I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak terlepas dari beradaban
(civilization) dan memakaikan agama (religion) sebagai baju bangganya, HAR. Gibb (1859-
1940) mengatakan, Islam is a complete civilization (Islam adalah sebuah peradaban yang
sempurna). Meskipun demikian, kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum
mengerti betul apa itu peradaban dan Islam sebagai agama yang sempurna belum masuk di
hati bangsa ini.
Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu al-Islama duna al-Muslimah, yaitu nilai-
nilai Islam dapat ditemukan di tengah-tengah non-Muslim, dan sebaliknya nilai-nilai non-
Muslim banyak ditemukan pada masyarakat Islam. Mengapa? Karena masyarakat Muslim
sekarang sudah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membuat Islam
sendiri runtuh dari nilai tauhidnya.
Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin lama dikuasai oleh non-Muslim,
alangkah baiknya, sebagai negara yang menghormati peradaban dan sejarah. Khususnya
Muslim ditekankan mengetahuai sejarah-sejarah nenek moyang yang sudah mendahuluinya
sebagai bahan renungan dan pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?
2. Siapa sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3. Bagaimana masa kemajuan Bani Umayyah?
4. Bagaimana masa kemunduran Bani Umayyah?
II. PEMBAHASAN
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu
telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase
ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M).
Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa
Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik,
keagamaan, intelektual dan peradaban.
1. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya
yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan
itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi
politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri
yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga
dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi
dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah
menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga
masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan
orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus
kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua
berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai
tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus
berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau
menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa
Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama
Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin
yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka
serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan
Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini
memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di
tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa
Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para
Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani
Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a) Syiria dan Palestina;
b) Kuffah dan Irak;
c) Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah (Afrika Utara);
i) Yaman dan Arab selatan, dan
j) Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu :
Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[2]
Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara
(Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat
departemen pokok (dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk
mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat
dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan
bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa
Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh
negara Islam.
b) Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-
Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-
berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik
berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah
harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat
yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu
membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke
arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-
anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk
daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.
Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah
Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang
dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-
kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di
samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku
berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
5) Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah
kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang
kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah
barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain
di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap
Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai
penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir,
ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin
Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin
Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan
dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol
jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang
kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan
ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah
barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis,
namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan
memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk
mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[3]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan,
menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina
diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-
menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan
pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.
[4]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89
H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian
tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah
selatan Punjab dan Brahmanabat.
2. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-
orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah.
Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah,
namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan
banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara
berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium
Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi
Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang
ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik,
obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk
mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas
perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah
lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus.
Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti
Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz
(semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar
pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan
setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan
penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
3. Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab
mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan
tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun
Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-
orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada
perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah
adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem
sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada
keturunan raja.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam
administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur
Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya
penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu
Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani
Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-
ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang
seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi,
kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah
sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di
Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi
untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang
dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[5]
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara
sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan
menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan
ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi
ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang
filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu
Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin
Jabbar (ahli tafsir).
5. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad
ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu
dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu
merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama.
Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan
Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan
salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan Internasional yang terbentang antara
China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah.
6. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-Rasydun
yang menguasai keduanya. Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun dari
keluarga Umayyah.
7. Sistem Fiskal
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman
permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu
kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun
saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara,
serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian
terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan
perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran dengan
mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum
Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
8. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada
perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang
damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk
Islam, dan mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan
tidak mengganggu lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani
Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah
dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya.
9. Sistem Peradilan
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan
perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan
politik.
10. Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab
Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang
nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu
Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir dan
ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga
Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa Arab.
Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung
berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu
kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan
seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock)
yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
11. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau
setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang
wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah
terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta
bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas
meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.
IV. PENUTUP
Demikian makalh ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak
sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dan kontruktif sangat di harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya.
Semoga makalh ini dapat di jadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang
budiman, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Pustaka Setia: Bandung,
2013), hlm. 127.
[2] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) hlm.151.
[3] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung
Sumur Bandung.tth) hlm.85
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978), jilid
1, hlm.61.
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010), h.40
[6] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (cet ke-5, Bandung: Salamadani, 2012), hlm.
64-65
[7] Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.236
[8]A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951), h.99
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 118-136.