Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh
Ullis Marwadhani
NIM I4061171016
Pembimbing
dr. Ranti Waluyan
3
LEMBAR PERSETUJUAN
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang
dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible
sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua
gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau emfisema.
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
B. Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu
gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53%
pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan
6 menjadi peringkat ke-3 di dunia penyebab kematian tersering. Prevalensi PPOK
meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalens ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan
3
gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana angka
kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian
akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan
bertambahnya usia.
Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada
Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin
meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar
59.936 vs 59.118.
C. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi
faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain
adalah:
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian
akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan
4
status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar
debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di
tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari
peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien
PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK
pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan
parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
5
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh
hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
D. Patofisiologi
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat
6
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar
sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan
eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem
sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan
struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai
dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping
itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T
sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga
meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting
juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4
yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan
kelenjar submukosa penghasil sekret.
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian
akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam
saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi
pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit
pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu
jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan
7
proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor
risiko yaitu asap rokok.
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik
melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya
kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun.
Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa
respon inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan
dari penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada
sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi,
lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan
temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi
perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami
demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa
demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah
berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
8
mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.
1. Bronkitis Kronis
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan
menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau
polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini.
Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang
menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian
epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar
penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok
juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis).
Akibatnya makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat
kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus
dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya
pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatnya risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan
penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan
yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan
bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang
kurang dari 0,4 mm. Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan
pada saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q)
9
tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia
mengakibatkan hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan
(cor pulmonale). Pasien dengan hipertensi pulmonari mengalami peningkatan
persentasi intima dan media pada arteri pulmonari.
2. Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung
jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan
kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan
pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema
sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu ruang.
Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris yang lebih distal dapat
dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-
paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih
banyak ditemukan pada orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang
tidak merokok.
10
Gambar 4. Mekanisme terjadinya emfisema
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim
ini akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1-
antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada
alveous menyebabkan emfisema.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara,
batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
11
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
• Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
• Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).
• Penggunaan otot bantu napas.
• Hipertropi otot bantu napas.
• Pelebaran sela iga.
• Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah.
d) Auskultasi
• Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
• Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.
• Ekspirasi memanjang.
• Bunyi jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
b) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
12
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau
dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara
dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian
komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan
pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan
untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, bersama dengan penilaian gejala dan
adanya komplikasi. Keuntungan utama dari spirometri adalah dapat mengidentifikasi
individu yang memiliki kemampuan farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.
13
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfgsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10.Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
F. Diagnosis Banding
14
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yan Pneumotoraks
3. Gagal jantung kronik
4. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.
15
Penatalaksanaan
Kortikosteroid Untuk kasus sedang hingga berat Untuk kasus ringan hingga berat
Inhalasi Tidak direkomendasikan persisten
Leukotriene Digunakan untuk maintenance dan Digunakan sebagai medikasi
modifier selama eksaserbasi pengontrol
Anticholinergic Hanya digunakan pada
inhalasi eksaserbasi. Tidak diindikasikan
untuk maintenance
Tabel 4. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut GOLD
2010
Tingkat Nila FEV1 dan Gejala
I FEV1/FVC < 70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak selalu, ada
Ringan gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien
biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
II FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
III FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi
Berat berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan
sesak nafas atau serangan penyakit.
IV FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
Sangat Berat respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan
atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini,
kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam
jiwa.
G. Penatalaksanaan PPOK
a. Terapi Non-Farmakologis
16
1. Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK
dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka
panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
2. Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan
psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan
perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan
penting yang berarti dalam program rehabilitasi paru.
3. Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak
aktif yangdirekomendasikan.
4. Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih
tua dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan
pasien lebih muda dari 65 tahun.
5. Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.
b. Terapi Farmakologis
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan
dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK
berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
17
regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan
antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan
ini adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium
bromida (beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan
penghambatan terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang menguraikan
senyawa fosfatidil inositol difosfat menjadi inositol trifosfat dan diasilgliserol.
Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang beraksi memobilisasi kalsium dari
tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.
• Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2
bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk
meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP).
cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada
gilirannya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini
juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.Efek bronkodilatasi β-
agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis aksi
panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12
jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan
penggunaan teratur pada pasien PPOK.
• Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika
perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi
dua golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan
digunakan sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya
sehingga menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis
aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan
efek perbaikan gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa
kombinasi tiotropium bromide dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi
paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
• Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP),
menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos,
antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,
antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator
18
dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan
perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara
subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi
latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin
menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi
jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan
mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan
enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus
atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika
pada pasien-pasien yang:
a) Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan
dyspnea (sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi
sputum, atau
b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya, atau
19
c) Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif
maupun non-invasif. Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi
adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella
catarrhalis.
6. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah
diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun
mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara
20
keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010,
penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.
21
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang padacor
pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,
terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat
mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif
pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonalemasih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal
jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-
hati, dan tidak boleh digunakan selama fase akutkarena dapat meningkatkan
risiko terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga
dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga
dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol
penyakit paru seperti PPOK.
22
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Nama : Tn.S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun
Alamat : Jl. Kridasan gg. Karya II 28/11, Pasiran
Pekerjaan : Penyinso Kayu
MRS :27 Juli 2019 (10.30)
ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas yang bertambah hebat sejak 12 jam SMRS
Keluhan tambahan
Keluhan lain batuk berdahak (+) sejak 1 minggu, di sertai darah (+) 3 hari SMRS, demam
hilang timbul 2 hari SMRS, mual (+), muntah (-), penurunan BB (+).
Keluhan lain batuk berdahak (+) sejak 1 minggu, di sertai darah (+) 3 hari SMRS, demam
hilang timbul 2 hari SMRS, mual (+), muntah (-), penurunan BB (+).
23
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
Riwayat kebiasaan
Riwayat sosioekonomi
Status gizi
BB: 50 kg
TB: 170cm
BMI: 17,03
Kesan : Gizi kurang
Gizi : kurang
Dehidrasi :-
Suhu : 36,8°C
24
Keadaan spesifik
Kulit
Warna sawo matang, agak kemerahan, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-),
sianosis(-), scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-),pucat pada telapak tangan dan
kaki, pertumbuhan rambut normal.
Kepala
Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera
ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak
ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan, pursed lips
breathing (+).
Leher
Pembesaran KGB di supraklavikula dekstra (+), deviasi trachea (-), JVP meningkat (-),
Dada
dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, pada kondisi dinamis dada kanan
dan kiri tidak ada yang tertinggal, retraksi suprasternal (+), nyeri tekan (-), nyeri ketok di
dada (-), krepitasi (-).
25
Paru-paru
I: Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga melebar
(+)
A: Vesikuler (+) melemah pada kiri lapangan paru, ronkhi (+) pada kiri lapangan
paru, wheezing (-/-)
Jantung
P: batas jantung atas ICS III, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas
jantung kiri 2 jari linea midklavikularis sinistra
Abdomen
I: Datar
P: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, tumpul, rata,
konsistensi kenyal, lien tidak teraba
A: BU (+) Normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa
Ektremitas bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.
26
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kesimpulan :
• Sinus Takikardi, regular
• HR 115 bpm
• Axis : Frontal axis : RAD
• Horizontal axis : normal
• PR interval : 0,16 ms
• QRS complex : 0,08 ms
• QT interval : 0,36 ms
• Conclusion : normal sinus takikardi with HR 115 BPM
27
LED 10 mm/jam L < 10 mm/jam, P < 15
mm/jam
Pemeriksaan radiologi
Diagnosis kerja:
28
Penatalaksanaan:
Nonfarmakologis
• Tirah Baring
• Istirahat, dengan setengah duduk, O2 2-3 lt/menit
• Diet tinggi protein, tinggi kalori dan rendah karbohidrat
Farmakologis
Prognosis:
29
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. 2005. Patogenesis dan pengobatan pada penyekit paru obstruksi kronik.
Kongres Nasional X PDPI. Solo. P: 1-7.
Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan
ilmu kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2010. Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease update 2010.
Hisyam. 2001. Pola Microba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi
di RS. Dr Sarjito. Jurnal Penelitian Universitas Gajah Mada Vol 33. No 1. Yogyakarta
Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya,Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Mangunnegoro, H. 2001. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .Jakarta
W. Sudoyo, Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Universitas Indonesia PDPI. 2006.
PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta.1-18.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru
ObstruksiKronik) Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
30