Anda di halaman 1dari 10

AJARAN ISLAM DALAM MENCARI CALON PASANGAN HIDUP

Oleh : Drs. Abdul Munir

Abstrak

Banyak jalan yang ditempuh para remaja sehingga menemukan jodohnya, tetapi banyak juga yang
sebenarnya keliru namun tidak disadari. Ketika semuanya terjadi dan punya anak, tidak ada lagi
perasaan salah, karena proses adaptasi yang kuat sehingga terperangkap dalam subjektifitas
posisinya. Kesalahan dalam memilih calon pasangan hidup itu terletak pada beberapa hal, yaitu
motivasi, jalan yang ditempuh, dan pandangan hidup yang mendasari penilaiannya. Yang lebih
krusial sebenarnya persoalan cinta yang dianggap sama dengan birahi, justru menjadi faktor
dominan dalam memilih calon pasangan, sehingga mengalahkan pendekatan intlektual dan
spiritual. Padahal pendekatan terahir ini justru lebih sempurna, tetapi kebanyakan remaja tidak
sanggup untuk menjangkaunya, bahkan dianggapnya kontra produktif terhadap intlektualitas, apa
lagi terhadap dorongan libido. Pandangan yang keliru menyebabkan remaja tidak memiliki standar
dan neraca keseimbangan bagi pasangan (kafa’ah) yang mengakibatkan terjadinya beberapa
kemungkinan buruk dalam keluarga, yaitu ketidak harmonisan atau perceraian, keturunan yang
rusak, tidak terbangunnya agama dalam keluarga, atau terjadinya poligami tanpa alasan yang
mendasar.

A. Pendahuluan

Mencari calon pasangan hidup memang gampang-gampang susah, gampangnya kalau dihitung
dengan akal, susahnya karena soal jodoh bukan domain akal.

Beberapa aspek yang ikut terlibat dalam memilih calon pasangan hidup antara lain aspek emosi,
intlektual dan aspek spiritual - Itu semua setelah yang berangkutan memiliki kesadaran kuat akan
keberadaannya-. Aspek emosi diperlukan sebagai pendorong lahirnya keinginan untuk berkeluarga,
aspek intlektual berguna dalam memberikan berbagai pertimbangan, dan aspek spiritual dapat
menemukan sisi gaib yang lebih hakiki namun tidak dapat dijangkau oleh akal.
Ketiga aspek tersebut sesuai dengan objek (calon) yang juga memiliki beberapa dimensi, pertama
dimensi fisik dan prilaku biologis yang dapat dilihat dengan panca indra, kedua, dimensi psikologis
yang dapat diamati melalui gejala tingkah laku dengan menggunakan pengetahuan atau
intlektualitas, dan ketiga, dimensi rohani yang hanya dapat ”diteropong” menggunakan kekuatan
spiritual.

Kriteria laki-laki dan perempuan sebagai objek pilihan yang multi dimensional itu relatif sama, yaitu
kecantikan/ketampanan, harta, kedudukan, keturunan, dan agama. Namun keempat hal tersebut
memiliki rincian, porsi dan tingkatannya sendiri-sendiri yang kemudian memerlukan keserasian
antara kedua calon yang disebut dengan ”kafa’ah”.

Kafa’ah inilah yang sebenarnya sangat menentukan kelanggengan hubungan suami-istri, namun
tidak sebatas pemahaman klasik, melainkan harus diterjemahkan sesuai paradigma kekinian yang
lebih realistis.

B. Motivasi Dan Jalan Yang Ditempuh

Motivasi utama para remaja mencari calon pasangan hidup pada umumnya karena dorongan libido,
sulit bagi nalar mereka bagaimana tanpa dorongan seksual seseorang dapat mencari jodoh, padahal
telah banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan bukan karena dorongan seksual, tetapi
karena kedewasaan intlektualnya bahkan karena ketinggian spiritualitasnya, sehingga mampu
menetralisir emosinya. Ibarat orang mau makan, biasanya nafsu makan itu menjadi pendorong
awal, tetapi toh masih bisa diimbangi dengan kesadaran ilmiyah menyangkut nutrisi yang
dibutuhkan, sehingga dapat memilih mana makanan yang sehat dan mana yang tidak.

Membangun motivasi ini bukan hal sederhana apalagi bagi ABG. Remaja pada umumnya setelah
berkenalan dengan lawan jenis, dan libido telah mendorongnya jatuh cinta, maka semua
jalan/alternatif menjadi buntu, dunia menjadi sempit, tidak ada lagi yang namanya kedewasaan
berfikir dan kesadaran agama. Oleh karena itu peran orang tua dan pendidikan sangatlah
menentukan bagi lahirnya kedewasaan dan kesadaran tersebut, sehingga motivasi remaja dalam
memilih jodoh dapat dibangun.

Pada umumnya para remaja mendapatkan jalannya sendiri-sendiri, ada yang karena terjadinya
pertemuan yang intens (seprofesi), ada yang secara aktif melakukan pendekatan, ada yang melalui
perantara, lewat biro jodoh, chating dan lain-lain, bahkan ada yang mencari jodoh melalui dukun.
Sebenarnya agama itu memberi kebebasan, semua jalan bisa ditempuh, yang penting pertama, tidak
sesat, seperti perdukunan dan guna-guna, kedua; tidak dengan maksiat, yaitu perkenalan yang tidak
mengandung dosa, seperti menjaga aurat, tidak menyepi berdua, kalau mau bicara di pasar dan
sebagainya. Ta’aruf yang halal menurut Islam untuk menjajaki calon pasangan yang dicari sesuai
kriteria agama. Ketiga; melalui perantara orang-orang shalih/ alim. Hal ini lebih baik karena mereka
lebih netral, mengetahui konsep agama dan konsep kafa’ah sehingga sang perantara akan berusaha
mengetahui calon yang akan dipertemukan, menyangkut agama, keturunan, kedudukan dan tingkat
kesetaraan antara keduanya. Keempat; adalah dengan shalat istikharah yang dilakukan ketika
belum memiliki kecenderungan pilihan, sebab kecenderungan itu akan membuat istikharahnya
terhijab.

Keempat cara tersebut bisa diambil salah satu, dua, atau gabungan semuanya.

C. Kriteria Wanita Shalihah

“Wanita itu dikawini karena empat hal: pertama karena kecantikannya, kedua karena hartanya,
ketiga karena nasabnya dan keempat karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, hidupmu
akan bahagia” (HR Bukhari dan Muslim)

Urutan ”cantik, harta, nasab dan agama” adalah cara bicara Nabi SAW sesuai naluri lawan bicaranya
(Al Hadis) yaitu pemuda, sehingga cantik menjadi urutan pertama, padahal urutan dimaksud
sebenarnya dibalik, yaitu “ agama, nasab, kedudukan/harta, baru kecantikan”. Bahkan Rasulullah
SAW melarang dan mengancam laki-laki yang memilih wanita bukan karena agama:

“Jangan kalian mengawini wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan membuatnya
sombong. Dan jangan pula karena hartanya, bisa jadi kekayaannya membuat dia melawan, tetapi
kawinilah wanita karena agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lagi pesek namun
beragama itu lebih baik.”(HR Ibnu Majah)

Agama yang dimaksud bukan hanya ilmu agama (knowledge) tapi “dzaatuddin”, memiliki kesadaran
agama. Pilihan agama berada pada peringkat tertinggi karena pertama; meyakini bahwa perjodohan
yang ia alami adalah pilihan Tuhan yag terbaik, sehingga akan berusaha menjaganya, menyelesaikan
semua masalah melalui ajaran agama, dan dapat menerima kenyataan hidup dalam rumah tangga
dengan modal keyakinan terhadap janji Tuhan sehingga konsekwensinya harus kuat bertawakkal.
Kedua; taat kepada suaminya selama pasangannya itu tidak maksiat kepada Allah, ; ketiga; menjaga
diri dan harta suaminya, dengan menahan diri belanja sesuatu yang tidak prioritas dan kurang
bermanfaat bagi keluarganya. Keempat; berusaha memberikan kasih sayang kepada suami dengan
mensyukuri dan merispon positif, apapun yang diberikan kepadanya (mawaddah).

Mencari gadis yang memiliki keempat potensi tersebut bukan hal mudah, sehingga disamping
mengenal betul kehidupan keluarganya, juga tidak dapat mengabaikan pendekatan spiritual.

Rahasia perumpamaan ladang bagi wanita (Al Baqarah: 223) antara lain bahwa ladang lebih
menentukan unggulnya bibit yang akan dilahirkan, daripada benihnya. Betapapun unggul benih,
jika lahannya gersang, maka disamping akan banyak memakan biaya dan tenaga, juga tidak mampu
menjamin keunggulan bibit yang akan terlahir.

Wanita beragama mampu menggunakan sifat-sifat keibuannya hanya untuk membimbing anak-
anaknya. Sifat keibuan wanita ini didukung oleh dua hal, pertama; wanita itu memiliki rasa cinta
lebih besar yang karenanya besar pula pengorbanan demi anak-anaknya, kedua; memiliki
kelembutan rasa yang karenanya anak-anak lebih dekat dan dalam kehangatan dekapannya
(Quraish Shihab). Dua sifat menonjol itu tidak dapat diganti oleh siapapun dan sangat diperlukan
bagi pertumbuhan anak. Tetapi jika dua sifat itu tidak untuk anak-anaknya (keluar dari fitrah), maka
efek negatifnya justru akan lebih besar. Seperti rasa cinta wanita terhadap harta, memiliki
resistensi tinggi dalam persaingan hidup, atau jika kelembutan rasa yang dimiliki ibu (cerewet) itu
untuk suami, maka akan sangat negatif. Ibu cerewet terhadap anak-anaknya sangat positif (Ayah
Edi), sedang cerewet terhadap suami menjadi sebaliknya.

Adapun memilih wanita karena keturunan yang baik, keuntungannya antara lain, pertama; ia
memiiki genetika yang sangat potensial untuk dibentuk menjadi manusia yang baik, kedua; memiliki
sifat-sifat yang telah dibentuk oleh lingkungannya, ketiga; mendapatkan do’a dari nenek moyangnya
yang memungkinkan hati menjadi lunak untuk mendapat bimbingan agama dan kebanaran.

Memilih wanita karena kedudukan atau kekayaan pada umumnya, Pertama, kedudukan dan
kekayaan (yang wajar) itu berkaitan dengan kecerdasan, pengetahuan dan ketrampilan, Kedua,
Kedudukan juga berkitan dengan etika, menjaga adat istiadat dan tata pergaulan alias berbudaya.

Sedang memilih wanita karena kecantikannya tidak ada kelebihan kecuali kecantikan itu sendiri.
D. Kriteria Laki-laki yang Bertanggung Jawab

Pada dasarnya kriteria pertama laki-laki yang baik adalah sama dengan kriteria wanita yaitu agama,
keturunan, kedudukan dan ketampanan. Hanya saja agama bagi laki- laki, adalah :

a. Untuk menjaga benih dalam dirinya, tidak dicemari dengan maksiyat-maksiyat.

b. Membuatnya (secara agama) mampu memilih ladang dan mengolahnya dengan baik, atau
memilih dan membimbing istrinya kelak.

Kriteria kedua bagi laki-laki adalah memiliki “Qawwam” kemandirian atau tanggung jawab yang
didukung oleh dua hal. Pertama; punya kelebihan diantara laki-laki lain dalam hal tertentu, yang
secara subjektif-eksklusif menjadi magnit yang mengikat pasangannya. Kedua; punya harta yang
dibelanjakan untuk keluarganya (An Nisa’: 34)

Adapun nasab itu penting bagi laki-laki, karena posisinya sebagai pembawa bibit, sehingga laki-laki
sebagai petani yang memilih ladang subur, mengolah sekaligus membawa dan menjaga bibit yang
dimiliki.

Wali perempuan harus mengetahui agama dan tanggung jawab calon menantunya, karena sadar
bahwa kepadanyalah ladang buah hatinya itu akan diserahkan. (Al Baqarah 223)

Disamping sebagi petani, laki-laki juga dituntut untuk hanya cenderung kepada istrinya bukan
menuruti keinginannya kepada wanita lain atau punya kecenderungan seks menyimpang. (QS. Ar
Rum: 21)

Dengan ini maka remaja perlu mengetahui bahwa kriteria calon istri maupun suami memiliki
keterpaduan yang serasi sebagai berikut:
Laki-laki

Wanita

a. Agama

b. Sifat Kebapakan

c. Punya Kelebihan

d. Mampu beri nafkah

e. Hanya Cenderung Pada Istri

(Rahmah)

a. Agama

b. Sifat keibuan

c. Taat

d. Mampu menjaga

e. Memberi respon positif (sehingga

Suami hanya cenderung padanya)

(Mawaddah)
E. Konsep Kafa’ah

Secara bahasa kafa’ah adalah setara, seimbang atau cocok. Dalam istilah fiqih Kafa’ah adalah
kecocokan pasangan ditinjau dari segi agama dan status sosial. Tolok ukur kafa’ah pada zaman nabi
SAW, disamping agama, lebih tertuju pada status sosial, seperti laki-laki merdeka dengan
perempuan merdeka, budak dengan budak, bangsawan dengan bangsawan, rakyat jelata dengan
yang sederajat, dan seterusnya.

Ada tiga hal yang menjadi standar kafa’ah dalam ajaran Islam, pertama, sama-sama tidak musyrik
dan bukan pezina; kedua, kesetaraan dalam kriteria laki-laki dan wanita sebagaimana penjelasan di
atas; ketiga, kesetaraan ”harga diri”

Menurut pandangan Abu Hanifah, menikah itu adalah jual beli (Bidayatul Mujtahid) yaitu menukar
sesuatu dengan harga (nilai) yang seimbang, yang jika diungkapkan dengan kata-kata menjadi “Saya
membeli harga diri kamu dengan harga diri saya” artinya apa yang diterima dan yang diberikan oleh
laki-laki memiliki bobot nilai yang sepadan dengan apa yang diterima dan yang diberikan oleh
perempuan.

Kafa’ah yang diajarkan agama akan menjamin lestarinya hubungan suami-istri sehingga kafa’ah ini
disamping bermanfaat untuk menyempurnakan separuh agamanya atau menyempurnakan akhlaq,
juga bagi pemenuhan kebutuhan hidup baik biologis, psikologis maupun social, sehinggamanfaat
tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Jika kecocokan tersebut dalam berpegang pada ajaran agama, maka:

a. Akan meningkatkan kesabaran dan menghilangkan sifat egois masing-masing serta meningkatkan
sifat kasih sayang, saling menghargai, saling mengingatkan/ menasehati dan tolong-menolong.

b. Semua masalah keluarga yang muncul akan cepat teratasi, karena sama-sama sepakat meninjau
masalah tersebut berdasarkan agama, serta dapat mengatasi semua kesenjangan antara keduanya,
seperti perbedaan status social, back ground masing-masing, perbedaan tingkat pendidikan dan
budaya.
c. Meningkatkan tawakkal dan harapan kepada Allah SWT. Karena dalam hubungan suami istri
ternyata banyak keinginan masing-masing yang tidak dapat dipenuhi oleh pasangannya, dan
manusia tidak tahu dengan rencana Tuhan terhadapnya.

2. Jika kecocokan tersebut dalam status sosial, maka hal ini akan dapat mengurangi konflik yang
melibatkan keluarga masing-masing, terutama tidak adanya fihak yang merasa gengsinya turun
akibat pernikahan mereka.

3. Jika kecocokan tersebut pada tingkat pendidikan akan melahirkan saling pengertian, karena
masing-masing dapat memahami urusan dan keputusan yang diambil oleh pasangannya.

4. Jika kecocokan tersebut dalam hasrat seksualnya, maka akan saling menjaga mood
pasangannya sehingga menghindari terjadinya penyelewengan. Dan tentu masih banyak manfaat
lain yang tidak mungkin dapat dituangkan dalam makalah ini.

F. Kesimpulan

1. Mencari calon pasangan hidup tergantung pada motivasi, jalan yang ditempuh, menyadari posisi
dirinya, mengetahui kriteria menurut agama dan mempertimbangkan konsep kesetaraan (kafa’ah)

2. Pendekatan yang ideal adalah melalui keterpaduan antara emosi, intlektual dan spiritual, sesuai
objeknya yang memiliki tiga dimensi yaitu fisik, psikhis dan rohani.

3. Kriteria ideal untuk laki-laki dan perempuan menurut agama telah menggambarkan
keseimbangan dalam keberagamaan keduanya, dalam sifat maskulin dan femininnya, dalam
tanggungjawab laki-laki dan dukungan kesalihan perempuannya, dan dalam potensi masing-masing
untuk mencurahkan kasih sayang terhadap pasangnnya (mawaddah dan rahmah).

4. Konsep kafa’ah dalam agama jika dapat direalisasikan akan menjamin lestarinya hubungan
suami-istri dan bermanfaat bagi penyempurnaan agama atau peyempurnaan akhlaq, dan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup baik biologis, psikologis maupun social.

Penulis,
Drs Abdul Munir

Widyaiswara Muda

BDK Banjarmasin

Daftar Pustaka

Al Qur’an Al Karim.

Ayah Edi, Seminar Optimalisasi Pendidikan Anak, 2007, Banjarmasin

Ibnu Rusd Al Qurtubi, Bidayah Al Mujtahid Wa Nihayah Al Muqtashid, Juz II, Haramain, cet. III,
Jeddah

Quraish Shihab, Perempuan, Lentera Hati, Cet III 2006, Jakarta

Quraish Shihab, Pengantin Al Qur’an, Lentera Hati, Cet IV, 2007, Jakrta

Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, Jilid I, Lentera Hati, Cet III, 2010, Jakarta

Wahbah Al Rahili, Al Fiqh Al slami Waadillatuhu, Juz 7, Dar Al Fikri, Beirut

Sayid Sabiq, Fiqhu Al Sunnah, Jilid II, Darul Fikri Beirut

Anda mungkin juga menyukai