Anda di halaman 1dari 10

Manajemen esofagitis bertujuan untuk menyembuhkan radang mukosa dan

mengatasi gejala. Dalam uji coba penyembuhan esofagitis ditentukan oleh temuan
endoskopi yang menunjukkan korelasi kuat dengan resolusi gejala. Sebagai uji
coba yang paling konsisten melaporkan penyembuhan endoskopi, ini digunakan
sebagai hasil prinsip dalam bagian ini. Diakui bahwa untuk setiap pasien,
penyembuhan endoskopi dan resolusi gejala mungkin tidak selalu berkorelasi
Kombinasi antasida dan antasida / alginat banyak diresepkan oleh dokter untuk
GORD dan juga umum digunakan oleh pasien sebagai obat bebas [204]. Ada
sedikit bukti yang mengejutkan untuk kemanjuran obat ini meskipun
popularitasnya.
Bukti terbaik adalah untuk kombinasi antasid / alginat, yang tampaknya lebih
unggul daripada plasebo pada pasien dengan penyakit refluks esofagus. Kami
mengidentifikasi 4 percobaan terkontrol acak esain crossover. Percobaan ini
mengevaluasi 28 pasien dan menemukan bahwa kombinasi antasid / alginat secara
statistik lebih unggul secara bermakna dibandingkan dengan plasebo dalam
meredakan gejala (6). Tidak ada uji coba yang mengevaluasi kemanjuran
kombinasi antasid / alginat pada penyembuhan esofagitis dibandingkan dengan
placebo
Hanya ada sejumlah kecil data yang membandingkan antasid saja dengan
kombinasi antasid / alginat. Dua penelitian yang dapat dievaluasi [205.213] (2, 10)
yang melibatkan 81 pasien menyarankan kombinasi antasid / alginat memiliki
kemanjuran yang sama dengan antasid saja dalam gejala penyembuhan (perbedaan
absolut dalam tingkat penyembuhan 0%; 95% CI = -16% hingga 15%; lihat
Gambar 5). Ada 4 percobaan [214.215.216.217] (11-14) di mana
anya ada sejumlah kecil data yang membandingkan antasid saja dengan kombinasi
antasid / alginat. Dua penelitian yang dapat dievaluasi [205.213] (2, 10) yang
melibatkan 81 pasien menyarankan kombinasi antasid / alginat memiliki
kemanjuran yang sama dengan antasid saja dalam gejala penyembuhan (perbedaan
absolut dalam tingkat penyembuhan 0%; 95% CI = -16% hingga 15%; lihat
Gambar 5). Ada 4 percobaan [214.215.216.217] (11-14) di mana data tidak dapat
diekstraksi karena metode presentasi atau desain crossover. Dua [214.215] (11,12)
melaporkan bahwa kombinasi antasid / alginat secara statistik secara signifikan
lebih unggul dibandingkan antasid saja dalam menyembuhkan gejala sementara 2
lainnya [216.217] (13.14) tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara
statistik antara kedua intervensi.

Dua percobaan [218.219] membandingkan H2 receptor antagonist (H2RA)


ditambah alginat dengan antasid / alginat biasa dalam kontrol gejala 249 pasien
GORD. 40% dari kelompok H2RA melaporkan peningkatan gejala dibandingkan
dengan 21% pada kelompok antasid. Kedua uji coba menunjukkan tren yang
mendukung terapi H2RA dan meta-analisis mengungkapkan perbedaan yang
signifikan secara statistik dalam mendukung terapi H2RA dengan perbedaan
absolut dalam tingkat penyembuhan 18% (95% CI: 7% hingga 29%), jumlah yang
diperlukan untuk mengobati = 6 (95% CI: 3 hingga 14) (lihat Gambar 6).
Menu


 Halaman Utama
 Artikel Ilmiah
 Artikel Kesehatan
 Perlombaan
 Konsultasi Online
o Tanya Apoteker
o Kategori
 Tentang Kami

 Home
 Artikel Ilmiah
 GERD (Gastroesophageal Reflux Disease): Etiologi, Patofisiologi, Terapi, dll

GERD (Gastroesophageal Reflux


Disease): Etiologi, Patofisiologi,
Terapi, dll
 kamelia
 May 16, 2018
 0

Berdasarkan Genval Workshop (1999), definisi pasien GERD adalah semua individu yang
terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks gastroesofageal, atau mereka yang mengalami
gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala yang terkait
dengan refluks. Secara sederhana, definisi GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi
lambung yang menyebabkan heartburn dan gejala lain.

Terdapat dua kelompok GERD, yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif),
didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal
akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku untuk diagnosis GERD erosif adalah
endoskopi saluran cerna atas. Kelompok yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-
erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan
sebagai GERD dengan gejalagejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat
pemeriksaan end skopi saluran cerna (Genval, 1999).

https://www.askdrshah.com/

Etiologi

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai
akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan
refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus
(Makmun, 2009).
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi Lower Esophageal Sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun, 2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan
pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus
LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat
diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan
epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan
dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying (Makmun, 2009).

Patofisiologi

Beberapa patofisiologi GERD sebagai berikut:

1. Penurunan Tekanan Lower Esophageal Sphincter (LES)

GERD merupakan keadaan abnormal yang terjadi pada saluran cerna bagian lambung dan
esofagus. Beberapa kasus, GERD dihubungkan karena fungsi Lower Esophageal Reflux tidak
berfungsi normal (tekanan LES menurun). Secara normal LES dalam kondisi tonic dan
mencegah makanan dari lambung kembali keluar. Penurunan tekanan LES dapat terjadi akibat:
(1) relaksasi spontan LES, (2) peningkatan tekanan intraabdominal (stress reflux), (3) atonic
LES. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat terjadi selama mengejan, membungkuk,
batuk,makan. Faktor agresif yang dapat meningkatkan kerusakan esofagus saat refluks ke
kerongkongan antara lain asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pancreas.
Penurunan tekanan LES juga dapat terjadi karena adanya iritasi mucosalesofagus yang dapat
mengakibatkan reflux dan dipengaruhi oleh factor makanan seperti makanan pedas, kopi,
makanan/minuman asam, dll. Keadaan stress mengakibatkan sekresi asam lambung meningkat
dan gangguan pengkosongan lambung (Williams, 2008).

2. Hiatus Hernia

Faktor patofisiologi akibat factor anatomic adalah akibat hernia hiatus. Hernia hiatus dianggap
etiologi utama gastroesophageal reflux dan esophagitis. Sekarang tampak bahwa faktor yang
lebih penting yang terkait dengan ada tidaknya gejala pada pasien dengan hernia hiatus adalah
tekanan LES. Ukuran hernia hiatus sebanding dengan frekuensi relaksasi LES sementara.
Pasien dengan kondisi hernia hiatus mengalami peningkatan tekanan intraabdomen sehingga
memicu GERD. Pasien GERD masalahnya bukan bahwa mereka menghasilkan terlalu banyak
asam, tapi waktu kontak asam dengan mukosa esofagus terlalu lama. Sehingga tingkat
keparahan tergantung pada durasi kontak antara isi lambung dan mukosa esofagus. Selain itu
juga tergantung factor esophageal clearance. Menelan merupakan kontribusi untuk
pembersihan esofagus dengan meningkatkan aliran saliva (saliva mengandung bicarbonate
untuk menetralisir pH asam pada esofagus). Produksi air liur menurun dengan bertambahnya
usia, sehingga lebih sulit untuk mempertahankan pH netral intraesophageal (Williams, 2008).
3. Penundaan Waktu Pengosongan Lambung

Tertundanya waktu pengosongan lambung dapat berkontribusi untuk GERD. Peningkatan


volume lambung dapat meningkatkan frekuensi refluks dan jumlah cairan lambung yang
tersedia untuk direfluks. Volume lambung berkaitan dengan volume material tertelan, tingkat
sekresi lambung, tingkat pengosongan lambung, dan jumlah dan frekuensi refluks duodenum
ke dalam perut. Faktor-faktor yang meningkatkan volume lambung dan/atau mengurangi
pengosongan lambung, seperti merokok dan makanan lemak tinggi sering dikaitkan dengan
gastroesophageal reflux. Makanan berlemak dapat meningkatkan postprandial
gastroesophageal reflux dengan meningkatnya volume lambung, menunda laju pengosongan
lambung, dan penurunan tekanan LES (Williams, 2008).

4. Dislipidemia

Lemak visceral pada bagian abdominal dapat meningkatkan resiko esofagitis erosif (Loke dkk,
2013). Jaringan adiposa viseral merupakan metabolik aktif dan memiliki keterkaitan yang kuat
dengan peningkatan kadar serum adipokin proinflamasi, termasuk interleukin-6 (IL-6), tumor
necrosis factor-α (TNF- α), dan adiponektin, yang mungkin memainkan peran dalam
perkembangan GERD. Faktor-faktor humoral tersebut yang berasal dari jaringan adiposa
visceral diperkirakan dapat mengubah tekanan lower esophageal sphincter (LES) atau
mempengaruhi klirens esofagus dari refluxate (Nomura dkk, 2013). Selain itu, obesitas
sentral dapat meningkatkan tekanan intraabdominal dan menurunkan tekanan LES sehingga
terjadi relaksasi pada esophageal sphincter selanjutnya diikuti dengan refluks asam yang dapat
menyebabkan terjadinya esofagitis (Loke dkk, 2013). Penelitian saat ini menunjukkan bahwa
hipertrigliseridemia merupakan faktor risiko potensial terjadinya esofagitis erosif. Meskipun
mekanisme yang mendasari masih perlu diperdalam lagi, asupan dari makanan tinggi lemak
dan keterlambatan pengosongan lambung dapat meningkatkan risiko esophagitis erosif (Loke,
dkk, 2013).

Manifestasi Klinis

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-gejalanya dapat
menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, serta
gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun,
serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya
seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Katz, et.al, 2013).

Terdapat beberapa penggolongan dalam menilai gejala GERD yang dialami oleh pasien,
termasuk gejala umum, gejala khusus dan alarm symptoms seperti yang dijelaskan berikut ini
(Williams, 2008).

Gejala Umum :

Dapat diperburuk oleh aktivitas yang dapat memperparah GERD seperti posisi berbaring,
melengkung, atau makan makanan mengandung lemak tinggi. Contoh gejala yang umum
terjadi antara lain:
 Dada terasa panas (heartburn)
 Hipersalivasi
 Sendawa
 Makanan kembali melalui esofagus (regurgitasi)

Gejala Khusus:

Pada kasus tertentu, gejala estrofageal dapat menjadi gejala satu-satunya yang ada,
membuatnya sulit untuk mengenali bahwa GERD berperan sebagai penyebabnya, terutama
ketika pemeriksaan endoskopi menunjukkan hasil normal. Adapun gejala yang tidak umum
terdapat pada GERD antara lain:

 Nonallergic asthma
 Batuk kronis
 Serak
 Pharyngitis
 Nyeri dada
 Erosi gigi

Alarm symptoms :

Gejala ini dapat mengindikasikan komplikasi GERD seperti Barrett’s esophagus, penyempitan
esofagus, atau kanker esofagus.

 Nyeri yang berkelanjutan


 Kesulitan menelan (Dysphagia)
 Nyeri saat menelan (Odynophagia)
 Berat badan menurun
 Tersedak

Penatalaksanaan Terapi

Perubahan gaya hidup seperti meningkatkan posisi kepala saat tidur dan menghindari posisi
berbaring sesaat setelah makan dapat membantu dalam mengurangi kemungkinan terjadinya
GERD. Pasien harus disarankan untuk menghindari makan sebelum tidur, mengonsumsi
makanan rendah lemak, berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol. Strategi
perubahan gaya hidup tersebut memiliki keuntungan lain bagi kondisi kesehatan pasien secara
umum disamping untuk memperbaiki gejala GERD. Namun pada pasien yang tidak dapat
sepenuhnya terkontrol hanya dengan perbaikan gaya hidup, dapat disarankan untuk
mengonsumsi obat OTC (over the counter) seperti antasida atau agen antisekretorik. Respon
terhadap pengobatan harus dievaluasi secara periodik, jika pasien masih tidak mengalami
perbaikan dengan konsumsi obat OTC dan perubahan gaya hidup, maka dapat dilanjutkan
dengan inisiasi terapi menggunakan PPI dosis reguler sekali sehari selama 4 minggu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pengobatan jangka pendek menggunakan agen penekan sekresi
asam lambung dapat mengurangi gejala GERD secara efektif (Katz, et.al, 2013).
Terapi Farmakologi

Pendekatan terapi farmakologi termasuk terapi menggunakan antasida, antagonis reseptor H2,
penghambat pompa proton, agen prokinetik, agen pelindung mukosa dan terapi kombinasi
(Williams, 2008).

1. Antasida

Penggunaan antasida efektif dalam memperbaiki gejala GERD dengan segera. Mekanisme aksi
dari antasida adalah mempertahankan pH intragastric >4 dengan menurunkan aktivasi
pepsinogen menjadi pepsin. Selain itu, penetralan cairan lambung dapat meningkatkan tekanan
LES (Lower Esophageal Sphyncter).

2. Antagonis reseptor H2

Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif digunakan untuk mengobati pasien GERD
ringan hingga moderat setelah 12 minggu terapi. Respon dari Antagonis reseptor H2 dapat
bervariasi tergantung pada keparahan penyakit, regimen dosis yang digunakan atau durasi
terapi. Untuk mengatasi gejala ringan dari GERD dapat digunakan dosis rendah atau dosis
standar diberikan dua kali sehari, sedangkan pada pasien yang tidak merespon dosis tersebut
dikarenakan hipersekresi asam lambung maka diberikan dosis yang lebih tinggi. Contoh obat
dari golongan ini adalah simetidin, famotidin, ranitidin dan nizatidin.

3. Penghambat Pompa Proton

Agen penghambat pompa proton dapat digunakan pada pasien GERD tingkat moderat hingga
berat, tidak hanya pasien dengan erosi esofagitis atau komplikasi (Barret’s esophagus,
strictures), tetapi juga unutuk pasien nonerosive GERD yang mengalami gejala moderat hingga
berat. Agen ini bekerja dengan menghambat sekresi asam lambung dengan hambatan pada
H+/K+– ATPase pada sel parietal lambung. FDA menyetujui dosis per hari yang digunakan
adalah omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, rabeprazole 20 mg dan
pantoprazol 40 mg.

4. Agen Prokinetik

Merupakan obat yang memiliki efek memacu gerakan peristaltic saluran cerna tanpa
meningkatkan fungsi sekresi saliva dan asam lambung. Beberapa diantaranya adalah
metoklopramide, domperidone, dan cisaprid (Sukandar, dkk, 2009).

5. Pelindung Mukosa (Sukralfat)

Merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat dengan sifat antasida minimal.
Sukralfat bekerja dengan melindungi mukosa dari serangan pepsin asam.Antasida tidak boleh
diberikan ½ jam sebelum atau sesudah pemberian sucralfate (Sukandar, dkk, 2009).

Terapi Nonfarmakologi

Kebanyakan terapis menyarankan diet dan perubahan gaya hidup untuk langkah awal
penanganan gejala GERD.
Pustaka:

Makmun, Dadang. 2009. Penyakit Refluks Gastroesofageal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Williams, D.B.; Schade, R.R. 2008. Gastroesophageal Reflux Disease. Dalam


Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 7th ed. Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y,
Gary R.M., Barbara G.W., dan L. Michael P. (editor). The McGraw-Hill Companies, Inc.
United States of America. Halaman 556-557.

Katz, P. O., Lauren, B. G., Marcelo F. V. Corrigendum : Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease. American Journal of Gastroenterology.
2013; 108 ; 308 – 328; doi : 10.1038/afg.2013.444.

Loke, S., Kuender D.Y., Kuang-Den C., dan Jung-Fu C. “Erosive Esophagitis Associated with
Metabolic Syndrome, Impaired Liver Function, and Dyslipidemia”. World J Gastroenterol.
2013. 19(35): 5883-5888

Nomura, M., Naotaka T., Tetsuhiro W., Akie H., Ichiro A., Taijiro O., dan Ryoichi T. 2013.
Association of Symptoms of Gastroesophageal Reflux with Metabolic Syndrome Parameters in
Patients with Endocrine Disease. ISRN Gastroenterology.

Sukandar, E.Y., Andrajati, R. Sigit, J.I, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta. PT.ISFI

Anda mungkin juga menyukai