Anda di halaman 1dari 20

KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN BAHASA

A. Pengertian belajar dan Pembelajaran


1. Pengertian Belajar
Menurut Skinner ( 1985 ) memberikan definisi belajar adalah “Learning is a process of progressive
behavior adaption”. Yaitu bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang
bersifat progresif.
2. Menurut Mc. Beach ( Lih Bugelski 1956 ) memberikan definisi mengenai belajar. “Learning is a
change performance as a result of practice”. Ini berarti bahwa – bahwa belajar membawa
perubahan dalam performance, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan ( practice ).
3. Menurut Morgan, dkk ( 1984 ) memberikan definisi mengenai belajar “Learning can be defined
as any relatively permanent change in behavior which accurs as a result of practice or experience.”
Yaitu bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan ( practice )atau karena
pengalaman ( experience ).
4. Dalam bukunya Walker “Conditioning and instrumental learning” ( 1967 ). Belajar adalah
perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman. Perubahan orang dapat memperoleh, baik
kebiasaan – kebiasaan yang buruk maupun kebiasaan yang baik.
5. C.T. Morgan dalam introduction to psychology ( 1961 ). Belajar adalah suatu perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat / hasil dari pengalaman yang lalu.
6. Darsono (2000: 14) mengemukakan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku
pada individu berkat adanya interaksi antara individu dengan yang lain, di antara individu dengan
lingkungannya. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi dalam proses belajar. Perubahan
tingkah laku seseorang terjadi akibat interaksi dengan orang lain. Proses belajar pada anak sangat
dipengaruhi dari pihak keluarga, pergaulan sekolah, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
7. Menurut Sujana (1988: 21) belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam
diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman
dan latihan.
8. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksinya dengan lingkungan” (Ibrahim dan Syaodih, 1996 :3).
.
2. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung serentetan perbuatan guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam pembelajaran terdapat sejumlah tujuan yang hendak dicapai. Pembelajaran
dalam hal ini merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari komponen-komponen pembelajaran
yang saling berinteraksi, berintegrasi satu sama lainnya. Oleh karenanya jika salah satu komponen
tidak dapat terinteraksi, maka proses dalam pembelajaran akan menghadapi banyak kendala yang
mengaburkan pencapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. (Wikipedia.com) Proses
pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan
kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun
mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta
didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan
(aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan
(aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan
satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi
antara guru dengan peserta didik. Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang
dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses
belajar siswa yang bersifat internal. Gagne dan Briggs (1979:3) Istilah “pembelajaran” sama
dengan “instruction atau “pengajaran”. Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau
mengajarkan. (Purwadinata, 1967, hal 22). Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan
perbuatan belajar (oleh siswa) dan Mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu
kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan
mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal. Dan
dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat
siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana
perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relative
lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran
merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen :
a. Siswa
Seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan.
b. Guru
Seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisator, dan peran lainnya yang memungkinkan
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
c. Tujuan
Pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi
pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
d. Isi Pelajaran
Segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e. Metode
Cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang
dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan.
f. Medi
Bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan informasi
kepada siswa.
g. Evaluasi
Cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya.
E. Fungsi / Peran Teori
1. Menurut Gage & Berliner (2005: 6-8) psikologi belajar memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk:
menjelaskan, memprediksikan, mengontrol fenomena (dalam kegiatan belajar mengajar), dan
dalam pengertiannya sebagai ilmu terapan juga memiliki fungsi merekomendasikan.
2. Teori belajar berfungsi memberikan pemahaman mengenai sifat dan keterkaitan berbagai
aspek dalam belajar dan pembelajaran. Dalam hal ini teori belajar mengkaji konsep mengenai
aspek perilaku manusia yang terlibat dalam belajar dan pembelajaran, serta lingkungan yang
terkait. Sebagaimana dijelaskan bahwa perilaku murid terkait dengan konsep-konsep tentang
pengamatan dan aktifitas psikis (intelegensi, berfikir,motivasi), gaya belajar, individual
defferencies, dan pola perkembangan individu. Sedangkan perilaku guru terkait dengan
pengelolaan pembelajaran kelas, metode, pendekatan, dan model mengajar. Lebih lanjut,
aspek lingkungan yang terkait dan berperan dalam aktifitas belajar-pembelajaran yakni
lingkungan sosial dan instrumental.
3. Di samping fungsi pemahaman, teori belajar berfungsi memberikan prediksi-prediksi
berkenaan saling terlibatnya aspek-aspek dalam belajar-pembelajaran. Terjadinya perubahan
dalam satu aspek akan berpengaruh pada aspek lainnya. Misalnya, tingkat intelegensi dan
motivasi individu dapat dipergunakan untuk memprediksikan prestasi belajar yang akan
dicapai. Selanjutnya, keadaan fisik dan kondisi psikologis anak dapat memprediksikan
kemungkinan kesulitan yang akan ditemui dalam proses belajarnya. Dengan demikian, guru
dapat melakukan upaya-upaya pemberian bantuannya.
4. Fungsi pengendalian atau mengontrol terkait dengan manipulasi yang mungkin dibuat.
Tentu kita memahami bahwa pengetahuan anak tentang lingkungan tempat tinggal diperoleh
dari mata pelajaran Pengetahuan Sosial (PS). Bilamana ada di antara topik-topik tertentu tidak
diajarkan, maka mereka tidak memiliki pengetahuan tentang topik-topik itu. Guru dapat
merekayasa sekelompok anak yang diberi perlakuan tertentu (pembelajaran PS), sedangkan
sekelompok yang lain tidak, sehingga dapat diketahui perbedaan hasilnya. Dengan demikian,
pengetahuan murid mengenai pengetahuan sosial dikontrol dengan pembelajaran PS.
5. Fungsi teori belajar rekomendatif. Sebagai ilmu terapan, teori belajar tidak hanya
memberikan wawasan konseptual terkait dengan fenomena belajar-pembelajaran, tetapi
menyediakan sejumlah rekomendasi untuk praktik pembelajaran. Meskipun rekomendasi
tersebut berupa rambu-rambu umum, tidak secara akurat berkonsekuensi dengan masalah
yang dihadapi guru. Rekomendasi tidak secara langsung ditujukan pada kasus per kasus
masalah pembelajaran, tetapi saran dan pertimbangan rekomendatif yang diajukan
diharapkan tetap dapat dijadikan pedoman bagi guru untuk mengambil keputusan
instruksionalnya.
6. Teori Behavioris
Behaviorisme adalah salah satu aliran psikologi yang berpengaruh di masyarakat
ini.Behaviorisme mengikuti metode eksperimen penelitian ilmiah yang menjadi perhatian
adalah segala hal yang dapat diamati secara ilmiah.Kaum behavioris berpendapat bahwa
bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia.Pendapat ini
diperkuat oleh Jenkins dan Palermo (1964), yang menyatakan bahwa anak mungkin
memperoleh kerangka tata bahasa struktur frase dan belajar ekuivalensi stimulus respon yang
dapat diganti dalam tiap kerangka.Imitasi merupakan sesuatu yang penting karena untuk
menentukan hubungan stimulus respon. Pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang
menekankan pada observasi empiric dan metode ilmiah hanya dapat menjelaskan keajaiban
pemerolehan bahasa dan ranah kajian bahasa yang sangat luas belum dapat tersentuh dan
hany adapat diogali dengan pendekatan yang lebih dalam.
7. Teori Generatif
Teori generatif menggunakan pendekatan rasionalitik, maksudnya adalah mencari penjelasan
yang gamblang dan jelas tentang rahasia pemerolahan danbelajar bahasa.Ada dua tipe teori
generatif yang dikenal dalam penelitian bahasa, kedua teori tersebut yaitu:
a. Nativisme
Istilah nativisme muncul dari pernyataan bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh
bakat.Sejak manusia lahir itu sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa.
Teori tentang bakat bahasa ini mendapatkan banyak penguatan, salah satunya Eric
Lenneberg (1967) bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara
pamahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa lain yang
berhubungan ditentukan secara biologis. Chomsky (1965) menyatakan bahwa eksisitensi
bakat tersebut bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak
dalam waktu yang singkat.Selain itu, Chomsky juga menyatakan bahwa bakat bahasa itu
terdapat dalam kotak hitam (black box) yang disebutnya sebagai language acquisition
device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa.
McNeill mendeskripsikan LAD terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a) kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
b) kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
c) pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak
mungkin;
d) kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk
sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang
diperoleh.
Untuk memahami dengan baik konsep LAD, diperlukan praktek dengan anak-anak yang ada
di lingkungan sekitar anda. Misalnya anak yang berusia 2,5 tahun sudah mampu
membedakan bunyi bahasa yang berasal dari alat ucap manusia dengan bunyi lain, yaitu
bunyi tokek, anjing, kucing dll. Hal ini membuktikan bahwa manusia telah diakaruniai bakat
sejak lahir, kemampuan untuk dapat membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi lain
yang ada di sekitarnya. Kemampuan manusia yang ada sejak lahir yaitu bakat memilki
pengetahuan tentang kalimat yang mungkin dan yang tidak mungkin bisa dicontohkan saat
anak dininabobokkan yaitu anak mampu mengganti “digigit nyamuk” dengan “dididit aum”
(aum maksudnya harimau). Selain itu kemampuan untuk membedakan kalimat yang
gramatikal dan kalimat yang tidak gramatikal juda meruupakan bakat bawaan manusia.
Kemudian dalam perkembangannya manusia juga mengevaluasi sistem bahasa yang
diujarkan secara terus-menerus yang pada akhirnya menjdi bentuk yang diterim oleh
lingkungan, contohnya adalah ketika anak masih kecil belum mampu untuk mengucapkan
bunyi [l, r] lambat laun ia akan terus berusaha untuk mengucapkannya menjadi ucapan yang
semestinya. Argumantasi McNeill tentang LAD begitu tepat dan langsung sasaran, karena
menurutnya teori stimulus-respon itu terbatas, sehingga maslah pemerolehan dan
pembelajarab bahasa akanjauh dari jangkauan. Proposisi LAD mengarah pada aspek rawan
pemerolehan bahasa, yaitu aspek makna, keabstrakan, dan kreativitas.
Kaum nativistis juga berpendapat bahw abahasa anak adalah sistem yang sah dalam sistem
mereka.Perkembangan anak sedikit demi sedikit Perkembangan bahasa anak itu dalam
setiap tahapan itu sisitemik, maksudnya anak secara terus-menerus membentuk hipotesis
dengan dasar masukan yang diterimanya dankemudian mengujinya dalam ujarannya sendiri
dan pemahamannya. Selam bahasa anak itu berkembang, hipotesis itu akan terus direvisi,
dibentuk lagi secara konsisiten diucapkannya. Jean Berko (1965) menunjukkan bahwa belajar
bahasa itu bukan sebagai urutan yang terpisah-pisah,tetapi sebagai system yang integral.
Berko melakukanpenelitian dengan menggunakan tes kosakata yang tak bermakna, dan
menemukan bahwa anak berbicara bahasa Inggris sejak usia 4 tahun mnerapkan kaidah
pembentukan jamak, present progressive, past tense, tunggal ketuga dan posesif. McNeill
dan kawan-kawannya menyajikan tentang hakikat pemerolehan bahasa anak secara
sistemik.Tata bahasa merupakan representasi formal dari struktur batin, struktur yang tidak
terwujud secara nyata dalam ujaran.Tata bahasa awal aak mengacu pada tata bahasa tumpu
(pivot grammar).Berdasarkan observasi, ujaran anak satu dua kata mula-mula merupakan
perwujudan dua kelas kata terpisah dan bukan hanya dua kata yang dilemparkan secara
bersamaan secara acak.Berikut adalah kaidah pertama bagi tata bahasa generatif.

Kalimat ------kata tumpu + kata terbuka

Pendekatan nativisme kepada bahasa anak sekurang-kurangnya mempunyai dua


sumbangan penting untuk memahami proses pemerolehan bahasa pertama, yakni:
1) bebas dari keterbatasan daro metode ilmiah untuk menjelajah sesuatu yang tidak tampak,
tak dapat diobservasi, berada di bawah permukaan, tersembunyi, struktur kebahasaan yang
bastrak yang dikembangkan oleh anak;
2) deskripsi bahasa anak sebagai system yang sah, taat kaidah, dan konsisten; dan
3) konstruksi sejumlah kekayaan potensian dari tata bahasa universal.

b. Kognitivisme
Kerangka nativis pun masih mempunyai kelemahan-kelemahan. Akhir tahun 60-an
merupakan saksi pergeseran kontinuum, tetapi bergerak lebih pada hakikat bahasa. Slobin
(1971) mengatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar semantic bergantung pada
perkembangan kognitif. Urutan perkembangan itu lebih ditentukan oleh kompleksitas
semantic daripada kompleksitas struktural. Bloom (1976) menyatakan bahwa penjelasan
perkembangan bahasa bergantung pada penjelasan kognitif yang terselubung. Apa yang
diketahui anak akan menentukan kode yang dipelajarinya untuk memahami pesan dan
menyampaikannya.
c. Teori Fungsional
Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini
menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif
dan struktur ingatan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada
bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana. Gelombang baru ini
merupakan revolusi penelitian dalam pembelajaran dan pemerolehan bahasa. Jantung
bahasa fungsi komunikatif diteliti sampai dengan segala variabilitasnya. Para peneliti mulai
melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan afektif untuk dapat
menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain, dan juga untuk keperluan terhadap
diri sendiri sebagai manusia. Lebih lagi kaidah generatif yang diusulkan di bawah naungan
kerangka nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit, dan logis; meskipun sebenarnya
kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang
lebih dalam dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a. Kognisi dan Perkembangan Bahasa
Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada
perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas
makna itu daripada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua yang menentukan model:
(1) pada aras fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif
dan konseptual, yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin kognisi; dan (2) pada
aras formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemrosesan informasi, yang
bekerja dalam konjungsi dalam skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelaslah bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar
pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa konstruktivis sosial menekankan
perspektif fungsional. Dalam model resiprokalnya tentang perkembangan bahasa, Holzman
(1984) menyatakan bahwa sebuah sistem behavioral resiprokal bekerja di antara bahasa
yang dikembangkan bayi-anak dan pengguna bahasa dewasa yang kompeten di alam
peran socializing-teaching-nurturing. Beberapa penelitian mengkaji interaksi antara
pemerolehan bahasa anak dan pembelajaran tentang bagaimana sistem itu bekerja di dalam
perilaku manusia. Kajian yang lain tentang bahasa anak terpusat pada komunikasi interaksi
bahasa, yang merupakan kawasan kajian yang rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana.
Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu, kajian yang
cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa: apa yang diketahui anak
tentang berbicara dengan ank-anak yang lain? Tentang bulir-bulir wacana yang berhubungan
(hubungan antara kalimat-kalimat; interaksi antara pendengar dan pembicara; isyarat
percakapan. Dalam perspektif semacam itu, jantung bahasa, fungsi pragmatic dan
komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.
F. Teori Belajar Bahasa (Teori Behavioristik, Nativistik, dan Kognitivistik
A. TEORI BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Secara umum, teori ini
menganalisis perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan.
Teori Behavioristik lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
respon juga semakin kuat. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Dalam hal pembelajaran bahasa, pendekatan behaviorisme memumpunkan perhatiannya
pada aspek yang dapat dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa dan hubungan
antara respons dan peristiwa di dunia yang mengelilinginya. Menurut kaum behavioris,
bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia. Seorang
behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons
tertentu yang dikuatkan, respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut
pandang behavioris ialah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behaviour.
Teori Skinnner tentang perilaku verbal merupakan peluasan teorinya tentang belajar yang
disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi di mana manusia atau
binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat), tanpa adanya
stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang
anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, operant itu
dikuatkan. Dengan perulangan yang terus-menerus operant semacam itu akan
terkondisikan. Menurut Skinner, perilaku verbal, seperti perilaku yang lain, dikendalikan oleh
akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan dan kekuatan
serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang
adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan. Noam
Chomsky (1959) yang diikuti oleh Kenneth MacCorquodale (1970). Beberapa linguis dan
ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima
secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu
sendiri, untuk hakikat bahasa, dan untuk teori makna. Teori yang didasarkan pada
penciptaan kondisi dan penguatan itu ternyata sulit untuk menjelaskan fakta bahwa ada
kalimat baru yang kita ujarkan atau kita tulis yaitu kalimat yang tak pernah kita ujarkan atau
kita tuliskan sebelumnya. Ujaran yang baru itu diciptakan oleh pembicara dan diproses oleh
pendengarnya. Tampaklah bahwa pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang
menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan
keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa dan ranah kajian bahasa yang sangat luas
masih tetap tak tersentuh.
B. TEORI NATIVISTIK
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat
nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu
pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir,
dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer seorang
filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor linkungan sendiri dinilai kurang
berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran
Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada
kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan
sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.
Dalam hal pembelajaran bahasa, istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar
bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki
bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh
dukungan dari berbagai sisi.
Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang
disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa.
McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak
mungkin;
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk
sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang
diperoleh.

C. TEORI KOGNITIVISTIK
Kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan
faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara
individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya.
Beberapa nama penting yang diasosiasikan dengan teori belajar kognitivisme:
1. Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan
jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan
kontroversi atau melakukan percobaan.
2. Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses belajar yang bermakna. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah
proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan
materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang
sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
3. Robert Gagne: Model Pemrosesan Informasi
Gagne berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat
dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki
sebelumnya.
4. Jean Piaget (1896 – 1980): Cognitive Development Model
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema-skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan perkembangan, saat seseorang
memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
5. Teori Belajar Kognitivif Gagne
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu:
(1) Fase – fase pembelajaran (2) Kategori utama kapabilitas/kemampuan
manusia/outcomes (3) Kondisi atau tipe pembelajaran (4) Kejadian-kejadian instruksional.
6. Teori Belajar Kognitivif Vytgosky
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons,
alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa
ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan
menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
G. Pendapat menurut pendapat para pakar

Prof. S. Wojowasito adalah linguis masa awal sebelum ilmu bahasa berkembang
seperti sekarang. Kemampuan profesor lulusan Universitas Indonesia menguasai
beberapa bahasa asing mendorong beliau untuk menimba metode pembelajaran
bahasa yang telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika serikat untuk
dipersembahkan kepada dunia pendidikan bahasa yang beliau geluti, baik di dalam
lingkup regional, nasional maupun internasional. Tulisan yang disajikan ke hadapan
pembaca saat ini menggambarkan perkembangan pembelajaran bahasa asing
tahun 1970-an, baik yang berkembang di Erpa maupun di Amerika Serikat, yang
ternyata masih cukup relevan untuk saat ini. Pikiran-pikiran ahli barat yang
dikemukakan oleh Wojowasito dalam tulisan ini bersumber dari buku karangan
beliau berjudul “Pengajaran Bahasa Kedua: Bahasa asing bukan Bahasa Kedua”
yang terbit 1977. Tulisan ini telah dibahasakan kembali dan dilengkapi dengan
sumber-sumber lain yang relevan.
1. EMPAT METODE PEMBELAJARAN BAHASA

Prof. Wojowasito mengelompokkan kursus-kursus di Eropa secara pedagogis ke


dalam empat kelompok metode, yaitu: (1) kelompok pendukung Behaviorisme
Skinner, (2) kelompok metode audio visual structuro–global, (3) pendekatan logisch–
struktural, dan (4) kelompok metode audio–visual. Kelompok pertama menyandarkan
metode pembelajaran bahasanya pada eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh
Amerika selama Perang Dunia II. dengan menambahkan motivasi psikologis yang
terutama didasarkan atas teori-teori behavioristis dari Watson dan Skinner; kelompok
ini kita sebut kelompok audio-lingual. Ahli-ahli teori yang terpenting pada level
psikologis adalah Skinner, Crowder, dan lain-lain. Sedangkan kaum teoretisi
pengajaran bahasa asing yang banyak terlibat adalah Robert Politzer, Nelson Brooks,
Charles Carpenter Fries, dan Robert Lado. Ketika pecah Perang Dunia II, AS
terdorong ke dalam konflik dunia. Untuk meningkatkan perannya sebagai penjaga
dunia, AS berpikir tentang perlunya warga Amerika mahir secara oral bahasa sekutu
dan musuhnya. Namun, waktu sudah mepet untuk melakukan revolusi pengajaran
bahasa mendorong Militer AS memberikan sokongan pendanaan untuk melakukan
kursus bahasa khusus dan intensif yang memfokuskan pada keahlian
aural/oral kursus ini dikenal dengan Program Pelatihan Khusus Angkatan Bersenjata
(ASTP) atau lebih umumnya disebut ‘Metode Angkatan Bersenjata (AB)’. Ciri-ciri dari
kursus ini banyak melakukan aktivitas oral –latihan pelafalan dan pola serta praktek
percakapan– hampir tidak ada grammar dan penerjemahan yang ditemukan seperti
dalam kelas tradisional. Ironisnya banyak landasan dari Metode Langsung pada masa
awal yang dipinjam dan dimasukkan ke dalam pendekatan baru yang berkembang di
AS ini. Dengan cepat, Metode AB berhasil dan memulihkan minat nasional terhadap
bahasa asing dan mendorong lembaga pendidikan menggunakan metodologi baru.
Dalam semua variasi dan adaptasinya, Metode AB pada era 1950-an dinamai Metode
Audio–lingual. Metode Audiolingual (Audio Lingual Method/ALM) dilaksanakan
dengan landasan teori linguistik dan psikologis. Linguis-linguis struktural era 1940-an
dan 1950-an dilibatkan untuk melakukan ‘analisis deskriptif ilmiah’ berbagai bahasa.
Analisis deskriptif tersebut melahirkan metode perbandingan bahasa yang dikenal
dengan sebutan Analisis Kontrastif (Contrastive Analysis) yang bertujuan untuk
menemukan perbedaan unsur linguistik yang ada pada dua bahasa yang
diperbandingkan. Para ahli bahasa melakukan perbandingkan bahasa lintas budaya
untuk menemukan bahan ajar apa yang dapat diberikan dan metode pembelajaran
bahasa apa yang dapat diterapkan kepada para tentara AS agar mereka cepat
menguasai bahasa dari negara tempat mereka akan dan diterjunkan. Adapun unsur
linguistik yang dikontraskan meliputi tataran bunyi, bentuk, makna, dan struktur
kalimat yang diperbandingan untuk menemukan apa saja perbedaan dan persamaan
yang ada. Ahli-ahli pembelajaran bahasa kemudian sampai kepada pemikiran, bahwa
aspek kebahasaan yang sama akan menyebabkan kemudahan bagi pembelajar
bahasa, sedangkan aspek kebahasaan yang berbeda akan menimbulkan kesulitan
(Lado, 1957). Dalam bukunya yang amat terkenal yang berjudul “Linguistics Across
Cultures”, Lado (1957) memaparkan secara rinci bagaimana direct method (metode
langsung) yang digagasnya diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Pada saat yang
sama, psikolog behavioristis pendukung teori Stimulus—Respon (S—R) merumuskan
teori belajar yang disebut sebagai kondisi belajar atau condition for learning. Juga,
dari hasil penelitian terhadap hewan, para pendukung (S—R) sampai kepada
perumusan metode pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan
Pembentukan Kebiasaan (habit formation). Dalam pelaksanaannya, model-model
pembentukan kebiasaan tersebut digabungkan dengan latihan mimikri dan praktek
pola-pola metodologi audiolingual. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan metode
tubian (drilling method) dengan menyajikan pola-pola kalimat sederhana (kernel
sentences), dan latihannya pun dilakukan dengan latihan pola (pattern drills). Untuk
menyebarkan temuan di bidang Metode Pengajaran Bahasa Asing ke luar Amerika
serikat, pakar metodologi pengajaran bahasa melihat pentingnya aplikasi langsung
dari hasil analisis kontrastif tersebut untuk memperbaharui metode pembelajaran
yang ada sebelumnya, yaitu metode tradisional dan grammar translation method.
Bertolak dari kenyataan yang ada, ahli-ahli pembelajaran bahasa seperti Robert Lado
(1964) dan Fries (1961) kemudian menulis buku untuk mengimplementasikan dan
mendiseminasikan hasil analisis linguistik kontrastif tersebut. Lado (1964)
menulis Language Teaching yang merinci pola-pola kalimat dasar yang harus
dipraktekkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Lebih dari itu, dalam buku
tersebut, Lado merinci Metode Oral-aural approach yang lebih dikenal dengan
Metode Audio Lingual. Adapun Fries menulis beberapa buku penting , di antaranya
adalah American English Grammar. New York-London [1940]. Linguistics and
Reading. New York, 1962, dan The Structure of English: An Introduction to the
Construction of English Sentences. London, 1969. Ciri-ciri dari ALM yang dicoba
diperkenalkan oleh ahli pembelajaran bahasa Amerika Serikat dipaparkan secara
singkat dalam daftar berikut:

1. materi ajar baru disajikan dalam bentuk dialog


2. terdapat ketergantungan pada mimikri, mengingat seperangkat frase-frase, dan
pembelajaran terhadap pola-pola kalimat dilakukan berulang-ulang, sehingga
cenderung membosankan;
3. struktur-struktur dirunutkan dengan cara analisis perbandingan dengan bahasa ibu
pembelajar dan diajarkan satu kaidah pada satu waktu
4. pola-pola struktural diajarkan menggunakan latihan secara berulang-ulang (pattern
drills)
5. sedikit sekali atau tidak ada sama sekali penjelasan gramatikal. Grammar diajarkan
dengan analogi induktif, bukan dengan penjelasan deduktif;
6. kosakata dibatasi secara ketat dan dipelajari dalam konteks.
7. banyak menggunakanbahan rekaman, lab bahasa, dan alat bantu visual
8. penekanan pada pelafalan
9. pembatasan penggunaan bahasa ibu
10. respon-respon bagus didukung secara langsung
11. siswa ditekankan untuk menghasilkan ungkapan-ungkapan yang bebas dari
kesalahan. Jika salah harus diulanginya sampai benar (Ingat prinsip pembelajaran
Stimulus—Respon).
12. terdapat kecenderungan untuk memanipulasi bahasa dan mengabaikan isi.
(diadaptasi dari Prator & Celce-Murcia, 1979) Kelompok kedua bertitik tolak dari teori
verbotonal oleh Petar Guberina; kelompok ini menyebar-luas melalui sejumlah pusat-
pusat di bawah pimpinan Institut Fonetik dari Universitas Zagreb di hampir semua
Negara Eropa Barat. Metode Guberina dikenal dengan singkatan SUVAG, yaitu
kepanjangan dari System Universal Verbotonal d’Audition Guberina. Guberina,
Penulis sistem Verbotonal (VTS) sebuah teori ilmiah asli dalam bidang komunikasi
bicara dan aparat electroacoustic SUVAG, membangun metode pembelajaran
bahasa sesuai dengan ide-ide verbotonal (1954-1955). Penelitiannya dalam domain
“Dasar-dasar linguistik untuk Ketrampilan Berbicara” memasuki pergantian
revolusioner dalam pengajaran bahasa asing (metode struktural audiovisual global
(Structural Global Audiovisual Method (SGAV), tetapi metode ini juga dirancang
sebagai pendekatan terhadap patologi pendengaran dan berbicara (metode
verbotonal–VTM). Karyanya yang fenomenal ini menempatkan Guberina sebagai
ilmuwan terkemuka dunia di bidang ilmu humanistik dan biomedis. Metodologi
verbotonal telah disebarluaskan ke semua benua, yakni dengan diterapkannya
prinsip-prinsip verbotonal, prosedur dan peralatan electroacoustic dalam rehabilitasi
dan pendidikan tuna wicara anak-anak dan dalam terapi gangguan bicara. Kelompok
ketiga ialah metode pembelajaran bahasa untuk orang dewasa yang berlandaskan
pendekatan logisch–struktural gejala bahasa. Teori yang dipakai dasar ialah teori-
teori Z.

PEDOMAN DIDAKTIS UNTUK KURSUS PENGETAHUAN DASAR KETRAMPILAN


BERBAHASA

Kebanyakan kursus-kursus, ditinjau secara historis, tidak mengadakan perbedaan


antara didaktik kursus permulaan dan didaktik kursus lanjutannya. Yang dikerjakan
ialah memindahkan tekanan kepada pembukaan pintu kepada naskah-naskah, roman
sandiwara, surat kabar. Meskipun demikian, praktis tidak ada orang yang
mengadakan perbedaan jelas mengenai pedoman-pedoman yang harus menjadi
pegangan. Dengan demikian metode audio–lingual berjalan terus menurut skema
pelajaran yang sudah umum hingga bagian-bagian buku yang terakhir. Begitu pula
metode audio–visual struktur–global berjalan terus dengan skema pelajaran yang
sudah lazim. Wojowasito berpendapat, bahwa ada perbedaan fundamental antara
cara mengajarkan pengetahuan elementer dan cara mendapatkan pengetahuan
baku/dasar. Nama kursus itu sendiri (= kursus pengetahuan dasar) menunjukkan
bahwa yang terpenting ialah membangun dasar yang kuat, yang dapat dilakukan
dengan mudah dan agak bebas oleh tiap orang. Jadi pada hakekatnya merupakan
pemanfaatan sejumlah pelbagai macam teknik untuk membimbing para murid
demikian rupa sehingga para murid itu kemudian dapat hidup dengan bahasa tersebut
secara berdaulat. Hal tersebut di atas adalah tujuan utama dari kursus dasar: belajar
hidup dengan bahasa tersebut, artinya di dalam segala situasi dan keadaan mampu
mengolah dan memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam lapangan itu
tanpa ragu-ragu atau keengganan, yang dengan sendirinya berarti bahwa ia
menguasai sejumlah teknik untuk dapat mengolah dan menyelesaikan tugas-tugas
yang dihadapinya tanpa ragu-ragu. Bagi kebanyakan siswa soalnya memang
demikian rupa bahwa mereka itu tidak tinggal dalam lingkungan bahasa yang
dipelajari, tetapi bahwa mereka itu tetap tinggal di dalam lingkungan bahasanya
sendiri selama mempelajari bahasa asing tersebut yang berarti berkurangnya
kemungkinan untuk berlatih, terutama mengenai bahasa hidup. Disini ada terpendam
bahaya besar, karena barang siapa yang tidak diberi kesempatan secara teratur untuk
mempraktekkan pengetahuan bahasanya yang telah dicapai maka ia akan cepat
sekali kehilangan sebagian dari kemungkinan-kemungkinannya. Tiap orang telah
mengalami sendiri bahwa sesudah berbulan-bulan tidak menggunakan sesuatu
bahasa, akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami lain orang, terutama
dengan berbicara lancer suatu bahasa asing. Jadi para guru tidak harus memberikan
suatu jumlah pengetahuan saja kepada para murid itu sedapat mungkin selalu/tetap
menguasai kemampuannya.

Tidak hanya itu saja. Oleh karena pertama itu hanya bertujuan memberikan “skill” saja,
dalam menggunakan bahasa asing, maka kursus pengetahuan dasar harus berbuat
lebih dalam lapangan isi: ia harus membawa masuk murid itu ke dalam kebudayaan
yang dibawakan atau dinyatakan oleh bahasa asing tersebut, dengan lain kata murid
itu harus merasa seolah-olah dalam rumah sendiri di dalam kebudayaan asing
tersebut. Memang kadang-kadang perbedaan itu tidak begitu besar, kalau hal itu
mengenai lingkungan-lingkungan bahasa yang secara geografis berdampingan, tetapi
walaupun demikian kita tidak boleh mengganggap remeh rintangan bahasa tersebut.

Metode kita untuk level ini akan amat aktif, dalam arti bahwa metode itu
menitikberatkan kepada auto aktivitas sang murid. Pengikut kursus harus selalu
menggunakan kamusnya, oleh karena menjadi kemutlakan bahwa ia menggunakan
alat bekerja tersebut. Ia harus memiliki buku reference tentang gramatika, dimana ia
dapat mencari penjelasan tentang bentukan-bentukan yang tidak dikenalnya.

1. Pengolahan auditif dilanjutkan; hal ini berarti bahwa murid haru memelihara kebiasaan
mengapproach bahasa yang dipelajari itu secara demikian dan hal itu selalu tanpa
menggunakan buku pelajaran. Teks yang baru, baik dialog, reportase, maupun uraian,
harus didengar, tetapi sekarang tanpa penjelasan lebih dahulu dari guru, dengan lain
kata, kita anggap bahwa pelajran itu dimulai dalam praktikum bahasa atau di dalam
kelas, tetapi dengan mendengar pita perekam atau plat gramapun. Para murid
mendengar teks seluruhnya dan mencoba mengerti.

Tentu terdapat bagian-bagian yang tidak difahami dan oleh karena itu sesudah tiga
kali mendengar, teks tersebut diberikan dengan “at dictation speed”.

Prosede ini memungkinkan murid:


1. Mendengar teks tersebut bagian demi bagian, dipisah-pisahkan oleh jeda.
2. Menghentikan alat tersebut sesudah bagian yang tidak difahami; kemudian mencari
di dalam kamus mengenai apa yang tidak difahami itu untuk dapat menangkap seluruh
isi kalimat. Terutama kita harus menitikberatkan pada bagian yang edukatif ini, oleh
karena jika kita selama kira-kira lima belas minggu berbuat begitu, maka murid akan
memperoleh kebiasaan kerja yang sesudah meninggalkan kursus, akan diteruskan,
suatu hal yang memungkinkan dia bekerja terus secara berdaulat (tanpa bantuan)
guna menambah pengetahuannya. Mendengar dengan kecepatan dikte adalah
latihan yang amat baik untuk belajar mengerti dan untuk belajar mengenal irama,
intonasi dan prosodi, dengan syarat selalu, bahwa murid memiliki cukup pengekangan
diri untuk dapat menjalankan dengan baik. Pengalaman yang baik sekali diutarakan
oleh Van Passel selama perang dunia yang terakhir. B.B.C. tiap hari menyiarkan berita
beberapa kali untuk daerah-daerah yang diduduki Jerman yang selalu diulang dengan
kecepatan mendikte. Ulangan itu biasanya dilakukan dua kali, yang diikuti lagi lektur
global. Berhari-hari, berbulan-bulan Van Passel dengan kawan-kawan mencatat
dengan cara demikian teks-teks, dan oleh karena pengetahuan mereka dalam bahasa
Inggeris masih tipis pada waktu itu, mereka itu selalu terpaksa berkali-kali
menggunakan kamus untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam pengetahuan
mereka, tetapi hal itu tidak berlangsung terlalu lama oleh karena sesudah beberapa
minggu merea sudah menganalisis/mengetahui perbendaharaan katanya, bentuk-
bentuk, urut-urutan, jalan-jalan kalimat mengenai berita-berita tersebut, dan mereka
telah menjadi biasa dengan cara-cara membaca B.B.C. sehingga mereka tidak lagi
mengalami kesukaran apapun untuk mengikuti siaran-siaran biasa. Pada ketika itu
mereka itu jelas mendapatkan pelajaran bahasa Inggeris tidak lebih dari 50 jam dan
hal itu dengan “The Boy’s Own Book”. Juga walaupun seluruh teks itu difahami, maka
pasti masih merupakan kemutlakan untuk mendengarnya lagi beberapa kali dengan
kecepatan yang normal dan itu dengan tujuan dua macam:

1. Mengintegrasikan kata-kata baru ke dalam perbendaharaan yang telah dikenal lebih


dahulu, dan dengan demikian memasukkannya (= kata-kata baru itu) ke dalam situasi
kontekstuil.
2. Menghadiahi murid bagi apa yang telah dicapainya, oleh karena ia disini segera
memperoleh feedback, ia memahami suatu fragmen bahasa yang wajar dan ia
bangga karena itu yang dengan sendirinya, memperkuat motivasi murid untuk belajar
lebih lanjut, dan hal ini amat penting, oleh karena “the most important thing in language
teaching (is) the motive (Michael West).

Tujuan fase pertama ialah melatih telinga dan selalu melatih berulang kali yang dalam
fase ini merupakan pokok yang penting. Dalam fase ini kita belum meminta dari murid
supaya meniru mengucapkan, atau ikut mengucapkan dan kita tidak memaksakannya
sedikitpun. Apabila murid berbuat demikian atas kehendak sendiri, dibawah semacam
desakan yang menyeret dia, maka kita merasa berbahagia, oleh karena hal itu berarti
bahwa masa inkubasi telah mencapai keadaan kenyang dan murid telah menjadi
masak untuk produksi bahasa. Maka kelirulah untuk memaksakan suatu produksi
bahasa apabila kematangan itu belum tercapai, oleh karena kita akan mendapat
bahaya melakukan kesalahan membawa murid ke arah pemakaian bahasa yang
salah dan ke frustasi tertentu yang tidak menguntungkan bagi proses belajar.

Fase kedua ialah dikte: murid memiliki pita atau plat gramapun dengan teks yang
berkecepatan dikte dan mulai mencatat teks. Pada kesempatan itu ia boleh
menggunakan kamus, ia boleh ikut mengucapkan teks dan mengulang pada waktu
menulis (mencatat). Keberatan beberapa pedagoog terhadap cara ini tidaklah benar,
yaitu bahwa murid mencatat sejumlah kata yang belum dipelajari. Mengapa tidak
benar? Pertama keadaan yang sebetulnya ialah bahwa tiap murid menulis dengan
kesalahan-kesalahan, walaupun ia telah melihat kata-kata tersebut; kedua ia memiliki
kamus dan keadaan yang sebetulnya ialah bahwa sesuatu kata itu lebih mudah dingat
secara auditif dan visual, kalau telah dicarinya sendiri di dalam kamus, oleh karena
ada terkait ke dalam kata tersebut suatu aktivitas motoris, suatu bentuk “total
behavior” yang akan amat membantu mengingat sesuatu. Salah satu alasan untuk
menyelipkan dikte pada saat ini ke dalam pelajaran ialah, bahwa masa inkubasi
karenanya diperpanjang; murid akan sekali lagi selama setengah jam mendengar
bahasa dan lama kelamaan menjadi sehingga akhirnya dia akan mengalami kesulitan-
kesulitan yang jauh berkurang dengan berbicara. Sesudah menulis teks, murid
mengambil lagi bukunya dan memperbaiki kesalahan- kesalahannya dan inipun
merupakan feedback segera; dia menulis kembali beberapa kali kata-kata itu yang
pernah salah tulis.

Tugas guru sekarang ialah:

1. Meneliti apakah murid telah melihat semua kesalahan, dengan lain kata guru
memeriksa pekerjaan murid.
2. Menerangkan sejumlah aturan-aturan mengeja, yang menjadi dasar beberapa bentuk
grafis. Pada detik-detik waktu teratur ia dapat mengformulir sejumlah aturan mengeja
dalam bentuk sintesa, mengulang, memberikan contoh-contoh yang lain dan
sebagainya. Menjelang akhir kursus guru sudah harus bebas dari bagian/tugas ini.
Tujuan guru yang baik ialah makin dapat mengurangi peranan diri pribadi dalam
proses belajar dan makin dapat membiarkan para murid bekerja sendiri (secara
berdaulat) walaupun dengan pengawasan. Hal ini sering dilupakan oleh para guru dan
mereka ini sering mengerjakan tugas yang sebetulnya menjadi hak para murid yaitu:
menemukan sendiri, belajar sendiri.

Fase ketiga menyuruh murid mencontoh mengucapkan naskah dan hal itu selalu
tanpa menggunakan buku. Ditinjau secara normal pada ketika itu ia telah mencapai
keadaan matang yang cukup untuk menjalankan tufasnya dengan baik, dengan murid
yang lambat dan kurang pandai masih dapat diberikan kesempatan untuk iku
mengatakan, sebelum beralih kepada mencontoh mengucapkan yang sesungguhnya.
Lama pelajaran disini ditentukan oleh kemajuan para murid. Kalau mereka ini telah
berhasil mencontoh atau ikut mengucapkan secara baik maka latihan itu tidak perlu
diperpanjang, dan lebih baik kita beralih kepada fase berikutnya. Selama latihan-
latihan para murid itu sendiri menjadi tugas guru mengawasi ucapan yang tepat, pula
aksen dan intonasi. Maka jelaslah bahwa pekerjaan ini sebaiknya dilakukan dalam
suatu praktikum bahasa, karena hanya dalam praktikum bahasa para murid dapat
bekerja dengan irama/tempo yang cocok dengan masing-masing pribadi dan guru dan
dapat secara berfikir menaruh perhatiannya kepada tiap murid tanpa mengganggu
yang lain. Lektur: para murid sesudah itu mengambil bukunya dan membaca naskah
tersebut nyaring-nyaring. Mereka berbuat demikian ketika dalam telinganya masih
berdengung-dengung bunyi teks tersebut, sehingga mereka tidak terlalu terpengaruh
oleh tulisan. Selama latihan itu guru harus memanfaatkan waktunya untuk meneliti
para murid, karena mungkin diantara mereka ada yang bingung melihat tulisan
bahasa dan menyuruhnya mendengar teks lagi, sambil mengikutinya dalam buku;
selanjutnya para murid harus beralih ikut mengucapkan, sehingga akhirnya mereka
itu dari pita sampai kepada pembacaan yang benar. Guru harus juga memperhatikan
teknik membaca–walaupun itu bukan tugasnya khusus–dan ia harus menyuruh murid
membaca seolah-olah menghadapi publik. Latihan semacam ini terutama penting bagi
para murid, oleh karena kita tahu, bahwa mereka kelak mungkin harus mengadakan
ceramah-ceramah, pembicaraan-pembicaraan di muka TV dan sebagainya.

Fase berikut digunakan untuk studi struktur, pola kalimat, pembentukan kata,
penyusunan kelompok kata dan sebagainya. Pada tiap pelajaran dapat dianalisis dua
hingga tiga struktur atas dasar kalimat-kalimat yang disajikan di dalam teks, kalimat-
kalimat yang hingga ketika itu sudah menjadi semacam otomatisme, para murid akan
menemukan sendiri, dibawah pimpinan guru, susunan sendiri dan pembentukan
struktur tersebut.

Segera mereka itu mempraktekkan rentetan latihan-latihan substitusi untuk belajar


menggunakan struktur tersebut sebagai satu keseluruhan, yang tidak lagi terikat
kepada satu contoh dalam naskah. Mungkin soalnya adalah soal transformasi, atau
soal derivative, tetapi hal itu hanya erat hubungannya dengan sifat struktur.
Bagaimanapun juga para murid segera beralih kepada berlatih dengan aturan-aturan
baru dan ini sebaiknya masih di dalam kelas dan langsung di bawah pengawasan
guru. Sesudah beberapa kali mendapat giliran latihan dan guru berpendapat bahwa
para murid sekarang sudah dapat menlanjutkan sendiri latihan-latihan itu, maka
latihan-latihan itu dilanjutkan dengan praktikum bahasa atau dirumah dengan pita
perekam atau plat gramapun.

Fase berikutnya daripada skema pelajaran barangkali merupakan yang paling penting
untuk berhasil baiknya kursus. Yang dipusatkan sekarang ialah latihan berbicara yang
mengumandangkan jam kenyataan yang sebetulnya dari proses belajar. Latihan
berbicara ini dipecah menjadi dua pokok kegiatan, yaitu:

1. Tiap murid harus mampu berbicara tentang pokok yang diberikan selama beberapa
menit; hal itu dapat dilakukan dengan membuat parafrase atas teks-teks yang
disajikan, dengan memberikan komentar kepada peta dasar atau peta biasa, dengan
mengembangkan sejumlah alasan mengenai suatu pemikiran.
2. Tiap murid harus dapat ikut serta dalam suatu konversasi, percakapan panil, suatu
debat, pada permulaan tentang hal-hal yang diberikan dalam buku pelajaran dan
menjelang akhir kursus tentang hal-hal/pokok-pokok di luar buku pelajaran. Giliran
latihan itu bagi tiap murid harus berlangsung menurut procede yang makin lama makin
sulit. Tugas gurulah yang harus mengetahui kemampuan seseorang murid (misalnya
murid x) dan memberikan kepadanya suatu tugas yang dapat dijalankannya. Amatlah
penting bahwa murid itu dapat menjalankan/menyelesaikan tugas yang diberikan,
agar tidak kendor semangatnya dan mendapatkan kesan seolah-olah lain-lain murid
lebih baik daripadanya. Dengan cara pemilihan yang teliti mengenai jenis latihan, guru
dapat membuat seluruh kelas percaya bahwa seluruh berevaluasi pada level yang
sama, walaupun tidak demikian kenyataannya. Latihan paling sederhana ialah
menghafal teks yang disajikan. Hal ini mungkin kurang interesan tetapi latihan
semacam itu memberikan kepercayaan yang mutlak kepada murid mengenai
kemampuan dalam lagu kalimat, irama dan pemakaian perbendaharaan kata. Sedikit
lebih sulit, jika murid harus menceriterakan kembali teks itu. Pada kesempatan itu ia
masih dapat menghafal beberapa kalimat tetapi sering ia melompati kalimat- kalimat,
sehingga ia terpaksa membuat kalimat-kalimat sendiri. Langkah berikutnya
memberikan teks kepada murid yang amat dekat atau hamper sama dengan teks yang
disajikan, tetapi berbeda juga sedikit karena susunan kalimat dan gagasan yang
tercantum di dalamnya. Hal ini memaksa murid untuk menyesuaikan apa yang telah
dipelajarinya dengan keadaan yang agak diubah. Pemberian persoalan dapat diatur
demikian rupa sehingga murid terpaksa berbicara tentang persoalan itu, yang dapat
diformulir menurut pola teks dan dengan lain kata persoalan yang dapat diselesaikan
dengan substitusi. Suatu contoh dapat memperjelas uraian tersebut di atas. Kalau
kelas (= para murid) sudah mempelajari sebuah teks tentang rapor sekolah, maka
murid:

1. Dapat menghafal teks yang dia pakai sebagai pelajaran itu;


2. Menyesuaikan teks pelajaran itu kepada angka-angka rapornya sendiri.
3. Memberikan komentar kepada rapor dari siapa saja.

Ada guru yang hanya memberikan title/judul, tetapi dalam fase ini para murid belum
mampu diberi tugas demikian. Biasanya mereka ini tidak dapat menemukan gagasan-
gagasan yang menyangkut judul itu; memang suatu kenyataan yang mengherankan,
bahwa ruang kelas itu amat sedikit memberikan inspirasi kepada para murid. Oleh
karena itu masih harus ada fase peralihan. Rekonstruksi teks adalah peralihan yang
baik sekali, para murid mendapat/meneriman teks dengan tempat-tempat yang
kosong, sedangkan pada teks itu terdapat ide/gagasan mengenai pemberian
persoalan, tetapi tidak tertulis selesai, bahkan pula kebanyakan kata-kata yang
menyangkut persoalannya. Maka para murid harus menyusun teks dengan bantuan
kata-kata yang diberikan dan ide-ide/gagasan-gagasan yang dianjurkan sambil
menjaga agar para murid itu membuat kalimat-kalimat yang korek dengan intonasi
yang tepat. Bagaimanapun juga teks itu tidak boleh dicatat. Satu langkah lebih maju
lagi ialah bahwa guru hanya memberikan rentetan gagasan, pada permulaan amat
luas dengan segala macam argumen yang mungkin, tetapi dalam bentuk skema. Para
murid harus menyusun uraian sendiri dari bahan-bahan kasar yang disediakan itu.
Makin lanjut kursus itu, makin sedikit jumlah gagasan yang diberikan, terutama makin
terbatas dalam penguraiannya, sehingga para murid terpaksa bekerja lebih intensif
sendiri. Hanya pada akhir kursus, dan hanya bagi murid-murid yang terbaik,
pemberian persoalan itu berupa hanya beberapa kata untuk mencapai hasil yang
lumayan. Deretan tersebut di atas jangan hendaknya diberikan secara “en block”
kepada semua murid sekaligus. Memang guru dapat memberikan tugas kepada murid
yang lemah untuk menceriterakan kembali teks, sedangkan kepada murid yang lain
untuk merekonstruksi teks, yang lain-lain lagi mengerjakan suatu rencana, dan yang
keempat menyelesaikan tugas (persoalan) yang hampir sepenuhnya dikerjakan
sendiri. Yang terpenting ialah tidak mengendorkan semangat murid dengan
memberikan kepadanya sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka, tetapi di
samping itu tidak menghambat murid yang baik dan selalu menjaga agar supaya nilai
rata-rata seluruh kelas tetap sama tiap orang harus ditingkatkan semaksimal mungkin.
Giliran-giliran untuk latihan yang berbentuk percakapan-percakapan dapat
berlangsung menurut skema “dari mudah ke sulit”, walaupun disini juga tidak mudah
untuk memberikan soal-soal yang sesuai, dengan bakat masing-masing murid. Soal
yang paling sederhana ialah menghafal dialog, kemudian mengadakan perubahan-
perubahan kecil di dalamnya, yang menyebabkan kita secara diam-diam makin
berpisah dengan apa yang dihafal, sesudah itu guru dapat beralih kepada permainan
tanya-jawab tentang pelajaran yang telah dipelajari dan tentang hal-hal yang
berkaitan. Pasti menjadi suatu kemutlakan untuk membuat percakapan dengan murid-
murid dewasa itu bersifat individuil dan hal ini berarti soal itu harus dilaksanakan
seolah-olah sesuatu yang betul-betul terjadi (wajar). Untuk tetap pada rapor sekolah
kita dapat memberikan latihan-latihan seperti:

1. Seorang ayah pergi menemui seorang guru untuk meminta penjelasan tentang
prestasi dari putra-putranya, percakapan ayah–guru;
2. Suatu rapat orang tua membicarakan hasil-hasil putra-putranya, seorang mengetahui
rapat itu, yang lain mengemukakan pendapat, mengadakan teguran-teguran,
mengajkan pertanyaan-pertanyaan dan sebagainya.

Jenis percakapan ini dengan cepat dapat dipraktekkan kepada lapangan kerja
kelompok. Kalau hal itu mengenai kelompok pemimpin kerja, dapat diberikan
pemraktekan atas “prestasi pegawai” dalam lingkungan suatu pabrik atau
perusahaan. Salah seorang pengikut memegang peranan sebagai direktur yang
menanyai pegawainya tentang keadaan bagiannya dan mengajukan usul-usul. Van
Passel telah mencoba mengadakan diskusi-diskusi semacam itu berpuluh-puluh kali
oleh pelbagai kelompok orang dan semua itu dengan hasil yang amat mengagumkan.
Kalau guru itu berhasil menggerakkan para pengikut (siswa) untuk menjalankan
peranan seperti yang sesungguhnya dalam kehdupan riil, yaitu seolah-olah mereka
itu betul-betul di dalam perusahaannya atau pabriknya maka orang-orang (= para
murid) itu:

1. Dengan segera mempunyai rentetan gagasan untuk membicarakannya.


2. Merasakan perlunya menjalankan peranan itu sebaik-baiknya.

Keseluruhan percakapan merupakan permainan reaksi dan kontra reaksi dengan


kata-kata dan pikiran-pikiran dan seluruh suasana mirip kehidupan yang
sesungguhnya dalam bahasa asing dan para pengikut belajar banyak dari
kesempatan itu. Guru yang baik dapat membanctu banyak untuk mensukseskan
percakapan semacam itu dengan menciptakan suasana yang tepat, dengan
membagi-bagi peranan itu sedemikian rupa, sehingga misalnya murid yang terbaik
berperanan sebagai direktur dan memimpin diskusi dan juga memiliki bakat untuk
memaksa yang lain ikut berkonversasi. Pada permulaan mungin masih perlu, bahwa
guru bertindak sebagai moderator, tetapi segera keadaan itu mungkin, guru harus
menyerahkan peranan-peranan itu sepenuhnya kepada para murid. Dia sendiri
berada di latar-belakang dan hanya sambil lalu menolong sebentar menggunakan
kata yang tepat atau salah. Selama perdebatan yang demikian itu para pengikut kalau
perlu boleh berjalan-jalan dalam kelas, menjelaskan gagasan-gagasannya pada
papan tulis dengan suatu peta dasar atau rencana kerja mengemukakan argumen-
argumen.

7. Kursus itu harus pula menyediakan teks cadangan (text reserve) dengan pelbagai
alasan. Murid-murid yang cepat/cerdas haru mendapat sesuatu tambahan
(supplementer) untuk mengisi waktu mereka. Bagi yang lain kebanyakan masih
memberikan informasi-informasi tambahan-tambahan tentang kehidupan, kebiasaan,
atau pikiran dari orang-orang yang berbahasa asing tersebut. Jadi teks itu dapat
menjadi perantaan untuk sesuatu pembicaraan, jika perlu suatu debat, jika isinya
mengizinkan.
8. Pernyataan bahasa secara tertulis tidak dapat menimbulkan problema besar jika
skema yang terdahulu itu betul-betul dilaksanakan. Soal-soal yang diberikan itu
sebetulnya hanya merupakan pemraktekan atas pokok-pokok yang dibicarakan
panjang lebar. Seorang murid dapat misalnya menulis uraiannya. Lain orang dapat
menulis surat kepada direksi sekolah mengenai rapor anaknya, yang lain lagi
membuat laporan tentang rapatnya, tentang diskusi yang telah diadakan dalam kelas.
Jika mungkin, guru akan meminta supaya latihan-latihan itu dibuat di rumah sehingga
selam kursus waktu sepenuhnya dapat digunakan untuk bekerja sama. Guru akan
mengoreksi pekerjaan murid dan mengembalikannya dengan komentar. Sekali tempo
ia (guru) akan menggunakan sedikit waktu untuk membicarakan kesalahan-kesalahan
yang umum dan yang berulang kali dibuat. Dalam kursus semacam ini terjemahan
tidak pada tempatnya. Suatu pengetahuan dasar tidaklah cukup untuk menghadapkan
murid kepada persoalan-persoalan/problema bertumpuk (tumpuk) memindahkan
kekhususan suatu bahasa ke lain bahasa yang dipelajari atau sebaliknya untuk
pengetahuan dasar ini masih telalu sulit dan terlalu khusus. Tetapi menarik pula untuk
membuat daftar dari semua yang bersifat idiom dan tidak cocok dengan aturan-aturan,
menghafalkan kolokasi yang sering terdapat tidak hanya menarik untuk lebel kursus
ini, tetapi juga dapat menjadi peringatan yang baik agar jangan menganggap enteng
menjadi penterjemah.

B.Fungsi Metode Pembelajaran Bahasa

Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah model


pembelajaran kegiatan berbahasa berdasarkan fungsi utama bahasa sebagai alat
untuk berkomunikasi. Para siswa dituntut untuk terampil berbahasa, yaitu terampil
menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa
tersebut harus dilakukan secara terpadu dalam satu proses pembelajaran dengan
fokus satu keterampilan. Misalnya, para siswa sedang belajar keterampilan
berbicara maka ketiga keterampilan yang lainnya harus dilatihkan juga, tetapi
kegiatan tersebut tetap difokuskan untuk mencapai peningkatan kualitas berbicara.
Sebagaimana fungsi pembelajaran yakni berupaya mengubah masukan berupa
siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki
pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan.
Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri
siswa. Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai
indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran (Salamun, 2002).
Variabel hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu
kefektifan, (2) efisiensi, dan (3) daya tarik.. Sering dikatakan bahwa pendekatan
melahirkan metode. Artinya, metode suatu bidang studi, ditentukan oleh pendekatan
yang digunakan. Di samping itu, tidak jarang nama metode pembelajaran diambil
dari nama pendekatannya. Sebagai contoh dalam pengajaran bahasa. Pendekatan
SAS melahirkan metode SAS. Pendekatan langsung melahirkan metode langsung.
Pendekatan komunikatif melahirkar metode komuniatif.Bila prinsip lahir dari teori-
teori bidang-bidang yang relevan, pendekatan Misalnya, pendekatan pengajaran
bahasa lahir dari asumsi-asumsi yang muncul terhadap bahasa sebagai bahan ajar,
asumsi terhadap apa yang dimaksud dengan belajar, dan asumsi terhadap apa yang
dimaksud dengan mengajar. Berdasarkan asumsi-asumsi itulah kemudian muncul
pendekatan pengajaran yang dianggap cocok bagi asumsi-asumsi tersebut. Asumsi
terhadap bahasa sebagai alat komunikasi dan bahwa belajar bahasa yang utama
adalah melalui komunikasi, lahirlah pendekatan komunikatif.
C.Ruang Lingkup Pembelajaran

Bila kita membicarakan pembelajaran, ada beberapa hal yang juga harus diketahui
yakni: strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran. Pengertian untuk istilah-
istilah itu sering dikacaukan. Apalagi terhadap tiga istilah, yaitu pendekatan, metode,
dan teknik biasanya terkacaukan (lihat Syafii 1994:15; Badudu 1996:17). Istilah
pendekatan sering dikacaukan dengan metode, misalnya kita sering mendengar
orang mengemukakan istilah pendekatan komunikatif disamping istilah metode
komunikatif. Sering pula pengertian metode dikacaukan dengan teknik, misalnya kita
sering mendengar orang menyebutkan istilah metode diskusi disamping istilah teknik
diskuasi.

1.Strategi Pembelajaran

Dick dan Carey (1985) yang dikutip oleh Suparman (1993:155) mengatakan bahwa
suatu strategi pembelajaran menjelaskankomponen-komponen umum dari suatu set
bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-
bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa. Dick dan
Carey menjelaskan lima komponen umum strategi pembelajaran, yaitu: a) kegiatan
prapembelajaran, b) penyajian informasi, c) partisipasi siswa, d) tes, dan e) tindak
lanjut.

2.Metode pembelajaran

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani methodos ’jalan’, ’cara’. Karena itu,
metode diartikan cara melakukan sesuatu.Dalam dunia pembelajaran, metode
diartikan ’cara untuk mencapai tujuan’. Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan
sebagai cara-cara menyeluruh (dari awal sampai akhir) dengan urutan yang
sistematis berdasarkan pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan
pendekatan bersifat filosofis, atau bersifat aksioma.Dengan demikian, metode
bersifat prosedural. Artinya, menggambarkan prosedur bagaimana mencapai tujuan-
¬tujuan pengajaran. Karena itu, tepat bila dikatakan bahwa setiap metode
pembelajaran mencakup kegiatan-kegiatan sebagai bagian atau komponen metode
itu.

3. Teknik Pembelajaran

Karena ada suatu alat lain yang digunakan langsung oleh guru untuk mencapai
tujuan pelajaran itu, yaitu teknik.Teknik artinya cara, yaitu cara mengerjakan atau
melaksanakan sesuatu. Jadi, teknik pengajaran atau mengajar adalah daya upaya,
usaha-usaha, cara-cara yang digunakan guru untuk melaksanakan pengajaran atau
mengajar di kelas pada waktu tatap muka dalam rangka menyajikan dan
memantapkan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran.

4.Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran sering dimaknai sama dengan pendekatan
pembelajaran. Bahkan kadang suatu model pembelajaran diberi nama sama dengan
nama pendekatan pembelajaran. Sebenarnya model pembelajaran memunyai
makna yang lebih luas daripada makna pendekatan, strategi, metode, dan
teknik.Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Dengan
kata lain, model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat kita
gunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas
dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya
buku-buku, media (film-film), tipe-tipe, program-program media komputer, dan
kurikulum (sebagai kursus untuk belajar

Simpulan :

1) Kaum behavioris yakin bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah masalah
pembiasaan dan pembentukan kebiasaan. Proses pembelajaran yang penting adalah
adanya stimulus dan respons dan adanya penguatan.

2) Teori generatif menggunakan pendekatan rasionalitik, maksudnya adalah mencari


penjelasan yang gamblang dan jelas tentang rahasia pemerolahan danbelajar bahasa. Ada
dua tipe teori generatif yang dikenal dalam penelitian bahasa, kedua teori tersebut yaitu
nativisme dan kognitivisme. Teori generatif menyatakan bahwa manusia lahir dengan
bakatnya.

3) Teori fungsional menekankan pandangan bahwa bahasa merupakan perwujudan


kemampuan kognitif dan afektif, untuk menyiasati dunia, untuk berkomunikasi dengan orang
lain, dan untuk diri sendiri; serta menngkaji fungsi bahasa menjadi pumpunan para penganut
fungsional

4) Beberapa isu pentinmg yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa, yaitu:

a. kompetensi dan performasi


b. komprehensi dan produksi
c. ajar versus dasar
d. tata bahasa universal
e. sistematisitas dan variabilitas
f. bahasa dan pikiran
g. peniruan (imitasi)
h. masukan
i. wacana

Anda mungkin juga menyukai