Anda di halaman 1dari 95

BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO

PROVINSI SULAWESI UTARA


PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO
NOMOR TAHUN 2014

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO
TAHUN 2014-2034

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten


Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dengan memanfaatkan
ruang wilayah secara berdaya guna dan berhasil guna,
serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu disusun
rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan
pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, maka
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro merupakan ketentuan lokasi dan fungsi
ruang untuk investasi pembangunan yang akan
dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan/atau dunia
usaha;
c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perlu
penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c di atas, perlu ditetapkan
dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
Tahun 2013–2034.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di Provinsi
Sulawesi Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4691);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739)
sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5490);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5214);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5233);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5160);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian
Peta Rencana Tata Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5393);
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO
dan
BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG
BIARO 2014 - 2034

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
2. Kepala Daerah adalah Bupati Kepulauan Siau Tagulandang Biaro yang
dibantu oleh seorang Wakil Bupati.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro.
4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
6. Tata Ruang adalah wujud, struktur ruang dan pola ruang.
7. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
8. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan
fungsional.
9. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budidaya.
10. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
11. Penyelenggaraan Penataan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
12. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan
ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
14. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib
tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
15. Sistem Perwilayahan adalah pembagian wilayah dalam kesatuan sistem
pelayanan, yang masing-masing memiliki kekhasan fungsi pengembangan.
16. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai.
17. Sepadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk
sungai buatan, yang mempunyai manfaat penting untuk memanfaatkan
kelestarian penting fungsi sungai/sungai buatan.
18. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional.
19. Kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi utama lindung atau
budidaya.
20. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya buatan.
21. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
22. Desa selanjutnya disebut Kampung adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
23. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkampungan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan, jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
25. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
26. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk pertahanan.
27. Kawasan Peruntukan Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi
sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas
berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi
penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/eksploitasi dan
pasca tambang, baik di wilayah daratan maupun perairan, serta tidak
dibatasi oleh penggunaan lahan baik kawasan budidaya maupun kawasan
lindung.
28. Kawasan Sekitar Danau adalah kawasan tertentu di sekeliling danau yang
mempunyai manfaat penting untuk memanfaatkan kelestarian fungsi
danau.
29. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air.
30. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
31. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah
kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan
kawasan perbatasan negara.
32. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Provinsi atau
beberapa Kabupaten/Kota.
33. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWP adalah
kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKW.
34. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota
atau beberapa kecamatan.
35. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLP adalah
kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL.
36. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa kecamatan.
37. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat
pemukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar kampung.
38. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku kepentingan non
pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
39. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
40. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD
adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan mempunyai fungsi
membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II
SUBSTANSI MUATAN TEKNIS RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Substansi Muatan Teknis

Pasal 2

Materi substansi muatan teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten


Kepulauan Siau Tagulandang Biaro bersifat menyeluruh, dan terdiri atas :
a. tujuan, Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang terdiri atas :
1. tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro;
2. kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro;
3. strategi penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro.
b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro, yang memuat :
1. rencana pengembangan pusat-pusat kegiatan;
2. rencana pengembangan sistem jaringan transportasi;
3. rencana pengembangan sistem jaringan energi;
4. rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi;
5. rencana pengembangan sistem jaringan sumberdaya air.
c. rencana Pola ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro,
yang terdiri atas :
1. rencana kawasan lindung; dan
2. rencana kawasan budidaya.
d. penetapan kawasan strategis, yang terdiri atas :
1. kawasan strategis nasional;
2. kawasan strategis provinsi; dan
3. kawasan strategis Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
e. ketentuan Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro;
f. ketentuan Pengendalian Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro, yang terdiri atas :
1. indikasi ketentuan peraturan zonasi;
2. ketentuan perizinan;
3. ketentuan Insentif dan disinsentif; dan
4. ketentuan sanksi.

BAB III
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Tujuan dan Ruang Lingkup

Pasal 3

(1) Penataan Ruang Kabupaten bertujuan mewujudkan masyarakat yang


sejahtera, mandiri dan berkepribadian melalui pemanfaatan fungsi ruang
berbasis bahari, pertanian, pariwisata dan mitigasi bencana yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan;
(2) Ruang Lingkup Penataan Ruang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro Provinsi Sulawesi Utara yang secara administratif memiliki luas wilayah
275,95 km2, yang terdiri dari 47 pulau dimana sebanyak 12 pulau sudah
berpenghuni dan 35 pulau belum berpenghuni. Terdapat 5 Buah Gunung,
salah satunya Gunung karangetang yang di kenal sebagai gunung berapi
yang statusnya masih sangat aktif. Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
Biaro terbagi menjadi 10 Kecamatan, dimana pada Tahun 2012 dari sejumlah
kecamatan tersebut terbagi lagi kedalam 83 Desa dan 10 Kelurahan;
(3) Letak Geografis Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro :
a. 2007’48” - 2048’36”” Lintang Utara;
b. 125009’36” - 125029’24”” Bujur Timur.
(4) Batas Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro :
a. Kabupaten Kepulauan Sangihe di sebelah utara;
b. Laut Maluku di sebelah Timur;
c. Kabupaten Minahasa Utara di sebelah Selatan; dan
d. Laut Sulawesi di sebelah Barat.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 4

Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah sebagai berikut :


a. pengembangan sumber daya manusia dan pemanfaatan kemajuan teknologi
untuk menunjang seluruh kegiatan pembangunan wilayah;
b. pengembangan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan perikanan,
pertanian dan perkebunan serta pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat;
c. pengembangan pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat kegiatan yang
berwawasan lingkungan melalui pembangunan prasarana dan sarana
penunjang;
d. pengelolaan ruang berbasis mitigasi bencana melalui penyediaan ruang dan
jalur evakuasi bencana;
e. penguatan aspek pertahanan dan keamanan khususnya pada kawasan pulau
terluar.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang

Pasal 5

(1) Strategi pengembangan Sumber Daya Manusia dan pemanfaatan kemajuan


teknologi untuk menunjang seluruh kegiatan pembangunan wilayah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf a, terdiri atas :
a. membangun dan meningkatkan fasilitas pendidikan berupa sekolah
unggulan dan kejuruan serta perguruan tinggi;
b. membangun dan meningkatkan prasarana dan sarana kesehatan;
c. membangun dan meningkatkan prasarana dan sarana penunjang
kegiatan olah raga dan kebudayaan;
d. membangun sistem jaringan komunikasi jarak jauh khususnya pada
daerah yang terisolasi;
e. membangun jaringan cyber city pada pusat pemerintahan kabupaten dan
sekitarnya;
f. memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengembangkan sumber
energi tenaga surya, angin dan gelombang laut;
g. memanfaatkan kemajuan teknologi untuk pengelolaan sumber air
minum; dan
h. membangun jaringan media informasi sebagai penunjang penyebarluasan
berita, informasi dan hiburan.
(2) Strategi pengembangan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan
perikanan, pertanian serta kebudayaan dan pariwisata untuk kesejahteraan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal (4) huruf b, terdiri atas :
a. memantapkan fungsi kawasan lindung;
b. meningkatkan produktifitas hasil pertanian khususnya perkebunan
melalui intensifikasi lahan dan peremajaan komoditi unggulan pala dan
komoditi lainnya;
c. memanfaatkan lahan non produktif untuk budidaya hortikultura dan
palawija alam rangka peningkatan pendapatan masyarakat serta menjaga
kualitas lingkungan;
d. mengembangkan potensi pariwisata dengan membangun prasarana dan
sarana pendukung kegiatan wisata;
e. meningkatkan SDM dalam mengelola obyek wisata menjadi lebih
profesioanal;
f. mengembangkan dan menggali potensi budaya daerah melalui media
promosi dan pembangunan bangunan cagar budaya;
g. mengembangakan potensi pasar melalui media promosi; dan
h. membangun prasarana dan sarana pendukung perikanan di sekitar
pulau utama dan sekiitar kawasan penangkapan ikan.
(3) Strategi pengembangan pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat kegiatan
yang berwawasan lingkungan melalui pembangunan prasarana dan sarana
penunjang sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf c, terdiri atas :
a. memantapkan struktur ruang serta membangun setiap pusat-pusat
permukiman dan pusat-pusat kegiatan sesuai fungsi dan perannya
masing-masing;
b. meningkatkan aksesbilitas antara pusat permukiman, antar pusat
kegiatan dan antar pusat permukiman dengan pusat kegiatan, dengan
membangun jaringan transportasi sebagai infrastruktur utama yang
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan secara signifikan dan
berimbang;
c. membangun jaringan infrastruktur pendukung untuk memperkuat
struktur ruang, antara lain sistem energi/listrik, telekomunikasi, air
minum, drainase perkotaan dan perkampungan, pengelolaan limbah dan
persampahan;
d. memprioritaskan peningkatan ruas jalan penghubung Ulu – Ondong,
lingkar Pulau Siau, lingkar Pulau Tagulandang, lingkar Pulau Biaro dan
jalan diagonal di tiga pulau utama serta meningkatkan intensitas
penghubung antar tiga pulau utama sebagai perwujudan pemantapan
struktur ruang; dan
e. membangun prasarana dan sarana, fasilitas sosial dan fasilitas umum
secara proporsional pada setiap pusat permukiman dan pusat kegiatan.
(4) Strategi pengelolaan ruang berbasis mitigasi bencana melalui penyediaan
ruang dan jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
huruf d, terdiri atas :
a. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang
evakuasi bencana alam gunung berapi Gunung Karangetang dan Gunung
Ruang;
b. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang
evakuasi bencana alam tsunami, gelombang pasang, angin, banjir dan
longsor serta kebakaran hutan; dan
c. membangun sistem mitigasi bencana untuk meminimalisir kerugian
akibat bencana alam gunung api, tsunami, gelombang pasang, angin,
banjir dan longsor, serta kebakaran hutan.
(5) Strategi penguatan aspek pertahanan dan keamanan khususnya pada
kawasan pulau terluar sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf e,
terdiri atas :
a. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang
aspek pertahanan dan keamanan;
b. menyelenggarakan kegiatan patroli pengamanan wilayah.

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau


Tagulandang Biaro meliputi :
a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Sehubungan dengan karakteristik wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro sebagai daerah kepulauan, maka rencana struktur ruang
wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan satuan wilayah pengembangan
dengan sistem klaster pengembangan;
(3) Sistem klaster pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Siau, yang terdiri dari :
1. sub klaster Siau Timur, meliputi wilayah Kecamatan Siau
Timur, Siau Timur Selatan dan Kecamatan Siau Tengah.
Pusat pengembangan Ulu;
2. sub klaster Siau Barat, meliputi Kecamatan Siau Barat, Kecamatan
Siau Barat Selatan dan Kecamatan Siau Barat Utara.
Pusat pengembangan Ondong.
b. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Tagulandang, meliputi wilayah
Kecamatan Tagulandang, Tagulandang Utara dan Kecamatan
Tagulandang Selatan. Pusat pengembangan Buhias;
c. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Biaro, meliputi seluruh wilayah
Kecamatan Biaro dengan pusat pengembangan Lamanggo;
d. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Makalehi, meliputi seluruh wilayah
di Pulau Makalehi dengan pusat pengembangan Kampung Makalehi;
e. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Pahepa meliputi seluruh wilayah di
Pulau Pahepa, Pulau Gunatin, Pulau Mahoro dan Pulau-pulau kecil
sekitarnya dengan pusat pengembangan Pahepa.
(4) Setiap klaster pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki
fungsi pengembangan kegiatan masing-masing sebagai berikut :
a. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Siau, yang terdiri dari:
1. sub klaster Siau Timur, dengan fungsi pengembangan kegiatan
meliputi fungsi perdagangan dan jasa, pertanian dan perkebunan,
perikanan, permukiman, transportasi, pariwisata dan kesehatan;
2. sub klaster Siau Barat, dengan fungsi pengembangan kegiatan
meliputi fungsi pemerintahan, pertanian dan perkebunan, Pariwisata,
Transportasi dan permukiman.
b. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Tagulandang, dengan fungsi
pengembangan kegiatan meliputi fungsi perdagangan dan jasa,
pendidikan tinggi, Olahraga, perkebunan, transportasi, permukiman,
Perikanan, pariwisata dan kesehatan;
c. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Biaro, dengan fungsi pengembangan
kegiatan meliputi fungsi permukiman, pariwisata, perkebunan dan
perikanan;
d. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Makalehi, dengan fungsi
pengembangan kegiatan meliputi fungsi perikanan, permukiman,
pariwisata, Pertahanan dan peningkatan kualitas dan fasilitas kawasan
perbatasan; dan
e. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Pahepa dengan fungsi
pengembangan kegiatan meliputi fungsi permukiman, pariwisata dan
perikanan.
(5) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1 : 50.000 yang
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Pusat-pusat Kegiatan

Pasal 7

(1) Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang


Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf a, meliputi :
a. PKSNp (Pusat Kegiatan Strategis Nasional promosi);
b. PKWp (Pusat Kegiatan Wilayah promosi);
c. PKL (Pusat Kegiatan Lokal);
d. PPK (Pusat Pelayanan Kawasan); dan
e. PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan).
(2) PKSNp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Ondong.
(3) PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Ulu.
(4) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu Buhias
(5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi :
a. Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan;
b. Talawid di Kecamatan Siau Barat Selatan;
c. Bawoleu di Kecamatan Tagulandang Utara;
d. Kisihang di Kecamatan Tagulandang Selatan; dan
e. Lamanggo di kecamatan Biaro.
(6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi :
a. Hiung di Kecamatan Siau Barat Utara;
b. Beong di Kecamatan Siau Tengah;
c. Makalehi di Kecamatan Siau Barat;
d. Pahepa di Kecamatan Siau Timur Selatan; dan
e. Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 8

(1) Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b,
terdiri atas :
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara.
(2) Sistem jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan digambarkan dalam
peta dengan skala ketelitian minimal 1 : 50.000 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Paragraf 1
Sistem jaringan Transportasi Darat

Pasal 9

(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 8


ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi jaringan jalan, jaringan
prasarana lalu lintas dan jaringan layanan lalu lintas; dan
b. jaringan penyeberangan.
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. jaringan jalan kolektor primer K1 yang ada di Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yaitu ruas Ulu – Ondong menjadi
jalan nasional;
b. rencana peningkatan fungsi dan status jalan kolektor primer K1 ruas
Ulu – Ondong – Balirangen Pihise menjadi jalan Nasional.
c. rencana pengembangan jaringan jalan kolektor primer K1, meliputi:
1. Ulu – Sawang – Balirangen Pihise menjadi jalan nasional;
2. Ondong – Talawid – Balirangen Pihise menjadi jalan nasional; dan
3. Buhias – Minanga – Bulangan – Kisihang – Buhias menjadi jalan
nasional.
d. rencana pengembangan jaringan jalan lokal primer, meliputi:
1. Ondong – Hiung – Ulu menjadi jalan nasional;
2. Jalan Lingkar Pulau Biaro, yaitu Buang – Lamanggo – Karungo
menjadi jalan nasional.
e. rencana pengembangan jaringan jalan lokal sekunder, meliputi jalan
di dalam perkotaan Ondong, jalan di perkotaan Ulu Siau, jalan
di perkotaan Buhias, dan Jalan lingkar Pulau Makalehi.
(3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, berupa terminal penumpang tipe C yang meliputi :
a. Terminal Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur;
b. Terminal Buhias di Kecamatan Tagulandang;
c. Terminal Ondong di Kecamatan Siau Barat; dan
d. Terminal Sawang di kecamatan Siau Timur Selatan.
(4) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
berupa trayek angkutan penumpang yang terdiri atas :
a. Trayek angkutan pedesaan meliputi :
1. Trayek Ulu – Ondong – Peling (PP);
2. Trayek Ulu – Sawang – Biau (PP);
3. Trayek Ulu – Kanang (PP);
4. Trayek Ulu – Talawid – Tanaki (PP);
5. Trayek Ulu – Talawid – Laghaeng (PP);
6. Trayek Ulu – Ondong – Kiawang (PP);
7. Trayek Ulu – Sawang – Pangilorong (PP);
8. Trayek Ulu – Hiung (PP);
9. Trayek Ulu – Balirangen – Pihise (PP);
10. Trayek Ondong – Talawid – Pihise (PP);
11. Trayek Ondong – Hiung (PP);
12. Trayek Buhias – Apengsala (PP);
13. Trayek Buhias – Mulengen – Minanga (PP);
14. Trayek Buhias - Bawoleu (PP);
15. Trayek Buhias – Bawoleu – Minanga (PP);
16. Trayek Buhias – Kisihang – Bulangan (PP).
b. Trayek angkutan perkotaan, meliputi :
1. Trayek Ulu – Dame (PP);
2. Trayek Ulu – Bebali (PP);
3. Trayek Ulu – Bahu (PP) dalam Kota Ulu;
4. Trayek Ondong/Pehe – Paniki/Paseng (PP) dalam Kota Ondong;
5. Trayek Ulu – Tampungan (PP); dan
6. Trayek Balehumara – Bahoi (PP) dalam Kota Buhias.
(5) Jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. Lintas penyeberangan, terdiri atas :
1. Siau – Tagulandang;
2. Siau – Makalehi;
3. Siau – Pahepa;
4. Tagulandang – Biaro;
5. Tagulandang – Bitung;
6. Biaro – Bitung;
7. Makalehi – Tagulandang;
8. Biaro – Munte;
9. Biaro – Manado; dan
10. Tagulandang – Manado.
b. Pelabuhan penyeberangan, meliputi :
1. Pelabuhan Penyeberangan Siau (Sawang) di Kecamatan Siau Timur
Selatan;
2. Pelabuhan Penyeberangan Tagulandang (Minanga) di Kecamatan
Tagulandang Utara;
3. Pelabuhan Penyeberangan Biaro (Lamanggo) di Kecamatan Biaro;
4. Pelabuhan Penyeberangan Pehe di Kecamatan Siau Barat;
5. Pelabuhan Penyeberangan Pihise di Kecamatan Siau
Timur Selatan; dan
6. Pelabuhan Penyeberangan Pahepa di Kecamatan Siau Timur Selatan.
Paragraf 2
Sistem jaringan Transportasi Laut

Pasal 10

(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 8


ayat (1) huruf b, meliputi :
a. tatanan kepelabuhanan;
b. rencana alur pelayaran; dan
c. Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNVP).
(2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah berupa Pelabuhan
pengumpan, terdiri atas :
a. Pelabuhan Utama Ulu di Kecamatan Siau Timur;
b. Pelabuhan pengumpan Tagulandang di Kecamatan Tagulandang dan
Pelabuhan Pengumpan Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan dan
Pehe di Kecamatan Siau Barat;
c. Pelabuhan pengumpul di Kecamatan Biaro dan di Pulau Makalehi;
d. Pembangunan pelabuhan pengumpul di Pulau Buhias Kecamatan Siau
timur Selatan;
e. Pembangunan Pelabuhan Perlindungan di Pulau Ruang Kecamatan
Tagulandang; dan
f. Peningkatan pelabuhan pengumpan lokal Pehe di Kecamatan Siau Barat.
(3) Rencana alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas :
a. rencana alur pelayaran regional, meliputi :
1. Munte (Kabupaten Minahasa Utara) – Tagulandang – Sawang – Ulu;
2. Munte (Kabupaten Minahasa Utara) – Biaro – Tagulandang –
Makalehi – Sawang – Ulu;
3. Bitung – Tagulandang – Sawang – Ulu;
4. Manado – Tagulandang – Siau.
b. rencana alur pelayaran lokal, terdiri atas :
1. Pehe – Makalehi – Ulu;
2. Biaro – Tagulandang – Makalehi – Ulu;
3. Sawang – Makalehi – Minanga – Lamanggo;
4. Lamanggo – Minanga – Sawang – Makalehi;
5. Minangga – Lamanggo.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 11

(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 8


ayat (1) huruf c terdiri atas :
a. tatanan kebandarudaraan;
b. rencana rute penerbangan;
c. ruang udara di atas bandar udara yang dipergunakan langsung untuk
kegiatan bandar udara; dan
d. ruang di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk operasi
penerbangan.
(2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Bandar Udara
pengumpan Pihise di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Bandar udara
untuk pertahanan dan keamanan di Pulau Terluar Makalehi Kecamatan
Siau Barat;
(3) Rencana rute penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Pihise-Manado;
b. Pihise-Naha;
c. Pihise-Melonguane; dan
d. Pihise-Miangas.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 12

(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 6


ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. Sistem jaringan energi;
b. Sistem jaringan telekomunikasi;
c. Sistem jaringan sumber daya air; dan
d. Sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
(2) Sistem jaringan prasarana lainnya digambarkan dalam peta dengan skala
ketelitian minimal 1: 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi

Pasal 13

(1) Sistem Jaringan Energi di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro


sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pembangkit ketenaga listrikan; dan
b. jaringan prasarana energi.
(2) Pembangkit Ketenaga Listrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas :
a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) terdapat di Ondong Kecamatan
Siau Barat dengan kapasitas kurang lebih 4,60 MW, Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) Buhias Kecamatan Tagulandang dengan kapasitas
2,26 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Biaro dengan
kapasitas 0,30 MW dan PLTD di Makalehi Kecamatan Siau Barat dengan
kapasitas 0,18 MW;
b. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) terdapat
di Pulau Siau;
c. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS);
d. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) terutama diarahkan untuk
melayani wilayah terpencil dan pulau-pulau; dan
e. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU).
(3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas :
a. jaringan pipa minyak dan gas bumi, berupa rencana pengembangan depo
BBM (Bahan Bakar Minyak) di Ulu Siau, Ondong, Buhias Tagulandang,
Makalehi dan Biaro;
b. jaringan distribusi tenaga listrik, terdiri atas :
1. gardu hubung, terdapat di Ondong Siau;
2. Jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) Cabang Tahuna
di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro dengan panjang kurang lebih
50 kms ( kilometer sirkuit); dan
3. Jaringan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) Cabang Tahuna di
Kabupaten Siau Tagulandang Biaro dengan panjang kurang lebih
100 kms (kilometer sirkuit).
(4) Pengembangan depo Sistem penyaluran BBM sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf a meliputi sistem penyaluran BBM, pembangunan SPBU dan
SPBU mini.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 14

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12


ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. sistem jaringan kabel;
b. sistem jaringan nirkabel; dan
c. sistem jaringan satelit.
(2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi berupa jaringan
telepon fixed line atau sistem kabel yang merata hingga ke seluruh ibukota
kecamatan, meliputi :
a. Stasiun Telepon Otomat (STO) Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur;
b. Stasiun Telepon Otomat (STO) Tagulandang di Kecamatan Tagulandang.
(3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. jaringan mikro digital, terdapat di Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro;
b. jaringan serat optik, meliputi Ulu - Ondong sepanjang kurang lebih 11
km, Buhias - Minanga sepanjang kurang lebih 7 km;
c. pengembangan jaringan seluler yang tersebar di seluruh kabupaten
dengan pengelolaan pemanfaatan menara telekomunikasi atau tower
bersama; dan
d. pembatasan terhadap pembangunan menara telekomunikasi atau
tower baru.
(4) Sistem jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
Stasiun Bumi Tagulandang dan Stasiun Bumi Ulu Siau;
(5) Rencana pembangunan jaringan cyber city pada pusat pemerintahan
kabupaten dan pusat kegiatan lainnya, meliputi kawasan perdagangan,
kawasan pendidikan, kawasan kesehatan dan kawasan pariwisata.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 15

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Pasal 12
ayat (1) huruf c, dilakukan berbasis wilayah sungai yang terdiri atas :
a. Wilayah Sungai (WS);
b. jaringan air baku untuk air minum; dan
c. sistem pengendali banjir, erosi dan longsor.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek konservasi sumber daya air
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air secara
terpadu (integrated) dengan memperhatikan ketentuan pola dan rencana
pengelolaan sumber daya air WS Tondano-Sangihe-Miangas-Talaud;
(3) Wilayah Sungai sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu WS
strategis nasional WS Tondano-Sangihe-Miangas-Talaud mencakup
Daerah Aliran Sungai (DAS) antara lain:
a. DAS Siau;
b. DAS Tagulandang; dan
c. DAS Biaro.
(4) Prasarana air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. sumber air baku berasal dari sungai, danau, mata air dan penampungan
air hujan (PAH), meliputi:
1. sungai, yaitu Sungai Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara;
2. danau, yaitu Danau Kapeta di Kecamatan Siau Barat Selatan dengan
debit kurang lebih 100 l/dt dan Danau Makalehi di Kecamatan Siau
Barat dengan debit kurang lebih 20 l/dt;
3. mata air (MA), yaitu MA Ake Labo dan MA Karalung di Kecamatan
Siau Timur, MA Bukide dan MA Buhanga di Kecamatan Biaro, MA Ulu
Siau di Kecamatan Siau Timur dengan debit kurang lebih 40 l/dt; dan
4. PAH terdapat di Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Tengah
dan Kecamatan Tagulandang Utara.
b. instalasi pengolahan air minum terdapat di Kecamatan Siau Timur
Selatan, Siau Barat Selatan, Siau Barat, Tagulandang dan Biaro;
c. SPAM di Kabupaten dipadukan dengan sistem jaringan sumber daya
air untuk menjamin ketersediaan air baku.
(5) Sistem pengendalian banjir, erosi dan longsor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c terdiri atas :
a. perlindungan daerah resapan air;
b. normalisasi sungai;
c. perbaikan drainase;
d. pembangunan tanggul pada sungai yang rawan banjir;
e. pengamanan pantai; dan
f. pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan bangunan-
bangunan pengendali banjir dan pengamanan pantai.

Paragraf 4
Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan

Pasal 16

(1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada


Pasal 12 ayat (1) huruf d, terdiri atas :
a. sistem jaringan air minum;
b. sistem jaringan persampahan;
c. sistem jaringan drainase;
d. jalur evakuasi bencana;
e. sistem pengelolaan air limbah; dan
f. sistem sarana umum dan sosial.
(2) Sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas :
a. jaringan air baku untuk air minum, meliputi :
1. sungai, yaitu Sungai Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara;
2. danau, yaitu Danau Kapeta di Kecamatan Siau Barat Selatan dengan
debit kurang lebih 100 l/dt dan Danau Makalehi di
Kecamatan Siau Barat dengan debit kurang lebih 20 l/dt;
3. mata air (MA), yaitu MA Ake Labo dan MA Karalung di Kecamatan
Siau Timur, MA Bukide dan MA Buhanga di Kecamatan Biaro, MA Ulu
Siau di Kecamatan Siau Timur dengan debit kurang
lebih 40 l/dt; dan
4. penampungan air hujan (PAH) terdapat di Kecamatan Siau Barat
Utara, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Tagulandang Utara.
b. instalasi pengolahan air minum (IPA), meliputi:
1. IPA di Kecamatan Siau Timur Selatan;
2. IPA di Kecamatan Siau Barat Selatan;
3. IPA di Kecamatan Siau Barat;
4. IPA di Kecamatan Tagulandang; dan
5. rencana pembangunan IPA di Kecamatan Biaro.
c. SPAM di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dipadukan
dengan sistem jaringan sumber daya air untuk menjamin ketersediaan
air baku;
d. jaringan perpipaan pada sistem jaringan air minum, terdiri atas :
1. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Ulu Siau;
2. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Ondong;
3. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Buhias;
4. jaringan perpipaan Sawang;
5. jaringan perpipaan Biaro.
(3) Sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas :
a. pengelolaan sampah melalui kegiatan pewadahan, pemilahan,
pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
akhir dengan menerapkan sistem reduce, reuse, recycle (3R);
b. pengadaan tempat penampungan sementara (TPS) di setiap kecamatan
yang memenuhi persyaratan dan kriteria teknis;
c. rencana pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Kecamatan
Siau Barat Selatan;
d. rencana pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di wilayah
Tagulandang;
e. sistem pengolahan pada TPA sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah
menggunakan sistem control landfill atau sanitary landfill; dan
f. tempat penampungan sampah sementara diadakan di setiap kecamatan
yang memenuhi persyaratan dan teknis lokasi.
(4) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terdiri atas :
a. rencana sistem jaringan drainase saluran sekunder dan drainase
tersier/mikro dimaksudkan untuk menampung aliran air permukaan di
kawasan permukiman, jalan dan wilayah sungai; dan
b. sungai-sungai dalam sistem jaringan drainase yaitu Sungai Akelabo,
Sungai Karalung, Sungai Apelawo di Kecamatan Siau Timur, Sungai
Kapeta di Kecamatan Siau Barat Selatan, Sungai Akekuta
di Kampung Minanga Kecamatan Tagulandang Utara dan Sungai
Dalinsaheng di Kecamatan Biaro.
(5) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
terdiri atas:
a. jalur evakuasi bencana akibat letusan gunung api;
b. jalur evakuasi bencana akibat tsunami dan gelombang pasang;
c. jalur evakuasi bencana akibat angin;
d. jalur evakuasi bencana akibat banjir;
e. jalur evakuasi bencana gempa bumi tektonik dan vulkanik;
f. jalur evakuasi bencana akibat tanah longsor; dan
g. jalur evakuasi bencana akibat kebakaran hutan.
(6) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e, tersebar di seluruh wilayah kecamatan yang terdiri atas :
a. pengelolaan air buangan kegiatan rumah tangga dan bukan rumah
tangga di kawasan perkotaan dan perkampungan dilakukan dengan
sistem sanitasi off site menggunakan instalasi pengolahan Air Limbah
(IPAL) sebelum dibuang ke badan air penerima/sungai;
b. pengelolaan air buangan kegiatan rumah tangga dan bukan rumah
tangga di kawasan perkampungan dilakukan dengan sistem tanki
septic dan sumur resapan sebelum dialirkan pada saluran
pembuangan umum;
c. pengelolaan air buangan dari kegiatan penghasil air limbah dilakukan
dengan sistem off site melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
dan diperlukan alat khusus;
d. pengelolaan air limbah dilakukan secara terpadu antara pemerintah
dan swasta dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
(7) Sistem sarana umum dan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f, meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan
dan sarana tempat pemakaman umum.

Pasal 17

(1) Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di kabupaten berdasarkan


kebutuhan dan mencakup seluruh jenjang pendidikan baik formal, informal
dan non formal antara lain PAUD, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, dan
Perguruan Tinggi;
(2) Pengembangan sekolah unggulan di kabupaten diarahkan ke kawasan
perkotaan di kecamatan Siau Timur, Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan
Tagulandang;
(3) Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan serta sekolah unggulan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat.

Pasal 18

(1) Penyediaan sarana kesehatan di kabupaten berdasarkan jenjangnya berupa


rumah sakit umum daerah, puskesmas, puskesmas pembantu, pos
kesehatan desa, dan pos pelayanan terpadu;
(2) Lokasi rumah sakit umum daerah diarahkan di Klaster Siau dan Klaster
Tagulandang;
(3) Penyediaan sarana kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pihak
swasta dan masyarakat.
Pasal 19

(1) Penyediaan sarana peribadatan di kabupaten disesuaikan dengan banyaknya


penganut masing-masing agama;
(2) Lokasi pembangunan rumah ibadah harus disesuaikan dengan ketentuan
yang berlaku;
(3) Penyediaan sarana peribadatan dilaksanakan oleh masyarakat dan sesuai
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20

(1) Penyediaan prasarana Taman Pemakaman Umum (TPU) dapat disediakan


pada kawasan padat permukiman yaitu kawasan perkotaan Ulu, kawasan
perkotaan Ondong dan kawasan perkotaan Buhias;
(2) Selain lokasi sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas, dapat dipertimbangkan
penyediaan prasarana taman pemakaman umum lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 21

(1) Rencana pola ruang wilayah meliputi :


a. rencana kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian
minimal 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 22

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) terdiri atas :
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
e. kawasan rawan bencana alam; dan
f. kawasan lindung geologi.
Pasal 23

(1) Kawasan hutan lindung, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 22


huruf a, meliputi :
a. Kawasan Hutan Lindung Bulude Tamata dengan luas kurang lebih 1.006
ha terletak di Kecamatan Siau Barat Selatan, Kecamatan Siau Timur
Selatan, Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan
Siau Timur;
b. Kawasan Hutan Lindung Gunung Begambalo dengan luas kurang lebih
735 ha terletak di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Kecamatan Siau
Barat Selatan;
c. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang dengan luas kurang lebih
337 ha terletak di Pulau Tagulandang;
d. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang Lokasi 2 (dua) dengan luas
kurang lebih 419 ha terletak di pulau Tagulandang; dan
e. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ruang dengan luas kurang lebih 622
ha terletak di Kecamatan Tagulandang.
(2) Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut :
a. pengendalian kegiatan budidaya yang telah berlangsung lama dalam
kawasan hutan lindung;
b. pengembalian fungsi hidrologis kawasan hutan yang telah mengalami
kerusakan dengan reboisasi;
c. percepatan rehabilitasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai
dengan fungsi lindung;
d. pelestarian ekosistem yang merupakan ciri khas kawasan melalui
tindakan pencegahan pengrusakan dan upaya pengembalian pada rona
awal sesuai ekosistem yang pernah ada; dan
e. pemantauan kegiatan yang diperbolehkan di kawasan hutan lindung agar
tidak mengganggu hutan lindung.

Pasal 24

(1) Kawasan yang memberikan fungsi perlindungan terhadap kawasan


bawahannya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 huruf b berupa
kawasan resapan air;
(2) Kawasan resapan air sebagaimana yang dimaksud ayat (1) berfungsi untuk
memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada daerah tertentu
untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan
banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupan kawasan yang
bersangkutan;
(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat di :
a. Bulude Kalai, Bulude Tamata, Bulude Begambalo, Bulude Tontonbulo,
Bulude Baliang, Bulude Masio, Bulude Papalamang kawasan resapan air
ini terletak di Pulau Siau;
b. Wuluru Balinge, Wuluru Kaloko, Wuluru Panenteang, Wuluru
Wangkulang, Wuluru Kalongan, Wuluru Siwohi, Wuluru Hinginte,
Wuluru Walangake, Wuluru Bongkongkaka, Wuluru Timbang kawasan
resapan air ini terletak di Pulau Tagulandang; dan
c. Wuluri Bukide, Bukiri Himbang, Bukiri Bulo kawasan resapan air ini
terletak di Pulau Biaro.
(4) Rencana pengelolaan kawasan resapan air adalah sebagai berikut :
a. menata pemanfaatan kawasan resapan agar tidak beralih fungsi menjadi
lahan terbangun;
b. rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, antara lain mempercepat
pemulihan kawasan resapan dengan penghijauan;
c. peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan
resapan air;
d. pemantapan kawasan resapan air;
e. mengembangkan hutan rakyat untuk menyediakan kebutuhan domestik
akan kayu bangunan dan melakukan penghijauan dengan menanam
jenis-jenis kayu hutan guna mengendalikan erosi, memperbesar infiltrasi
tanah dan mencegah banjir pada musim hujan dan kekeringan pada
musim kemarau;
f. percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk di dalam
kriteria kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon
pelindung/penghijauan yang dapat di gunakan sebagai perlindungan
kawasan bawahannya, hasil yang dapat diambil berupa hasil non-kayu;
g. pencegahan kegiatan pengurangan tutupan vegetasi;
h. membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa
memiliki/mencintai alam, serta pemanfaatan kawasan lindung untuk
sarana pendidikan penelitian dan pengembangan kecintaan terhadap
alam;
i. peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan
resapan air; dan
j. Pemantapan kawasan resapan air, bila berada dalam kawasan hutan
dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung untuk menjamin
keberadaan kawasan hutan dan fungsi hutan.

Pasal 25

Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf c


terdiri dari :
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau;
d. kawasan sekitar mata air; dan
e. ruang terbuka hijau.
Pasal 26

(1) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf a ditetapkan


lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation;
(2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf b ditetapkan
lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation;
(3) Kawasan sekitar danau yang dimaksud pada Pasal 25 huruf c ditetapkan
lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation;
(4) Kawasan sekitar mata air yang dimaksud pada Pasal 25 huruf d ditetapkan
lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation;
(5) Ruang Terbuka Hijau perkotaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25
huruf e ditetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang
kawasan/zoning regulation.

Pasal 27

Kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf d, meliputi :
a. kawasan margasatwa;
b. kawasan suaka alam laut;
c. kawasan pantai berhutan bakau, berterumbu karang dan berpadang lamun;
d. kawasan konsevasi perikanan; dan
e. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Pasal 28

(1) Kawasan margasatwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf a adalah


berupa perlindungan terhadap habitat hewan langkah khas Sitaro yang
terdapat di kawasan hutan lindung Tamata, Danau kapeta dan sekitarnya;
(2) Hewan langkah khas Sitaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Otus Siaoensis (The Siau Scops Owl), Siau Tarsier Island (Tarsius Tumpara);
(3) Kawasan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 27 huruf b, c dan d adalah
berupa kawasan konservasi Perairan kabupaten; dan
(4) Suaka Alam yang secara eksisting telah menjadi kawasan permukiman dan
kawasan budidaya di tetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang
kawasan/zoning regulation.

Pasal 29

(1) Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 27 huruf e, meliputi :
a. Makam Raja Lokongbanua di Kecamatan Siau Barat dan Makam
Panglima Hengkenggunaung di Kecamatan Siau Barat Utara;
b. Makam Raja Siau lainnya di Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan
Siau Timur;
c. Makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur;
d. Makam Pendeta F. Kelling, Ratu Lohoraung dan Makam Raja H.P.H
Jacobs di Kecamatan Tagulandang;
e. Makam Raja Tagulandang lainnya dan Makam Panglima Walandungo di
Kecamatan Tagulandang; dan
f. Rumah Raja di Tagulandang, Gereja peninggalan (GMIST Ulu).
(2) Rencana Pengelolaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah
sebagai berikut :
a. melestarikan dan melindungi kawasan cagar budaya dan kawasan
historis dari alih fungsi;
b. melestarikan dan merevitalisasi bangunan tua, bangunan bernilai sejarah
dan/atau bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya
masyarakat yang memiliki nilai sejarah; dan
c. pemberlakukan Perda Perlindungan Kawasan Bersejarah dan Budaya
Kota (Historical District and Cultural Heritage).

Pasal 30

Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf e


adalah kawasan yang sering berpotensi mengalami bencana alam sebagai
berikut :
a. kawasan rawan gunung berapi;
b. kawasan rawan gelombang laut dan tsunami;
c. kawasan rawan tanah longsor;
d. kawasan rawan banjir; dan
e. kawasan rawan bencana tektonik dan vulkanik.

Pasal 31

(1) Kawasan rawan bencana gunung berapi sebagaimana dimaksud pada


Pasal 30 huruf a, meliputi :
a. rawan bencana gunung berapi Gunung Karangetang (kurang lebih 1.784
m dpl) di Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah, Kecamatan
Siau Timur dan Kecamatan Siau Barat Utara; dan
b. rawan bencana gunung berapi Gunung Ruang (kurang lebih 714 m dpl) di
Kecamatan Tagulandang.
(2) Kawasan rawan gelombang laut dan tsunami sebagaimana dimaksud pada
Pasal 30 huruf b adalah kawasan yang berada di pesisir seluruh pulau di
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro;
(3) Rencana pengelolaan kawasan rawan gelombang laut dan tsunami adalah :
a. mengurangi dampak sapuan gelombang pasang perlu membangun
infrastruktur penahan ombak dan revitalisasi hutan bakau;
b. penatagunaan lahan dengan intensitas pemanfaatan lahan, jumlah
bangunan dan penggunaannya dan fungsi ruang terbuka pada daerah
potensi gelombang pasang/tsunami tinggi;
c. menempatkan permukiman pada suatu ketinggian tertentu yang dalam
sejarah wilayah tersebut tidak pernah terlanda gelombang pasang;
d. menyediakan jalur-jalur evakuasi bencana;
e. menyiapkan lokasi evakuasi bencana (pada lokasi dengan ketinggian
tertentu); dan
f. meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara
langsung maupun melalui media massa.
(4) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada Pasal 30
huruf c adalah tersebar di seluruh wilayah kabupaten;
(5) Rencana Pengelolaan kawasan rawan tanah longsor :
a. peruntukan ruang sebagai kawasan lindung (tidak layak untuk
pembangunan fisik);
b. pada lokasi tertentu beberapa kegiatan terutama non fisik masih dapat
dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada
dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan,
yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih
menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada;
c. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak
diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus
segera dihentikan atau direlokasi;
d. kegiatan-kegiatan Pertanian/Perkebunan, Hutan Kota dan Hutan Rakyat,
dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti pemilihan
vegetasi dan pola tanam yang tepat, sistem terasering dan drainase lereng
yang tepat, rencana jalan untuk kendaraan roda empat yang ringan
hingga sedang;
e. tutupan vegetasi yang tinggi dari perkebunan kelapa, cengkih dan pala
yang ada di kawasan ini harus tetap dipertahankan untuk melindungi
tanah terhadap erosi dan longsor;
f. meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara
langsung maupun melalui media massa.
(6) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf d
tersebar di seluruh wilayah kabupaten;
(7) Rencana Pengelolaan kawasan banjir, meliputi:
a. menegaskan peruntukan ruang sebagai kawasan lindung;
b. beberapa kegiatan terutama non fisik pada lokasi tertentu masih dapat
dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada
dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan,
yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih
menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada;
c. meningkatkan pemahaman masyarakat lewat penyuluhan baik secara
langsung maupun melalui media massa;
d. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak
diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus
segera dihentikan atau direlokasi;
e. kegiatan-kegiatan Pertanian/Perkebunan, Hutan Kota dan Hutan Rakyat,
dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti pemilihan
vegetasi dan pola tanam yang tepat, sistem terasering dan drainase lereng
yang tepat, rencana jalan untuk kendaraan roda empat yang ringan
hingga sedang; dan
f. tutupan vegetasi yang tinggi dari perkebunan kelapa, cengkih dan pala
yang ada di kawasan ini harus tetap dipertahankan untuk melindungi
tanah terhadap erosi dan tanah longsor.
(8) Kawasan rawan gempa bumi tektonik dan vulkanik sebagaimana daimaksud
pada Pasal 30 huruf e tersebar di seluruh wilayah kabupaten, dipengaruhi
dua lempeng besar yaitu lempeng eurasia dan lempeng pasifik serta dua
lempeng kecil yaitu lempeng sangihe dan lempeng laut maluku serta gunung
api karangetang dan gunung api ruang;
(9) Rencana Pengelolaan kawasan rawan gempa bumi tektonik dan vulkanik,
meliputi:
a. perencanaan yang efektif dalam mengurangi resiko gempa bumi;
b. pengorganisasian dan pemanfaat ruang untuk kawasan budidaya
mengacu pada fungsi ruang yang fleksibel;
c. mempelajari perilaku bangunan dalam menerima beban gempa; dan
d. meningkatkan pemahaman masyarakat lewat penyuluhan baik secara
langsung maupun melalui media masa.

Pasal 32

(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf f,


adalah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana gunung api, yakni
Gunung Api Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Api Ruang di Pulau
Ruang Kecamatan Tagulandang;
(2) Rencana pengelolaan kawasan rawan gunung berapi :
a. peruntukan ruang sebagai kawasan lindung (tidak layak untuk
pembangunan fisik);
b. pada lokasi tertentu beberapa kegiatan terutama non fisik masih dapat
dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada
dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan,
yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih
menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada;
c. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak
diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus
segera dihentikan atau direlokasi; dan
d. meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara
langsung maupun melalui media massa.
Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya

Pasal 33

Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) huruf b terdiri
dari :
a. kawasan peruntukan pertanian;
b. kawasan peruntukan perikanan;
c. kawasan peruntukan pariwisata;
d. kawasan peruntukan permukiman;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pertambangan; dan
g. kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 34

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada Pasal 33


huruf a, meliputi :
a. kawasan peruntukan tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan hortikultura dan palawija;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.
(2) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, adalah berupa tanaman padi ladang terdapat
di Kecamatan Siau Timur Selatan;
(3) Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi :
a. tanaman buah salak di Kecamatan Tagulandang Utara dan Kecamatan
Tagulandang;
b. tanaman buah pisang di Kecamatan Biaro;
c. tanaman buah durian di seluruh wilayah Pulau Siau dan Pulau
Tagulandang;
d. tanaman buah nangka di seluruh wilayah Pulau Siau dan Pulau
Tagulandang;
e. tanaman buah kedondong di seluruh wilayah Pulau Siau; dan
f. tanaman buah kenari di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro.
(4) Kawasan peruntukan tanaman palawija sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, terdapat di Pulau Siau, Pulau Tagulandang dan Pulau Biaro;
(5) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, meliputi :
a. kawasan peruntukan perkebunan pala, terdapat di Pulau Siau dan Pulau
Tagulandang;
b. kawasan peruntukan perkebunan cengkih, terdapat di seluruh wilayah
Kabupaten; dan
c. kawasan peruntukan perkebunan kelapa, terdapat di seluruh wilayah
Kabupaten.
(6) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi kawasan peruntukan peternakan unggas, kawasan
peruntukan peternakan sapi dan kawasan peruntukan peternakan babi
berada di Pulau Siau, Pulau Tagulandang dan Pulau Biaro;
(7) Kawasan pertanian tanaman pangan di Kecamatan Siau Timur Selatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan pertanian
pangan berkelanjutan.

Pasal 35

(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33


huruf b, terdiri atas :
a. kawasan perikanan tangkap;
b. kawasan perikanan budidaya;
c. kawasan pengolahan perikanan; dan
d. kawasan pemasaran perikanan.
(2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdapat di seluruh pesisir laut kabupaten serta pada Pusat Kegiatan Nelayan
Tangkap (PKNT) Kabupaten meliputi Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur,
Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan, Talawid di Kecamatan Siau Barat
Selatan, Makalehi, Mohongsawang di Kecamatan Tagulandang dan Kisihang
di Kecamatan Tagulandang Selatan dan Buang di Kecamatan Biaro;
(3) Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, terdiri atas:
a. pengembangan usaha budidaya laut di Pulau Biaro, Pulau Buhias, Pulau
Tagulandang dan di Pulau Pasighe;
b. pengembangan usaha budidaya air tawar di Danau Makalehi dan
di Danau Kapeta.
(4) Kawasan pengolahan perikanan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di semua klaster pengembangan;
(5) Kawasan pemasaran perikanan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf d terdapat di klaster Siau, klaster Tagulandang;
(6) Pengelolaan ruang wilayah laut di lakukan melalui penetapan Zonasi Wilayah
Pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 36

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada Pasal 33


huruf c terdiri atas :
a. Kawasan pariwisata budaya;
b. Kawasan pariwisata alam;
c. Kawasan pariwisata bahari; dan
d. Kawasan pariwisata buatan.
(2) Kawasan pariwisata budaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi :
a. pengembangan kawasan budaya dan purbakala bukit tengkorak Pulau
Makalehi di Kecamatan Siau Barat, bukit tengkorak Birarikei
di Kecamatan Tagulandang Utara dan bukit tengkorak Tanganga
di Kecamatan Siau Barat Selatan;
b. pengembangan wisata budaya dan sejarah pada lokasi makam Raja Siau
Lokombanua di Kecamatan Siau Barat dan Makam Raja-Raja Siau
lainnya yang ada di Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Siau Timur;
Makam Panglima Hengkenggunaung di Kecamatan Siau Barat Utara;
Makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur; Makam
Pendeta F. Kelling di Kecamatan Tagulandang; Makam Raja H.P.H Jacobs
di Kecamatan Tagulandang; Makam Panglima Walandungo dan Ratu
Lohoraung di Kecamatan Tagulandang, dan Ake Sio (sembilan sumur)
di Kecamatan Siau Tengah;
c. pengelolaan pemukiman lingkungan sosial masyarakat adat di seluruh
wilayah kabupaten; dan
d. penggalian dan pelestarian seni budaya di seluruh wilayah kabupaten
kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
(3) Kawasan pariwisata alam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. pengembangan kawasan danau makalehi sebagai kawasan ekowisata;
b. pengembangan kawasan danau kapeta sebagai kawasan ekowisata;
c. pengembangan kawasan agrowisata perkebunan pala di Pulau Siau dan
perkebunan salak di Kecamatan Tagulandang Utara dan Kecamatan
Tagulandang;
d. pengembangan wisata pantai di seluruh gugusan pantai Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro;
e. pengembangan wisata hutan mangrove di Pulau Tagulandang, Pulau
Pasighe, Biaro dan Pihise di Kecamatan Siau Barat Selatan;
f. pengelolaan permandian air panas alami lehi Kecamatan Siau Barat
utara dan Bulangan Kecamatan Tagulandang Utara; dan
g. pengembangan wisata alam geowisata dan pegunungan di Gunung
Karangetang Kecamatan Siau timur, Gunung Ruang di Pulau Ruang
Kecamatan Tagulandang.
(4) Kawasan pariwisata bahari, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi Pengembangan wisata Diving, Snorkeling dan Surfing di Pulau
Mahoro, Pulau Ruang, Pulau Tagulandang, Pulau Salangka, Pulau Biaro,
Pantai Kiawang dan seluruh wilayah kabupaten yang memiliki potensi wisata
bahari;
(5) Kawasan pariwisata buatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
berupa pembangunan taman bertema atau pengembangan kampung wisata
sesuai dengan kearifan lokal dan di sesuaikan dengan potensi Kabupaten;
(6) Pengembangan kawasan pariwisata di Kecamatan Siau Timur Selatan,
Kecamatan Siau Barat Selatan dan Kecamatan Biaro; dan
(7) Pengembangan kawasan wisata pulau terluar Makalehi.

Pasal 37

Kawasan peruntukkan permukiman sebagaimana dimaksud pada Pasal 33


huruf d di wilayah Kabupaten adalah kawasan yang secara teknis dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan pemukiman yang sehat, nyaman dan aman
dari bahaya bencana alam, yang terdiri dari :
a. permukiman perkotaan meliputi permukiman di Kawasan Perkotaan Ulu,
Kawasan Perkotaan Ondong dan Kawasan Perkotaan Buhias; dan
b. permukiman perkampungan meliputi permukiman yang terbentuk
di kawasan perkampungan sebagai sentra produksi yang tersebar di seluruh
wilayah Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Pasal 38

(1) Kawasan peruntukan industri pengolahan di Kabupaten Kepulauan Siau


Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf e adalah
kawasan yang diperuntukan bagi pengembangan kegiatan industri
pengolahan non polutan untuk pengolahan hasil perikanan dan
pertanian/perkebunan;
(2) Kegiatan industri pengolahan Pala dikembangkan di Kecamatan Siau Barat,
Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Timur, dan Kecamatan
Siau Tengah;
(3) Kegiatan industri pengolahan Kelapa dikembangkan di Kecamatan Siau
Barat, Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Timur, Kecamatan Siau
Tengah dan Kecamatan Tagulandang.;
(4) Kegiatan industri pengolahan Salak dikembangkan di Kecamatan
Tagulandang Utara dan Kecamatan Tagulandang;
(5) Kegiatan industri pengolahan ikan berupa produk ikan beku, ikan kayu, ikan
kaleng dan tepung ikan dikembangkan di lokasi PKNT yaitu di klaster Siau,
Makalehi, Pahepa dan klaster Biaro.

Pasal 39

Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri adalah sebagai berikut :


a. pemanfaatan kawasan industri harus diperuntukan sebesar-besarnya bagi
upaya mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan nilai tambah dan
peningkatan pendapatan yang tercipta akibat efisiensi biaya investasi dan
proses aglomerasi, dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan kerja
dan meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat. Untuk jenis
industri yang dikembangkan harus memiliki hubungan keterkaitan yang
kuat dengan karakteristik lokasi setempat, seperti kemudahan akses
ke bahan baku dan atau kemudahan akses ke pasar;
c. kawasan peruntukan industri wajib memiliki dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga dapat ditetapkan kriteria jenis
industri yang diijinkan beroperasi di kawasan tersebut;
d. untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalam kawasan
peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan yang mengelola
kawasan industri; dan
e. khusus untuk kawasan industri Kecil maka, pihak industri cukup
menyiapkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL).

Pasal 40

(1) Kawasan peruntukkan pertambangan sebagaimana dimaksud pada


Pasal 33 huruf f, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan pertambangan mineral logam; dan
b. kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. biji besi Kanang Kecamatan Siau Timur;
b. pasir besi Titan Kecamatan Tagulandang; dan
c. mineral logam di Kecamatan Biaro.
(3) Kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. basalt di Bebali Kecamatan Siau timur;
b. batu setengah permata di Pulau Tagulandang;
c. pertambangan Batu Belah di Bebali Kecamatan Siau Timur dan Pulau
Ruang Kecamatan Tagulandang;
d. pertambangan Pasir hasil endapan Gunung api Karangetang di Bebali
dan Gunung Api Ruang di Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang; dan
e. batuan Koalin Kecamatan Siau Timur Selatan.

Pasal 41

Rencana pengembangan kawasan peruntukan pertambangan adalah sebagai


berikut :
a. pemanfaatan kawasan pertambangan harus diperuntukan sebesar-besarnya
bagi upaya mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan nilai tambah
dan peningkatan pendapatan yang tercipta akibat penambangan dengan
tetap mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. pemanfaatan kawasan pertambangan yang dikembangkan harus mampu
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya
masyarakat setempat serta harus memiliki hubungan keterkaitan yang kuat
dengan karakteristik lokasi setempat;
c. untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalam kawasan
peruntukan Pertambangan dapat dibentuk suatu perusahaan daerah yang
mengelola kawasan Pertambangan; dan
d. pemanfaatan Kawasan Pertambangan wajib memiliki dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga dapat diijinkan beroperasi
di kawasan tersebut.

Pasal 42

(1) Kawasan peruntukkan lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 33


huruf g, berupa peruntukkan pertahanan dan keamanan;
(2) Rencana pengembangan Kawasan Peruntukan Pertahanan dan Keamanan
meliputi :
a. pembangunan Kantor Kepolisian Resort (POLRES) di Ondong Kecamatan
Siau Barat;
b. pembangunan Kantor Komando Distrik Militer (KODIM) Ondong
Kecamatan Siau Barat; dan
c. pembangunan Pos Pengamanan Wilayah Laut di Makalehi Kecamatan
Siau Barat.

Pasal 43

(1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lainnya, sebagaimana dimaksud


pada Pasal 42 ayat (1) dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi
kawasan yang bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum
Peraturan Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini;
(2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, dapat
dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan mendapat
rekomendasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi penataan
ruang di wilayah Kabupaten.

BAB VI
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 44

(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang


Biaro, terdiri atas :
a. kawasan strategis nasional;
b. kawasan strategis provinsi; dan
c. kawasan strategis kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini;
(3) Kawasan Strategis Nasional yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah
Kawasan pulau terluar Makalehi yang merupakan kawasan strategis dari
sudut kepentingan Pertahanan dan Keamanan;
(4) Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, adalah
Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) Sangihe termasuk Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro didalamnya, yang merupakan kawasan
strategis dari sudut Kepentingan Pengembangan Ekonomi.

Pasal 45

(1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 44


ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial
budaya; dan
c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup.
(2) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan pusat perdagangan dan jasa di Kawasan Perkotaan Ulu Siau,
Kecamatan Siau Timur dan Buhias Kecamatan Tagulandang;
b. kawasan perkebunan komoditi Pala, meliputi wilayah Pulau Siau dan
Pulau Tagulandang;
c. kawasan perkebunan komoditi Salak, di Kecamatan Tagulandang Utara
dan Kecamatan Tagulandang;
d. kawasan sentra perikanan tangkap : di semua klaster pengembangan
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro;
e. kawasan budidaya laut di Pulau Biaro Kecamatan Biaro, Pulau Buhias
Kecamatan Siau Timur Selatan dan Pulau Pasighe Kecamatan
Tagulandang;
f. kawasan Minapolitan di Pulau Makalehi Kecamatan Siau Barat,
Ulu Kecamatan Siau Timur, Buhias Kecamatan Tagulandang dan
Pulau Biaro;
g. kawasan Pelabuhan Perikanan (PPI) di Ulu Kecamatan Siau Timur,
Humbia Kecamatan Tagulandang Selatan, Pulau makalehi di Kecamatan
Siau Barat dan Dalingsaheng di Kecamatan Biaro;
h. kawasan wisata bahari di sekitar Pulau Biaro, Pulau Salangka,
Pulau Ruang, Pulau Tagulandang, Pulau Makalehi dan Pulau Mahoro;
i. kawasan Reklamasi Pantai Ulu di Kecamatan Siau Timur, Pantai Ondong
di Kecamatan Siau barat, Pantai Pihise di Kecamatan Siau Barat Selatan
dan pantai Buhias di Kecamatan Tagulandang; dan
j. kawasan Agropolitan Pala di Pulau Siau dan Kawasan Agropolitan Salak
di Pulau Tagulandang.
(3) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari :
a. kawasan perkantoran pusat pemerintahan Kabupaten di Ondong
Kecamatan Siau Barat;
b. kawasan bukit tengkorak pulau Makalehi;
c. kawasan bukit tengkorak Birarikei Kecamatan Tagulandang Utara;
d. kawasan bukit tengkorak Tanganga Kecamatan Siau Barat Selatan
e. kawasan makam Raja Lokongbanua Kecamatan Siau Barat dan Kawasan
Makam Panglima Hengkengnaung di Kecamatan Siau Barat Utara;
f. kawasan makam Raja Siau lainnya di Kecamatan Siau Barat dan
Kecamatan Siau Timur;
g. kawasan makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur;
h. kawasan makam Pendeta F. Kelling dan Kawasan Makam Raja
H.P.H Jacobs di Kecamatan Tagulandang; dan
i. kawasan makam Raja Tagulandang lainnya, Kawasan Makam
Ratu Lohoraung dan Kawasan Makam Panglima Walandungo
di Kecamatan Tagulandang.
(4) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terdiri dari :
a. Kawasan Hutan Lindung Bulude Tamata dengan luas kurang lebih 1.006
ha terletak di Kecamatan Siau Barat Selatan, Kecamatan Siau Timur
Selatan, Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah dan
Kecamatan Siau Timur;
b. Kawasan Hutan Lindung Gunung Begambalo dengan luas kurang
lebih 735 ha terletak di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Kecamatan
Siau Barat Selatan;
c. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang dengan luas kurang
lebih 337 ha terletak di Pulau Tagulandang;
d. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang Lokasi 2 (dua) dengan luas
kurang lebih 419 ha terletak di pulau Tagulandang;
e. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ruang dengan luas kurang
lebih 622 ha terletak di Kecamatan Tagulandang.
f. Kawasan Resapan Air puncak Gunung Karangetang, Bulude Kalai,
Bulude Tamata, Bulude Begangbalo, Bulude Tontonbulo, Bulude Baliang,
Bulude Masio, Bulude Papalamang terletak di Pulau Siau;
g. Kawasan Resapan Air Wuluru Balinge, Wuluru Kaloko, Wuluru
Panentean, Wuluru Wangkulang, Wuluru Kalongan, Wuluru Siwohi,
Wuluru Hinginte, Wuluru Walangake, Wuluru Bongkongkaka, Wuluru
Timbang terletak di Pulau Tagulandang;
h. Kawasan Resapan Air Wuluri Bukide, Bukiri Himbang, Bukiri Bulo
terletak di Pulau Biaro; dan
i. Kawasan pantai berhutan bakau, berterumbu karang dan berpadang
lamun di Tanaki dan Kapeta Kecamatan Siau Barat Selatan, Pulau Biaro
dan Hutan Bakau Pulau Pasighe, Pulau tagulandang dan Pulau Pahepa.

BAB VII
KETENTUAN PEMANFAATAN RUANG

Pasal 46

Ketentuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang


Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf e berpedoman, pada :
a. rencana struktur ruang, rencana pola ruang dan penetapan kawasan
strategis kabupaten;
b. ketersediaan sumber daya dan sumber dana;
c. kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan;
d. prioritas pengembangan wilayah kabupaten dan pentahapan rencana
pelaksanaan program sesuai dengan RPJPD, RPJMD Kabupaten; dan
e. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Pasal 47

(1) Ketentuan Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program


pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya;
(2) Ketentuan Penyusunan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan
dalam rangka pemanfaatan ruang di kawasan budidaya dan kawasan lindung
yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta/dunia usaha dan masyarakat
harus berdasar pada pokok-pokok kebijakan Peraturan Daerah ini;
(3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat
didalam lampiran rencana tata ruang wilayah;
(4) Ketentuan Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai
dengan jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah;
(5) Ketentuan Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan pengembangan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya;
(6) Pelaksanaan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dilaksanakan dengan
mekanisme dan prosedur yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 48

Program pengembangan struktur ruang meliputi :


a. program pengembangan sistem perkotaan;
b. program pengembangan sistem perdesaan;
c. program pengembangan sistem transportasi;
d. program pengembangan sistem energi listrik dan telekomunikasi;
e. program pengembangan sumber daya air;
f. program pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan;
g. program pengembangan kawasan strategis; dan
h. program pengembangan kawasan pertahanan.

Pasal 49

(1) Program pengembangan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada


Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mewujudkan struktur ruang Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro 2014 – 2034 meliputi :
a. pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh;
b. pengembangan kawasan perkotaan;
c. pengembangan perumahan;
d. pengembangan lingkungan sehat perumahan;
e. pembangunan daerah rawan bencana;
f. pengelolaan ruang terbuka hijau;
g. reklamasi kawasan pantai yang tidak berpotensi merusak mangrove,
terumbu karang dan padang lamun; dan
h. rehabilitasi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan terluar.
(2) Program pengembangan sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 48 huruf b meliputi:
a. pembangunan infrastruktur perkampungan;
b. pengembangan lingkungan sehat perumahan;
c. pengembangan lembaga ekonomi perkampungan; dan
d. peningkatan keberdayaan masyarakat perkampungan;
(3) Program pengembangan transportasi sebagaimana dimaksud pada
Pasal 48 huruf c dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan
tingkat pelayanan infrastruktur transportasi, guna mendukung tumbuhnya
pusat-pusat pertumbuhan, meliputi :
a. peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan;
b. peningkatan pelayanan sistem jaringan jalan kolektor primer;
c. pengembangan angkutan massal;
d. pembangunan sarana dan prasarana perhubungan;
e. peningkatan jaringan jalan guna menunjang akses pelayanan pelabuhan
dan bandar udara; dan
f. peningkatan kapasitas dan pelayanan pelabuhan dan bandar udara.
(4) Program pengembangan energi listrik dan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 48 huruf d dilakukan untuk meningkatkan
ketersediaan energi dan jaringan telekomunikasi, meliputi :
a. pembangunan instalasi baru, pengoperasian instalasi penyaluran dan
peningkatan jaringan distribusi;
b. pembangunan prasarana listrik yang bersumber dari energi
alternatif; dan
c. pengembangan fasilitas telekomunikasi perkampungan dan model-model
telekomunikasi alternatif.
(5) Program pengembangan sumberdaya air dan irigási sebagaimana dimaksud
pada Pasal 48 huruf e dilakukan untuk mewujudkan keseimbangan
ketersediaan air pada musim hujan dan kemarau serta meningkatkan dan
mempertahankan jaringan irigasi dalam rangka ketahanan pangan, meliputi :
a. pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan
pengairan lainnya;
b. penyediaan dan pengelolaan air baku;
c. pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber
air lainya;
d. pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah; dan
e. pengembangan pengendalian banjir.
(6) Program pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf f, meliputi :
a. pengembangan kinerja pengelolaan persampahan;
b. pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;
c. perlindungan dan konservasi sumber daya alam dan sumberdaya hayati;
dan
d. rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam.
(7) Program pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada
Pasal 48 huruf g, dilakukan melalui program pengembangan agribisnis,
industri, pariwisata, bisnis kelautan, jasa, lingkungan hidup dan
pengembangan sumberdaya manusia;
(8) Program pengembangan kawasan pertahanan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 48 huruf h, dilakukan melalui :
a. pengukuhan lokasi kawasan pertahanan dan keamanan;
b. sosialisasi lokasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan
c. penyusunan petunjuk operasional pemanfaatan ruang pada kawasan
pertahanan dan keamanan.
BAB VIII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian kesatu
Umum

Pasal 50

(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan mencermati


konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang dan kawasan strategis;
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf f,
menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah
kabupaten;
(3) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan pemberian intensif dan disinsentif; dan
d. ketentuan sanksi.

Bagian kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 51

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 50


ayat (3) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi
kabupaten;
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana
nasional, provinsi dan kabupaten.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 52

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana


dimaksud pada Pasal 51 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan resapan air;
c. kawasan sempadan pantai;
d. kawasan sempadan sungai;
e. kawasan sekitar danau;
f. kawasan sekitar mata air;
g. kawasan ruang terbuka hijau;
h. kawasan rawan bencana; dan
i. kawasan lindung geologi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud pada Pasal 51 ayat (2) huruf b, meliputi :
a. kawasan perkebunan;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan industri;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman;
g. kawasan pertambangan; dan
h. kawasan peruntukkan lainnya.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana
nasional, provinsi dan kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 51
ayat (2) huruf c, meliputi :
a. sistem perkotaan;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan prasarana energi;
d. sistem jaringan prasarana telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumberdaya air; dan
f. sistem prasarana lingkungan.

Pasal 53

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan :
1. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
2. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
3. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
b. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan
sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan syarat harus dilakukan
reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi sebagai
kawasan lindung;
c. kawasan hutan lindung dapat dikelola atau dipinjampakaikan sepanjang
mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat
diperkenankan dengan ketentuan :
1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut;
2. mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian kehutanan.
Pasal 54

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (1) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya;
b. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum
ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus
memenuhi syarat :
1. tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20% dan KLB
maksimum 40%);
2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap
air tinggi; dan
3. dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai
ketentuan yang berlaku.

Pasal 55

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;
c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi
pantai;
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud
pada huruf b;
e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas,
nilai ekologis dan estetika kawasan;
f. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air dan sistem
peringatan dini (early warning system).

Pasal 56

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf d, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi;
d. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
e. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
f. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan :
1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
2. dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 57

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar danau sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf e, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi;
d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. dalam kawasan sempadan danau masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah dan untilitas lainnya sepanjang :
1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut; dan
2. pembangunannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Pasal 58

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak
terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air
hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang
sudah ada;
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya
terbangun yang diajukan izinnya;
d. dalam kawasan sempadan sekitar mata air tidak diperkenankan dilakukan
kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air, kecuali daerah/wilayah
mata air yang secara eksisting telah menjadi kawasan permukiman dan
kawasan budidaya;
e. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap
mata air; dan
f. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan
penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 59

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf g, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
b. kawasan ruang terbuka hijau untuk wilayah kabupaten berupa hutan seluas
paling sedikit 30% dari luas Wilayah Kota;
c. kawasan ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 %
dari luas wilayah kota;
d. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan
rekreasi dan fasilitas umum dan pelayanan sosial lainnya secara terbatas dan
memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
e. ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud
pada huruf d; dan
f. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis
dan estetika kawasan.

Pasal 60

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf h, ditetapkan sebagai berikut :
a. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam
kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan
bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam, serta
dilengkapi jalur evakuasi;
b. kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada
kawasan rawan bencana;
c. dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan
prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan
pemasangan sistem peringatan dini (early warning system);
d. dalam kawasan rawan bencana masih diperkenankan adanya kegiatan
budidaya lain seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan serta bangunan
yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam.

Pasal 61

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf i, ditetapkan sebagai berikut :
a. pada kawasan lindung geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan
permukiman;
b. kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukan bagi
kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan
bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building code) yang
sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul dan dibangun
jalur evakuasi;
d. pada kawasan bencana alam geologi, budidaya permukiman dibatasi dan
bangunan yang ada harus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan
rawan bencana alam geologi;
e. pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak
diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait dengan
sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air;
f. dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah masih
diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan sepanjang
tidak mengganggu fungsi lindung terhadap air tanah;
g. pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya
pertanian, perkebunan dan kehutanan.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 62

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (2) huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan
penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam
jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah
hulu/kawasan resapan air;
b. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis
tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan
adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan
jaringan prasarana wilayah;
d. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan
studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi
dari lembaga yang berwenang; dan
e. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.

Pasal 63

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering
tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan
kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan dan pengolahan tanah yang tidak
memperhatikan aspek konservasi;
b. dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan lahan basah tidak
diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air;
c. peruntukan budidaya pertanian pangan lahan basah dan lahan kering
diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman
pangan yang telah mempunyai ketetapan hukum;
d. pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan
prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan
pertanian;
e. dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata
alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
f. kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.

Pasal 64

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan
kawasan yang bersifat polutif;
b. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan
prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
c. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata
alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
e. kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.

Pasal 65

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (2) huruf d, ditetapkan sebagai berikut :
a. untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan
pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis;
b. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan
kawasan permukiman;
c. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang
kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
d. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau
(greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan dan sarana pengolahan
limbah;
f. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau
kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran
aksesibilitas; dan
g. setiap kegiatan industri wajib memiliki upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL.

Pasal 66

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (2) huruf e ditetapkan sebagai berikut :
a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi
obyek wisata alam;
b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri
yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata;
c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana
yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan
pendidikan;
e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain
kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan
f. pengembangan pariwisata wajib memiliki UKL dan UPL serta studi AMDAL.

Pasal 67

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan pemukiman harus sesuai
dengan daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan
lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan
lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan
terjangkau oleh sarana transportasi umum;
c. pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan pemukiman harus
didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat
perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air minum, persampahan,
penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial
(kesehatan, pendidikan, agama);
d. tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
e. tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
f. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana
pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan
peraturan yang berlaku;
h. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
i. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk
Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan dengan luas paling sedikit 30% dari
luas kawasan perkotaan;
j. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri
skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala
pelayanan lingkungan;
k. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan
lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
l. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan
yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial
masyarakat;
m. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
n. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus
sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB,
KLB, sempadan bangunan dan lain sebagainya); dan
o. pada kawasan permukiman perkotaan harus disediakan prasarana dan
sarana dasar pendukung permukiman yang tersambung dengan sistem
prasarana perkotaan yang sudah ada.

Pasal 68

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf g, meliputi :
a. pemantauan dan pengendalian kegiatan pengusahaan pertambangan agar
tidak mengganggu fungsi lindung dan fungsi-fungsi kawasan lainya;
b. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain
diperbolehkan sejauh tidak merubah dominasi fungsi utama kawasan;
c. kegiatan pertambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi AMDAL;
d. kegiatan pertambangan mulai dari tahap perencanaan, eksplorasi, eksploitasi
dan pasca tambang harus di upayakan sedemikian rupa agar tidak
menimbulkan persengketaan dengan masyarakat setempat;
e. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya
terdapat mata air penting atau permukiman; dan
f. tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai
yang terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan.
Pasal 69

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf h, diperuntukan bagi kepentingan
pemeliharaan pertahanan dan keamanan negara berdasarkan geostrategik
nasional.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan
Prasarana dan Sarana Nasional, Provinsi dan Kabupaten

Pasal 70

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud


pada Pasal 52 ayat (3) huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. sesuai dengan fungsi dan peranan perkotaan yang bersangkutan;
b. sesuai dengan karakteristik fisik perkotaan dan sosial budaya
masyarakatnya;
c. mengacu pada standar teknik perencanaan yang berlaku;
d. pemerintah kabupaten tidak diperkenankan merubah sistem perkotaan yang
telah ditetapkan pada sistem Nasional dan Provinsi, kecuali atas usulan
pemerintah kabupaten dan disepakati bersama; dan
e. pemerintah kabupaten wajib memelihara dan mengamankan sistem
perkotaan Nasional dan Provinsi yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro.

Pasal 71

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. transportasi darat;
b. transportasi laut; dan
c. transportasi udara.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi darat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak
diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu
lintas regional;
b. di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak
diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan;
c. bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi harus
memilki sempadan bangunan yang ketentuannya di tetapkan dengan
rencana rinci tata ruang kawasan/zonning regulation;
d. zonasi jaringan jalan harus memenuhi ketentuan tentang :
1. bagian-bagian jalan; dan
2. pemanfaatan bagian-bagian jalan.
e. bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
angka 1 meliputi :
1. ruang manfaat jalan;
2. ruang milik jalan; dan
3. ruang pengawasan jalan.
f. ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
angka 1, meliputi badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang
pengamannya yang diperuntukan bagi median, perkerasan jalan, jalur
pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang
pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan
bangunan pelengkap lainnya;
g. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka 2,
meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang
manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran
jalan dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan;
h. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling
sedikit memiliki lebar sebagai berikut:
1. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter;
2. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter;
3. jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan
4. jalan kecil 11 (sebelas) meter.
i. ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
angka 3, adalah berupa ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang
penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan yang
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan
konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan;
j. dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan
jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h, ditentukan dari tepi
badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut :
1. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
2. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
3. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
4. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
5. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
6. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
7. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
8. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
9. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.
k. pemanfaatan bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d, meliputi :
1. bangunan utilitas;
2. penanaman pohon; dan
3. prasarana moda transportasi lain.
l. lokasi terminal tipe B dan C diarahkan kelokasi yang strategis dan
memiliki akses ke jalan kolektor primer sesuai peraturan perundangan
yang berlaku.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. pelabuhan laut harus memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai
dengan fungsi dari pelabuhan tersebut; dan
b. pelabuhan laut harus memiliki akses ke jalan kolektor primer.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. bandar udara harus memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai
dengan fungsi dari Bandar udara tersebut; dan
b. bandar udara harus memiliki akses ke jalan kolektor primer.
(5) Pengembangan kawasan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas diharuskan
membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) lalu lintas.

Pasal 72

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi


sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf c, ditetapkan bahwa pada
ruang yang berada di bawah SUTT dan SUTET tidak diperkenankan adanya
bangunan permukiman, kecuali berada di kiri-kanan SUTT dan SUTET sesuai
ketentuan yang berlaku.

Pasal 73

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana telekomunikasi


sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf d, ditetapkan sebagai
berikut :
a. ruang Bebas di sekitar menara berjari-jari minimum sama dengan tinggi
menara; dan
b. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-
sama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider).

Pasal 74

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air


sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf e, ditetapkan sebagaimana
telah diatur pada ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan
setempat.
Pasal 75

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan sebagaimana


dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf f, berupa Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPS Terpadu) ditetapkan sebagai berikut :
a. TPS Terpadu tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan
permukiman;
b. lokasi TPS Terpadu harus didukung oleh studi AMDAL yang telah disetujui
oleh Komisi AMDAL dan instansi yang berwenang;
c. pengelolaan sampah dalam TPST dilakukan dengan sistem sanitary landfill
sesuai ketentuan peraturan yang berlaku; dan
d. dalam lingkungan TPST disediakan prasarana penunjang pengelolaan
sampah.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 76

(1) Ketentuan perizinan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 50 ayat (3)
huruf b, merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian
izin pemanfaatan ruang sesuai rencana struktur ruang dan pola ruang yang
ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini;
(2) Penghentian kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan dengan
tingkat kerawanan dan resiko tinggi terhadap kawasan lindungi dan
dipertahankan fungsi lindungnya;
(3) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(4) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau
mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(5) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan
atau mendapat rekomendasi dari Bupati; dan
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten
diatur dengan peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif

Pasal 77

(1) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud


dalam Pasal 50 ayat (3) huruf c, merupakan acuan bagi pejabat yang
berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif;
(2) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif untuk wilayah Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro meliputi :
a. Ketentuan umum insentif-disinsentif; dan
b. Ketentuan khusus insentif-disinsentif.
Pasal 78

(1) Ketentuan umum pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud


pada Pasal 77 ayat (2) huruf a, berisikan Ketentuan pemberlakuan insentif
dan disinsentif untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum;
(2) Ketentuan khusus pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud
pada Pasal 77 ayat (2) huruf b, ditujukan untuk pemberlakuan insentif dan
disinsentif secara langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau
kawasan tertentu di wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Pasal 79

(1) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana


struktur ruang, rencana pola ruang dan ketentuan umum peraturan zonasi
yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;
(2) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,
dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini.

Pasal 80

(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang


wilayah dilakukan oleh pemerintah kabupaten kepada tingkat pemerintah
yang lebih rendah (kecamatan/kampung) dan kepada masyarakat
(perorangan/kelompok);
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi
berwenang sesuai dengan kewenangannya;
(3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(4) Insentif dan pengenaan disinsentif diberikan oleh Bupati; dan
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pemberian insentif dan
disinsentif diatur dengan Keputusan Bupati.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Pemberian Insentif-Disinsentif

Pasal 81

(1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang perlu


didorong perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang;
(2) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau
dikendalikan perkembangannya bahkan dilarang dikembangkan untuk
kegiatan budidaya.
Pasal 82

(1) Ketentuan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 81


ayat (1), meliputi :
a. Pemberian keringanan atau penundaan pajak dan kemudahan proses
perizinan;
b. Penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk
memperingan biaya investasi oleh pemohon izin;
c. Pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum
rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan; dan
d. Pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang
menimbulkan dampak positif.
(2) Ketentuan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada
Pasal 81 ayat (2), meliputi :
a. pengenaan pajak yang disesuaikan dengan kegiatan berdasarkan nilai
ekonomi masing-masing lokasi di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro seperti pusat kota, kawasan komersial, daerah
yang memiliki tingkat kepadatan tinggi;
b. penolakan pemberian rekomendasi dan izin perpanjangan hak guna
usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai
dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi;
c. pembatasan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu
pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi; dan
d. penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan
dilakukan dalam kawasan lindung.

Paragraf 2
Ketentuan Khusus Pemberian Insentif-Disinsentif

Pasal 83

(1) Ketentuan khusus pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 77


ayat (2) huruf b, ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus
didorong pemanfaatannya, meliputi :
a. kawasan perkotaan Ulu, Ondong dan Buhias Tagulandang dalam
kerangka pemantapan Ondong sebagai PKSNp dan Ulu sebagai PKWp;
b. kawasan perkebunan yaitu perkebunan pala yang merupakan komoditas
unggulan kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro;
c. kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan;
d. kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan
pendapatan asli daerah (PAD);
e. kawasan pusat agropolitan sebagai pusat pengelolaan, pengolahan dan
pemasaran hasil perkebunan; dan
f. kawasan strategis, yaitu Kawasan Agropolitan dan Kawasan Minapolitan.
(2) Ketentuan khusus pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal
77 ayat (2) huruf b, ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus
dibatasi dan atau dikendalikan pemanfaatannya, meliputi :
a. kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana gunung berapi, rawan
bencana tanah longsor, gempa, tsunami atau gelombang pasang dan
banjir;
b. kawasan Gunung Karangetang, Gunung Begangbalo, Gunung Balinge,
Gunung Ruang dan Bulude Tamata sebagai hutan lindung yang menjadi
paru-paru Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, pelestarian
alam, cagar alam dan wisata alam;
c. kawasan pertanian dan perkebunan yang berada pada kawasan hutan
lindung;
d. kawasan pertambangan yang dalam pemanfaatannya mempunyai
dampak penting; dan
e. kawasan keselamatan operasi penerbangan dan kawasan kebisingan
disekitar bandar udara.

Pasal 84

(1) Ketentuan khusus pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada


Pasal 83 ayat (1) meliputi :
a. insentif fiskal; dan
b. insentif non-fiskal.
(2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi :
a. penghapusan retribusi;
b. pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak
oleh dana APBD; dan
c. bantuan subsidi, modal bergulir atau penyertaan modal.
(3) Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi :
a. kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha;
b. penyediaan dan atau kemudahan memperoleh sarana dan prasarana
permukiman;
c. bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; dan
d. penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk.

Pasal 85

Ketentuan khusus pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 83


ayat (2), hanya diberlakukan disinsentif non fiskal, meliputi :
a. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah
perkembangan permukiman lebih lanjut;
b. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan
lindung;
c. penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja; dan
d. pembatasan tinggi bangunan dan benda tumbuh serta pembangunan gedung
disekitar Bandar udara.

Bagian Kelima
Ketentuan Sanksi

Pasal 86

(1) Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 50 ayat (3) huruf d,
merupakan Ketentuan ketentuan pengenaan sanksi administratif kepada
pelanggar pemanfaatan ruang yang akan menjadi acuan bagi pemerintah
daerah kabupaten;
(2) Ketentuan sanksi dilakukan terhadap:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan
pola ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang di terbitkan
berdasarkan RTRW Kabupaten;
d. pemanfaat ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang di tetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang yang di terbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang di peroleh dengan prosedur yang
tidak benar.
(3) Ketentuan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan:
a. hasil pengawasan penataan ruang;
b. tingkat simpangan implementasi rencana tata ruang;
c. kesepakatan antar instansi yang berwenang; dan
d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya.
(4) Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara berjenjang dalam bentuk:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan
i. denda administrasi.
(5) Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama
dengan pengenaan sanksi administratif;
(6) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; dan
(7) Sanksi Pidana, diberikan kepada pelanggar pemanfaatan ruang dan mengacu
pada peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang berlaku.

Pasal 87

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf a,
diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak-
banyaknya 3 (tiga) kali;
(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 86
ayat (4) huruf b, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan
sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan
menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara
secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan
tindakan penertiban oleh aparat penertiban;
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan
penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
e. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang
dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya
kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan
rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang
berlaku.
(3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud
pada Pasal 86 ayat (4) huruf c, dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
a. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan
umum dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian
sementara pelayanan umum);
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat
keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum
kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum
yang akan diputus;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan,
disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
d. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa
pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar,
disertai penjelasan secukupnya;
e. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada
pelanggar; dan
f. pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara
pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan
umum kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi
kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan
rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang
berlaku.
(4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf d,
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang
melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat
yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
penutupan lokasi kepada pelanggar;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan;
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara
paksa; dan
e. pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk
memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan
pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan
ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan
ruang yang berlaku.
(5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf e,
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
pencabutan izin pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai
pengenaan sanksi pencabutan izin;
d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan
permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pencabutan izin;
e. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin
menerbitkan keputusan pencabutan izin;
f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang
telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan
g. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf f,
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan
ruang menurut dokumen perizinan dengan ketentuan pola pemanfaatan
ruang dalam rencana tata ruang yang berlaku;
b. memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal
rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat
pembatalan izin;
c. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
d. memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan
izin;
e. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki
kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan
f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang
telah dibatalkan.
(7) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4)
huruf g, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan
dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat
keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban
melakukan pembongkaran bangunan secara paksa.
(8) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4)
huruf h, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian
yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya;
b. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan
ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi
ruang;
c. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat
keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang;
d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban,
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi
pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam
jangka waktu tertentu;
e. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan
pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
f. apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum
melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab
melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk
melakukan pemulihan fungsi ruang; dan
g. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan
pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan
pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban
pelanggar di kemudian hari.

Pasal 88

Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama


dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Pasal 89

Ketentuan pengenaan sanksi administratif diatur lebih lanjut melalui Peraturan


Bupati.

Pasal 90

Ketentuan lebih lanjut terkait pengenaan sanksi pidana dan sanksi perdata
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91

Sanksi Perdata adalah tindakan pidana yang menimbulkan kerugian secara


perdata akibat pelanggaran yang ada dan menimbulkan masalah pada
perorangan atau masyarakat secara umum dan diterapkan sesuai peraturan
perundangan-perundangan yang berlaku.

BAB IX
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 92

(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan


kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
(2) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan
Bupati;
(3) Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah dengan memperhatikan
ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku; dan
(4) Dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang maka harus diselesaikan
lewat forum komunikasi BKPRD.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 93

(1) Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Kabupaten, setiap orang berhak :
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang
berwenang;
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Provinsi
dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian; dan
g. menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya, yang dapat berupa manfaat ekonomi, sosial dan
lingkungan dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan atau
pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan perundang-undangan
ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada
masyarakat setempat.
(2) Dalam Pemanfatan ruang, setiap orang wajib :
a. menaati rencana tata ruang yang telah di tetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang di tetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
(3) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan
kriteria, kaidah baku mutu dan aturan-aturan penataan ruang yang
di tetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
(4) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang di lakukan masyarakat secara
turun temurun dapat di terapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor
daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi,
selaras dan seimbang.

Bagian Ketiga
Bentuk Peran Masyarakat

Pasal 94

Bentuk peran masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang adalah :


a. memberikan masukan mengenai :
1. penentuan arah pengembangan wilayah;
2. potensi dan masalah pembangunan;
3. perumusan rencana tata ruang; dan
4. penyusunan rencana struktur dan pola ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rencana tata ruang; dan
c. melakukan kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
sesama unsur masyarakat.
Pasal 95

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang adalah :


a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau pencapaian tujuan penataan ruang;
f. menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
sumber daya alam;
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan
h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan.

Pasal 96

Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah :


a. memberikan masukan mengenai ketentuan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan desinsentif, serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan pemenuhan standar
pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah
yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaran penataan ruang;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang
berwenang.

Pasal 97

(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara


langsung dan/atau tertulis;
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan
kepada Bupati dan/atau unit kerja yang terkait yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 98

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun


sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.

Pasal 99

(1) Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana di maksud dalam
Pasal 88, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 100

(1) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan


Siau Tagulandang Biaro, disusun Rencana Detail Tata Ruang
Kawasan/Zonning Regulation;
(2) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro adalah 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan
ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun;
(3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana
alam skala besar, perubahan batas teritorial negara dan/atau perubahan
batas wilayah yang ditetapkan dengan undang-undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dapat ditinjau
kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun;
(4) Peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro tahun 2014-2034 di lengkapi dengan
rencana dan album peta yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini;
(5) Terhadap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang masuk
dalam kategori berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis
(DPCLS), harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR RI;
(6) Kawasan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 99, seluas kurang lebih 65.21 ha;
(7) Apabila kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 di setujui usulan
perubahannya, maka peruntukan dan fungsi kawasan adalah kawasan
sesuai usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasannya;
(8) Apabila kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 tidak di setujui
usulan perubahannya maka peruntukan dan fungsi kawasan adalah tetap
sesuai dengan peruntukan dan fungsi kawasan sebelumnya;
(9) Apabila perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 sudah ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan, maka pemanfaatan
ruangnya mengacu pada penetapan peraturan perundang-undangan
tersebut;
(10)Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 diintegrasikan dalam
revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(11)Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai
teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Bupati.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 101

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan


pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Daerah ini;
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa
berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan
penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan
berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat
dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat
pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak.
c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
Pasal 102

(1) Pada saat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten ditetapkan, semua
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang harus
disesuaikan dengan rencana pola ruang melalui kegiatan penyesuaian
pemanfaatan ruang;
(2) Pemanfaatan ruang yang sah menurut perizinan pemanfaatan ruang
sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk
penyesuaian; dan
(3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan dapat dibuktikan bahwa izin
tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin
diberikan penggantian yang layak.

Pasal 103
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. kegiatan budidaya yang telah ditetapkan dan berada di kawasan lindung
yang tidak mengganggu fungsi lindung dapat diteruskan hingga berakhirnya
perizinan kegiatan tersebut;
b. kegiatan budidaya yang telah ada dan dinilai mengganggu fungsi lindung,
diatur sesuai ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan;
c. kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung dan dinilai
mengganggu fungsi lindung, harus segera dicegah perkembangannya;
d. apabila dalam pemanfaatan ruang pelaksanaannya tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah, maka kegiatan tersebut akan dikenakan
sanksi sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
perudang-undangan yang berlaku.

Pasal 104

Ketentuan mengenai Ketentuan penataan ruang bawah tanah, laut dan udara
akan diatur lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah

Pasal 105
(1) Peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten dapat dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
(2) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah setidaknya
memperhatikan :
a. perkembangan eksternal wilayah Kabupaten;
b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten;
c. dinamika pembangunan internal Kabupaten;
d. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
e. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan dan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Kabupaten;
f. permasalahan penataan ruang; dan
g. validitas hasil proyeksi perencanaan dan asumsinya.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 106

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro


bersifat terbuka untuk umum dan dipublikasikan di Kantor Pemerintah
Kabupaten, Kecamatan, Kampung/Kelurahan dan tempat-tempat umum lain
melalui media yang mudah diakses oleh masyarakat.

Pasal 107

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati dan
Keputusan Bupati.

Pasal 108

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Ditetapkan di Ondong Siau


pada tanggal 2014

BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO,

TONI SUPIT

Diundangkan di Ondong Siau


pada tanggal 2014

Plt. SEKERTARIS DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO,

DR. ADRY A. MANENGKEY, SE.Msi


PEMBINA TINGKAT I
NIP. 19620814 198612 1 002

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO


TAHUN 2014 NOMOR

NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG


BIARO PROVINSI SULAWESI UTARA : ( 1/2014)
PENJELASAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO
NOMOR TAHUN 2014

TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO
TAHUN 2014-2034

I. UMUM
Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagai
bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada hakekatnya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikembangkan dan
dilestarikan pemanfaatannya secara optimal agar dapat menjadi wadah bagi
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan demi
kelangsungan hidup yang berkualitas.
Pancasila merupakan dasar negara dan falsafah negara, yang memberikan
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas
keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hubungannya
dengan kehidupan pribadi, hubungan manusia dengan manusia lain,
hubungan manusia dengan alam sekitarnya maupun hubungan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumberdaya alam
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran
tersebut haruslah dapat dinikmati oleh generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang.
Ruang sebagai sumberdaya alam tidaklah mengenal batas wilayah, karena
ruang pada dasarnya merupakan wadah atau tempat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatannya, akan
tetapi jika ruang dikaitkan dengan pengaturannya, haruslah mengenal batas
dan sistemnya. Dalam kaitan tersebut, ruang wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro meliputi tiga matra, yakni ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara. Ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro sebagai unsur lingkungan hidup, terdiri atas berbagai
ruang wilayah yang masing-masing sebagai sub sistem yang meliputi aspek
alamiah (fisik), ekonomi, sosial budaya dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan lainnya. Pengaturan pemanfaatan ruang wilayah
yang didasarkan pada corak dan daya dukungnya akan meningkatkan
keselarasan, keseimbangan sub sistem, yang berarti juga meningkatkan daya
tampungnya. Pengelolaan sub-sistem yang satu akan berpengaruh kepada
sub-sistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengaturan ruang menuntut
dikembangkan suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ada pengaruh timbal balik antara ruang dan kegiatan manusia. Karakteristik
ruang menentukan macam dan tingkat kegiatan manusia, sebaliknya
kegiatan manusia dapat merubah, membentuk dan mewujudkan ruang
dengan segala unsurnya. Kecepatan perkembangan manusia seringkali tidak
segera tertampung dalam wujud pemanfaatan ruang, hal ini disebabkan
karena hubungan fungsional antar ruang tidak segera terwujud secepat
perkembangan manusia. Oleh karena itu, rencana tata ruang wilayah yang
disusun, haruslah dapat menampung segala kemungkian perkembangan
selama kurun waktu tertentu. Ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro, mencakup wilayah kecamatan yang merupakan satu
kesatuan ruang wilayah yang terdiri atas satuan-satuan ruang yang disebut
dengan kawasan. Dalam berbagai kawasan terdapat macam dan budaya
manusia yang berbeda, sehingga diantara berbagai kawasan tersebut
seringkali terjadi tingkat pemanfaatan dan perkembangan yang berbeda-
beda.
Perbedaan ini apabila tidak ditata, dapat mendorong terjadinya
ketidakseimbangan pembangunan wilayah. Oleh karena itu, rencana tata
ruang wilayah, secara teknis harus mempertimbangkan :
a. keseimbangan antara kemampuan ruang dan kegiatan manusia dalam
memanfaatkan serta meningkatkan kemampuan ruang;
b. keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam pemanfaatan antar
kawasan dalam rangka meningkatkan kapasitas produktivitas
masyarakat dalam arti luas.
Meningkatnya kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan, baik tempat
untuk memperoleh sumber daya alam mineral atau lahan pertanian maupun
lokasi kegiatan ekonomi lainnya, seperti industri, pariwisata, pemukiman dan
administrasi pemerintahan, potensial meningkatkan terjadinya kasus-kasus
konflik pemanfaatan ruang dan pengaruh buruk dari suatu kegiatan
terhadap kegiatan lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan
perencanaan tata ruang yang baik dan akurat, agar perkembangan tuntutan
berbagai kegiatan pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang terdapat di
dalamnya dapat berfungsi secara optimal, terkendali, selaras dengan arah
pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Kendatipun perencanaan tata ruang sepenuhnya merupakan tindak
pemerintahan atau sikap tindak administrasi negara, dalam proses
penyusunan sampai pada penetapannya perlu melibatkan peran serta
masyarakat. Peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi
penting dalam kerangka menjadikan sebuah tata ruang sebagai hal yang
responsif (responsive planning), artinya sebuah perencanaan yang tanggap
terhadap preferensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena
dampak apabila perencanaan tersebut diimplementasikan. Tegasnya, dalam
konteks perencanaan tata ruang, sebenarnya ada dua hal yang harus
diperhatikan. Pertama, kewajiban Pemerintah untuk memberikan informasi,
Kedua, hak masyarakat untuk di dengar. Dalam praktek, pada dasarnya dua
aspek ini saling berkaitan karena penerapannya menunjukkan adanya jalur
komunikasi dua arah. Dengan kewajiban pemerintah untuk memberi
informasi yang menyangkut rencana kegiatan/perbuatan administrasi dan
adanya hak bagi yang terkena (langsung maupun tidak langsung) oleh
kegiatan/perbuatan pemerintah, mengandung makna bahwa mekanisme itu
telah melibatkan masyarakat dalam prosedur administrasi negara, di pihak
lain dapat menunjang pemerintahan yang baik dan efektif, karena dengan
mekanisme seperti itu pemerintah dapat memperoleh informasi yang layak
sebelum mengambil keputusan. Mekanisme seperti itu dapat menumbuhkan
suasana saling percaya antara pemerintah dan rakyat sehingga dapat
mencegah sengketa yang mungkin terjadi serta memungkinkan terjadinya
penyelesaian melalui jalur musyawarah.
Secara normatif, perencanaan tata ruang dimaksud perlu diberi status dan
bentuk hukum agar dapat ditegakkan, dipertahankan dan ditaati oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Hanya rencana yang memenuhi syarat-syarat
hukumlah yang dapat melindungi hak warga masyarakat dan memberi
kepastian hukum, baik bagi warga maupun bagi aparatur pemerintah
termasuk didalamnya administrasi negara yang bertugas melaksanakan dan
mempertahankan rencana, yang sejak perencanaannya sampai penetapannya
memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Apabila suatu rencana telah
diberi bentuk dan status hukum, maka rencana itu terdiri atas atas susunan
peraturan-peraturan yang pragmatis, artinya segala tindakan yang
didasarkan kepada rencana itu akan mempunyai akibat hukum.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 78
mengamanatkan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten tentang rencana tata
ruang wilayah kabupaten disusun atau disesuaikan paling lambat dalam
waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Dengan demikian maka Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro harus
segera memiliki Peraturan Daerah Kabupaten tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu disusun Peraturan Daerah baru
yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan program-program
pembangunan di daerah serta mendorong percepatan perkembangan
masyarakat secara tertib, teratur dan berencana. Peraturan Daerah sendiri
merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-
undangan secara nasional, oleh karena itu peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan dengan kepentingan umum. Kepentingan umum yang harus
diperhatikan bukan saja kepentingan rakyat banyak Daerah yang
bersangkutan, melainkan kepentingan Daerah lain dan kepentingan seluruh
rakyat Indonesia. Ini berarti, pembuatan peraturan peraturan perundang-
undangan tingkat daerah, bukan sekedar melihat batas kompetensi formal
atau kepentingan Daerah yang bersangkutan, tetapi harus dilihat pula
kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional
secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Kebijakan dan strategis penataan ruang wilayah kabupaten ditetapkan
untuk mewujudkan tujuan penataan ruang kabupaten.
Yang dimaksud dengan “kebijakan penataan ruang di wilayah kabupaten”
adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
dalam pemanfaatan ruang darat, laut dan udara termasuk ruang di dalam
bumi untuk mencapai tujuan penataan ruang.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “strategi penataan ruang wilayah kabupaten”
adalah langkah-langkah pelaksanaan kebijakan penataan ruang.

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Cyber city” adalah bagaimana membuat
sebuah kota bisa terkoneksi antara satu sama lain melalui jaringan
internet sehingga akses informasi bisa di peroleh dari titik manapun.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “rencana struktur ruang” dalam peraturan daerah
ini adalah gambaran struktur ruang yang dikehendaki untuk dicapai pada
akhir tahun perencanaan, yang mencakup struktur ruang yang ada dan
yang akan dikembangkan. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten
merupakan ketentuan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah
kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan
untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani
kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi,
sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi,
sistem jaringan sumberdaya air, persampahan dan sanitasi.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Jalan Kolektor Primer K2 adalah jalan yang menghubungkan kota
jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
Yang dimaksud dengan kota jenjang kedua ialah kota yang berperan
melayani sebagian dari satu wilayah pengembangannya dengan
kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang
kesatu dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat
jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi kekota
jenjang ke satu.
Yang dimaksud dengan kota jenjang ketiga ialah kota yang berperan
melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan
kemampuan pelayananjasa yang lebih rendah dari kota jenjang
kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat
jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke
kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu.
Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
Jaringan jalan primer harus menghubungkan kawasan primer.
Suatu ruas jalan primer dapat berakhir pada suatu kawasan primer.
Kawasan yang mempunyai fungsi primerantara lain industri skala
regional, terminal barang/pergudangan, pelabuhan, Bandar udara,
pasar induk, pusat perdagangan skala regional/grosir.
Yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor primer K1 adalah :
a. Kecepatan rencana > 40 km/jam.
b. Lebar badan jalan > 7 m.
c. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalulintas
rata-rata.
d. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana
dan kapasitas jalan tidak terganggu.
e. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan dan lalu lintas lokal.
f. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki daerah
kota.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang
ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang ketiga
dengan kota jenjang dibawahnya.
Jika di tinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus
dipenuhi oleh jalan lokal primer adalah:
a. Kecepatan rencana>20 km/jam.
b. Lebar jalan>6,0 m.
c. Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki
kampung.
Huruf e
Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan
kawasan sekunder ke satu dengan perumahan, atau kawasan
sekunder ke duan dengan perumahan atau kawasan sekunder ketiga
dan seterusnya dengan perumahan.
Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus
dipenuhi oleh jalan local sekunder adalah:
a. Kecepatan rencana>10 km/jam.
b. Lebar jalan>5,0 km.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Tatanan Kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan yang
memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk
Pelabuhan Nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra
dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
(UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran)
Huruf b
Rencana Alur pelayaran adalah bagian dari perairan yang alami
maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar dan hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari. (UU Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran)
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
huruf a
Tatanan Kebandarudaraana dalah sistem kebandarudaraan yang
menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana
tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah,
kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antar moda
transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan
penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan
lainnya. (UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).
Huruf b
Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar
udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang
telah ditetapkan. (Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).
Huruf c
Ruang udara untuk penerbangan adalah ruang udara yang
dimanfaatkan untuk kegiatan transportasi udara atau kegiatan
penerbangan sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem
transportasi nasional. Ruang transportasi udara ditunjukkan oleh
flight informationregion. (PP Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRW
Nasional)
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan “pembangkit tenaga listrik” adalah fasilitas
untuk kegiatan memproduksi tenaga listrik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan SPBU mini adalah SPBU yang dikhususkan
bagi nelayan, yang penempatannya pada setiap PKNT.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Reduce adalah mengurangi penggunaan bahan yang dapat
mengakibatkan meningkatnya timbulan sampah.
Reuse adalah upaya menggunakan kembali bahan-bahan untuk
mengurangi timbulan sampah.
Recycle adalah upaya untuk mendaur ulang bahan-bahan untuk
mengurangi timbulan sampah.

Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Sistem control landfill adalah sistem pengolahan TPA yang secara
periodik timbunan sampah ditutup dengan lapisan tanah untuk
mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam
operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah
untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan
permukaan TPA.
Sistem sanitary landfill adalah metode standar yang dipakai secara
internasional, dimana penutupan sampah oleh lapisan tanah
dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat
diminimalkan.

Huruf f
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan
yang berfungsi lindung maupun budidaya, yang ditinjau dari
berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna
dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan kabupaten
apabila dikelolah oleh pemerintah daerah kabupaten dengan
sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi.
Pasal 22
Huruf a
Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki
sifatkhas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan
sekitarmaupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah
banjir danerosi serta memelihara kesuburan tanah.
Kawasan lindung dapat diterapkan untuk mengatasi dan
mengantisipasi ancaman kerusakan lingkungan saat ini dan
padamasa yang akan datang akibat kurangnya kemampuan
perlindungan wilayah yang ada.
Penetapan suatu kawasan berfungsi lindung wajib memperhatikan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T)
yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang pertanahan.

Huruf b
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya adalah kawasan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun
bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi
serta menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan
unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan.
Huruf c
Kawasan perlindungan setempat adalah kawasan yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
setempat.
Huruf d
Kawasan suaka alam dan pelestarian alam adalah kawasan dengan
ciri khas tertentu baik didarat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi pokok sebagaikawasan pengawetan peragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Kawasan cagar budaya adalah kawasan yang merupakan lokasi
bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun
bentukan geologi yang khas.
Huruf e
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam.
Huruf f
Kawasan lindung geologi adalah kawasan lindung yang meliputi
kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi
dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup
Ayat (4)
Cukup
Pasal 25
Huruf a
Sempadan Pantai, garis batas kawasan tertentu sepanjang pantai
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai
Hurub b
Sempadan Sungai, garis batas kawasan tertentu sepanjang pantai
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi Sungai.
Huruf c
Kawasan Sekitar Danau/Waduk adalah kawasan tertentu
di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk.
Huruf d
Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi mata air.
Huruf e
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam. (UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang)
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 27
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Huruf a
Suaka margasatwa (Suaka, perlindungan, Marga, turunan, satwa,
dan hewan) adalah Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu
tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan
kebanggaan nasional
Huruf b
Kawasan Suaka alam Laut dan Perairan liannya adalah daerah yang
mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang
merupakan habitat-alami yang memberikan tempat maupun
perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa yang ada.
Huruf c
Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau bakau (mangrove) yang
berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan
lautan.
Kawasan terumbuh karang dan berpadang lamun adalah kawasan
yang merupakan habitat karang dan koral serta padang lamun yang
berfungsi memberikan perlindungan kepada peri kehidupan pantai
dan lautan.
Huruf d
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan
pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman
Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan,
dan Suaka Perikanan. (Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007
tentan Konservasi Sumber Daya Ikan)
Huruf e
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai
tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan yang tersentuh tangan
manusia dengan maksud agar lebih bermanfaat dan memberi hasil untuk
kebutuhan manusia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan peruntukan pertanian” mencakup
kawasan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan
dan/atau tanaman industri.Penerapan kriteria kawasan
peruntukan pertanian secara tepatdiharapkan akan mendorong
terwujudnya kawasan pertanian yang dapat memberikan manfaat
berikut :
a. memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional;
b. meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan
baru untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padigogo,
palawija, kacang-kacangan dan umbi-umbian) perkebunan,
peternakan, hortikultura dan pendayagunaan investasi;
c. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan
sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
d. meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya
alam untuk pertanian serta fungsi lindung;
e. menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan
serta kesejahteraan masyarakat;
f. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g. mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui
efekkaitan;
h. mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian kenon
pertanian agar keadaan lahan tetap abadi.
Huruf b
Kawasan peruntukan perikanan dapat berada di ruang darat, ruang
laut dan di luar kawasan lindung.
Huruf c
Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi
oleh fungsi kepariwisataan dapat mencakup sebagian area dalam
kawasan lindung atau kawasan budi daya lainnya dimana terdapat
konsentrasi daya tarik dan fasilitas penunjang pariwisata.
Kebutuhan pariwisata berkaitan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata, termasuk pengelolaan objek dan daya
tarik wisata yang mencakup:
1. obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna; dan
2. obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni
budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata
petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Kawasan peruntukan tanaman pangan adalah kawasan lahan basah
berinigasi, rawa pasang surut dan lebak dan lahan basah tidak
benirigasi serta lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan
pengembangan tanaman pangan.
Huruf b
kawasan peruntukan hortikultura dan palawija adalah kawasan
lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan
tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari.
Huruf c
Kawasan peruntukan perkebunan adalah kawasan yang memiliki
potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan baik pada lahan
basah dan atau lahan kering untuk komoditas perkebunan.
Huruf d
Kawasan peruntukan peternakan adalah kawasan yang secara
khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu
dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan
berakses dari hulu sampai hilir
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha/kegiatan
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanandan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Huruf b
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan.
Huruf c
Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya
dan/atau lingkungan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup Jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah Kegiatan pengawasan
dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang pengawasan
diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi,
sedangkan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk
sanksi.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a
Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona,
pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan dan prosedur
pelaksanaan pembangunan.
Huruf b
Perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan
ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin
dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang dan
kualitas ruang.
Huruf c
Insentif dapat diberikan antar pemerintah daerah yang saling
berhubungan berupa subsidi silang dari pemerintah yang
penyelengaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada
daerah yang di rugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam
hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai
imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat di kenakan
untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang
melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena
pajak (NJKP) sehinga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi.
Huruf d
Cukup Jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Zero Delta Q Policy adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh
mengakibatkan bertambahnya debit air kesistem saluran drainase atau
sistem aliran sungai.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf f
Frontage roadadalah jalan-jalan di samping jalan utama yang
berfungsi sebagai jalur lambat yang menuju atau dari jalan utama.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sanitary landfill adalah Pemusnahan sampah yang paling efektif, karena
sampah yang dimusnahkan di dalam tanah tidak akan menyebar dan
mengotori lingkungan.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 93
huruf a
Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang dapat melalui peraturan
daerah, pengumuman dan/atau penyebar luasan oleh pemerintah.
huruf b
Partisipasi dalam pemanfaatan ruang dapat melalui peraturan daerah,
pengumuman dan/atau penyebar luasan oleh pemerintah.
huruf c
Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang dimaksud agar
pemanfaatan ruang di laksanakan sesuai rencana tata ruang serta dapat
membantu dan berkoordinasi tentang penataan ruang.
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas

Anda mungkin juga menyukai