Anda di halaman 1dari 17

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kasus dan Identifikasi Resiko


3.2 Impaksi
Gigi molar ketiga merupakan gigi yang paling terakhir erupsi diantara gigi
permanen yang lain. Gigi ini erupsi setelah lebih dari lima tahun sejak gigi molar kedua
permanen erupsi dalam rongga mulut. Erupsi gigi molar ketiga menandakan seseorang telah
menjadi dewasa. Gigi ini erupsi pada keempat kuadran rongga mulut, sehingga proses
oklusi dapat lebih sempurna.
Tetapi pada kenyataannya pertumbuhan gigi molar ke tiga sering menimbulkan
masalah dan menimbulkan keadaan infeksi pada jaringan lunak disekitarnya sehingga
mengganggu kenyamanan mulut dan gigi geligi yang lain . Banyak gigi molar ketiga yang
tidak mengalami erupsi sempurna karena mengalami gangguan erupsi. Gangguan tersebut
adalah suatu keadaan dimana gigi molar ketiga terhalang pertumbuhannya untuk mencapai
kedudukan normal. Hal tersebut merupakan gangguan umum yang terjadi di negara
dengan standar kehidupan yang tinggi. Namun Indonesia yang termasuk negara
berkembang tidak luput dari masalah gangguan erupsi gigi molar ketiga. Dibuktikan
dengan semakin besarnya angka kejadian impaksi sebagai akibat gangguan pertumbuhan
gigi molar ketiga. Menurut beberapa ahli, frekuensi impaksi gigi molar ketiga maksila
adalah yang terbanyak dibandingkan dengan molar ketiga mandibula.
Kenyataannya di Indonesia berbeda, impaksi gigi molar ketiga mandibula ternyata
frekuensinya lebih banyak daripada gigi molar ketiga maksila (Bhiswari, 2010).

3.2.2 Pengertian, Etiologi, dan dampak


Pada kamus Dorland disebutkan bahwa impaksi adalah gigi yang terpendam
didalam tulang alveolus dimana erupsinya terhambat atau posisinya terkunci dalam tulang.
Dijelaskan lebih lengkap oleh Biswari et al (2010) bahwa impaksi adalah gigi yang
mengalami posisi erupsi tidak normal yang disebabkan kekurangan tempat (dental arch),
obstruksi gigi tetangga, atau pertumbuhan posisi yang tidak normal.

7
Sebanyak 40% gigi molar ke tiga erupsi dengan keadaan impaksi sebagian maupun
impaksi seluruhnya. Paling banyak ditemukan kasus gigi impaksi pada gigi molar ke tiga
mandibula.
Faktor mayoritas yang mempengaruhi terjadinya impaksi adalah kekurangan jarak
mesiodistal, pertumbuhan tulang yang terbatas, gigi-geligi yang erupsi ke arah distal,
pertumbuhan kondilus yang mengarah vertikal, ukuran mahkota dan perkembangan molar
ke tiga yang lambat , jaringan sekitar gigi yang terlalu padat, persistensi gigi sulung,
tanggalnya gigi sulung terlalu dini, dan faktor genetik, tulang rahang yang sempit.
Archer menyebutkan adanya reduksi ukuran tulang rahang ini disebabkan karena
perkembangan peradaban manusia, antara lain bahan makanan manusia yang semakin
lunak, sehingga kurang atau tidak merangsang pertumbuhan tulang rahang. Berkurangnya
rangsangan mastikasi pada tulang rahang dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
atas kurangnya ruang untuk tempat erupsi gigi molar ketiga mandibula.
Impaksi dapat menyebabkan berbagai kondisi patologis yang mempengaruhi
kesehatan gigi dan mulut, diantaranya adalah karies, resorbsi akar, kista prosesus,
periodontitis, infeksi periapikal, tumor odontogenik, dan perikoronitis.

3.2.3 Klasifikasi impaksi


George B Winter, G.J. Pell & Gregory menklasifikasikan impaksi molar ke tiga
mandibula sebagai berikut :
a. Berdasarkan dalamnya molar ketiga mandibula impaksi di dalam rahang :
Posisi A : Bagian tertinggi dari molar ketiga bawah impaksi sama dengan
oklusal plane gigi molar kedua mandibula .
Posisi B : Bagian tertinggi dari molar ketiga bawah impaksi terletak di bawah
molar kedua bawah, dan diatas cervical line molar kedua mandibula
Posisi C : Molar ketiga bawah impaksi terletak dibawah garis servikal gigi
molar kedua mandibula.

8
Gambar I. Posisi impaksi berdasarkan dalamnya molar ke tiga didalam rahang.
Sumber: Fragiskos D. Oral Surgery. Data Primer, 2007

c. Berdasarkan sumbu panjang/axis molar ketiga bawah impaksi dengan


sumbu panjang molar kedua mandibula :
Posisi Mesioangular : Condong/miring ke mesial
Posisi Distoangular : Condong/miring ke distal
Posisi Vertikal : Gigi impaksi normal/tegak/vertikal
Posisi Horizontal: Gigi impaksi datar/tertidur/horisontal
Posisi Buccoangular : Condong/miring ke bukal
Posisi Linguoangular : Condong/miring ke lingual
Posisi Inverted : Gigi impaksi terbalik
Posisi Unusual: Horisontal dan terletak jauh kedistal dari tempat semestinya
.Disamping juga dapat terjadi : Buccal version, Lingual version, Torso version.

9
Gambar II. Posisi impaksi berdasarkan sumbu aksis molar ketiga mandibula. Sumber :
Fragiskos D. Oral Surgery. Data Sekunder, 2007

3.3 Pericoronitis
Pada keadaan normal, operkulum yaitu mukosa gingiva yang meliputi benih gigi
yang sedang dalam proses erupsi, secara fisiologis akan membuka, lambat laun atrofi dan
menghilang, sehingga memungkinkan gigi untuk muncul di rongga mulut. Pada gigi
bungsu yang mengalami impaksi parsialis, operkulum menetap dan celah dibawah
operkulum menjadi tempat akumulasi debris yang menjadi media sempurna untuk
pertumbuhan kuman anaerob. Operkulum juga dapat mengalami trauma gigitan dari molar
ketiga rahang atas yang sudah erupsi. Dalam proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga
mulut, benih gigi akan menembus tulang alveolar dan mukosa gingiva di atas benih gigi.
Hal itu terjadi akibat dorongan ke arah permukaan karena pertumbuhan/ pertambahan
panjang akar gigi disertai retraksi operkulum/gingiva yang semula menutupinya. (Widya,
2014).
Perikoronitis adalah infeksi non spesifik pada gingival disekitar mahkota gigi yang
erupsinya tidak sempurna, terjadi karena adanya akumulasi debris dan bakteri dibawah
operculum gigi yang sedang erupsi. Penyebab pericoronitis antara lain bakteri fusiform dan
spirillum, streptococci, staphylococci serta baketi anaerob lain yang biasa ditemukan pada

10
poket periodontal. Bakteri Vincent dapat ditemukan di sepanjang tepi operculum yang
berasal dari poket pericoronal.
Operculum menjadi tempat retensi dan impaksi makanan serta media pertumbuhan
bakteri yang baik. Jaringan operculum ini memberikan perlindungan, kelembaban, suhu
yang hangat, sumber makanan dan suasana yang gelap yang sangat cocok untuk
perkembang biakan bakteri. Perikoronitis dapat menimbulkan gejala akut, kronis maupun
tanpa gejala. Gejala tersebut dapat berupa lokal maupun sistemik (Kadaryati,2007).

3.3.1 Klasifikasi Perikoronitis


Perikoronitis secara klinis terbagi menjadi tiga, yaitu perikoronitis akut,
perikoronitis subakut, dan perikoronitis kronis (Topazian, 2002).

A. Perikoronitis Akut
Perikoronitis akut diawali dengan rasa sakit yang terlokalisir dan kemerahan pada
gingiva. Rasa sakit dapat menyebar ke leher, telinga, dan dasar mulut. Pada pemeriksaan
klinis pada daerah yang terinfeksi, dapat terlihat gingiva yang kemerahan dan bengkak,
disertai eksudat, dan terasa sakit bila ditekan. Gejala meliputi limfadenitis pada kelenjar
limfe submandibularis, dan kelenjar limfe yang dalam, pembengkakan wajah, dan eritema,
edema dan terasa keras selama palpasi pada operkulum gigi molar, malaise, bau mulut,
eksudat yang purulen selama palpasi. Demam akan terjadi apabila tidak diobati. Umumnya
serangan akut dapat menyebabkan demam dibawah 38,5°C, selulitis, dan ketidaknyamanan.
Pada inspeksi biasanya ditemukan akumulasi plak dan debris akibat pembersihan yang sulit
dilakukan pada pseudopoket sekitar gigi yang erupsi sebagian. Trismus dapat terjadi pada
perikoronitis akut. (Shepherd and Brickley, 1994).
B. Perikoronitis Subakut
Perikoronitis subakut ditandai dengan timbulnya rasa kemeng/nyeri terus menerus
pada operkulum tetapi tidak ada trismus ataupun gangguan sistemik. (Shepherd and
Brickley,1994).

11
C. Perikoronitis Kronis
Perikoronitis kronis ditandai dengan rasa tidak enak yang timbul secara berkala.
Rasa tidak nyaman dapat timbul apabila operkulum ditekan. Tidak ada gejala klinis yang
khas yang menyertai perikoronitis kronis. Pada gambaran radiologi bisa didapatkan resorpsi
tulang alveolar sehingga ruang folikel melebar, tulang interdental di antara gigi molar
kedua dan molar ketiga menjadi atrisi dan menghasilkan poket periodontal pada distal gigi
molar kedua (Laine et al,2003).

3.3.3 Tatalaksana Pericoronitis


A. Dengan Pembedahan (Operkulektomi, Odontektomi)
Sebagaimana pembedahan pada bagian tubuh lain, perlu diwaspadai penyakit
sistemik khususnya pada pasien dewasa tua seperti gangguan metabolisme, penyakit sistem
kardiovaskular, dan obat yang sedang diminum contohnya aspilet. Bila ada infeksi, maka
infeksi harus dihilangkan lebih dahulu. Tindakan bedah yang dilakukan tergantung pada
jenis kasus, mulai dari tindakan sederhana seperti operkulektomi dengan kauter yaitu
pengangkatan operkulum yang menutupi gigi yang diprediksi dapat muncul ke permukaan
gingiva (Gambar 9a dan 9b).

Tindakan yang radikal adalah odontektomi, yaitu pengangkatan gigi impaksi


dengan pembedahan (Gambar 10). Odontektomi dengan anestesi lokal, dapat dilakukan
pada pasien yang kooperatif, dan cukup dirawat jalan. Pada pasien dengan tingkat ansietas
tinggi, diberikan anestesi lokal ditambah sedasi sadar, atau dengan anestesi umum. Anestesi

12
umum khususnya diberikan pada kasus impaksi yang sangat sulit, atau pada pasien yang
tidak kooperatif, seperti penderita gangguan mental. Pasien harus dirawat inap dan
diberikan premedikasi seperlunya pada pra-bedah dan saat pemulihan pasca bedah.

Pada beberapa pasien ketika mengetahui memiliki gigi bungsu impaksi, secara
spontan menghendaki odontektomi walaupun tanpa keluhan. Hal tersebut ditujukan untuk
menghindari kemungkinan komplikasi yang mungkin timbul kelak. Tindakan profilaksis
tersebut dikenal dengan odontektomi preventif (Friedman 2007:1556). Tindakan
odontektomi jauh lebih sulit dan berisiko lebih tinggi bila dilakukan pada gigi impaksi
totalis-vertikal dibandingkan dengan gigi impaksi parsialis-horisontal. Sebenarnya,
odontektomi lebih mudah dilakukan pada pasien usia muda saat mahkota gigi baru saja
terbentuk, sementara apeks gigi belum sempurna terbentuk. Jaringan tulang sekitar juga
masih cukup lunak sehingga trauma pembedahan minimal, tidak mencederai nervus atau
jaringan sekitar. Odontektomi pada pasien berusia diatas 40 tahun, tulangnya sudah sangat
kompak dan kurang elastis, juga sudah terjadi ankilosis gigi pada soketnya, menyebabkan
trauma pembedahan lebih besar, dan proses penyembuhan lebih lambat.
Odontektomi kadang-kadang perlu dilakukan pada dewasa tua, misalnya bila gigi
impaksi tersebut diperkirakan akan mengganggu stabilisasi gigi tiru yang akan dipasang.
Selain itu, spesialis bedah mulut kadang-kadang menerima rujukan pasien dari spesialis
ortodonsi agar mencabut gigi bungsu yang impaksi. Tindakan itu dimaksudkan agar gigi
geligi yang akan ataupun yang sudah diatur posisinya tidak kembali malposisi karena
desakan gigi yang impaksi. Tindakan odontektomi harus dilakukan pada gigi bungsu dan

13
molar kedua yang gangren pulpa serta pada kasus infeksi perikoronal yang berulang agar
tidak timbul kedaruratan medik. Odontektomi disertai enukleasi kista dan kuretase tulang
sekitarnya dilakukan pada kasus kista dentigerous dan kista radikular (Archer 1974:29;
Friedman 2007:1554; Hupp 2008).

3.3.4 Indikasi dan Kontra indikasi Operkulektomi


Indikasi:
1. Erupsi sempurna ( bagian dari gigi terletak pada ketinggian yang sama pada
garis oklusal).
2. Adanya ruang yang cukup untuk ditempati coronal, adanya ruangan yang cukup
antara ramus dan sisi distal M2
3. Inklinasi yang tegak
4. Ada antagonis dengan oklusi yang baik.
Kontraindikasi:
1. Erupsi tegak tetapi erupsi belum sempurna karena tertutup tulang
2. Erupsi horizontal → saat difoto posisi gigi miring
3. Perikoronitis akut

3.4 Diabetes Melitus


Diabetes Mellitus adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan hyperglikemia
oleh defisiensi insulin yang absolute dan relative. Seseorang disebut Diabetes Mellitus, bila
kadar gula darah (glukosa) pada plasma vena diatas 200 mg/dl dan darah kapiler diatas 200
mg/dl. Sedangkan kadar glukosa darah saat puasa diatas 126 mg/dl (plasmavena) dan diatas
110 mg/dl (darah kapiler). Tingginya kadar gula darah adalah akibat ketidaknormalan
sekresi insulin dan aksi insulin. Insulin merupakan hormon protein yang disekresi oleh sel
beta Langerhans di pancreas. Fungsi insulin sendiri sebagai reseptor bagi sel untuk
menerima glukosa. Tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk dalam sel sehingga kadar
glukosa dalam darah meningkat. Insulin dapat mempengaruhi pembuluh darah secara
langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung, dengan mempengaruhi produksi
sitokin proinflamasi. Sedangkan pengaruh tidak langsung dengan menurunkan kadar

14
glukosa darah pada tingkat selular, mengurangi sekresi citokin proinflamasi (Fatimah,
2015).

3.4.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Berdasarkan etiologinya, American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2007


mengklasifikasikan DM menjadi empat yaitu:
(1) DM tipe I (umumnya terjadi defisiensi insulin absolut). Pada DM tipe ini terjadi
kerusakan sel beta pankreas akibat proses imunologik ataupun idiopatik.
(2) DM tipe II (bervariasi mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif
sampai gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin).
(3) DM tipe lain. DM tipe ini disebabkan oleh penyakit lain, seperti defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, induksi obat
atau bahan kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetik lain.
(4) Diabetes kehamilan (diabetes yang didiagnosis selama kehamilan).

3.4.2 Pemeriksaan Kadar Glukosa


Dalam menetapkan diagnosis DM bagi pasien biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan kadar glukosa darahnya. Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah pasien yang
umum dilakukan adalah (Tandra, 2008) :
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah setelah puasa.
Kadar glukosa darah normal setelah puasa berkisar antara 70-110 mg/dl. Seseorang
didiagnosa DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri lebih dari 126
mg/dl dan lebih dari 140 mg/dl jika darah yang diperiksa diambil dari pembuluh vena.
2. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu.
Jika kadar glukosa darah berkisar antara 110-199 mg/dl, maka harus dilakukan test
lanjut. Pasien didiagnosis DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri
ataupun vena lebih dari 200 mg/dl.

15
3. Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO).
Test ini merupakan test yang lebih lanjut dalam pendiagnosaan DM. Pemeriksaan
dilakukan berturut-turut dengan nilai normalnya : 0,5 jam < 115 mg/dl, 1 jam < 200 mg/dl,
dan 2 jam < 140 mg/dl.
Selain pemeriksaan kadar gula darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan HbA1C
atau glycosylated haemoglobin. Glycosylated haemoglobin adalah protein yang terbentuk
dari perpaduan antara gula dan haemoglobin dalam sel darah merah (Tandra, 2008).
Nilai yang dianjurkan oleh PERKENI untuk HbA1C normal (terkontrol) 4 % - 5,9
%.17 Semakin tinggi kadar HbA1C maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi.
Oleh karena itu pada penderita DM kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7 %. Ketika
kadar glukosa dalam darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan
berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat
ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. bila kadar gula darah tinggi dalam
beberapa minggu maka kadar HbA1C akan tinggi juga (Tandra, 2008).
Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan
(sesuai dengan umur eritrosit). Kadar HbA1C akan menggambarkan rata-rata kadar gula
darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. Jadi walaupun pada saat
pemeriksaan kadar gula darah pada saat puasa dan 2 jam sesudah makan baik, namun kadar
HbA1C tinggi, berarti kadar glukosa darah tetap tidak terkontrol dengan baik (Tandra,
2008).
3.4.3 Tanda dan Gejala Umum Diabetes Melitus
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak
disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah
(Sidartawan ,2004) :

16
A. Keluhan
a) Penurunan berat badan (BB)
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan
lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan
otot sehingga menjadi kurus.
b) Poliuria
Poliuria adalah volume urin yang banyak dalam periode tertentu karena,
kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang
sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada
waktu malam hari.
c) Polidipsia
Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang
keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan dengan
menyebabkan rasa haus karena udara yang panas atau beban kerja yang berat
sehingga untuk menghilangkan rasa haus itu penderita banyak minum.
d) Polifagia
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa
lapar (Sidartawan ,2004).
e) Mudah lelah.
f) Bila tidak segera diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma.
g) Kesemutan.
h) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
i) Rasa tebal di kulit.
j) Kram.
k) Capai.
l) Mudah mengantuk.

17
m) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
n) Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
o) Gigi goyah mudah lepas, kemampuan seksual menurun, impotensi.

3.4.4 Komplikasi Diabetes Melitus


Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien-pasien dengan medically-
compromised sangatlah kompleks dan menarik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah
bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan dengan aman dan dengan risiko
sekecil mungkin. penyakit atau kelainan sistemik, perlu mengetahui dengan pasti kesehatan
umum pasien dan kondisi pasien apakah cukup aman untuk dilakukan tindakan, khususnya
yang menyangkut tindakan pembedahan. Untuk itu diperlukan evaluasi yang tepat dan
akurat dalam menentukan kondisi sistemik pasien dengan medically-compromised yang
difokuskan pada patofisiologi penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium,
terapi medis yang sedang dijalani pasien serta rekomendasi dari spesialis-spesialis terkait
untuk dapat melakukan perawatan persiapan dengan baik dan aman serta menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi (Vitria, 2011).
Manifestasi utama dalam mulut pada penderita diabetes mellitus umumnya terjadi
akibat rendahnya resistensi terhadap infeksi. Proses penyembuhan luka membutuhkan
waktu yang lebih panjang akibat gangguan metabolism tersebut. Kadang berbagai gejala
yang ditemukan dalam mulut menunjukkan adanya diabetes mellitus yang belum terdeteksi.
Kerusakan jaringan periodontal yang berjalan dengan cepat dapat terjadi akibat diabetes
mellitus berat yang tidak dirawat. Hiperglikemia yang terjadi pada Diabetes Mellitus
bertanggung jawab terhadap timbulnya berbagai komplikasi. Hyperglycemia menghasilkan
terbentuknya formasi advanced glycation end product (AGEs) non ensimatik pada
makromolekul jaringan. Akumulasi dari AGEs dalam plasma dan jaringan lunak pada
penderita diabetes dapat dihubungkan pada timbulnya komplikasi diabetic. Terdapat
beberapa spekulasi bahwa terbentuknya AGE yang berlebihan pada jaringan gingival
menyebabkan permeabilitas vascular yang lebih besar, kerapuhan serat kolagen dan terjadi
kerusakan baik ada jaringan ikat nonmineralisasi dan tulang (Dalimunthe, 2003).

18
Komplikasi jangka panjang dapat terjadi pada DM tipe 1 dan 2. Komplikasi
makrovaskuler termasuk penyakit jantung, penyakit cerebrovascular dan penyakit
peripheral vascular. Komplikasi mikrovascular termasuk retinophaty, nephrophaty dan
neuropathy. Komplikasi oral menunjukkan adanya luka yang sukar sembuh dan xerostomia,
seperti halnya meningkatnya penyakit periodontal (Debora and Mettew, 2002).
Pada pasien DM yang tidak terkontrol, seringkali mengalami infeksi berat di daerah
oromaksilofasial, serta penyakit sistemik lainnya, dan perawatan gigi pada pasien tersebut
membutuhkan pengobatan jangka panjang serta diet yang terkontrol. Penggunaan antibiotik
sangat dibutuhkan untuk perawatan gigi pada pasien DM khususnya jika tidak terkontrol.
Antibiotik ini digunakan baik untuk mengatasi infeksi akut maupun untuk tindakan
profilaktik pada saat akan dilakukan tindakan bedah (Vitria, 2011).

3.5 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Pasien DM


Adapun faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada diabetes mellitus yaitu:
1) Suplai oksigen, dimana oksigen merupakan kritikal untuk leukosit dalam
menghancurkan bakteri dan untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. 2) Stres,
cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi efisiensi dari sistem imun sehingga
dapat mempengaruhi proses penyembuhan. 3) Gangguan sensasi atau gerakan, dimana
aliran darah yang disebabkan oleh tekanan dan gesekan benda asing pada pembuluh darah
kapiler dapat menyebabkan jaringan mati pada tingkat local. 4) Status nutrisi, dimana kadar
serum albumin rendah akan menurunkan difusi (penyebaran) dan membatasi kemampuan
neutrofil untuk membunuh bakteri (Lede, dkk. 2018).

3.6 Penatalaksanaan Kasus


Perawatan pericoronitis tergantung pada tingkat keparahan peradangan, komplikasi
sistemik, dan kelayakan untuk mempertahankan gigi yang terlibat. Perawatan pericoronitis
akut terdiri dari (1) berkumur pelan dengan air hangat untuk menghilangkan debris dan
eksudat dan (2) beri dengan antiseptik setelah pembuatan flap pada gigi. Area diirigasi
dengan air hangat. Mungkin perlu untuk mengurangi jaringan lunak melalui pembedahan
dan / atau untuk menyesuaikan gigi antagonis untuk mengurangi rasa sakit. Antibiotik dapat

19
diresepkan dalam kasus yang parah dan untuk pasien yang mungkin menderita bukti klinis
infiltrasi mikroba difus jaringan. Jika gingiva bengkak dan berfluktuasi, flap mungkin
diperlukan untuk memberi drainase dan mengurangi tekanan.
Jika seorang pasien diduga memiliki diabetes yang tidak terdiagnosis, maka prosedur
berikut harus dilakukan:
1. Konsultasikan dengan dokter pasien.
2. Analisis tes laboratorium: glukosa darah puasa
dan glukosa biasa.
3. Singkirkan infeksi orofasial akut atau infeksi gigi parah; jika ada, segera berikan
perawatan darurat.
4. Membangun kesehatan mulut sebaik mungkin melalui non-bedah debridemen plak dan
kalkulus; menjaga kebersihan mulut. Batasi perawatan yang lebih lanjut sampai diagnosis
telah ditetapkan dan kontrol glikemik yang baik. Jika seorang pasien diketahui menderita
diabetes, tingkat itu sangat penting kontrol glikemik didirikan sebelum memulai perawatan
periodontal (Carranza, 2018).
Tes utama yang digunakan untuk menilai kontrol glikemik di individu diabetes yang
diketahui adalah hemoglobin yang terglikosilasi (atau terglikasi) (Hb) pengujian kadar
logam.
Dua tes berbeda yang tersedia adalah, HbA1 dan HbA1c pengujian kadar logam;
HbA1c digunakan lebih sering. Pengujian telah ditunjukkan oleh sebuah studi internasional
untuk memberikan ukuran akurat dari rata-rata konsentrasi glukosa darah 2 sampai 3 bulan
sebelumnya. Tabel 37-4 memuat daftar rata-rata darah konsentrasi glukosa untuk nilai
HbA1c dari penelitian itu, dan Gambar 37-2 adalah representasi grafik yang
disederhanakan dari data. Itu Tujuan terapi bagi banyak pasien adalah untuk mencapai dan
mempertahankan HbA1c di bawah 8%. Pasien dengan diabetes yang relatif terkontrol
dengan baik (HbA1c <8%) biasanya merespons terapi dengan cara yang mirip dengan
individu nondiabetes. Pasien yang tidak terkontrol (HbA1c> 10%) sering memiliki respons
yang buruk terhadap pengobatan, dengan lebih banyak pasca operasi. komplikasi dan hasil
jangka panjang yang kurang menguntungkan.

20
Peningkatan nilai HBA1c setelah periodontal terapi dapat memberikan indikasi
respons potensial. infeksi periodontal dapat memburuk kontrol glikemik dan harus dikelola
secara agresif. Diabetes pasien dengan periodontitis harus menerima instruksi kebersihan
mulut, debridemen mekanis untuk menghilangkan faktor lokal, dan perawatan rutin. Jika
memungkinkan, HbA1c kurang dari 10% seharusnya didirikan sebelum perawatan bedah
dilakukan (Carranza, 2018).

21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Perikoronitis adalah infeksi non spesifik pada gingival disekitar mahkota gigi yang
erupsinya tidak sempurna. Manifestasi utama dalam mulut pada penderita diabetes
mellitus umumnya terjadi akibat rendahnya resistensi terhadap infeksi
2. Perawatan pericoronitis tergantung pada tingkat keparahan peradangan, komplikasi
sistemik, dan daerah gigi yang terlibat. Jika seorang pasien diduga memiliki
komplikasi sistemik diabetes yang tidak terdiagnosis, maka prosedur berikut harus
dilakukan adalah konsultasikan dengan dokter pasien, tes laboratorium,
menghilangkan infeksi orofasial akut. membangun kesehatan mulut sebaik mungkin
melalui non-bedah debridemen plak dan kalkulus; menjaga kebersihan mulut.
4.2 Saran
Dokter gigi mengintruksikan ke pasien untuk mengontrol gula darah tetap terkontrol
dan menjaga pola hidup sehat dan jika gula darah tinggi maka tindakan operasi ditunda dan
konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam.

22
DAFTAR PUSTAKA

Biswari G, Gupta P, Das D. Wisdom teeth- a major problem in young generation, study on
the basis of types and associated complication. Journal of College of Medical
Sciences-Nepal;2010: p 24
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 358, 386.
Fatimah. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Artikel review. J Majority. Volume 4 Nomor 5.
Medical Faculty, Lampung University
Debora C. Matthews, DDS, Dip. Perio,MSc. The Relationship Between Diabetes and
Periodontal Disease, J Can Dent Assoc. 2002; 68(3):161-164.
Dalimunthe Saidina Hamzah, Hubungan Timbal Balik Antara Periodontitis Dengan
Diabetes Mellitus, Dentika Dental Journal Vol 8, No. 2, 2003: 120-125
Dwipayanti, Winny, dan Abdul. 2009. Komplikasi Post Odontektomi gigi Molar Ketiga
Rahang Bawah Impaksi. Jurnal PDGI 58(2): 20-24
Manson, J. D., Elley, B. B., Buku Ajar Periodonsia (terj.). Edisi 2. Jakarta: Hipocrates.
1993: 48-49
Newman, M. G, Takei, H. H., Carranza, F. A. Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Co. 2002: 67-68
Rodrigues Debora C, Mario Taba Jr, Athur B. Novaes Jr, Sergio L.S, Souza, and Marcio
F.M Grisi, Effect of Non Surgical Periodontal therapy on Glicemic Control in
Patient with Type 2 Diabetes Mellitus,J Periodontal 2003; 74; 1361- 1367
Kadaryati. 2007. Perawatan Pericoronitis Regio Molar Satu Kanan Bawah Pada Laki-Laki
Usia 6 Tahun. Journal : 14(2)
Lede J. , Tanto dan Vita. 2018. Pengaruh Kadar Gula Darah Terhadap Penyembuhan Luka
Diabetes Mellitus Di Puskesmas Dinoyo Malang. Nursing News. 3 (1).
Sidartawan Soegondo, et al. penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta 2004
Tandra, H. 2008. Diabetes. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Widya. 2014. Odontektomi, Tatalaksana Gigi Bungsu. 2014. Kesehatan dan Lingkungan.
Jurnal : 1 (2)
Wilkins, E.M. 2009. Clinical Practice of the Dental Hygienist. Ed. Ke-10. Wolters Kluwer,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 1068-1075, 1079.

23

Anda mungkin juga menyukai