Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BERANTAI USHUL FIQH

“5 KAIDAH ASSASIYAH”

Dosen Pembimbing :

MOH. DAPIET S.H.I., M.H.I

DISUSUN OLEH :

1. PRIMA AZZAHRA : (622018036)


2. MELIANA SYAPUTRI : (622018022)
3. VERA ANDANI : (622018043)
4. CHOIRYNISAA : (622018003)
5. TASYAH PUTRI NANDA : (622018034)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
karunia kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “5
KAIDAH ASSASIYAH” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa sholawat beriring salam
kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti ini.

Makalah ini dibuat guna melengkapi tugas mata kuliah USHUL FIQH, kami
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua. Aamiin yarobbal alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


PEMBAHASAN

A. 5 KAIDAH ASSASIYAH

1. KAIDAH ASSASIYAH PERTAMA ( Al-Umuru Bima Qhosidiha)

Segala perkataan tergantung pada niatnya kaidah diatas memberi pengertian


bahwa setiap amal perbuatan, baik berupa perkataan maupun perbuatan diukur
menurut niat orang yang berbuat.Dalam perbuatan ibadah, yaitu amal perbuatan
dalam hubungannya dengan Allah, niat (karena dan untuk Allah) adalah merupakan
rukun, sehingga menentukan sah atau tidaknya sesuatu amal.Sedangkan dalam
perbuatan yang ada hubungannya dengan sesama makhluk seperti muamalah,
munakahah, jinayah dan sebagainya.Niat adalah merupakan penentu apakah
perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah, sehingga merupakan
perbuatan mendekatkan diri kepada Allah atau bukan ibadah.

Niat harus sudah ada pada permulaan melakukan perbuatan, sedangkan


tempat niat didalam hati, sehingga untuk mengetahui sejauh mana niat dari yang
berbuat.Harus kita ketahui bukti-bukti yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui
macam niat orang yang berbuat.Dalam amal kemasyarakatan misalnya, dapat
diketahui dengan bukti yang ada, apakah perbuatan tersebut karena Allah atau
karena manusia. Niat disamping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat
merupakan ibadah tersendiri seperti yang dapat difahamkan dari hadits Nabi :

‫عمله خيرمن المؤمن نية‬

“Niat seorang mukmin itu lebih baik dari pada amalnya (tanpa niat)”

Artinya : seorang mukmin niat beramal karena allah, kemudian dia tidak dapat
melaksanakannya, dia mendapat pahala. Sedangkan seorang mukmin beramal saja
tanpa ada niat karena Allah, tidak mendapat pahala.

B. Landasan Kaidah Al-Umuru bimaqashidiha

a) . QS. AL-Bayyina ayat 5


‫الدين له مخلصين هللا ليعبدوا إال أمروا وما‬

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kcuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama yang lurus”

b). QS. Ali Imron ayat 145

‫يردثواب ومن منها نؤته نيا الد ثواب يرد ومن كتبامؤجال هللا أالبأدن لنفس كان وما‬
‫وسنجزى منها نؤته األخرة‬

Artinya : “ sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.dan
kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

c). ‫له نية لمن العمل‬

“Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat” (HR.Anas Ibn Malik ra.)

d). Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah

‫انمااالعمالبالنيات‬

“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”

C. Cabang kaidah Al-Umuru bimaqashidiha

a). ‫والمباني لأللفاظ والمعاني للمقاصد العقــود فى العبرة‬

Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata


dan ungkapannya. Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat
atau maksud si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap
sebagai suatu akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih
dapat diketahui.
Contoh : apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya,
tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan
permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli
dengan segala akibatnya.

b). ‫ﺔَﻴﺍﻠﻨﱢ ِﺪﺮﱠَﺠُﻣِﺒ ِ ِﻪﻟْﺻَﺃ ْﻦَﻋ ُ ِﻞﻘَﺗْﻨَﻴ َﻼَﻔ ٌﻞْﺻﺃ ُﻪﻠ َﻦﺎَﻜ ﺎَﻣ ﻞﱡُﻜ‬

“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena
semata-mata niat”

Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita
melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita
berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya
melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan
puas tersebut batal untuk dilaksanakan.

‫ِﺔَﻴﺎﻟﻨﱢِﺒ ﻻﱠِﺇ َﺐﺍَﻮَﺜ َﻻ‬

“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan


yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang
mahdah maupun ibadah yang ‘ammah.Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa
untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat.Sesuatu
perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah
SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala.

Contoh : seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang


lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal
ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi
ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala.
Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat
imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu
sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh
dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena
Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
c). ُ‫ﺍﻠﻼَﻔِﻇ ﻨِﻴَﺔِ ﻋَﻟَﻰ اللفظِ ﻣَﻘَﺎﺻِﺪ‬

“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.

Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu
dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud
dari perkataannya tersebut.

Contoh : kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan
sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan
yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang
tidakbaik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung
maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja
ataukah hanya sekedar bercanda.

NAMA : PRIMA AZZAHRA

NIM : 622018022

KAIDAH ASSASIYAH KEDUA

2.ِِ‫ ﺍلﻴَقﻦُِالَِِﻴُﺰَاﻞُﺒالﺸﱠﻙﱢ‬Keyakinan Tidak Dapat Dihilangkan dengan


Adanya Keraguan

A. Keyakinan dan Keraguan

Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda. Bahkan bisa
dikatakan berlawanan. Hanya saja keyakinan dan keraguan tergantung pada lemah-
kuatnya iman seseorang. Makna Al yaqinu terbagi dari beberapa istilah.

1. Al-yaqin

Menurut bahasa berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.


Sedangkan menurut istilah adalah meyakini sesuatu bahwasanya dengan
berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan realita yang ada tanpa ada
kemungkinan untuk menghilangkannya.

2. Asy-Syakk

Menurut bahasa berarti anonim dari Al-yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu
yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada. Hukum yang bersifat tetap dan
pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut
tidak boleh saling bertentangan. Contoh apabila seseorang memiliki harta yang
diperolehnya melalui jual beli , warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan
benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan tersebut tidak bisa berpindah
tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut
berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal
tersebut bersifat tetap dan pasti.

B. Landasan Hukum

ِ‫سو ُِل قَا َِل قَا َِل ُه َري َر ِةَ أَبي عَن‬ ِ‫صلﱠى ﱠ‬
ُ ‫ّللا َر‬ ِ‫علَيهِ ﱠ‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫علَيهِ فَأَش َك َِل شَيئ ًا بَطنهِ في أ َ َح ُدكُمِ َو َج َِد إ َذا َو‬
َ ‫سلﱠ َِم‬ َ
ِ‫ال َِال أَمِ شَيءِ من ِهُ أ َ َخ َر َج‬ َ ِ‫ري ًحا يَج َِد أَو‬
َِ َ‫صوت ًا يَس َم َِع َحتﱠى ال َمسجدِ منَِ يَخ ُر َجنﱠِ ف‬

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah bersabda : "Apabila salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah
sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya
sampai dia mendengar suara atau mencium bau." (HR. Muslim).

ِ‫سعيدِ أَبي عَن‬


َ ِ‫سو ُِل قَا َِل قَا َِل ال ُخدري‬ ِ‫صلﱠى ﱠ‬
ُ ‫ّللا َر‬ ِ‫علَيهِ ﱠ‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ص َالتهِ في أ َ َح ُدكُمِ شَﻙﱠِ إ َذا َو‬
َ ‫سلﱠ َِم‬ َ ِ‫كَمِ يَدرِ فَلَم‬
َ ‫علَى َوليَبنِ الشﱠﻙﱠِ فَليَط َرحِ أَربَعًا أَمِ ث َ َالثًا‬
‫صلﱠى‬ َ ‫سل َِم أَنِ قَب َِل‬
َ ‫سج َدتَينِ يَس ُج ُِد ث ُ ﱠِم استَيقَنَِ َما‬ َ ُ‫صلﱠى كَانَِ فَإنِ ي‬
َ
ً ‫شفَعنَِ َخم‬
‫سا‬ َ ُ‫ص َالت َ ِهُ لَ ِه‬ َ ‫للشﱠي َطانِ تَرغي ًما كَانَتَا ألَربَعِ إت َما ًما‬
َ ِ‫صلﱠى كَانَِ َوإن‬

"Dari Abu Sa'id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : "Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan
shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu
bisa membuat jengkel setan." (HR. Muslim)

C. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak dibagi


menjadi sebagai berikut.

1. ‫( َماكَانَِ َماكَانَعَلَى بَقا ُِء‬Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun


keberadaannya)

2. ُ‫( الذ ﱠمةِ َب َر َء ِة‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)

3. ‫( العَ َد ُِم‬Hukum asal adalah ketiadaan)

‫( بأَق َرب ﱠ‬Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
4. ‫الز َمأنِ ُر ُِه تَقَدِ َحادثِ كُلِ في‬

5. ‫علَى الدﱠلي ُِل يَ ُد ﱠِل َحتﱠى اْلبَا َح ِةُ األَشيَاءِ في‬


َ ِ‫( التﱠحريم‬Hukum asal segala sesuatu adalah
kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)

6. ‫( مثلهِ باليَقينِ يُ َزا ُِل‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan
pula)

7. َِ‫( َيقينِ إ ﱠِال يُرتَفَ ُِع َِال َيقينِ َماث َ َبت‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa
hilang kecuali dengan keyakinan lagi)

8. ‫( ال َحقيقَ ِةُ الك ََالمِ في‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)

9. ‫( التﱠحري ُِم األَبضَاعِ في‬Hukum asal bersenggama adalah haram)

‫( َخ َطا ُءهُِ يَظ َه ُِر الﱠذي بال ﱠ‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas
10. ِ‫ظن‬
salahnya)

11. ُ‫( للت ﱠ َو ُّهمِ عب َر ِة‬Tidak diakui adanya)


D. Kaidah-kaidah Lanjutan

Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la


yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab
Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa:

‫فهو كان معنى ي ال وتيقن طة حا اال طريق من الشيء ثبوت عرف متى انه حنيفة ابي عند االصل‬
‫بخالفه يتيقن مالم ذلﻙ على‬

“Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala
segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan
penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”

NAMA : MELIANA SYAPUTRI

NIM : 622018022

3. Kaidah ‫ر‬ ُ ‫شقَةُِتَجل‬


ُِ ‫بِالتَيسي‬ َ ‫“( ال َم‬Kesulitan mendatangkan kemudahan”)

1. Makna Kaidah ‫ر‬ ُ ‫شقَةُِتَجل‬


ُِ ‫بِالتَيسي‬ َ ‫“( ال َم‬Kesulitan mendatangkan kemudahan”)

secara Etimologi berarti keletihan, kepayahan, dan kesempitan. Sementara al-


sya’I berarti mengiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat
lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan. Adapaun
makna terminology kaidah asasi ketiga ini adalah “Hukum yang praktiknya
menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari”at
meringankannya sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf
tanpa kesulitan dan kesusahan”

Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan yang mengharuskan adanya
kemudahan. Maksudnya suatu hukum yang mengandung kesulitan didalam
pelaksanaannya atau berpotensi mendatangkan bahaya dalam pelaksanaannya baik
kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, maka harus diringankan
sehingga tidak menyulitkan dan membahayakan lagi.
2. Dalil atau dasar kaidah ‫ر‬ ُ ‫شقَةُ ِتَجل‬
ُِ ‫ب ِالتَيسي‬ َ ‫“( ال َم‬Kesulitan mendatangkan
kemudahan”)

Terdapat dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi ketiga ini. Dasar-
dasar tersebut berupa Al Qur’an dan Sunnah.

a) Al Qur’an

ٰ ‫ض ا َن ِا ل ﱠ ذ ي ِ أ ُن ز لَ ِف يه ِال ق ُ ر آ ُن ِ ه ُ دًى ِ ل ل ن ﱠ اس ِ َو ب َ ي ن َ ات ِم َن ِال هُ د‬


ِۚ ِ ‫َى ِ َو ال ف ُ ر ق َ ان‬ َ ‫شَه ُر ِ َر َم‬
ِ ‫ِو َم ن ِ كَا َن ِ َم ر ي ضًا ِ أ َو ِ عَ ل َ ٰى ِ سَ ف َ ر ِ ف َ ع دﱠة ِم ن ِ أ َي ﱠ ام‬ ُ َ ‫ف َ َم ن ِ شَه دَ ِم ن ك ُ مُ ِال شﱠه َر ِ ف َ ل ي‬
َ ۖ ُِ ‫ص م ه‬
‫ِو َال ِ ي ُ ر ي دُ ِب ك ُ مُ ِال ع ُ س َر ِ َو ل ت ُك م ل ُ وا ِ ال ع دﱠ ة َ ِ َو ل ت ُكَب ُر وا ﱠ‬
ِ ‫ِّللا َ ِ عَ ل َ ٰى‬ ‫أ ُ َخ َر ِ ۗ ِ ي ُ ر ي دُ ﱠ‬
َ ‫ِّللا ُ ِب ك ُ مُ ِال ي ُ س َر‬
َِ‫َم اِ هَ دَا ك ُم ِ َو ل َ ع َ ل ﱠ ك ُم ِ ت َش كُ ُر و ن‬

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”

b. Sabda Nabi SAW

“Sesungguhnya Allah mengetahui kemudahan dengan umat ini dan tidaklah


menghendaki kesukaran dengan mereka”

3.. Sebab-sebab Adanya kesulitan


a. Safar atau bepergian

Safar atau perjalanan panjang adalah keluar mengadakan perjalanan menuju


daerah yang berjarak tempuh tiga hari perjalanan atau lebih dengan menggunakan
unta atau jalan kaki. Ataupun diperkirakan sekitar 20 1/3 jam atau 86 KM menurut
kalangan ulama mazhab hanafi. Sementara menurut kalangan ulama mazhab Syafi’I
jarak tempuhnya diperkirakan 96 KM.

Menurut imam Nawawi, kesulitan itu menjadikan 8 macam keringanan, yaitu boleh
mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari
semalam, meningglkan jum’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan
kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.

b. Sakit

Sakit merupakan salah satu alasan hukum (‘udz syar’i) yang dijadikan sebagai
sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran dari subyek hukum
(mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang terjadi pada fisik manusia
dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh.

Misalnya kebolehn bertayaum, duduk ketika shalat, meninggalkan shalat jum’at,


berbuka puasa dengan membayar fidyah, dan lain sebagainya

c. Ikrah atau terpaksa atau dipaksa

Adapun definisi paksaan (ikrah) menurut termiologi syara’a adalah menekankan


orang lain untuk melakukan suatu yang dibencinya dan tidak ingin dilakukannya
seandainya tidak ditekan. Misalnya minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia
dipaksa orang yang lebih kuat, dengan diancam akan dianiaya kalau tidak mau
minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.

d. Nisyan atau lupa

Lupa adalah ketidakmampuan, menghadirkan atau mengingat sesuatu saat


dibutuhkan. Misalnya, seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau
makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.

e. Jahl atau bodoh


Secara terminology kalangan ahli hukum syar’I mendefinisikan al jahl ketidak
pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’I baik secara keseluruhan maupun
sebagiannya. Misalnya, orang yang baru masuk islam karena tidak tahu, kemudian
makan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.

Perbedaan antara ketidak pengetahuan (jahl) dan lupa (nisyan) jika lupa termasuk
perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri manusia sehingga tidak
kuasa ditolaknya. Sedangkan keodohan atau ketidaktahuan dapat dihindari manusia
dengan jalan pembelajaran.

f. Usrun dan Umumul balwa

Al-Usr (kesulitan) adalah kesusahan kesukaran. Kesulitan identik dengan


kefakiran, sehingga laki-laki yang sulit berarti laki-laki yang rendah tingkat
toleransinya dalam segala sesuatu.

Adapun Umuml al-balwa (bencara umum) adalah bencana yang menimpa


kebanyakkan orang sehingga sulit dihindari dan dijauhi.

Misalnya, laki-laki diperbolehkan memakai sutera karena penyakit gatal dan


ditengah-tengah peperangan untuk menggetarkan hati musuh dan tidak
diwajibkannya qadha’, mengantikan shalat wajib bagi wanita haid karena kesulitan
pengulangan, tidak seperti puasa.

g. Naqsh atau kekurangan

Kekurangan alamiah adalah salah satu alasan hukum ayang sah (udzur) yang
meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’I. Terkaid
dengn wanita syara’ telah banyak memangkas banyak beban kewajiban dari pundak
mereka dibandingkan dengan beban kewajiban yang dipikul laki-laki , misalnya
kewajiban shalat agama.

4. Macam-macam keringanan

1. Taklif Isqath atau keringanan pengguguran, yaitu keringanan dalam bentuk


penghapusan seperti, tidak wajib shalat bagi wanita yang menstruasi atau nifas,
tidak wajib bagi yang tidak mampu atau istithaah
2. Takhlif tanqish atau keringanan pengurangan, Misalnya,shalat qashar bagi orang
berpergian yang telah mencukupi syarat seperti disebut dimuka.

3. Takhlif ibdal atau keringanan penggantian, Misalnya, salah satu syarat untuk
melakukan shalat adalah wudhu tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat
menggantikan wudhu dengan tayamum.

4. Takhlif taqdim atau keringanan mendahulukan, Misalnya, melakukan shalat Ashar


di waktu dzuhur, atau shalat Isya dilakukan pada waktu Magrib bagi orang yang
sedang bepergian. Ini yang disebut jama’ taqdim.

5. Takhlif takkhir atau keringanan mengakhirkan, Misalnya kebalikan dari yang no 4


tadi, yakni jama’ takkhir yaitu melakukan shalat dzuhur didalam waktu Ashar atau
mengerjakan shalat Magrib pada waktu Isya’

6. Takhlif tarkhish atau keringanan kemurahan, Misalnya, orang sedang sangat


kehausan, kalau tidak capat minum mungkin bisa mati, padahal yang ada hanyalah
arak, maka orang itu diberi keringanan boleh meminum arak tersebut.

5. Hubungan Kaidah Asasi Ketiga dengan Rukhshah

Kaidah ini merupakan dasar bagi bab rukhshah dalam kitab-kitab fiqih.
Secara bahasa rukhshah adalah keringanan dalam mengerjakan suatu urusan

Menurut al-baidhawi, rukhshah secara istilah adalah Hukum tetap yang


menyalahi dalil atau ‘azimah karena terdapat udzur.

Dengan deikian, dapat kita pahami bahwa rukhshah adalah hukum alternative
yang telah ditentukan syara’ yang dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Oleh
karena itu, rukhshah tidak berarti penyimpang dari hukum.

NAMA : VERA ANDANI

NIM : 622018042

Anda mungkin juga menyukai