Anda di halaman 1dari 16

A.

Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya ( Bruner & Suddart, 2013). Fraktur vertebra adalah trauma
kompresi hebat dapat menyebabkan fraktur-dislokasi dengan rupturnya satu
diskus, jika terjadi fraktur kominuta, rupturnya dua diskus (Setiati, siti, dkk.
2014).
Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang
terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya yang
terjadi pada ruas-ruas tulang pinggul karena adanya trauma/benturan yang
dapat menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung atau tidak
langsung (Mansjoer, 2014).

B. Anatomi Fisiologi
Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang,
ligamen, otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar
tengkorak (basis cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan
tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta
pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang
melewatinya.
Tulang-tulang tersebut berjajar dari dasar tengkorak sampai ke tulang
ekor dengan lubang di tengah-tengah setiap ruas tulang (canalis vertebralis),
sehingga susunannya menyerupai seperti terowongan panjang. Saraf dan
pembuluh darah tersebut berjalan melewati canalis vertebralis dan terlindung
oleh tulang belakang dari segala ancaman yang dapat merusaknya.
Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak
bernama diskus intervertebra, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock
absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang, yang cara
kerjanya mirip dengan shock breaker kendaraan kita. Di setiap ruas tulang juga
terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen
intervertebra, yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis
vertebra menuju ke seluruh tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang
itu dan mempersarafi seluruh tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun
sensasi sesuai daerah persarafannya.
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri
dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen lumbal
(terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas
tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang servikal ke-2 (C2)
hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).
Di luar susunan tulang belakang, terdapat ligamen yang menjaga
posisi tulang belakang agar tetap kompak dan tempat melekatnya otot-otot
punggung untuk pergerakan tubuh kita. Ligamen dan otot tulang belakang
berfungsi sebagai koordinator pergerakan tubuh.
Posisi tulang belakang yang normal akan terlihat lurus jika di lihat
dari depan atau belakang. Jika dilihat dari samping, segmen servikal akan
sedikit melengkung ke depan (lordosis) sehingga kepala cenderung berposisi
agak menengadah. Segmen torakal akan sedikit melengkung ke belakang
(kyphosis) dan segmen lumbal akan melengkung kembali ke depan (lordosis).
Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang
belakang yang normal tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan
gangguan yang bervariasi. Keluhan dan gangguan tersebut akan berakibat
terganggunya produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Tidak jarang keluhan
tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya rasa (sensasi) hingga
kelumpuhan (Aston. J.N, 2005 & Wibowo, daniel S. 2013)

C. Jenis fraktur
1. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran ( bergaris dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang.
3. Fraktur tertutup ( fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
4. Fraktur terbuka ( fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur dengan
luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patah tulang.
D. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang vertebra lumbal bisa terjadi karena
trauma langsung (benturan langsung) dan trauma tidak langsung (jatuh dan
bertumpu pada orang lain), serta bisa juga terjadi karena proses patologis
misalnya osteoporosis, infeksi atau kanker. Akibat dari fraktur lumbal adalah
bisa terjadinya kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak serta
dapat mengakibatkan penekanan pada fragmen tulang lumbal. Penekanan
tersebut akan menyebabkan kerusakan pada saraf jaringan lunak di medula
spinalis sehingga menimbulkan nyeri.
Kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak akan
menyebabkan adanya peningkatan tekanan yang berlebih dalam 1 ruangan
sehingga menimbulkan sindrom kopartemen yang akan menimbulkan nekrosis
jaringan, luka baik terbuka maupun tertutup sehingga dapat menimbulkan
resiko infeksi.
Terjadinya fraktur pada vertebra lumbal I akan menyebabkan
terjepitnya semua area ekstermitas bawah yang menyebar sampai pada bagian
belakang sehingga penderita biasanya akan mengalami hemiparase atau
paraplegia. Vertebra lumbal 2 berhubungan dengan daerah ekstermitas bawah,
kecuali sepertiga atas aspek interior paha. Sehingga kerusakan pada vertebra
lumbal 2 akan menekan daerah kandung kemih yang menyebabkan
inkontinensia urine. Fraktur pada lumbal 3 akan menyebabkan terjepitnya
ekstermitas bagian bawah dan sadel, sehingga penderita akan mengalami
gangguan bowel. Kerusakan pada daerah lumbal 4 akan mengganggu organ
seks dan genetalia, sehingga akan menyebabakan adanya penurunan libido.
Sedangkan kerusakan pada lumbal 5 akan menyebabkan sendi- sendi tidak
dapat di gerakan karena vertebra lumbal ke 5 berhubungan dengan pergelangan
kaki, ekstermitas bawah dan area sadel (Ross and Wilson, 2011).
E. Etiologi
Menurut Sjamsuhidajat 2008, adaalah
a. Trauma langsung
Berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu.
Misal benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna
b. Trauma tidak langsung
Bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

F. Tanda dan gejala


Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
1. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk)
disebabkan oleh ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
2. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.
3. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering di
sebabkan karena tulang menekan otot.
4. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,
nyeri atau spasme otot.
7. Pergerakan abnormal.
8. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pad fraktur lumbal di awali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Beberapa
penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Braces dan orthotics
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilsasi.
2. Pemsangan alat dan proses penyatuan ( fusi)
Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak
stabil.
3. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut
a. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.
b. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia ,setiap
2 hari.
c. Nutrisi dengan diet tinggi protein secara intravena.
d. Cegah dekubitus.
e. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.
4. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan
tujuan supaya dapat segera di imobilisasikan. Pembedahan di kerjakan
jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24 - 48 jam.
Tindakan pembedahan setelah 6 - 8 jam akan memperjelek defisit
neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada
spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung
komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
Pemeriksaan lokalis
- Look : adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada
punggung. Pada pasien yang telah lama di rawat sering didapatkan
adanya dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah menyababkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
- Feel : prosessus spinosus di palpasi untuk mengkaji adanya suatu
celah yang dapat diraba akibat robeknya ligamentum posterior yang
menandakan cedera yang tidak stabil. Sering di dapatkan adanya nyeri
tekan pada area lesi.
- Move : gerakan tulang punggung atau spina tidak boleh di kaji.
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan
pada seluruh ekstermitas bawah. Kekuatan otot pada penilaian dengan
menggunakan drajat kekuatan otot di dapatkan nilai 0 atau palisis total.
Pemeriksaan sistem pencernaan dan perkemihan
1. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina ( kandung kemih di kontrol oleh
pusat S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan
menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat
spinal. Pengosongan kandung kemih secara periodik tergantung
dari refleks lokal dinding kandung kemih. Pada keadaan ini,
pengosongan dilakukan oleh aksi otot-otot detrusor dan harus di
awali dengan kompresi secara manual pada dinding perut atau
dengan meregangkan perut. Pengosongan kandung kemih yang
bersifat otomatis seperti ini disebut kandung kemih otonom.
Trauma pada kauda ekuina, pasien mengalami hilangnya refleks
kandung kemih yang bersifat sementara dan pasien mengkin
mengalami inkontinensia urinaria, ketidak mampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
mengguankan urinal kerana kerusakan kontrol motorik dan
postural.
2. Proses penyembuhan
a. Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada
awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah
menimbulkan hematom fraktur yang segera dikuti invasi dari
sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-
sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan
jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara
radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena meterial
nekrotik di singkirkan.
b. Fase reparative
Umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai
dengan differesiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom
fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan
menjadi tempat matrik kalus. Mula- mula terbentuk kaus lunak,
yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah
kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan
mineralisasi kalus lunak menambah menjadi kalus keras dan
meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur
mulai tak tampak.
c. Fase remodialing
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk
merampungkan penyembuhan tuang meliputi aktifitas osteoblas
yang menghasilkan perubahan jaringan immatur menjadi matur,
terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabiltas
daerah fraktur.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Rontgen
- Pemeriksaan posisi AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai :
- Diameter anteriorposterior kanal spinal
- Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
- Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
- Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
- Ketinggan ruangan diskus intervertebralis.

2. CT Scan dan MRI


CT Scan dan MRI bermanfaat untuk menunjukan tingkat penyembuhan
kanalis spinalis. Pada fraktur dislokasi cedera paling terjadi pada
sambungan torako lumbal dan biasanya di sertai dengan kerusakan pada
bagian terbawah korda. Klien harus di periksa dengan hati- hati agar tidak
membahayakan korda atau akar syaraf lebih jauh.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin ( biasanya
rendah bila terjadi perdarahan karena trauma) hitung sel darah putih, Ht
mungkin menigkat ( Hemokonsentrasi) atau menurun ( perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada mutipel). Peningkatan
jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfuse multiple atau cedera hati.
b. Pemeriksaan kimia darah.
Kadar kalsium serum berubah pada oteomalasea, tumor tulang
metastase dan pada immobilisasi lama dan creatinin kinase serta SGOT
yang meningkat pada kerusakan otot.
4. Angiogram : dilakukan bila kerusakan vesikoler dicurigai Elektromyogram
(EM) untuk mengukur kontraksi otot sebagai respon terhadap stimulus
listrik.

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Fraktur


i.Pengkajian
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang
meliputi: nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat,
agama, dan tanggal pengkajian serta siapa yang bertanggung
jawab terhadap klien

A) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan.
B) Riwayat kesehatan dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa
pernah mengalami tindakan operasi apa tidak.
C) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka
(pre/post op).
D) Riwayat kesehatan keluarga
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami
penyakit fraktur atau penyakit menular.
ii. Pola Kebiasaan
Pola kebiasaan menurut Virginia Henderson
1. Bernafas
Pasien dengan fraktur vertebrata biasanya memiliki gangguan
bernafas.
2. Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas
juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3. Eliminasi
Untuk kasus fraktur vertebrata biasanya ada gangguan pada
pola eliminasi, perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau
tidak.
4. Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang mengalami frktur dimana
Aktifitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat
adanya luka sehingga perlu dibantu.
5. Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur
6. Kebersihan Diri
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri
7. Suhu
Biasanya pasien dengan fraktu tidak memiliki masalah dengan
pengaturan suhu tubuh
8. Rasa aman
Biasanya pasien dengan fraktu memiliki risiko cidera yang
tinggi
9. Rasa nyaman
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat
berkurang pada imobilisasi)

10. Data sosial


komunikasi lancar atau tidak lancar, komunikasi verbal atau
nonverbal dengan orang terdekat dan keluarga
11. Prestasi
Prestasi yang dimiliki pasien
12. Rekreasi
Rekreasi pasien akan terganggu karena pasien tidak bisa
melakukan gerak aktvitas
13. Belajar
Pasien akan terganggu dalam belajar karena pasien harus
dirawat di rumah sakit
14. Ibadah
Biasanya ibadah hanya bisa dilakuan di atas tempat tidur

ii. Diagnosa yang sering muncul


1. Nyeri akut berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus
intervertebralis, tekanan di daerah distribusi ujung saraf.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahanan primer
kerusakan kulit trauma jaringan.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan paraplegia sekunder dari
kompresi spinal
4. Inkontinensia urine berhubungan dengan gangguan neurologis di atas
lokasi pusat mikturisi sakral.
5. Konstipasi berhubungan dengan kerusakan saraf motorik bawah.
Intervensi Tabel

Dx
No NOC NIC
keperawatan
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pain Management:
agen injury selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri - Kaji nyeri secara
fisik berkurang dengan kriteria hasil: komprehensif.
(penjepitan NOC : Pain Control - Observasi reaksi non
saraf pada Indikator Awal Akhir verbal dari
diskus Mampu mengontrol 2 5 ketidaknyamanan
intervertebrali) nyeri - Gunakan teknik
Melaporkan bahwa 3 5 komunikasi terapeutik
nyeri berkurang untuk mengetahui
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Mampu mngenali 3 5 pengalaman nyeri
berhubungan selama 2 x 24 jam di harapkan tidak ada - Monitor leukosit
nyeri - Ajarkan tentnag teknik
dengan tidak tanda- tanda infeksi dengan kriteria - Monitor tanda– tanda
Mengatakan rasa 2 5 relaksasi nafas dalam
adekuatnya hasil: vital
nyaman setelah - Monitor vital sign
pertahanan NOC: Control infeksi - Bersihkan lingkungan
nyeri berkurang - Kolaborasi medis dalam
sekunder. Indikator Awal Akhir pasien
Ket: 1 : Ekstrim pemberian analgetik
Pasien bebas dari 3 5 - Anjurkan untuk masukan
2: Berat
tanda dan gejala nutrisi yang cukup
3: Sedang
infeksi - Kolaborasi medis dalam
4: Ringan
Menunjukkan 3 5 pembarian antibiotik
5: Tidak ada keluhan
kemampuan untuk
2. Hambatan Setelah dilkukan tindakan keperawatan - Monitor tanda – tanda
mencegah
mobilitas fisik selama 2 x 24 jam aktivitas pasien vital
timbulnya infeksi.
berhubungan bertambah dengan kriteria hasil - Kaji kemampuan
Ket: : 1 : Ekstrim
dengan NOC : Mobility level : mobilisasi pasien
2: Berat
paraplegia dari Indikator Awal Akhir - Bantu pasien untuk
3: Sedang
kompresi Aktivitas pasien 2 5 mobilisasi/merubah
4: Ringan
spinal meningkat posisi
5: Tidak ada keluhan
Mengerti tujuan 3 5 - Ajarkan pasien
4. Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Identifikasi pola berkemih
dari peningkatan bagaimana merubah
urine selama 2 x 24 jam di harapkan kendali - Pertahankan asupan cairan
mobilisasi posisi
berhubungan eliminasi urine dari kandung kemih sekitar 2000 ml perhari
Ket: : 1 : Ekstrim - Kolaborasi untuk
dengan dengan kriteria hasil: - Ajarkan tanda dan gejala
2: Berat pemasangan
gangguan NOC: kontinensia urine infeksi
3: Sedang pembedahan.
neurologis di Indikator Awal Akhir - Kolaborasi terapi
4: Ringan antibiotik sesuai program
atas lokasi - Berkemih di 2 5
5: Tidak ada keluhan dokter
pusat mikturisi tempat yang tepat
sakral. - Berkemih >150 ml
setiap kali 2 5
berkemih
Ket: : 1 : Ekstrim
2: Berat
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada keluhan
5. Konstipasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Kaji adanya flaktus
berhubungan selama 2 x 24 jam di harapkan - Kaji ada tidaknya bising
dengan konstipasi menurun dengan kriteria usus dan distensi
kerusakan hasil: abdomen pada keempat
kuadran abdomen
saraf motorik Indikator Awal Akhir
- Berikan perawatan
bawah. - Pola eliminasi 2 5 dalam sikap yang tidak
normal dalam memahami
rentang waktu - Instruksikan pasien
yang diharapkan mengenai bantuan
(1 x 1) eliminasi defekasi yang
- Feses lunak dan dapat meningkatkan
defekasi yang optimal di
berbentuk 2 5
rumah
- Mengeluarkan - Konsultasikan dengan
feses tanpa 2 5 ahli gizi untuk
bantuan pemenuhan nutrisi
dengan meningkatkan
Ket: : 1 : Ekstrim serat.
2: Berat
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada keluhan
iii. Implementasi
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien (Potter & Perry, 2009)
iv. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Aston. J.N, 2005. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Brunner, Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8. Alih
Bahasa, Agung, et all. Jakarta: EGC.
Hanafiah, H (2007). Penatalaksanaan trauma spinal. Majalah Kedokteran
Nusantara. Vol 40 no. 2. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Hilma, Z. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuluskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selecta Kedokteran. Ed 2, Jakarta: Media
Aesculapius.
Mansjoer, Arif. 2014. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2010. Buku Ajar Asuham Keperawatan dengan gangguan sistem
persyarafan. Jakarta; Salemba.
NANDA International. (2012). Nursing Diagnosis: Definitions & Classifications
2012-2014.
Potter & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 7. Jakarta: EGC
Perry & Potter, 2012. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik, E/4, Vol.2. Alih bahasa: Renata Komalasari, dkk. Jakarta: EGC.
Price & Wilson.2006. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba.
Setiati, siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 6. Jakarta:
Interna Publishing.
Sjamsuhidayat. 2008. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: FKUI.
Wibowo, daniel S. 2013. Anatomi fungsional elementer dan penyakit yang
menyertainya. Jakarta: Grasindo.
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai