Anda di halaman 1dari 14

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leukosit
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh.
Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing
yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunan-
turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun,
suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau
menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi “diri normal” (Sherwood,
2012).
Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit,
monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-
sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah
sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami
peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat
dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).
Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di
dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil
polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadang-
kadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear,
seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut
granulosit (Guyton dan Hall, 2007).
Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per
mikroliter darah. Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut
(Guyton dan Hall, 2007):

Universitas Sumatera Utara


7

Tabel 2.1 Persentase Normal Sel Darah Putih


Jenis Jenis Leukosit Persentase Sel Normal

Netrofil polimorfonuklear 62,0 %

Eosinofil polimorfonuklear 2,3%

Basofil polimorfonuklear 0,4%

Monosit 5,3%

Limfosit 30,0%

Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem
hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel
committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah putih.
Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan limfositik.
Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang berupa
mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan sel
muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).
Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit
dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar limfe,
limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum tulang
dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).
Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit,
disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi.
Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin
akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam
seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini
sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit
sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada
sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall,
2007).

Universitas Sumatera Utara


8

Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya


4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada
keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali
berkurang. Hal ini dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang
terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu
sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).
Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di
dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, sel-
sel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag
jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi
sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam
jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).
Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran
limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa
jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.
Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya.
Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel
tersebut (Guyton dan Hall, 2007).

2.2 Procalcitonin
2.2.1 Biosintesis dan Patofisiolgi Procalcitonin
Procalcitonin (PCT) pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid
carcinoma. PCT adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan
berat molekul 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada
kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari
calcitonin (Balci C, 2003; Whicher K, 2001).

Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue-spesific


alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exon yang

Universitas Sumatera Utara


9

merupakan kode untuk pre-PCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari
141 asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam
amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik
menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32 AA) dan
katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara
intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua di potong secara
terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin
Gene-Related Peptide (CGRP), dimana CGRP diekspresikan secara luas pada
saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan
dalam immunomodulasi,neurotransmitter dan mengontrol vaskuler (Meissner M,
2002; Rau B, 2004).

Gambar 2.1. Skema Asam Amino dari Procalcitonin.


Sumber : Tannafos, 2008

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C
cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-
produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small cell
carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear

Universitas Sumatera Utara


10

darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamatory dan


lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit
manusia yang tidak di stimulasi mengandung protein PCT yang dapat
didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida
bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal
yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh
lipopolisakarida(LPS) (Simon L et.al, 2004; Whicher J,2001).

Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal
sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein precursor, begitu juga
fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang
dirangsang oleh inflamasi belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel
neuroendokrin di paru atau usus saat ini dianggap sumber utama PCT, karena
pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada
keadaan sepsis (Meissner M, 2002; Whicher J,2001).

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi
lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah yang rendah. Peninggian konsentrasi PCT,
pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6
hingga 8 jam kadar PCT akan meningkat dan mencapai plateu dalam waktu ± 12
jam. Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan
cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari
PCT pada pasien dengan infeksi bakteri berat atau sepsis. Keadaan ini
memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut (Simon L et.al, 2004;
Rau B et.al,2004).

Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah,
karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi berat
yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat hingga melebihi 100
ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang hanya 10 menit, PCT
memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25-30 jam (Vienna, 2000; O’Connor E
et.al, 2001).

Universitas Sumatera Utara


11

2.2.2. Hal-Hal yang Mempengaruhi Kadar Procalcitonin


Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau ex vivo walaupun pada
suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi
konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena
juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum
dan plasma dengan anti koagulan yang berbeda,perbedaan yang signifikan hanya
pada plasma lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan
rata-rata perbedaan <8%. Selain itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan
dengan penyimpanan pada suhu 25ºC juga rendah. Walau setelah 24 jam
penyimpanan pada suhu ruangan, hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi
sebenarnya yang hilang dan sebanyak 6,3% (mean) yang hilang pada suhu 4C.
Penyimpanan pada suhu ruangan lebih disarankan. Persentase kerusakan
konsentrasi PCT pada suhu 25°C dan 4°C adalah sama untuk kadar yang tinggi
(PCT > 8 ng/ml) dan kadar yang rendah (PCT <8 ng/ml) (Meissner M et.al,1997).
Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi, tetapi
tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Namun demikian, kadar PCT tertinggi
dijumpai pada pasien infeksi jamur, khususnya infeksi aspergillus. Pada infeksi
jamur seperti kandidiasis mukosa mulut, kadar PCT berada dalam batas normal.
Rata-rata kadar PCT tidak dapat dibedakan secara signifikan pada pasien yang
diinfeksi oleh bakteri atau jamur yang berbeda. Kadar PCT menurun pada pasien
yang berhasil (membaik) diterapi dengan antibiotik atau anti jamur yang efektif
(Hammer C et.al,2002).

2.3 Sepsis
2.3.1 Definisi
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,
dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh,
perubahan jumlah leukosit, takikardia dan takipnea. Sedangkan sepsis berat adalah
sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ
(American College of Chest Physician,1992).

Universitas Sumatera Utara


12

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician


(ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus
Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu
konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-
keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsis dibawah ini:

Gambar 2.2. Terminologi dan Definisi Sepsis.


Sumber : Chen et. al, 2009

2.3.2 Epidemiologi
Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi pada lebih dari 200.000
kematian pertahun di Amerika Serikat. Insideni sepsis, sepsis berat dan syok
septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per tahun
(3 per 1000 penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan
penyakit terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat pada penderita
usia lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya. Meningkatnya insiden
sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia penduduk, meningkatnya

Universitas Sumatera Utara


13

pasien usia lanjut menyebabkan meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan
juga akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan
obat antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan
ventilasi mekanik juga berperan. Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian
yang paling sering di seluruh dunia, terutama pada kalangan anak-anak (Munford,
2008).
Setiap tahunnya sekitar 750.000 kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis
berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian
akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum
terjadi meruoakan penyebab kematian di unit perawatan intensif noncoronary.
Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi
yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya
tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosuppresan. Distrubusi
sepsis proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin (Widodo, 2004). Studi
terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi
dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan
angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012).

2.3.3 Etiologi
Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negative atau gram
positif. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat angka sepsis terus
meningkat sampai 13,7% per tahun. Dari 51% hasil biakan kuman yang tumbuh,
52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram negatif, 4,7% polimikrobial,
4,6% jamur dan 1% bakteri anaerob. Infeksi bakteri gram positif terus meningkat
disebabkan oleh peningkatan infeksi nosokomial dari berbagai sumber seperti
kateterisasi atau terapi imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya
kasus MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi
45%. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas (40-44%), diikuti oleh infeksi
saluran genitourinarius (9-18%) dan infeksi intra abdominal (9-14%) (Bloch KC,
2000).

Universitas Sumatera Utara


14

2.3.4 Tanda dan Gejala


Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-
tanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan
gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala
pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan
sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada
neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme
(Munford,2008).
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi,
dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat
bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam
makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan
meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi
dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman & Plantz,
2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan
status mental yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga merupakan tanda
dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated intravascular
coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Saadat, 2008).
Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi
setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg),
peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan
cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan
pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome/ARDS) dengan infiltrat
paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan
<18 mmHg .Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007).

2.3.5 Patogenesis
Perbedaan stadium pada sepsis merupakan suatu kesinambungan, dimana
kondisi pasien sering berubah dari stadium ke stadium dalam beberapa hari atau
bahkan hanya beberapa jam setelah masuk rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara


15

Sepsis umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana bakteri masuk kedalam
aliran darah secara langsung menyebabkan bakteremia atau bisa juga
berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin kedalam aliran darah. Toksin ini
bisa muncul dari komponen struktur bakteri ( contohnya, endotoksin, teichoic acid
antigen) atau bisa juga sebagai eksotoksin dimana protein-protein disintesa dan
dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS)
yang terdapat pada bakteri gram negatif. Baik bakteri gram positif maupun gram
negatif dapat menimbulkan sepsis (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Delevaux I,
et.al,2003).
Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu
membrane luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat pada
membran luar dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core dan lipid A.
Antigen O adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung
dari rantainya terpapar pada permukaaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan
core. Core berikatan dengan lipid A. Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis
glukosamin. Lipid A berikatan dengan membran luar dinding sel pada gugus asil
yang bersifat hidrofobik. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik,
dimana gugus fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur
core pada LPS berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda
dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella pneumonia
(Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).
Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan tanda dan
gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi. Monosit atau
makrofag, netrofil dan sel endotel berperan dalam respon terhadap infeksi dan
mempunyai reseptor terhadap endotoksin. Suatu protein di dalam plasma dikenal
dengan lipopolysacharide binding protein (LBP), dengan berat molekul 55 kDa
dan disintesis oleh hepatosit berperan penting dalam metabolism LPS. LBP
terdapat dalam 2 bentuk, bentuk terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS
yaitu CD14 (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).
Bila LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan

Universitas Sumatera Utara


16

dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat


ikatan dengan CD14 di permukaan sel maupun CD14 terlarut. Selanjutnya
kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuclear
factor kappa B (NFkB), tyrosin kinase (TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
resceptor-2(TLR2) (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan
induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). LTA
merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan dengan membrane sel monosit
pada gugus asil di reseptor LTA (reseptor scavenger tipe 1). Mekanisme transduksi
sinyal intrasel LTA masih belum jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer ß1-4,
glukosamin-N- asam asetilmuramat, dengan ikatan silang peptide. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin pada
monosit dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG juga
belum diketahui (Appelmelk Bj dan Lynn W, 2000; Hack C dan Thijs L, 2000)
Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dapat
terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS). Mekanisme yang
berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat superantigen. Pada
keadaan normal antigen akan diproses oleh Antigen Presenting Cells (APC) dan
membentuk kompleks histokompatibilitas mayor (Mayor Histocompability
Complex/MHC) tipe II dan dipresentasikan pada reseptor sel T (T cell receptor
/TCR). Superantigen akan secara langsung membentuk kompleks dengan MHC
dan TCR sehingga terjadi proliferasi sel T dan produksi sitokin yang berlebih
(Bloch KC, 2000; Delevaux I, et.al,2003).
2.3.6 Peran Mediator Inflamasi pada Sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan host terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Immunitas host bereaksi dengan melepaskan
protein endogen, aktivasi sel sehingga mikroorganisme dapat dibunuh, sel-sel
yang rusak dibersihkan dan terjadi perbaikan jaringan (Hack C dan Thijs L, 2000).

Universitas Sumatera Utara


17

Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang


berlebih. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun
sistemik, mengaktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel
lainnya; aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi dan
fibrinolisis; pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.
Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan pula mediator yang bersifat
anti inflamasi seperti sitokin anti inflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase
akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Hack C dan Thijs L, 2000).

2.3.7 C-Reactive Protein


CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh
hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan respon pada
keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa
respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan
jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan
perubahan fase akut sebenarnya didasarkan kepada perubahan konsentrasi dari
protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negative,
dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25% (Gaba C dan Kushenr I,
1999).
Protein fase akut ini sebenarnya terdiri dari banyak jenis dari sistem
komplemen, sistem kagulasi dan fibrinolitik, anti protease, protein transport dan
lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi, baik berupa peningkatan
maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk di dalamnya adalah CRP (Gaba C
dan Kushenr I, 1999).
Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi
adalah 0,8 mg/L, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi
peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini
kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada
seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit (Gaba C dan
Kushenr I, 1999).

Universitas Sumatera Utara


18

2.3.8 Diagnosa
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis dan Septic Shock 2012, kriteria diagnosis sepsis
adalah sebagai berikut :
Infeksi, didokumentasi atau dicurigai, dan beberapa keadaan:

Variabel umum
Demam (>38⁰C)
Hipotermi (<36⁰C)
Frekuensi jantung >90 kali/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Tachypnea
Adanya edema atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg diatas 24
jam)
Hiperglikemi (gula darah >140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) dimana tidak ada
riwayat diabetes

Variabel inflamasi
Leukositosis (jumlah leukosit >12.000 µ/L)
Leukopeni (jumlah leukosit <4.000 µ/L)
Jumlah leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk immature
Kadar CRP plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Kadar PCT plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Variabel Hemodinamik
Hipotensi arteri (tekanan darah systole <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
(MAP) <70 mmHg, atau penurunan tekanan darah systole >40 mmHg
pada orang dewasa atau kurang dari 2 SD diatas nilai normal
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut (pengeluaran urin <0.5 mL/kg/jam sekitar 2 jam walaupun
adanya resusitasi cairan yang adekuat)
Peningkatan Kreatinin >0.5 mg/dL atau 44.2 µmmol/L

Universitas Sumatera Utara


19

Koagulasi tidak normal (INR >1.5 atau aPTT >60 detik)


Tidak ada suara usus (ileus paralisis)
Trombositopeni (jumlah platelet <100.000 µ/L)
Hiperbilirubinemi (kadar bilirubin total plasma >4 mg/dL atau 70
µmmol/L)

Variabel perfusi jaringan


Hyperlactatemia (>1 mmol/L)
Penurunan pengisian kapiler

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosa Sepsis


Sumber : Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et.al (2012).

2.4 Analisis Korelasi


Korelasi merupakan suatu metode untuk mencari hubungan antara 2
variabel numerik, misalnya antara tinggi dan berat badan anak, atau antara tinggi
badan dengan kapasitas vital paru (Sudigdo, 2014). Uji korelasi yang digunakan
adalah Pearson bila salah satu variable berdistribusi normal dan jika sebaran data
tidak normal, lakukan transformasi, jika hasil transformasi tidak normal maka uji
korelasi yang digunakan adalah Spearman (Sopiyudin, 2015).

Tabel 2.3 Panduan interpretasi uji hipotesis korelatif


Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r) 0.0 – <0.2 Sangat Lemah
0.2 – <0.4 Lemah
0.4 – <0.6 Sedang
0.6 – <0.8 Kuat
0.8 – 1.00 Sangat Kuat

Sumber : M. Sopiyudin Dahlan, Statistik untuk


Kedokteran dan Kesehatan ed. 6th (2015)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai