteria yang dipakai secara internasional yang merupakan kolaborasi antara National
Institutes of Health (NIH) danWorld Health Organization (WHO) dalam menentukan derajat
keparahan pada pasien PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK berdasarkan derajat
pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga
berguna untuk mendiagnosis obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai
dari hasil pemeriksaan spirometri.1
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity) atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume udara
yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second) atau Volume Ekspirasi Paksa detik
1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik pertama saat
ekspirasi paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi 1 Kriteria
spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis derajat keparahan
PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator. 1
Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK 1
Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1/FVC < 0,70


FEV1 ≥ 80% prediksi
II: PPOK Sedang FEV1/FVC < 0,70
50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi
III: PPOK Berat FEV1/FVC < 0,70
30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi
IV: PPOK Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70
FEV1< 30% prediksi atau
FEV1< 50% prediksi ditambah
Gagal nafas kronik

Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari
bahwa fungsi parunya tidak normal.
Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini,
dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas.
Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada tahap ini dan
sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai dapat terlihat
pada tahap ini.
Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup sudah
sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa.1

2.1.9. Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah:2
- Mencegah progresifitas penyakit
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan tolenransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama tata
laksana PPOK.
a. Terapi Farmakologis
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).2
Macam-macam bronkodilator:2
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
 Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat
> 20% dan minimal 250 mg.2
 Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:2
Lini I: amoksisilin Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.2
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.2
b. Terapi non-farmakologis
 Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:2
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:2
Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain.
 Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang
ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara:2
 Ventilasi mekanik dengan intubasi Digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
 Ventilasi mekanik tanpa intubasi Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi
adalah Noninvasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative
Pressure Ventilation (NPV).
 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik
dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.2 Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: 2
 Penurunan berat badan
 Kadar albumin darah
 Antropometri
 Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
 Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
 Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: 2
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut 2
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline.
Penyebab eksaserbasi akut :
Primer : - Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder : - Pnemonia - Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia - Emboli paru -
Pneumotoraks spontan - Penggunaan oksigen yang tidak tepat - Penggunaan obat-obatan
(obat penenang, diuretik) yang tidak tepat - Penyakit metabolik (DM, gangguan
elektrolit) - Nutrisi buruk - Lingkunagn memburuk/polusi udara - Aspirasi berulang -
Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) .
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan
eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan
cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan
atau rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi
untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa.
dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan
Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup
dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila
terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive
Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
 Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per
drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya
kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.
 Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser
dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan
nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10
liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin
diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan
secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
 Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat
yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan,
dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti
dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal
dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah
dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat PaO2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura
dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal

2.1.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah: 2
1. Gagal napas - Gagal napas kronik - Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
BAB 3
LAPORAN KASUS

No. RM : 203082
Nama : Tn. Mustofa
Tanggal lahir : 01-01-1930 Umur : 89 tahun Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Talang rimbo lama Status : Menikah Pendidikan terakhir :
SMA/sederajat
Pekerjaan : Wiraswasta Suku : Jawa Agama : Islam

Anamnesa :
o Autoanamnesa √
o Alloanamnesa
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Sesak Nafas
 Telaah : Hal ini sudah dialami os sejak 3 bulan ini, memberat dalam seminggu ini,
tidak berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi. Terbangun
tengah malam karena sesak (-), sesak ketika beraktifitas (+) namun hal ini hanya
sesekali dialami os, bengkak pada ekstremitas (-), nyeri dada (-). Os juga
mengeluhkan batuk yang sudah dialami 1 bulan ini dan tidak berkurang jika diberikan
obat batuk yang dibeli di warung. Batuk bersifat hilang timbul disertai dengan dahak
yang bening (+). Penurunan berat badan (-), keringat malam (-). Riwayat kontak
dengan penderita TB tidak dijumpai. Riwayat makan OAT tidak dijumpai. Riwayat
keluarga menderita keluhan yang sama tidak dijumpai. Riwayat merokok (+) sejak
usia 29 tahun dan baru berhenti 3 bulan yang lalu, os menghabiskan rokok sebanyak 2
bungkus dalam sehari. Demam (-). Hipertensi (-). BAB 1-2 kali sehari dan dalam
batas normal, nyeri BAB (-), Nyeri BAK (-).

RPT : -
RPO : Obat batuk dari warung (tidak jelas )
ANAMNESIS UMUM (Review of system)
Keadaan Umum : Sakit Sedang Kesadaran : Composmentis
Kepala dan Leher : Dalam batas normal Wajah : dalam batas normal
Mata: Conjungtiva Palpebra inferior anemis Telinga: Tidak ada keluhan
(-/-) ikterus (-/-)
Hidung: Tidak ada keluhan Mulut dan Tenggorokan: Tidak ada keluhan
Pernapasan : SP : bronchial , ST : Ronki Jantung : Tidak ada keluhan
basal, wheezing +/+
Abdomen : dalam batas normal Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
Ginjal dan Saluran Kemih : Tidak ada Hematologi :
keluhan Hb 12,5 gr%
Leukosit : 9400 uL
Endokrin/metabolik: Tidak ada keluhan Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
Sistem saraf: Tidak ada keluhan Emosi : Terkontrol
Vaskuler : Tidak ada keluhan

DISKRIPSI UMUM
Kesan Sakit : Sakit Sedang
Gizi :
BB : 58 Kg,TB : 165 cm IMT= 21,5 kg/m2 ( normal )

Tanda Vital
Kesadaran Composmentis Deskripsi : sadar, respon baik

Nadi 89 x/menit Reguler


Tekanan Darah 159/91 mmHg Hipertensi ST II
Temperatur Aksila : 37,2 0C Subfebris
Pernafasan 28 x/menit Dyspnea

KULIT WAJAH : Dalam batas normal


KEPALA DAN LEHER : Simetris, TVJ R-2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB(+).
TELINGA : Dalam batas normal
HIDUNG : Dalam batas normal
RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN : Dalam batas normal
MATA : Conjunctiva palp. inf. pucat (-/-), sclera ikterik (-/- ), odema palpebra (-)/(-)
RC (+)/(+), Pupil isokor, ki=ka, ø 3mm

THORAX
Depan Belakang
Inspeksi Bentuk barrel chest Bentuk barrel chest
Palpasi SF Ki = Ka, kesan normal SF Ki = Ka
Perkusi Hipersonor pada kedua paru Hipersonor pada kedua paru
Auskultasi SP: Ekspirasi memanjang SP: Ekspirasi memanjang
ST: Ronkhi basah pada lap. ST: Ronkhi basah pada lap.
Paru kiri bawah Paru kiri bawah

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III
Kanan : LSD
Kiri : 1 cm lateral LMCS, ICR IV - V
Jantung : HR : 89x/i,reguler, desah (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) N
PINGGANG : Tapping pain (-) ballotement (-)
INGUINAL : Pembesaran KGB (-)
EKSTREMITAS: Superior: Tidak ada kelainan
Inferior : Tidak ada kelainan
ALAT KELAMIN: Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI: Refleks Fisiologis (+) Normal Reflek Patologis (-)
BICARA : Dapat berkomunikasi baik
RESUME DATA DASAR

(Diisi dengan Temuan Positif)

Nama Pasien : Mustofa No. RM : 203082

1. Keluhan utama : Sesak Nafas


2. ANAMNESIS : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat
Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.)
Hal ini sudah dialami os 3 bulan ini dan memberat dalam 1 minggu ini, sesak tidak
berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi. PND (-), DOE/dyspnea on
Effort (-), pitting oedem (-). Batuk 1 bulan. Mukus (+). Penurunan BB (-), keringat malam (-
), Riwayat merokok (+) sejak usia 29 tahun. BAK (+), BAB (+).

RENCANA AWAL
NO. RM 2 0 3 0 8 2
NAMA : Mustofa
No Diagnosa Rencana Rencana Terapi Rencana Rencana Edukasi
Diagnostik monitoring
1 PPOK + - Foto thorax  Tirah baring Perbaiki Menjelaskan
Pneumonia - Darah rutin  Diet MB kondisi kepada pasien
TKTP umum dan keluarga
 O2 1-2 LPM pasien mengenai
NC penyakit yg
 IVFD NaCl diderita pasien
0,9% 20gtt/i mulai dari
 Drip definisi, etiologi,
Moxifloxacine penatalaksanaan
400mg/24 jam dan prognosisnya
 Inj. Fartison nya.
100 mg/8 jam
 Combivent
Nebule 2,5 +
Flixotide
Neb/20 menit
3x berturut-
turut selama 1
jam,
selanjutnya,
 Combivent
neb 1 amp/6
jam
 Flixotide neb
1 amp/12 jam
 Salbutamole
2x2 mg
 Ambroxol
3x30 mg

Hari/Tangga Profes Hasil Pemeriksaan, Diagnosa dan Penatalaksanaan


l i
12/08/2019 DPJP S : Sesak nafas, batuk (+)
O: KU : Lemah, Kes : CM
TD : 160/91 mmHg, Pulse : 89 x/menit
RR : 30x/menit, Temp : 36,2 oC, SpO2 : 95 %
Thorax : Wheezing +/+

A : PPOK Eksaserbasi
P :
- IVFD NaCl 0,9 % gtt xx/menit
- 02 2 LPM NC
- Inj. Moxifloxacine 400 mg/hari
- Inj. Esomax 40 mg/hari
- Inj. Fartison 100 mg/8 jam
- Inj. Lapibal 1 amp/8jam
- Inj. Furosemide 1 amp/hari
- Neb. Combivent 2,5 mg/6 jam
- Neb. Flixotide 1 mg/ 8 jam
- Lasal Ekspektoran Syr 2x2mg
-
13/08/2019 DPJP S : Sesak nafas, batuk (+)
O: KU : Lemah, Kes : CM
TD : 159/91 mmHg, Pulse : 89 x/menit
RR : 26x/menit, Temp : 36,2 oC, SpO2 : 85 %
Thorax : Wheezing +/+

A : PPOK Eksaserbasi
P :
- IVFD NaCl 0,9 % gtt xx/menit
- 02 2 LPM NC
- Inj. Moxifloxacine 400 mg/hari
- Inj. Esomax 40 mg/hari
- Inj. Fartison 100 mg/8 jam
- Inj. Lapibal 1 amp/8jam
- Inj. Furosemide 1 amp/hari
- Neb. Combivent 2,5 mg/6 jam
- Neb. Flixotide 1 mg/ 8 jam
- Lasal Ekspektoran Syr 2x2mg

14/08/2019 DPJP S : Sesak nafas, batuk (+), nafas bunyi (-)


O: KU : Lemah, Kes : CM
TD : 120/83 mmHg, Pulse : 101 x/menit
RR : 28x/menit, Temp : 36,2 oC, SpO2 : 95 %
Thorax : Wheezing +/+, Ronki -/-

A : PPOK Eksaserbasi
P :
- IVFD NaCl 0,9 % gtt xx/menit
- 02 2 LPM NC
- Inj. Moxifloxacine 400 mg/hari
- Inj. Esomax 40 mg/hari
- Inj. Fartison 100 mg/8 jam
- Inj. Lapibal 1 amp/8jam
- Inj. Furosemide 1 amp/hari
- Neb. Combivent 2,5 mg/6 jam
- Neb. Flixotide 1 mg/ 8 jam
- Lasal Ekspektoran Syr 2x2mg

15/08/2019 DPJP S : Sesak nafas, batuk (+), nafas bunyi (-)


O: KU : Baik, Kes : CM
TD : 111/76 mmHg, Pulse : 98 x/menit
RR : 26x/menit, Temp : 36 oC, SpO2 : 98 %
Thorax : Wheezing +/+, Ronki -/-

A : PPOK Eksaserbasi
P :
- IVFD NaCl 0,9 % gtt xx/menit
- 02 2 LPM NC
- Inj. Moxifloxacine 400 mg/hari
- Inj. Esomax 40 mg/hari
- Inj. Fartison 100 mg/8 jam
- Inj. Lapibal 1 amp/8jam
- Inj. Furosemide 1 amp/hari
- Neb. Combivent 2,5 mg/6 jam
- Neb. Flixotide 1 mg/ 8 jam
- Lasal Ekspektoran Syr 2x2mg
RÖ Thorax PA
Boleh Pulang
Edukasi
BAB 4
KESIMPULAN
Kasus Teori
1. Anamnesa 1. Anamnesa
Keluahan utama : Sesak nafas. Hal ini sudah Gejala dari PPOK adalah seperti
dialami os sejak 3 bulan ini, memberat dalam susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya
seminggu ini, tidak berhubungan dengan sputum kronis, episode yang buruk atau
cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi. eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala
Terbangun tengah malam karena sesak (-), yang paling umum dari PPOK adalah sesak
sesak ketika beraktifitas (+) namun hal ini napas (dyspnea). Batuk, produksi sputum,
hanya sesekali dialami os, Os juga mengi dan dada sesak.
mengeluhkan batuk yang sudah dialami 1
bulan ini dan tidak berkurang jika diberikan
obat batuk yang dibeli di warung. Batuk
bersifat hilang timbul disertai dengan dahak
yang bening (+). Riwayat keluarga menderita
keluhan yang sama tidak dijumpai. Riwayat
merokok (+) sejak usia 29 tahun dan baru
berhenti 3 bulan yang lalu, os menghabiskan
rokok sebanyak 2 bungkus dalam sehari.
2. Pemeriksaan fisik 2. Pemeriksaan fisik
THORAX Tanda Pernapasan
Depan Belakang Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing,
Inspeksi Bentuk Bentuk gerakan tidak normal dari dada/abdomen dan
barrel chest barrel chest penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini
Palpasi SF Ki = Ka, SF Ki = Ka merupakan tanda pembatasan aliran udara,
kesan hiperinflasi dan gangguan mekanis dari
normal bernapas 11
Perkusi Hipersonor Hipersonor Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada
pada kedua pada kedua emfisema 2
paru paru Perkusi: penurunan letak diafragma, suara
Auskultasi SP: SP: timpani karena hiperinflasi, hati dapat teraba
11
Ekspirasi Ekspirasi Auskultasi: suara napas vesikuler normal,
memanjang memanjang atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi
ST: Ronkhi ST: Ronkhi pada waktu bernapas biasa atau pada
basah pada basah pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi
lap. Paru lap. Paru jantung terdengar jauh 2
kiri bawah kiri bawah Tanda Sistemik
Distensi vena leher, pembesaran hati dan
edema perifer dapat terjadi karena cor
pulmonale atau selama inflamasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot
perifer yang konsisten dengan malnutrisi
dan/atau disfungsi otot skelet.

3. Pemeriksaan penunjang 3. Pemeriksaan penunjang


Radiologi Radiologi
peningkatan tanda bronkovaskular Harus dilakukan pada semua pasien.
Pemeriksaan radiologi memang tidak sensitif
untuk diagnosis, tetapi membantu dalam
menyingkirkan penyakit lain (pneumonia,
kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks).
Umum walaupun tidak spesifik, tanda
emfisema adalah diafragma yang mendatar,
radiolusensi paru yang ireguler.11 Bronkitis
kronis berhubungan dengan peningkatan
tanda bronkovaskular dan kardiomegali.6
Dengan komplikasi hipertensi pulmonal,
bayangan vaskular hilus menjadi sering,
dengan kemungkinan adanya pembersaran
ventrikular kanan.

Tn. Mustofa, umur 89 tahun, keluhan utama sesak nafas, diagnosa PPOK, melalui anamnesa
dan Pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang Rongent thorax.
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD, 2017. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 10-17
2. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, 1-32
3. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet.
WHO Media Center [Online]. [Cited 2014 Aug 8]. Available from: URL:
http://www.who.int/mediacentre
4. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet X, 2003. Systemic Effect
of COPD, Eur Respir J ; 21; p.347-360
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. [Accessed 10 April 2013].
7. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical Care 17th edition. New
York, USA: Mc-Graw Hill, 178-189
8. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med Res, 137:
251-269
9. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J Respir Cell Mol Biol, 32:
367-372.
10. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD. Ther Adv
Respir Dis, 1: 47-59
11. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of COPD.
American Thoracic Society and European Respiratory Society, 14- 43
12. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1)
13. Omeati, R. 2013 Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Media Litbangkes 23(2): 82-88

Anda mungkin juga menyukai