“5 KAIDAH ASSASIYAH”
Dosen Pembimbing :
DISUSUN OLEH :
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
karunia kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “5
KAIDAH ASSASIYAH” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa sholawat beriring salam
kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti ini.
Makalah ini dibuat guna melengkapi tugas mata kuliah USHUL FIQH, kami
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
A. 5 KAIDAH ASSASIYAH
“Niat seorang mukmin itu lebih baik dari pada amalnya (tanpa niat)”
Artinya : seorang mukmin niat beramal karena allah, kemudian dia tidak dapat
melaksanakannya, dia mendapat pahala. Sedangkan seorang mukmin beramal saja
tanpa ada niat karena Allah, tidak mendapat pahala.
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kcuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
يردثواب ومن منها نؤته نيا الد ثواب يرد ومن كتبامؤجال هللا أالبأدن لنفس كان وما
وسنجزى منها نؤته األخرة
Artinya : “ sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.dan
kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
“Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat” (HR.Anas Ibn Malik ra.)
d). Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah
انمااالعمالبالنيات
b). ﺔَﻴﺍﻠﻨﱢ ِﺪﺮﱠَﺠُﻣِﺒ ِ ِﻪﻟْﺻَﺃ ْﻦَﻋ ُ ِﻞﻘَﺗْﻨَﻴ َﻼَﻔ ٌﻞْﺻﺃ ُﻪﻠ َﻦﺎَﻜ ﺎَﻣ ﻞﱡُﻜ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena
semata-mata niat”
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita
melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita
berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya
melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan
puas tersebut batal untuk dilaksanakan.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu
dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud
dari perkataannya tersebut.
Contoh : kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan
sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan
yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang
tidakbaik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung
maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja
ataukah hanya sekedar bercanda.
NIM : 622018022
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda. Bahkan bisa
dikatakan berlawanan. Hanya saja keyakinan dan keraguan tergantung pada lemah-
kuatnya iman seseorang. Makna Al yaqinu terbagi dari beberapa istilah.
1. Al-yaqin
2. Asy-Syakk
Menurut bahasa berarti anonim dari Al-yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu
yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada. Hukum yang bersifat tetap dan
pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut
tidak boleh saling bertentangan. Contoh apabila seseorang memiliki harta yang
diperolehnya melalui jual beli , warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan
benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan tersebut tidak bisa berpindah
tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut
berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal
tersebut bersifat tetap dan pasti.
B. Landasan Hukum
ِسو ُِل قَا َِل قَا َِل ُه َري َر ِةَ أَبي عَن ِصلﱠى ﱠ
ُ ّللا َر ِعلَيهِ ﱠ
َ ّللا َ علَيهِ فَأَش َك َِل شَيئ ًا بَطنهِ في أ َ َح ُدكُمِ َو َج َِد إ َذا َو
َ سلﱠ َِم َ
ِال َِال أَمِ شَيءِ من ِهُ أ َ َخ َر َج َ ِري ًحا يَج َِد أَو
َِ َصوت ًا يَس َم َِع َحتﱠى ال َمسجدِ منَِ يَخ ُر َجنﱠِ ف
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah bersabda : "Apabila salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah
sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya
sampai dia mendengar suara atau mencium bau." (HR. Muslim).
"Dari Abu Sa'id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : "Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan
shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu
bisa membuat jengkel setan." (HR. Muslim)
2. ُ( الذ ﱠمةِ َب َر َء ِةHukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
( بأَق َرب ﱠAsal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
4. الز َمأنِ ُر ُِه تَقَدِ َحادثِ كُلِ في
6. ( مثلهِ باليَقينِ يُ َزا ُِلApa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan
pula)
7. َِ( َيقينِ إ ﱠِال يُرتَفَ ُِع َِال َيقينِ َماث َ َبتApa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa
hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
8. ( ال َحقيقَ ِةُ الك ََالمِ فيHukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
( َخ َطا ُءهُِ يَظ َه ُِر الﱠذي بال ﱠTidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas
10. ِظن
salahnya)
فهو كان معنى ي ال وتيقن طة حا اال طريق من الشيء ثبوت عرف متى انه حنيفة ابي عند االصل
بخالفه يتيقن مالم ذلﻙ على
“Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala
segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan
penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”
NIM : 622018022
Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan yang mengharuskan adanya
kemudahan. Maksudnya suatu hukum yang mengandung kesulitan didalam
pelaksanaannya atau berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaannya baik
kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, maka harus diringankan
sehingga tidak menyulitkan dan membahayakan lagi.
2. Dalil atau dasar kaidah ر ُ شقَةُ ِتَجل
ُِ ب ِالتَيسي َ “( ال َمKesulitan mendatangkan
kemudahan”)
Terdapat dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi ketiga ini. Dasar-
dasar tersebut berupa Al Qur’an dan Sunnah.
a) Al Qur’an
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”
Menurut imam Nawawi, kesulitan itu menjadikan 8 macam keringanan, yaitu boleh
mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari
semalam, meningglkan jum’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan
kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.
b. Sakit
Sakit merupakan salah satu alasan hukum (‘udz syar’i) yang dijadikan sebagai
sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran dari subyek hukum
(mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang terjadi pada fisik manusia
dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh.
Perbedaan antara ketidak pengetahuan (jahl) dan lupa (nisyan) jika lupa termasuk
perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri manusia sehingga tidak
kuasa ditolaknya. Sedangkan keodohan atau ketidaktahuan dapat dihindari manusia
dengan jalan pembelajaran.
Kekurangan alamiah adalah salah satu alasan hukum ayang sah (udzur) yang
meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’I. Terkaid
dengn wanita syara’ telah banyak memangkas banyak beban kewajiban dari pundak
mereka dibandingkan dengan beban kewajiban yang dipikul laki-laki , misalnya
kewajiban shalat agama.
4. Macam-macam keringanan
3. Takhlif ibdal atau keringanan penggantian, Misalnya, salah satu syarat untuk
melakukan shalat adalah wudhu tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat
menggantikan wudhu dengan tayamum.
Kaidah ini merupakan dasar bagi bab rukhshah dalam kitab-kitab fiqih.
Secara bahasa rukhshah adalah keringanan dalam mengerjakan suatu urusan
Dengan deikian, dapat kita pahami bahwa rukhshah adalah hukum alternative
yang telah ditentukan syara’ yang dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Oleh
karena itu, rukhshah tidak berarti penyimpang dari hukum.
NIM : 622018042