Anda di halaman 1dari 11

A.

Asuhan Keperawatan Pasien Anak dengan Retardasi Mental


1. Definisi

Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak
masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan
mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama pada retardasi mental ialah
intelegensi yang terbelakang atau keterbelakangan mental. Retardasi mental disebut juga
oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.
Retardasi mental dapat didefinisikan sebagai keterbatasan dalam kecerdasan yang
mengganggu adaptasi normal terhadap lingkungan.
2. Etiologi

Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas
sebabnya (simpleks). Keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor
sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam
kandungan atau anak-anak.
Retardasi mental menurut penyebabnya, yaitu :
1. Akibat infeksi atau intoksikasi. Dalam Kelompok ini termasuk keadaan retardasi
mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi intrakranial, karena serum, obat
atau zat toksik lainnya.
2. Akibat rudapaksa atau disebabkan fisik lain. Rudapaksa sebelum lahir serta juga
trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat
mengakibatkan kelainan dengan retardasi mental. Rudapaksa sesudah lahir tidak
begitu sering mengakibatkan retardasi mental.
3. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi. Semua retardasi mental yang
langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolime
lemak, karbohidrat dan protein), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok
ini.
4. Ternyata gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4
tahun sangat memepngaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi
mental. Keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur 6 tahun,
sesudah ini biarpun anak itu diberikan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu
sudah sukar ditingkatkan.
5. Akibat penyakit otak yang nyata (postnatal). Dalam kelompok ini termasuk retardasi
mental akibat neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa
atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum
diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat
degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
6. Akibat penyakit/pengaruh pranatal yang tidak jelas. Keadaan ini diketahui sudah ada
sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomali kranial
primer dan defek kogenital yang tidak diketahui sebabnya.
7. Akibat kelainan kromosom. Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlah
atau dalam bentuknya. Hal ini mencakup jumlah terbesar dari penyebab genetic dan
paling sering adalah trisomi yang melibatkan kromosom tambahan, misalnya 47
dibandingkan keadaan normal sebesar 46. Kelainan kromosom seks, seperti
sindroma Klinefeker (XXY), sindroma Turner dan berbagai mosaic, dapat juga
berkaitan dengan retardasi mental.
8. Akibat prematuritas. Kelompok ini termasuk retardasi mental yang berhubungan
dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram atau
dengan masa hamil kurang dari 38 minggu serta tidak terdapat sebab-sebab lain
seperti dalam sub kategori sebelum ini.
9. Akibat gangguan jiwa yang berat. Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah
terjadi gangguan jiwa yang berat itu dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
10. Akibat deprivasi psikososial. Retardasi mental dapat disebabkan oleh fakor – faktor
biomedik maupun sosiobudaya.
3. Manifestasi klinis

Retardasi mental bukanlah suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan


hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan
terhadap intelektual dan fungsi adaptif. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa
gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Hasil bagi intelegensi (IQ = “Intelligence
Quotient”) bukanlah merupakan satusatunya patokan yang dapat dipakai untuk
menentukan berat ringannya retardasi mental. Sebagai kriteria dapat dipakai juga
kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya
mulai dari taraf ringan, sedang sampai berat, dan sangat berat.
4. Klasifikasi retardasi mental menurut DSM-IV-TR yaitu :
a) Retardasi mental berat sekali IQ dibawah 20 atau 25. Sekitar 1 sampai 2 % dari orang
yang terkena retardasi mental.
b) Retardasi mental berat IQ sekitar 20-25 sampai 35-40. Sebanyak 4 % dari orang yang
terkena retardasi mental.
c) Retardasi mental sedang IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Sekitar 10 % dari orang yang
terkena retardasi mental.
d) Retardasi mental ringan IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang
terkena retardasi mental. Pada umunya anak-anak dengan retardasi mental ringan
tidak dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah.
5. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan, kegiatan
yang perlu dilakukan oleh seorang perawat :
a. Mengkaji data dari pasien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala serta faktor
penyebab.
b. Memvalidasi data.
c. Mengelompokkan data dan menetapkan masalah klien.
Data yang didapat digolongkan menjadi 2 :
a. Data subjektif, data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan keluarga ,
didapat melalui wawancara oleh perawat terhadap pasien dan keluarga.
b. Data objektif, data yang ditemukan secara nyata, melalui observasi atau
pemeriksan langsung oleh perawat.
Isi Pengkajian : Identitas pasien , keluhan utama saat MRS , faktor predisposisi , aspek
fisik atau biologis , aspek psikososial , dan status mental.
a. Kaji kembali riwayat klien untuk adanya hal-hal yang mencetuskan stressor atau
data yang signifikan, antara lain riwayat keluarga, peristiwa-peristiwa hidup yang
menimbulkan stres, hasil pemeriksaan kesehatan jiwa, riwayat masalah fisik dan
psikologis serta pengobatannya.
b. Catat pola pertumbuhan dan perkembangan anak dan bandingkan dengan alat
standar, seperti The Developmental Screening Test dan versi yang sudah direvisi
(Wong, 1997).
c. Catat bukti pencapaian tugas perkembangan yang sesuai bagi anak atau remaja.
d. Lakukan pemeriksaan fisik pada anak atau remaja, catat data normal atau
abnormal.
e. Kaji respon perilaku yang dapat mengindikasikan gangguan pada anak-anak atau
remaja. Pastikan untuk mengkaji interaksi langsung, observasi permainan, dan
interaksi dengan keluarga dan teman sebaya.
f. Identifikasi bukti gangguan kognitif.
g. Observasi adanya bukti-bukti gangguan mood.
h. Kaji kelebihan dan kelemahan sistem keluarga.
6. Diagnosa Keperawatan
a) Isolasi sosial b.d gangguan komunikasi atau hambatan verbal
Kemungkinan yang ditandai:
1) kurang bentuk komunikasi interaktif; tidak menggunakan gerakan tubuh atau
bahasa lain
2) komunikasi non-verbal tidak ada atau abnormal; kurang kontak mata atau
ekspresi wajah
3) pola yang aneh dalam bentuk, isi ataupun hasil bicara (bila ada bicara)
4) hambatan kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan
Kriteria Hasil:
1) menggunakan suara, kata-kata atau gerakan tubuh dalam cara yang interkatif
dengan orang lain
2) mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginan pada orang terdekat atau
pemberi asuhan
3) mengawali interaksi secara verbal atau nonverbal dengan orang lain

No Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pertahankan pemberian asuhan Pengenalan membantu anak
yang sama untuk anak mengembangkan rasa percaya diri dan
membantu pemberi asuhan
mempelajari cara anak mencoba
berkomunikasi.
2. Antisipasi dan penuhi kebutuhan Mengurangi frustasi selama anak
hingga komunikasi dapat dibangun mempelajari keterampilan komunikasi.
Beberapa ahli terapi percaya bahwa
proses ini harus dibatasi untuk
mendorong permintaan verbal terhadap
kebutuhan dasar.
3. Kaji kata atau suara yang Mefasilitasi pengenalan pada upaya
digunakan sebelumnya. Lakukan bicara. Teknik ini berguna dalam
validasi dan klarifikasi untuk menentukan ketepatan peneriamaan
memastikan usaha komunikasi pesan.
4. Gunakan pendekatan tatap muka Mengungkapkan minat tulus dan
untuk menyampaikan ekspresi non- respek pada klien.
verbal yang tepat
5) Dorong kontak mata dengan Kontak mata penting untuk menangkap
sesuatu yang dapat diterima anak perhatian anak, untuk mengawali
(misalnya: makanan, objek) percakapan yang berhasil.
6) Ulangi dan dorong aproksimasi Memberi informasi pada anak tentang
suara atau kata ketika digunakan harapan pemberi asuhan dan dapat
oleh anak mendorong usaha untuk
berkomunikasi.
7) Pilih bentuk alternatif komunikasi, Tiga perempat anak yang dilatih dalam
seperti gambar, bahasa isyarat, atau sistem komunikasi pertukaran gambar
penggunaan komputer pada anak akhirnya berkomunikasi dengan bicara
yang mengalami perkembangan atau dengan berbicara pada gambar.
bahasa minimal Isyarat dapat menimbulkan lebih
sedikit ansietas daripada ekspresi
verbal bagi beberapa anak, dan
penggunaan komputer dapat membantu
melibatkan anak dalam interaksi.
8) Gunakan Terapi Bermain Meningkatkan kemampuan sosialisasi
Cooperative Play dengan Puzzle anak retardasi mental
9) Dukung orang tua untuk konsep Adanya penerimaan diri dimana ia
diri yang positif dalam merawat mengenal dirinya dengan baik, mampu
anak mengatasi masalah dan memperbaiki
diri, serta memiliki motivasi yang
tinggi dalam merawat anaknya.
10) Dukung sikap orang tua yang baik Meningkatkan kemampuan sosialisasi
terhadap anak Anak
11) Anjurkan guru di sekolah untuk Meningkatkan kemampuan Sosialisasi
memberikan dukungan sosial pada Anak
kepada anak

Kolaborasi
Rujuk untuk pengkajian dan tes Memungkinkan perencanaan
kerjasama dengan guru pendidik penanganan dengan intervensi atau
dan ahli patologi wicara teknik khusus yang sesuai.
b) Defisit perawatan diri b.d ketidakmampuan untuk mandiri atau koping individu
inefektif
Kemungkinan yang ditandai:
1) kesukaran menggambil makanan atau ketidakmampuann membawa makanan
dari wadah ke mulut
2) ketidakmampuan membersihkan tubuh atau bagian-bagian tubuh
3) kurangnya minat dalam memilih pakaian, kelainan kemampuan dalam
berpakaian dan mempertahankan penampilan yang memuaskan
4) tidak adanya kemauan untuk melakukan defekasi atau berkemih tanpa bantuan
Kriteria Hasil:
1) Pasien makan sendiri tanpa bantuan
2) Pasien memilih pakaian yang sesuai, berpakaian merawat dirinya tanpa bantuan
3) Pasien mempertahankan kebersihan diri secara optimal
No Intervensi/Tindakan Rasional
1. Dukung pasien untuk melakukan Keberhasilan menampilakn
kegiatan hidup sehati-hari sesuai kemandirian dalam melakukan
dengan tingkat kemampuannya aktivitas akan meningkatkan harga diri
2. Dukung kemandirian pasien, tetapi Kenyamanan dan keamanan pasien
berikan bantuan saat pasien tidak merupakan prioritas utama dalam
dapat melakukan beberapa kegiatan keperawatan
3. Berikan pengakuan dan Penguatan positif akan meningkatkan
penghargaan positif untuk harag diri dan mendukung pengulangan
kemampuannya mandiri perilaku yang diharapkan
4. Perlihatkan secara konkret, Penjelasan harus sesuai dengan tingkat
bagaimana melakukan kegiatan pengertian yang nyata
yang menurut pasien sulit
melakukannya
5. Buat catatan secara rinci tentang Informasi yang penting untuk
makanan dan cairan mendapatkan gambaran nutrisi yang
adekuat
6. Berikan makanan kudapan dan Pasien mungkin tidak mampu
cairan diantara waktu makan mentoleransi makanan dalam jumlah
besar pada saat makan dan
membutuhkan penambahan diluar
waktu makan
7. Jika pasien tidak makan karena Pasien dapat melihat setiap orang
curiga dan takut diracuni, berikan makan dari hidangan yang sama
makanan kaleng dan biarkan pasien
sendiri yang membukanya atau
disajukan dalam kekeluargaan
8. Tingkatkan dukungan sosial Meningkatkan kemampuan perawatan
keluarga pada anak diri pada anak
9. Tetapkan jadwal defekasi dan Melatih pasien untuk melakukan ADL
berkemih, bantu pasien ke kamar (Activity Daily Living) agar mampu
mandi sesuai jadwal, sampai pasien melakukan secara mandiri sehingga
mampu melakukan tanpa bantuan kebutuhan utama pasien dapat
orang lain. Dukung kemandirian terpenuhi
pasien, tapi berikan bantuan saat
pasien tidak mampu melakukan
kegiatan
10. Beri pujian atas keberhasilan anak Reinforcement positif dapat

melakukan perawatan diri menyenangkan hati anak dan

meningkatkan minat anak untuk

melakukan perawatan diri.

7. Implementasi
a) Bina hubungan saling percaya
b) Dengarkan secara aktif, tunjukkan perhatian dan dukungan
c) Tingkatkan komunikasi yang jelas, jujur dan langsung
d) Dukung kelebihan klien dan keluarga
e) Gunakan model kognitif untuk menjelaskan hubungan antara pikiran, perasaan
dan perilaku
f) Berpartisipasi dalam terapi bermain, biarkan anak mengekspresikan dirinya
melalui permainan imajinatif
g) Berpartisipasi dalam terapi bermain, biarkan anak meningkatkan soialisasi
melalui Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzle
h) Anjurkan digunakannya kelompok pendukung masyarakat bagi klien dan
keluarga
i) Anjurkan pada keluarga tentang cara menjaga kesehatan emosi anak melalui
penyuluhan klien dan keluarga
j) Ciptakan lingkungan yang tenang
k) Bantu orang tua mengurangi perasaan bersalah dan menyalahkan atas apa
yang mereka alami
l) Dukung orang tua untuk konsep diri yang positif dalam merawat anak
m) Dukung sikap orang tua yang baik terhadap anak
n) Anjurkan guru di sekolah untuk memberikan dukungan sosial kepada anak
o) Alihkan perhatian anak bila ansietasnya meningkat dan perilakunya
memburuk
p) Tingkatkan dukungan sosial keluarga pada anak
q) Berikan benda-benda yang dikenali anak
r) Beri pujian atas keberhasilan anak melakukan perawatan diri
8. Evaluasi
a) Klien dan keluarganya menunjukkan perbaikan keterampilan koping
b) Klien mengendalikan perilaku impulsifnya
c) Klien menunjukkan stabilitas mood yang normal
d) Klien berpartisipasi dalam program penyuluhan sesuai kemampuan
e) Klien dan keluarganya berpartisipasi dalam program pengobatan dan
menerima rujukan komunitas
f) Klien berinteraksi secara sosial dengan kelompok teman sebaya
g) Anak dapat menyebutkan keuntungan dari melakukan perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn. E, dkk. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Pskiatri. Jakarta: EGC.
Kusumawati. F & Hartono. Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta Salemba Medika
Wardhani. 2012. Terapi Bermain: Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan
Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental. www.journal.unair.ac.id, diakses
tanggal 28 Maret 2015
Sari, Jumaini, Hasanah. 2012. Hubungan Konsep Diri Orang Tua dengan Motivasi dalam
Merawat Anak Retardasi Mental.Jurnal PSIK Riau
Risnawati, Al Ummah, Septiwi. 2010. Hubungan Antara Dukungan Sosial Guru Dengan
Kemampuan Sosialisasi pada Anak Retardasi Mental di Slb Putra Manunggal
Gombong Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan STIKES
Muhammadiyah Gombong 6(1)
Hastuti, Rusminingsih, Wulansari. 2009. Sikap Orang Tua Dengan Kemampuan Sosialisasi
Anak Retardasi Mental di Slb C/C1 Shanti Yoga Klaten,www.
jurnal.stikesmukla.ac.id, diakses tanggal 28 Maret 2015
Arfandi, Susilo, Widodo. 2014. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan
Kemampuan Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental di Slb Negeri Ungaran.
http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3580.pdf, diakses tanggal 28 Maret
2015.

Anda mungkin juga menyukai