Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
b. Kognitivisme
Kerangka nativis pun masih mempunyai kelemahan-kelemahan. Akhir tahun 60-an
merupakan saksi pergeseran kontinuum, tetapi bergerak lebih pada hakikat bahasa. Slobin
(1971) mengatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar semantic bergantung pada
perkembangan kognitif. Urutan perkembangan itu lebih ditentukan oleh kompleksitas
semantic daripada kompleksitas struktural. Bloom (1976) menyatakan bahwa penjelasan
perkembangan bahasa bergantung pada penjelasan kognitif yang terselubung. Apa yang
diketahui anak akan menentukan kode yang dipelajarinya untuk memahami pesan dan
menyampaikannya.
c. Teori Fungsional
Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini
menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif
dan struktur ingatan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada
bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana. Gelombang baru ini
merupakan revolusi penelitian dalam pembelajaran dan pemerolehan bahasa. Jantung
bahasa fungsi komunikatif diteliti sampai dengan segala variabilitasnya. Para peneliti mulai
melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan afektif untuk dapat
menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain, dan juga untuk keperluan terhadap
diri sendiri sebagai manusia. Lebih lagi kaidah generatif yang diusulkan di bawah naungan
kerangka nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit, dan logis; meskipun sebenarnya
kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang
lebih dalam dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a. Kognisi dan Perkembangan Bahasa
Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada
perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas
makna itu daripada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua yang menentukan model:
(1) pada aras fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif
dan konseptual, yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin kognisi; dan (2) pada
aras formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemrosesan informasi, yang
bekerja dalam konjungsi dalam skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelaslah bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar
pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa konstruktivis sosial menekankan
perspektif fungsional. Dalam model resiprokalnya tentang perkembangan bahasa, Holzman
(1984) menyatakan bahwa sebuah sistem behavioral resiprokal bekerja di antara bahasa
yang dikembangkan bayi-anak dan pengguna bahasa dewasa yang kompeten di alam
peran socializing-teaching-nurturing. Beberapa penelitian mengkaji interaksi antara
pemerolehan bahasa anak dan pembelajaran tentang bagaimana sistem itu bekerja di dalam
perilaku manusia. Kajian yang lain tentang bahasa anak terpusat pada komunikasi interaksi
bahasa, yang merupakan kawasan kajian yang rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana.
Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu, kajian yang
cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa: apa yang diketahui anak
tentang berbicara dengan ank-anak yang lain? Tentang bulir-bulir wacana yang berhubungan
(hubungan antara kalimat-kalimat; interaksi antara pendengar dan pembicara; isyarat
percakapan. Dalam perspektif semacam itu, jantung bahasa, fungsi pragmatic dan
komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.
F. Teori Belajar Bahasa (Teori Behavioristik, Nativistik, dan Kognitivistik
A. TEORI BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Secara umum, teori ini
menganalisis perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan.
Teori Behavioristik lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
respon juga semakin kuat. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Dalam hal pembelajaran bahasa, pendekatan behaviorisme memumpunkan perhatiannya
pada aspek yang dapat dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa dan hubungan
antara respons dan peristiwa di dunia yang mengelilinginya. Menurut kaum behavioris,
bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia. Seorang
behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons
tertentu yang dikuatkan, respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut
pandang behavioris ialah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behaviour.
Teori Skinnner tentang perilaku verbal merupakan peluasan teorinya tentang belajar yang
disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi di mana manusia atau
binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat), tanpa adanya
stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang
anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, operant itu
dikuatkan. Dengan perulangan yang terus-menerus operant semacam itu akan
terkondisikan. Menurut Skinner, perilaku verbal, seperti perilaku yang lain, dikendalikan oleh
akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan dan kekuatan
serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang
adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan. Noam
Chomsky (1959) yang diikuti oleh Kenneth MacCorquodale (1970). Beberapa linguis dan
ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima
secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu
sendiri, untuk hakikat bahasa, dan untuk teori makna. Teori yang didasarkan pada
penciptaan kondisi dan penguatan itu ternyata sulit untuk menjelaskan fakta bahwa ada
kalimat baru yang kita ujarkan atau kita tulis yaitu kalimat yang tak pernah kita ujarkan atau
kita tuliskan sebelumnya. Ujaran yang baru itu diciptakan oleh pembicara dan diproses oleh
pendengarnya. Tampaklah bahwa pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang
menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan
keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa dan ranah kajian bahasa yang sangat luas
masih tetap tak tersentuh.
B. TEORI NATIVISTIK
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat
nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu
pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir,
dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer seorang
filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor linkungan sendiri dinilai kurang
berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran
Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada
kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan
sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.
Dalam hal pembelajaran bahasa, istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar
bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki
bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh
dukungan dari berbagai sisi.
Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang
disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa.
McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak
mungkin;
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk
sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang
diperoleh.
C. TEORI KOGNITIVISTIK
Kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan
faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara
individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya.
Beberapa nama penting yang diasosiasikan dengan teori belajar kognitivisme:
1. Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan
jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan
kontroversi atau melakukan percobaan.
2. Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses belajar yang bermakna. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah
proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan
materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang
sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
3. Robert Gagne: Model Pemrosesan Informasi
Gagne berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat
dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki
sebelumnya.
4. Jean Piaget (1896 – 1980): Cognitive Development Model
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema-skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan perkembangan, saat seseorang
memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
5. Teori Belajar Kognitivif Gagne
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu:
(1) Fase – fase pembelajaran (2) Kategori utama kapabilitas/kemampuan
manusia/outcomes (3) Kondisi atau tipe pembelajaran (4) Kejadian-kejadian instruksional.
6. Teori Belajar Kognitivif Vytgosky
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons,
alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa
ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan
menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
G. Pendapat menurut pendapat para pakar
Prof. S. Wojowasito adalah linguis masa awal sebelum ilmu bahasa berkembang
seperti sekarang. Kemampuan profesor lulusan Universitas Indonesia menguasai
beberapa bahasa asing mendorong beliau untuk menimba metode pembelajaran
bahasa yang telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika serikat untuk
dipersembahkan kepada dunia pendidikan bahasa yang beliau geluti, baik di dalam
lingkup regional, nasional maupun internasional. Tulisan yang disajikan ke hadapan
pembaca saat ini menggambarkan perkembangan pembelajaran bahasa asing
tahun 1970-an, baik yang berkembang di Erpa maupun di Amerika Serikat, yang
ternyata masih cukup relevan untuk saat ini. Pikiran-pikiran ahli barat yang
dikemukakan oleh Wojowasito dalam tulisan ini bersumber dari buku karangan
beliau berjudul “Pengajaran Bahasa Kedua: Bahasa asing bukan Bahasa Kedua”
yang terbit 1977. Tulisan ini telah dibahasakan kembali dan dilengkapi dengan
sumber-sumber lain yang relevan.
1. EMPAT METODE PEMBELAJARAN BAHASA
Tidak hanya itu saja. Oleh karena pertama itu hanya bertujuan memberikan “skill” saja,
dalam menggunakan bahasa asing, maka kursus pengetahuan dasar harus berbuat
lebih dalam lapangan isi: ia harus membawa masuk murid itu ke dalam kebudayaan
yang dibawakan atau dinyatakan oleh bahasa asing tersebut, dengan lain kata murid
itu harus merasa seolah-olah dalam rumah sendiri di dalam kebudayaan asing
tersebut. Memang kadang-kadang perbedaan itu tidak begitu besar, kalau hal itu
mengenai lingkungan-lingkungan bahasa yang secara geografis berdampingan, tetapi
walaupun demikian kita tidak boleh mengganggap remeh rintangan bahasa tersebut.
Metode kita untuk level ini akan amat aktif, dalam arti bahwa metode itu
menitikberatkan kepada auto aktivitas sang murid. Pengikut kursus harus selalu
menggunakan kamusnya, oleh karena menjadi kemutlakan bahwa ia menggunakan
alat bekerja tersebut. Ia harus memiliki buku reference tentang gramatika, dimana ia
dapat mencari penjelasan tentang bentukan-bentukan yang tidak dikenalnya.
1. Pengolahan auditif dilanjutkan; hal ini berarti bahwa murid haru memelihara kebiasaan
mengapproach bahasa yang dipelajari itu secara demikian dan hal itu selalu tanpa
menggunakan buku pelajaran. Teks yang baru, baik dialog, reportase, maupun uraian,
harus didengar, tetapi sekarang tanpa penjelasan lebih dahulu dari guru, dengan lain
kata, kita anggap bahwa pelajran itu dimulai dalam praktikum bahasa atau di dalam
kelas, tetapi dengan mendengar pita perekam atau plat gramapun. Para murid
mendengar teks seluruhnya dan mencoba mengerti.
Tentu terdapat bagian-bagian yang tidak difahami dan oleh karena itu sesudah tiga
kali mendengar, teks tersebut diberikan dengan “at dictation speed”.
Tujuan fase pertama ialah melatih telinga dan selalu melatih berulang kali yang dalam
fase ini merupakan pokok yang penting. Dalam fase ini kita belum meminta dari murid
supaya meniru mengucapkan, atau ikut mengucapkan dan kita tidak memaksakannya
sedikitpun. Apabila murid berbuat demikian atas kehendak sendiri, dibawah semacam
desakan yang menyeret dia, maka kita merasa berbahagia, oleh karena hal itu berarti
bahwa masa inkubasi telah mencapai keadaan kenyang dan murid telah menjadi
masak untuk produksi bahasa. Maka kelirulah untuk memaksakan suatu produksi
bahasa apabila kematangan itu belum tercapai, oleh karena kita akan mendapat
bahaya melakukan kesalahan membawa murid ke arah pemakaian bahasa yang
salah dan ke frustasi tertentu yang tidak menguntungkan bagi proses belajar.
Fase kedua ialah dikte: murid memiliki pita atau plat gramapun dengan teks yang
berkecepatan dikte dan mulai mencatat teks. Pada kesempatan itu ia boleh
menggunakan kamus, ia boleh ikut mengucapkan teks dan mengulang pada waktu
menulis (mencatat). Keberatan beberapa pedagoog terhadap cara ini tidaklah benar,
yaitu bahwa murid mencatat sejumlah kata yang belum dipelajari. Mengapa tidak
benar? Pertama keadaan yang sebetulnya ialah bahwa tiap murid menulis dengan
kesalahan-kesalahan, walaupun ia telah melihat kata-kata tersebut; kedua ia memiliki
kamus dan keadaan yang sebetulnya ialah bahwa sesuatu kata itu lebih mudah dingat
secara auditif dan visual, kalau telah dicarinya sendiri di dalam kamus, oleh karena
ada terkait ke dalam kata tersebut suatu aktivitas motoris, suatu bentuk “total
behavior” yang akan amat membantu mengingat sesuatu. Salah satu alasan untuk
menyelipkan dikte pada saat ini ke dalam pelajaran ialah, bahwa masa inkubasi
karenanya diperpanjang; murid akan sekali lagi selama setengah jam mendengar
bahasa dan lama kelamaan menjadi sehingga akhirnya dia akan mengalami kesulitan-
kesulitan yang jauh berkurang dengan berbicara. Sesudah menulis teks, murid
mengambil lagi bukunya dan memperbaiki kesalahan- kesalahannya dan inipun
merupakan feedback segera; dia menulis kembali beberapa kali kata-kata itu yang
pernah salah tulis.
1. Meneliti apakah murid telah melihat semua kesalahan, dengan lain kata guru
memeriksa pekerjaan murid.
2. Menerangkan sejumlah aturan-aturan mengeja, yang menjadi dasar beberapa bentuk
grafis. Pada detik-detik waktu teratur ia dapat mengformulir sejumlah aturan mengeja
dalam bentuk sintesa, mengulang, memberikan contoh-contoh yang lain dan
sebagainya. Menjelang akhir kursus guru sudah harus bebas dari bagian/tugas ini.
Tujuan guru yang baik ialah makin dapat mengurangi peranan diri pribadi dalam
proses belajar dan makin dapat membiarkan para murid bekerja sendiri (secara
berdaulat) walaupun dengan pengawasan. Hal ini sering dilupakan oleh para guru dan
mereka ini sering mengerjakan tugas yang sebetulnya menjadi hak para murid yaitu:
menemukan sendiri, belajar sendiri.
Fase ketiga menyuruh murid mencontoh mengucapkan naskah dan hal itu selalu
tanpa menggunakan buku. Ditinjau secara normal pada ketika itu ia telah mencapai
keadaan matang yang cukup untuk menjalankan tufasnya dengan baik, dengan murid
yang lambat dan kurang pandai masih dapat diberikan kesempatan untuk iku
mengatakan, sebelum beralih kepada mencontoh mengucapkan yang sesungguhnya.
Lama pelajaran disini ditentukan oleh kemajuan para murid. Kalau mereka ini telah
berhasil mencontoh atau ikut mengucapkan secara baik maka latihan itu tidak perlu
diperpanjang, dan lebih baik kita beralih kepada fase berikutnya. Selama latihan-
latihan para murid itu sendiri menjadi tugas guru mengawasi ucapan yang tepat, pula
aksen dan intonasi. Maka jelaslah bahwa pekerjaan ini sebaiknya dilakukan dalam
suatu praktikum bahasa, karena hanya dalam praktikum bahasa para murid dapat
bekerja dengan irama/tempo yang cocok dengan masing-masing pribadi dan guru dan
dapat secara berfikir menaruh perhatiannya kepada tiap murid tanpa mengganggu
yang lain. Lektur: para murid sesudah itu mengambil bukunya dan membaca naskah
tersebut nyaring-nyaring. Mereka berbuat demikian ketika dalam telinganya masih
berdengung-dengung bunyi teks tersebut, sehingga mereka tidak terlalu terpengaruh
oleh tulisan. Selama latihan itu guru harus memanfaatkan waktunya untuk meneliti
para murid, karena mungkin diantara mereka ada yang bingung melihat tulisan
bahasa dan menyuruhnya mendengar teks lagi, sambil mengikutinya dalam buku;
selanjutnya para murid harus beralih ikut mengucapkan, sehingga akhirnya mereka
itu dari pita sampai kepada pembacaan yang benar. Guru harus juga memperhatikan
teknik membaca–walaupun itu bukan tugasnya khusus–dan ia harus menyuruh murid
membaca seolah-olah menghadapi publik. Latihan semacam ini terutama penting bagi
para murid, oleh karena kita tahu, bahwa mereka kelak mungkin harus mengadakan
ceramah-ceramah, pembicaraan-pembicaraan di muka TV dan sebagainya.
Fase berikut digunakan untuk studi struktur, pola kalimat, pembentukan kata,
penyusunan kelompok kata dan sebagainya. Pada tiap pelajaran dapat dianalisis dua
hingga tiga struktur atas dasar kalimat-kalimat yang disajikan di dalam teks, kalimat-
kalimat yang hingga ketika itu sudah menjadi semacam otomatisme, para murid akan
menemukan sendiri, dibawah pimpinan guru, susunan sendiri dan pembentukan
struktur tersebut.
Fase berikutnya daripada skema pelajaran barangkali merupakan yang paling penting
untuk berhasil baiknya kursus. Yang dipusatkan sekarang ialah latihan berbicara yang
mengumandangkan jam kenyataan yang sebetulnya dari proses belajar. Latihan
berbicara ini dipecah menjadi dua pokok kegiatan, yaitu:
1. Tiap murid harus mampu berbicara tentang pokok yang diberikan selama beberapa
menit; hal itu dapat dilakukan dengan membuat parafrase atas teks-teks yang
disajikan, dengan memberikan komentar kepada peta dasar atau peta biasa, dengan
mengembangkan sejumlah alasan mengenai suatu pemikiran.
2. Tiap murid harus dapat ikut serta dalam suatu konversasi, percakapan panil, suatu
debat, pada permulaan tentang hal-hal yang diberikan dalam buku pelajaran dan
menjelang akhir kursus tentang hal-hal/pokok-pokok di luar buku pelajaran. Giliran
latihan itu bagi tiap murid harus berlangsung menurut procede yang makin lama makin
sulit. Tugas gurulah yang harus mengetahui kemampuan seseorang murid (misalnya
murid x) dan memberikan kepadanya suatu tugas yang dapat dijalankannya. Amatlah
penting bahwa murid itu dapat menjalankan/menyelesaikan tugas yang diberikan,
agar tidak kendor semangatnya dan mendapatkan kesan seolah-olah lain-lain murid
lebih baik daripadanya. Dengan cara pemilihan yang teliti mengenai jenis latihan, guru
dapat membuat seluruh kelas percaya bahwa seluruh berevaluasi pada level yang
sama, walaupun tidak demikian kenyataannya. Latihan paling sederhana ialah
menghafal teks yang disajikan. Hal ini mungkin kurang interesan tetapi latihan
semacam itu memberikan kepercayaan yang mutlak kepada murid mengenai
kemampuan dalam lagu kalimat, irama dan pemakaian perbendaharaan kata. Sedikit
lebih sulit, jika murid harus menceriterakan kembali teks itu. Pada kesempatan itu ia
masih dapat menghafal beberapa kalimat tetapi sering ia melompati kalimat- kalimat,
sehingga ia terpaksa membuat kalimat-kalimat sendiri. Langkah berikutnya
memberikan teks kepada murid yang amat dekat atau hamper sama dengan teks yang
disajikan, tetapi berbeda juga sedikit karena susunan kalimat dan gagasan yang
tercantum di dalamnya. Hal ini memaksa murid untuk menyesuaikan apa yang telah
dipelajarinya dengan keadaan yang agak diubah. Pemberian persoalan dapat diatur
demikian rupa sehingga murid terpaksa berbicara tentang persoalan itu, yang dapat
diformulir menurut pola teks dan dengan lain kata persoalan yang dapat diselesaikan
dengan substitusi. Suatu contoh dapat memperjelas uraian tersebut di atas. Kalau
kelas (= para murid) sudah mempelajari sebuah teks tentang rapor sekolah, maka
murid:
Ada guru yang hanya memberikan title/judul, tetapi dalam fase ini para murid belum
mampu diberi tugas demikian. Biasanya mereka ini tidak dapat menemukan gagasan-
gagasan yang menyangkut judul itu; memang suatu kenyataan yang mengherankan,
bahwa ruang kelas itu amat sedikit memberikan inspirasi kepada para murid. Oleh
karena itu masih harus ada fase peralihan. Rekonstruksi teks adalah peralihan yang
baik sekali, para murid mendapat/meneriman teks dengan tempat-tempat yang
kosong, sedangkan pada teks itu terdapat ide/gagasan mengenai pemberian
persoalan, tetapi tidak tertulis selesai, bahkan pula kebanyakan kata-kata yang
menyangkut persoalannya. Maka para murid harus menyusun teks dengan bantuan
kata-kata yang diberikan dan ide-ide/gagasan-gagasan yang dianjurkan sambil
menjaga agar para murid itu membuat kalimat-kalimat yang korek dengan intonasi
yang tepat. Bagaimanapun juga teks itu tidak boleh dicatat. Satu langkah lebih maju
lagi ialah bahwa guru hanya memberikan rentetan gagasan, pada permulaan amat
luas dengan segala macam argumen yang mungkin, tetapi dalam bentuk skema. Para
murid harus menyusun uraian sendiri dari bahan-bahan kasar yang disediakan itu.
Makin lanjut kursus itu, makin sedikit jumlah gagasan yang diberikan, terutama makin
terbatas dalam penguraiannya, sehingga para murid terpaksa bekerja lebih intensif
sendiri. Hanya pada akhir kursus, dan hanya bagi murid-murid yang terbaik,
pemberian persoalan itu berupa hanya beberapa kata untuk mencapai hasil yang
lumayan. Deretan tersebut di atas jangan hendaknya diberikan secara “en block”
kepada semua murid sekaligus. Memang guru dapat memberikan tugas kepada murid
yang lemah untuk menceriterakan kembali teks, sedangkan kepada murid yang lain
untuk merekonstruksi teks, yang lain-lain lagi mengerjakan suatu rencana, dan yang
keempat menyelesaikan tugas (persoalan) yang hampir sepenuhnya dikerjakan
sendiri. Yang terpenting ialah tidak mengendorkan semangat murid dengan
memberikan kepadanya sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka, tetapi di
samping itu tidak menghambat murid yang baik dan selalu menjaga agar supaya nilai
rata-rata seluruh kelas tetap sama tiap orang harus ditingkatkan semaksimal mungkin.
Giliran-giliran untuk latihan yang berbentuk percakapan-percakapan dapat
berlangsung menurut skema “dari mudah ke sulit”, walaupun disini juga tidak mudah
untuk memberikan soal-soal yang sesuai, dengan bakat masing-masing murid. Soal
yang paling sederhana ialah menghafal dialog, kemudian mengadakan perubahan-
perubahan kecil di dalamnya, yang menyebabkan kita secara diam-diam makin
berpisah dengan apa yang dihafal, sesudah itu guru dapat beralih kepada permainan
tanya-jawab tentang pelajaran yang telah dipelajari dan tentang hal-hal yang
berkaitan. Pasti menjadi suatu kemutlakan untuk membuat percakapan dengan murid-
murid dewasa itu bersifat individuil dan hal ini berarti soal itu harus dilaksanakan
seolah-olah sesuatu yang betul-betul terjadi (wajar). Untuk tetap pada rapor sekolah
kita dapat memberikan latihan-latihan seperti:
1. Seorang ayah pergi menemui seorang guru untuk meminta penjelasan tentang
prestasi dari putra-putranya, percakapan ayah–guru;
2. Suatu rapat orang tua membicarakan hasil-hasil putra-putranya, seorang mengetahui
rapat itu, yang lain mengemukakan pendapat, mengadakan teguran-teguran,
mengajkan pertanyaan-pertanyaan dan sebagainya.
Jenis percakapan ini dengan cepat dapat dipraktekkan kepada lapangan kerja
kelompok. Kalau hal itu mengenai kelompok pemimpin kerja, dapat diberikan
pemraktekan atas “prestasi pegawai” dalam lingkungan suatu pabrik atau
perusahaan. Salah seorang pengikut memegang peranan sebagai direktur yang
menanyai pegawainya tentang keadaan bagiannya dan mengajukan usul-usul. Van
Passel telah mencoba mengadakan diskusi-diskusi semacam itu berpuluh-puluh kali
oleh pelbagai kelompok orang dan semua itu dengan hasil yang amat mengagumkan.
Kalau guru itu berhasil menggerakkan para pengikut (siswa) untuk menjalankan
peranan seperti yang sesungguhnya dalam kehdupan riil, yaitu seolah-olah mereka
itu betul-betul di dalam perusahaannya atau pabriknya maka orang-orang (= para
murid) itu:
7. Kursus itu harus pula menyediakan teks cadangan (text reserve) dengan pelbagai
alasan. Murid-murid yang cepat/cerdas haru mendapat sesuatu tambahan
(supplementer) untuk mengisi waktu mereka. Bagi yang lain kebanyakan masih
memberikan informasi-informasi tambahan-tambahan tentang kehidupan, kebiasaan,
atau pikiran dari orang-orang yang berbahasa asing tersebut. Jadi teks itu dapat
menjadi perantaan untuk sesuatu pembicaraan, jika perlu suatu debat, jika isinya
mengizinkan.
8. Pernyataan bahasa secara tertulis tidak dapat menimbulkan problema besar jika
skema yang terdahulu itu betul-betul dilaksanakan. Soal-soal yang diberikan itu
sebetulnya hanya merupakan pemraktekan atas pokok-pokok yang dibicarakan
panjang lebar. Seorang murid dapat misalnya menulis uraiannya. Lain orang dapat
menulis surat kepada direksi sekolah mengenai rapor anaknya, yang lain lagi
membuat laporan tentang rapatnya, tentang diskusi yang telah diadakan dalam kelas.
Jika mungkin, guru akan meminta supaya latihan-latihan itu dibuat di rumah sehingga
selam kursus waktu sepenuhnya dapat digunakan untuk bekerja sama. Guru akan
mengoreksi pekerjaan murid dan mengembalikannya dengan komentar. Sekali tempo
ia (guru) akan menggunakan sedikit waktu untuk membicarakan kesalahan-kesalahan
yang umum dan yang berulang kali dibuat. Dalam kursus semacam ini terjemahan
tidak pada tempatnya. Suatu pengetahuan dasar tidaklah cukup untuk menghadapkan
murid kepada persoalan-persoalan/problema bertumpuk (tumpuk) memindahkan
kekhususan suatu bahasa ke lain bahasa yang dipelajari atau sebaliknya untuk
pengetahuan dasar ini masih telalu sulit dan terlalu khusus. Tetapi menarik pula untuk
membuat daftar dari semua yang bersifat idiom dan tidak cocok dengan aturan-aturan,
menghafalkan kolokasi yang sering terdapat tidak hanya menarik untuk lebel kursus
ini, tetapi juga dapat menjadi peringatan yang baik agar jangan menganggap enteng
menjadi penterjemah.
Bila kita membicarakan pembelajaran, ada beberapa hal yang juga harus diketahui
yakni: strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran. Pengertian untuk istilah-
istilah itu sering dikacaukan. Apalagi terhadap tiga istilah, yaitu pendekatan, metode,
dan teknik biasanya terkacaukan (lihat Syafii 1994:15; Badudu 1996:17). Istilah
pendekatan sering dikacaukan dengan metode, misalnya kita sering mendengar
orang mengemukakan istilah pendekatan komunikatif disamping istilah metode
komunikatif. Sering pula pengertian metode dikacaukan dengan teknik, misalnya kita
sering mendengar orang menyebutkan istilah metode diskusi disamping istilah teknik
diskuasi.
1.Strategi Pembelajaran
Dick dan Carey (1985) yang dikutip oleh Suparman (1993:155) mengatakan bahwa
suatu strategi pembelajaran menjelaskankomponen-komponen umum dari suatu set
bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-
bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa. Dick dan
Carey menjelaskan lima komponen umum strategi pembelajaran, yaitu: a) kegiatan
prapembelajaran, b) penyajian informasi, c) partisipasi siswa, d) tes, dan e) tindak
lanjut.
2.Metode pembelajaran
Istilah metode berasal dari bahasa Yunani methodos ’jalan’, ’cara’. Karena itu,
metode diartikan cara melakukan sesuatu.Dalam dunia pembelajaran, metode
diartikan ’cara untuk mencapai tujuan’. Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan
sebagai cara-cara menyeluruh (dari awal sampai akhir) dengan urutan yang
sistematis berdasarkan pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan
pendekatan bersifat filosofis, atau bersifat aksioma.Dengan demikian, metode
bersifat prosedural. Artinya, menggambarkan prosedur bagaimana mencapai tujuan-
¬tujuan pengajaran. Karena itu, tepat bila dikatakan bahwa setiap metode
pembelajaran mencakup kegiatan-kegiatan sebagai bagian atau komponen metode
itu.
3. Teknik Pembelajaran
Karena ada suatu alat lain yang digunakan langsung oleh guru untuk mencapai
tujuan pelajaran itu, yaitu teknik.Teknik artinya cara, yaitu cara mengerjakan atau
melaksanakan sesuatu. Jadi, teknik pengajaran atau mengajar adalah daya upaya,
usaha-usaha, cara-cara yang digunakan guru untuk melaksanakan pengajaran atau
mengajar di kelas pada waktu tatap muka dalam rangka menyajikan dan
memantapkan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran.
4.Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran sering dimaknai sama dengan pendekatan
pembelajaran. Bahkan kadang suatu model pembelajaran diberi nama sama dengan
nama pendekatan pembelajaran. Sebenarnya model pembelajaran memunyai
makna yang lebih luas daripada makna pendekatan, strategi, metode, dan
teknik.Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Dengan
kata lain, model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat kita
gunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas
dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya
buku-buku, media (film-film), tipe-tipe, program-program media komputer, dan
kurikulum (sebagai kursus untuk belajar
Simpulan :
1) Kaum behavioris yakin bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah masalah
pembiasaan dan pembentukan kebiasaan. Proses pembelajaran yang penting adalah
adanya stimulus dan respons dan adanya penguatan.