BJ. HABIBIE
DISUSUN OLEH:
C1E118119
KENDARI
2019
A. Pemikiran politik pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Pada dasarnya Pemikiran politik B.J Habibie berbeda dengan pemerintahan yang pernah
ada di Indonesia, B.J Habibie bermodalkan ilmu pengetahuan (Sains) dan teknologi dalam
menjalankan pemerintahannya yang singkat, B.J Habibie lebih menonjol kepada kemampuan
Teknokrasi dari pada Demokrasi, akan tetapi karena rasa Nasionalismenya yang kuat dan
semangatnya dalam membela NKRI, B.J Habibie dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan (Sains)
dan Teknologi untuk membantu Indonesia dalam masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi.
Lalu ketika B.J Habibie menjadi Presiden ke-3, dia membuat salah satu konsep yaitu Second
Nature Habibie untuk mengatasi krisis yang ditinggalkan Orde baru. Konsep itu berisikan Teori
Toleransi Akumulasi Kerusakan atau Accumulated Damage Toleranci Theory (TTAK) dimana
dalam teori tersebut seorang konseptor pesawat udara secara otomatis akan mendiagnosis
berbagai potensi kerusakan, baik yang dialami oleh tubuh pesawat maupun mesin kendaraan
tercepat itu. Artinya B.J Habibie mendefinisikan Negara bekas Orde Baru adalah sebuah pesawat
yang rusak, sehingga pesawat itu harus diperbaiki / diganti yang rusaknya maka itu berarti semua
sistem yang dianggap tidak sesuai / tidak baik di masa Orde baru maka sistem tersebut harus
diganti atau diperbaiki sehingga sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, yang menginginkan
adanya Demokrasi kembali.
b. Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam
pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali bermunculan
media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi
organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen)
dapat melakukan kegiatannya.Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media
tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang
memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan
negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit
ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State University,
William Liddle mengaku sempat shockmenyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun
pemerintah dan membaca isi koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan
kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai
sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu
dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya
mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR. Itulah sebabnya setahun setelah
reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang
terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum
menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48
Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai.
Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik
terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah:
1. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri
meraih 153 kursi
2. Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi
3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 Kursi
4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi
5. Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 Kursi
6. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi
7. Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi
8. Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 Kursi
9. Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5 kursi
10. Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4
kursi.
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting terjadi
dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatornya. Pertimbangan mendasar
yang melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara lain:
Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar, komplek dan multidimensional,
atas dasar itu TNI harus segera menyesuaikan diri.
TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta merespon aspirasi rakyat.
TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif, sebagai komponen bangsa yang lainnya,
bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik
Orba
ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai langkah perubahan politik internal, yang
berlaku tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI,
Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan
Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar
dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI
dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta pembubaran Bakorstanas dan
Bakorstanasda. Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai kalangan sebagai upaya
reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat, khususnya tentang persoalan
eksis peran Sospol ABRI yang diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI
g. Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan
gejolak moneter dibanding saat awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan
ekonomi belum sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai kebijakan
yang kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya kasus
penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan
momentum pemulihan ekonomi.
Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum Nasional,
Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya
kembali pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank
mengikuti program rekapitulasi. Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak goreng
dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap meningkatnya harga
beras walaupun telah dilakukan operasi pasar, ditemui juga penyelundupan beras keluar
negeri dan penimbunan beras.
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, Wachid. 2002. Kebijakan Opsi Kemerdekaan Presiden Habibie Pada Jajak Pendapat di
Timor Timur. Depok : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI
Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran
Demokrasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada