Nim: 622018042
1. ILMU
Dalam pembahasan kali ini akan memaparkan definisi ilmu, sekaligus
memilah wilayah pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusia. Meski
dalam hakikatnya segala pengetahuan adalah milik Allah SWT, namun
tetap saja ada beberapa pengetahuan yang memang oleh Allah dibuat
agar dimiliki oleh manusia. Salah satu di antaranya adalah
pengetahuan untuk melakukan penafsiran terhadap teks Al-Quran.
Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqih (Jakarta:
Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2010) halaman 4 menyebutkan bahwa
secara definitif. Ilmu dimaknai sebagai berikut
هو اعتقاد الشيء على ما هو به مع سكون النفس: وقالت المعتزلة.فأما العلم فهو معرفة المعلوم على ما هو عليه
إليه وهذا غير صحيح لن هذا يبطل باعتقاد العاصي فيما يعتقد
Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa di balik sifat kemahatahuan
Allah, terdapat potensi yang Allah berikan kepada manusia untuk berpikir
dan menghasilkan pengetahuan yang didapat dari proses pencarian dalil dan
pemikiran. Sebagai contoh, akal kita tidak mungkin menerima jika Allah
memiliki tangan karena memiliki tangan adalah sifat makhluk. Sementara
Allah mustahil sama dengan makhluk (mukhalafatu lil hawadits). Oleh karena
itu kita melakukan proses pentakwilan bahwa yang dimaksud dengan tangan
di situ adalah kekuasaan.
2. DALIL
Pengertian Dalil Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil
secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada
apa yang dikehendaki”. Adapun secara terminologis para ulama ushul
berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf
menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah
“segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran
yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara
qat’i maupun secara zhani”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada
dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha
menemukan dan meneapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang
benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang
harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat
dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang
dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh
pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
والفقه بالمعنى الشرعى أخص من العلم لصدق العلم بالنحو وغيره فكل فقه علم وليس كل علم فقها
penjelasan:
Fiqh secara bahasa memiliki arti yg lebih luas daripada ilmu, karena fiqh
menurut bahasa berarti : "pemahaman (idrök)", yg bisa mencakup
pemahaman terhadap ilmu dan yang lainnya.
Yang dimaksud ilmu adalah seperti yang ditulis dalam kitab waroqot adalah :
pemahaman tentang perkara yang bisa diketahui dan sesuai dgn kenyataan
yg sebenarnya".
3. JAHIL
Jahl adalah menggambarkan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang ada
padanya, seperti pemahaman filosof bahwa alam, yaitu selain Alllah, adalah
qodim (tidak dimulai dengan tidak ada). Sebagian ulama membagi jahl
menjadi dua; Jahl murakkab yaitu penggambaran sesuatu yang tidak sesuai.
Disebut murakkab yang artinya tersusun, karena kebodohan jenis ini
sejatinya mengandung dua ketidaktahuan, tidak tahu kebenaran dan tidak
tahu bahwa dirinya tidak tahu. Yang kedua disebut jahl basith, yaitu ketidak
tahuan atas sesuatu seperti tidak mengetahui kandungan apa yang berada
dibawah bum
1. jahl murokab, yaitu : "memahami sesuatu, tapi tidak sesuai dgn kenyataan
yg sebenarnya".
Disebut jahl murokab, karena slain pendapatnya itu keliru, mereka juga tdk
menyadari bhwa pendapatnya itu keliru. Dengan demikian, ada dua
kebodohan (murokkab) yg melekat dalm dirinya, yaitu bodoh terhadap
sesuatu dan tdk menyadari terhadap kebodohannya sendiri.
Seperti halnya ketidak tahuan kita akan apa-apa yang ada dilangit, di perut
bumi, atau apa-apa yg ada di dasar samudra. Jahl basith ini tidak termasuk
dalam definisi jahl yang dituturkan oleh penulis (imam haromain), karena jahl
menurutnya hanya ada satu macam, yaitu jahl murokab.
4. WAHM
Dengan telah diperolehnya zhan salah satu dari persoalan yang berbeda,
maka persoalan yang menjadi lawannya disebut dengan waham, yang
secara definitif berarti:
Dalam keadaan sedikit berbeda, misalnya yang jadi objek hanya satu
permasalahan, waham berarti sangat samar terhadap objek tersebut dan
lebih berat kepada ketidaktahuan, sehingg hati lebih condong untuk
mengingkarinya. Selanjutnya, seperti terlihat dari defenisi di atas, ternyata
penalaran masih membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu pemikiran.
Pemikiran itu diartikan dengan: Pemikiran adalah aktivitas jiwa berkaitan
dengan objek yang masuk akal.
Contoh: Dalam menyelesaikan permasalahannya, ilmu membutuhkan
penalaran, apakah penalaran sederhana atau rumit dan sistematis.
Penalaran itu sendiri diartikan dengan: Penalaran adalah pemikiran yang
menghasilkan ilmu (keyakinan) atau dugaan kuat (zhan).
5. SYAKK
"menganggap mungkin atas terjadinya dua perkara dan tdk ada yg lebih
kuat diantara keduanya, menurut pandangan org yg beranggapan".
6. PEMIKIRAN
Pemikiran adalah aktivitas jiwa berkaitan dengan objek yang masuk akal.
Contoh
7. PENALARAN
Contoh:
8. ZHAN
Contoh
Dalam surat al-Baqarah ayat 219 terdapat lafaz yang musykil, yaitu kata
quru` ( )والمطلققققاتا يتربصقققن بأنفسقققهن ثالثاقققة ققققروءsebagai batas masa ‘idah. Ulama
Hanafiyah, dengan dikuatkan oleh berbagai dalil lain, menyataka bahwa kata
quru` itu berarti “haid”. Sementara ulama Syafi’iyah, juga dilandaskan pada berbagai
dalil, menyatakan bahwa ia berarti “suci”.