Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah adalah hak dasar setiap orang yang keberadaanya dijamin dalam
UUD 1945. Tanah merupakan salah satu sumber daya yang yang menjadi
kebutuhan dan kepentingan semua orang, badan hukum dan atau sektor-sektor
pembangunan. Tanah menjadi soal hidup dan mati, menyatu dengan peluh,
sehingga untu itu seseorang bersedia melakukan apa saja, sebagaimana pepatah
jawa mengatakan “Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan
wutahing ludiro”. Tanah menjadi sangat penting karena dibutuhkan untuk
melaksanakan aktivitas, oleh karena itu tanah perlu diatur melalui kebijakan dan
peraturan perundangan yang tepat, konsisten dan berkeadilan. Sesuai sifatnya yang
multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan menganai tanah
seakan tidak pernah surut. Satu permasalahan belum terselesaikan, telah muncul
permasalahan lain, atau mungkin juga permasalahan yang sama muncul kembali di
saat yang lain karena belum diperoleh cara yang tepat untuk mengatasinya.

Hukum Agraria Nasional bersumberkan pada hukum adat. Dalam sistem


hukum adat dikenal ada dua macam hak atas tanah, yaitu; 1). Hak atas tanah yang
dikuasai secara bersama oleh suatu masyarakat (hukum) adat, yang dalam istilah
teknis yuridisnya disebut hak ulayat; dan 2). Hak atas tanah yang dikuasai secara
perorangan. Hak Ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat atas segala
sumber daya agraria yang ada dalam wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Dengan demikian obyek dari hak ulayat meliputi segala sumber
daya agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Hak
Ulayat lahir bukan karena diciptkan oleh keputusan pejabat tetapi tumbuh dan
berkembang (serta juga dapat lenyap) sesuai dengan keberadaan dan perkembangan
kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


dasar Pokok-Pokok Agraria yang lazim juga disebut UndangUndang Pokok

1
Agraria (UUPA) bahwa hak ulayat diakui sebagai suatu hak atas tanah apabila
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Berdasarkan Pasal 3 UUPA bahwa hak
ulayat diakui sebagai suatu hak atas tanah apabila dalam kenyataannya memang
masih ada dan pelaksanaan hak tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional
serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam
kenyataannya masih belum adanya kesamaan pemahaman dan penafsiran (multi
tafsir) terhadap persyaratan tersebut, bahkan bebagai ketentuan perundang-
undangan masih menempatkan hak ulayat pada posisi yang berbeda dan
bertentangan. Perbedaan penempatan hak ulayat dalam ketentuan perundang-
undangan dan perbedaan tafsiran terhadap hak ulayat oleh berbagai pihak yang
berkepentingan telah menimbulkan konflik dalam penguasaan tanah ulayat.

Hal ini tentunya berakibat pada tidak dapat dimanfaakan tanah tersebut
secara optimal, di samping itu juga dapat menimbulkan ketidakharmonisan
hubungan antar masyarakat, pengusaha dan penguasa yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kerawanan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut dipandang urgen
untuk dilakukan kajian secara ilmiah tentang kedudukan dan pengakuan hak ulayat
dalam sistem hukum agrarian nasional, sehingga ada kesamaan persepsi dan diikuti
aksi nyata pejabat yang berwenang dan pemangku kepentingan lainnya terhadap
hak ulayat.

Masyarakat sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak


untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna
memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk
menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu dalam
penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-
mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan
kelompok, sehingga sifat penguasaannya mengandung unsur kebersamaan. Hak
bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan
tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, merujuk pada permasalahan tersebut

2
penulis tertarik untuk membahas terkait dengan “Konflik Dan Penyelesaian
Sengketa Penguasaan Tanah Adat”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Kedudukan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dalam Kaitannya Pada
Sumber-Sumber Hukum UUPA?
2. Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Sengketa Penguasaan Tanah Adat Dan
Dampak Yang Ditimbulkan?
1.3 Tujuan
1. Untuk menganalisis dan mengetahui Kedudukan Hak Ulayat Masyarakat Adat
Dalam Kaitannya Pada Sumber-Sumber Hukum UUPA.
2. Untuk menganalisis dan mengetahui Penyelesaian Perselisihan Sengketa
Penguasaan Tanah Adat Dan Dampak Yang Ditimbulkan.
1.4 Manfaat
1. Bagi Pemerintah
Dapat dijadikan sebagai pedoman serta sumber sumber terkait dengan
pembahasan serta pembentukan peraturan yang sesui dengan keadaan
masyarakat dan membantu dalam pengembangan peraturan yang bersangkutan.
2. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan wawasan yang luas terkait dengan kedudukan hak ulayat
masyarakat adat dan proses penyelesaian sengketa perselisihan yang terjadi.
3. Bagi Penulis
Membantu dalam menambah wawasan terkait dengan kedudukan hak ulayat
masyarakat adat dalam kaitannya pada sumber-sumber hukum UUPA, dan
penyelesaian perselisihan sengketa penguasaan tanah adat dan dampak yang
ditimbulkan.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dalam Kaitannya Pada Sumber-
Sumber Hukum UUPA
Kondisi hukum pertanahan yang berlaku saat ini dengan di undangkannya
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria
(disebut UUPA), yang mengakui keberadaan hak-hak atas tanah adat1 yang berlaku
diwilayah Indonesia, juga banyak yang menjadi sumber terjadinya sengketa
dimasyarakat. Sehingga sengat tepat apa yang digambarkan oleh Valerine J.L.
Kriekhoff, bahwa Hak masyarakat adat atas tanah menjadi topik “bak cerita
bersambung” yang tidak kunjung tamat dan semakin lama semakin “kompleks
dalam ceritanya”
Dari uraian diatas dapat digambarkan bahwa kedudukam tanah ulayat (lasim
disebut dengan istilah hak ulayat) masyarakat adat dalam hukum postif (UUPA)
yang secara formal diakui keberadaannya tetapi masih dapat disanksikan bahwa
pengakuan tersebut masih dalam tataran konsep namun belun dapat diaplikasikan
dalam bentuk nyata. Dan mungkin dapat dinyatakan bahwa pengakuan yang
diberikan oleh Negara terhadap keberadaan tanah masyarakat adat masih dalam
taraf pengakuan yang terbatas. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 5 UUPA
dinyatakan: Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Semakin jelas bunyi pasal diatas bahwa pengakuan terhadap keberadaan tanah
ulayat masyarakat adat adalah pengakuan yang sifatnya terbatas, artinya jika hak-
hak atas tanah masyarakat adat bersinggungan dengan kepantingan pemerintah
maka masyarakat adat tidak akan diberikan perlindungan yang penuh. Tidak
adanya pengakuan yang memberikan pengakuan yang penuh terhadap tanah

4
masyarakat hukum adat oleh pemerintah yang banyak menibulkan sengketa
pertanahan antara masyarakat dengan berbagai kalangan yang mendapatkan hak
atas tanah dari pemerintah yang berasal dari tanah masyarakat ulayat hukum adat.
Hal ini belum terlupakan sengketa masyarakat adat di Irian Jaya ( sekarang Papua),
yang pada tingkat Mahkamah Agung perkaranya di menangkan oleh Masyarakat
adat, tetapi oleh Mahkamah Agung sendiri mengeluarkan Surat sakti, sehingga
masyarakat tidak bisa melakukan eksekusi.
Masyarakat hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait
dengan ruang hidupnya yaitu “Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3
UUPA : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakathukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya. masih ada,harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional danNegara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak bolehbertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yanglebih tinggi”.
Secara hukum keberadaan hak ulayat dan masyarakat hukum adat telah diakui
dengan Pasal 3 UUPA, namun belum diatur secara lebih lanjut dalam bentuk
undang-undang dan pengakuan hukum yang sesungguhnya, oleh karena itu perlu
adanya penguatan kelembagaan adat yang dapat memfasilitasi masyarakat hukum
adat dalam berpartisipasi dalam pembangunan.
Dari bunyi pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa hukum agraria (UUPA)
mengakui keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia,
sepanjang keberadaannya masih hidup di masyarakat. Dalam konteks hak
menguasai negara atas tanah, maka kedudukan hak menguasai tersebut termasuk
hak menguasai berada di atas hak ulayat masyarakat adat.
Dalam konsep hak menguasai negara kaitannya dengan hak ulayat masyarakat
adat, tidak berarti bahwa negara menguasai summber-sumber daya agraria
termasuk hak-hak ulayat masyarakat adat adalah sekaligus juga sebagai pemilik
atas sumber daya agraria Indonesia. Melainkan hak menguasai tersebut merupakan
personifikasi dari kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang diserahkan dan

5
dipercayakan kepada negara sebagai menegerial demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sebab konsep penguasaan dengan konsep kepemilikan sangat
jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelum diberlakunynya UUPA yang
mengacu pada domein negara.

2.2 Penyelesaian Perselisihan Sengketa Penguasaan Tanah Adat Dan Dampak


Yang Ditimbulkan
Istilah konflik (conflict) berarti perselisihan atau, atau pertentangan yang
terjadi diantara dua orang atau lebih. Pada umumnya konflik dapat terjadi di mana
saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara
individu dengan individu maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lainnya. Pada hakekatnya, kasus pertanahan dapat dikategorikan ke dalam
konflik hukum dan konflik kepentingan. Pembedaan ini menjadi sangat penting jika
penyelesaian yang ditempuh tidak hanya sekedar menghentikan bentrok fisik dan
meredakan keresahan sosial yang timbul dari konflik pertanahan. Dalam hal ini,
penyelesaian konflik hendaknya berimplikasi positif bagi penciptaan dan
peningkatan kemakmuran warga masyarakat.
Pengertian sengketa dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sengketa berarti sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan, perebutan
antara pihak-pihak yang berkepentingan atas suatu obyek. Sementara itu, dalam arti
sempit, sengketa berarti hanya perkara yang diselesaikan di Pengadilan.
Beberapa kasus sengketa tanah ulayat yang sudah terjadi, upaya
penyelesaian sengketa yang sudah ditempuh oleh para pihak adalah ; pertama,
melalui proses negosiasi, dimana para pihak telah berusaha menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dengan melakukan musyawarah untuk menyelesaikan
bentuk dan besar ganti rugi termasuk pemberian uang adat sebagai kompensasi atas
pemanfaatan tanah ulayat.
Kedua, dilakukan melalui proses mediasi dengan bantuan pihak ketiga
(mediator). Dalam hal ini para pihak berusaha menyelesaikan sengketa yang sedang

6
mereka hadapi dengan meminta bantuan pihak ketiga sebagai penengah, yaitu
pemerintah daerah.
Ketiga, ketika upaya negosiasi dan mediasi tidak mendatangkan hasil,
masyarakat sebagai salah satu pihak yang bersengketa menempuh jalan terakhir
dengan mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Dan ditempuh berbagai upaya
mulai dari tinglat Pengadilan Negeri, Banding, bahkan Kasasi di Mahkamah
Agung.
Terkait dengan dampak yang ditimbulkan yaitu timbulnya kerenggangan
social di antara warga masyarakat, terjadinya konflik antar masyarakat terhadap
pemerintah ketika keputusan yang dihasilkan dari perselisihan memberatkan salah
satu pihak. Dan tentunya memberikan dapak yang sangat besar terhadap
perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung yang
dirasakan oleh masyarakat.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. Pada prinsipnya hak ulayat masyarakat hukum adat telah mndapat tempat yang
terhormat dalam hukum tanah nasional (UUPA), sebab secar limitative telah
mendapat pengakuan dan perlindungan hukum baik dalam UUD 45 maupun
dalam UUPA. Hanya dalam rangka kegiatan pembangunan yang demikian
giatnya kedudukan hak ulayat masyarakat adat dewasa ini sekan-akan semakin
termarginalkan. Dengan demikian walaupun secara law in book hak ulayat
masyarakat adat sudah mendapat legalitas namun sering tersingkir oleh
kepentingan kolompok yang bersekomkol dengan kekuasaan.
2. upaya penyelesaian sengketa dapat melalui pertama, melalui proses negosiasi,
Kedua, dilakukan melalui proses mediasi dengan bantuan pihak ketiga
(mediator). Ketiga, ketika upaya negosiasi dan mediasi tidak mendatangkan
hasil, masyarakat sebagai salah satu pihak yang bersengketa menempuh jalan
terakhir dengan mengajukan kasus tersebut ke pengadilan.

3.2 Saran
1. Sebaiknya hak ulayat masyarakat adat yang sudah mendapat legalitas baik
dalam konstitusi maupun UUPA, oleh pemerintah diberikan perlindungan dan
kepastian hukum dengan melakukan pendaftaran sehingga tidak dengan mudah
tergusur oleh kepentingan dengan dalih untuk pembangunan kepentingan
umum.
2. Pemerintah Daerah harus lebih kooperatif lagi dalam menanggapi setiap
persoalan tanah ulayat yang terjadi. Sebagai pihak ketiga harus netral atau tidak
memihak kepada salah satu pihak dan hendaknya bisa memfasilitasi setiap
sengketa yang terjadi sehingga tidak berlarut-larut karena pemerintah daerah
yang mengetahui sejak awal bagaimana proses penyerahan tanah ulayat terjadi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abna, Bachtiar & Sulaiman, Dt. Rajo, 2007, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah
Ulayat, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera
Barat, Padang.
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jembatan, Jakarta
Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta
I Nyoman Nurjaya, 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam, Dalam Perspektif
Antropologi Hukum, Perstasi Pustaka Publiser, Jakart

Anda mungkin juga menyukai