Anda di halaman 1dari 21

PERJANJIAN PAJAK BERGANDA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
1. Solekha B.231.15.0411
2. Dwi Nastiti B.231.15.0446
3. Nur Putri R. B.231.15.0502
4. Pagiana Ambar B.231.16.0345
5. Dewi Hajar A. B.231.17.0044
6. Nila Lu’lu’atul M. B.231.17.0102
7. Illaniar Neo C.R B.231.17.0130
8. Sri Komia Jovita B.231.17.0148
9. Ida Nur Chasanah B.231.17.0248
10. Viki Oktaviana B.231.17.0236

JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS SEMARANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendapatan Negara Indonesia paling besar sampai saat ini berdasarkan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) merupakan pajak. Pajak
merupakan suatu kontribusi wajib masyarakat untuk negara yang diatur dalam
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bentuk pengesahan hukum
ini sebagai wujud agar pajak tidak dianggap sebagai pencurian atas kekayaan
pribadi yang mampu melanggar hak asasi manusia. Hal ini pun sejalan dengan
motto Amerika dan Inggris sejak abad 108 menyatakan “tax without
representation is a robbery”. Oleh sebab itu, pajak merupakan suatu persetujuan
dari masyarakat untuk ‘memajaki’ dirinya sendiri di negara tersebut. Dengan
terjaminnya pemungutan pajak oleh Undang Undang Dasar 1945, negara dapat
memaksakan warganya untuk membayar pajak karena sudah menjadinhukum
positif. Di Indonesia terdapat Undang Undang Ketentuam Umum dan Tata Cara
Pemajakan, Undang Undang Pajak Penghasilan, Undang Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
Undang Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang Undang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, Undang Undang Bea Meterai, Undang Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Undang Undang Pengadilan Pajak, dan
Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Keberadaan pajak sebagai hukum positif di Negara Indonesiamenjadi suatu
masalah ketika adanya transaksi antarnegara. Transaksi antar negara membuat
dunia semakin menyatu dan mengecil yang disebabkan oleh adanya saling terkait
dan saling bergantung satu sama lain, seperti pertukaran barang, migrasi sumber
daya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, arus modal serta pembiayaan
antarnegara, dan arus informasi. Disisi lain, adanya pertimbangan ekonomis
dalam melakukan transaksi antarnegara, yaitu kedua belah pihak mendapatkan
manfaat serta keuntungan dan ini sesuai dengan prinsip ekonomi menyatakan
“trade can make everyone better off because trade allows each person to
specialize in the activities he or she does best”.
Transaksi antarnegara menyebabkan iklim perekonomian internasional
menjadi tidak kondusif karena setiap negara memiliki hukum untuk negaranya
sendiri, terutama aturan mengenai pengenaan pajak karena pajak dikenakan atas
setiap aktivitas manusia, seperti penghasilan yang diterima atau diperoleh dan
transaksi perdagangan. Undang undang domestik yang ada di tiap negara mampu
menimbulkan masalah pemajakan secara berganda sehingga dapat menghambat
perdagangan yang nantinya akan menimbulkan distorsi ekonomi dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka muncul beberapa rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu diantaranya:
1. Apa itu perjanjian Pajak Berganda Internasional?
2. Apa saja Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda?
3. Bagaimana tahapan negosiasi dan interpretasi P3B?
4. Bagaimana analisis model P3B di Indonesia?
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pajak Berganda Internasional


Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik
di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara
(dual resident). Secara definitif, menurut Knechtle yang dikutip oleh Gunadi,
pajak berganda dibedakan dalam arti luas maupun arti sempit1. Definisi pajak
berganda dalam arti luas meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih
(multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subyek dan/atau obyek pajak) sehingga
tidak mempertimbangkan penyebab dari pembebanan ganda atau beberapa kali
tersebut berasal dari kombinasi antara pajak dan pungutan lainnya atau karena
kombinasi dari berbagai jenis pajak atau disebabkan oleh pembebanan pajak
secara bersamaan oleh administrasi pajak yang sama atau berbeda. Namun, dalam
arti sempit, semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau
obyek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama disebabkan oleh pemajakan
secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antar pemerintah
daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan provinsi lainnya).
Pemajakan atas aspek internasional termasuk dalam pengertian secara luas dari
pajak berganda.
Ada dua penyebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu secara
ekonomis dan secara yuridis. Pajak berganda internasional yang disebabkan
secara ekonomis terjadi ketika suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih
dari satu kali di negara tersebut dan/atau oleh lebih dari satu negara, contohnya
pengenaan atas keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan (net income)
dikenakan pajak penghasilan atas badan yang kemudian net income after tax
dibagikan kepada pemilik saham perusahaan tersebut. Apabila pemilik saham
berada di luar negeri maupun di negara itu sendiri, dividen yang berasal dari net
income tax akan dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Namun, Miller
menyatakan bahwa fokus dari pajak berganda internasional disebabkan atas
yuridiksi. Pajak berganda internasional yang disebabkan secara yuridis terjadi
ketika pajak atas satu transaksi antarnegara dikenakan lebih dari satu negara. Hal
ini terkait dengan penentuan yuridiksi pemajakan atas azas sumber atau azas
domisili (residence).
Perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut yuridiksi domestik dalam
transaksi antarnegara menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu
kali di negara yang berbeda. Ada tiga jenis konflik yuridiksi yang
melatarbelakangi terjadi pengenaan pajak berganda secara internasional, yaitu:
a) Konflik antara azas domisili dengan azas sumber
Azas domisili merupakan pengenaan pajak oleh negara karena orang pribadi atau
badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan atau karena status
kewarganegaraannya sedangkan azas sumber menyatakan negara berhak
mengenakan pajak karena orang pribadi atau badan memperoleh penghasilan yang
berasal dari negara tersebut2. Konflik ada ketika satu negara menganut azas
domisili dan negara lainnya menganut asas sumber
b) Konflik karena perbedaan definisi penduduk
Konflik ini terjadi ketika pribadi atau badan dalam melakukan transaksi
internasional dianggap sebagai penduduk di kedua negara tersebut. Konflik
mengenai kependudukan ganda (dual resident) ini biasanya terjadi atas orang
pribadi sedangkan pengurus badan hukum biasanya berada di negara pada saat
badan tersebut didirikan. Konflik ini terkait dengan azas domisili seseorang atau
badan di kedua negara tersebut.
c) Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan
Apabila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai
penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Konflik ini terkait dengan azas
sumber yang diberlakukan di kedua negara tersebut.
Konflik yang mengakibatkan terjadinya tambahan jumlah pajak yang harus
dipikul ini memicu adanya tindakan penghindaran pajak berganda. Akibat dari
penghindaran pajak berganda adalah tiap negara yang melakukan transaksi
internasional melakukan eliminasi terhadap pajak berganda internasional melalui
beberapa pendekatan, yaitu:
a) Unilateral (sepihak)
Unilateral merupakan pencantuman ketentuan penghindaran pajak berganda
internasional didalam undang undang domestiknya untuk setiap negara yang
mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima
subyek dalam negeri, seperti pembebasan pajak atas penghasilan luar negeri atau
mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri. Pendekatan ini cenderung
hanya memberikan keringanan pajak berganda internasional secara sepihak.
b) Bilateral (antardua negara)
Pendekatan ini didasarkan pada kesepakatan antarnegara pemegang yuridiksi
pemajakan. Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian yang
ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. Apabila adanya keringanan pada
perjanjian internasional dibandingkan undang undang domestik maka yang
berlaku adalah perjanjian internasional tersebut.
c) Multilateral (beberapa negara secara serempak)
Multilateral hampir menyerupai bilateral namun diterapkan lebih dari dua negara.
Penerapan pendekatan multilateral ini biasanya digunakan untuk negara-negara
yang berada dalam satu kawasan, seperti Uni-Eropa.

2.2 Perjanjian Pajak Berganda Internasional


Sejak abad ke-19, tiap negara sudah melakukan perjanjian bilateral dengan
tujuan menghindari pajak berganda. Awalanya, hanya negara-negara federal yang
melakukan perjanjian ini, seperti antara Prussia dan Saxony terkait dengan pajak
langsung (direct taxes), Austria dengan Hungaria terkait dengan pajak atas
keuntungan bisnis, dan sebagainya lalu setelah perang dunia pertama, adanya
peningkatan jumlah tax treaties dan menyebar luas di Eropa. Studi komprehensif
mengenai konsekuensi dari pajak berganda ditemukan oleh empat ahli ekonomi
dan studi ini dimasukkan dalam Report on Double Taxation yang disampaikan
dalam Financial Committee of The League of Nation di tahun 1923.
Menurut Amatucci dkk, dasar dalam mendefinisikan P3B (tax treaty, double
taxation treaty) terkait dengan dua sifat mendasar, pertama, suatu perjanjian
internasional yang diadakan dua negara dalam mengelola yuridiksi fiskal (fiscal
yuridiction) dan kedua, perjanjian internasional menjadi bagian dalam hukum
pajak kedua negara yang melakukan perjanjian dengan cara langsung dimasukkan
pada undang undang domestik atau perlu adanya proses hukum untuk masuk
dalam undang undang domestik.
Kedudukan hukum P3B dalam undang undang domestik terkait dengan
pembagian hak pemajakan antara dua negara. P3B tidak memberikan hak
pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B melainkan hak masing-
masing negara tersebut dihilangkan atau dibatasi berdasarkan persetujuan dalam
pembatasan hak pemajakan yang tercantum di P3B.
Ada 3 hak pemajakan dalam menentukan hukum P3B dalam undang domestik,
yaitu:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan
penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai
dengan undang undang domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Maka,
tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk pada undang undang
domestik negara tersebut.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Negara sumber penghasilan diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut namun
dengan pembatasan tarif. Apabila tarif pajak undang undang domestik lebih tinggi
dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif
pajak menurut ketentuan P3B.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari
negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajakai negara lainnya.
Maka, tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut undang undang
domestik negara lainnya yang bukan negara sumber penghasilan.
Tujuan P3B adalah untuk mengurangi pemajakan berganda (avoid double
taxation) dan untuk mencegah penyelundupan pajak (avoid double non-taxation).3
Selain itu, tujuan P3B untuk menyamakan tarif pajak antara dua negara yang
melakukan perjanjian. Bagi Indonesia, tujuan utama diadakannya P3B pada
permulaannya adalah sebagai pelengkap dari kebijakan penanaman modal asing.
Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari seminimal mungkin, maka
diharapkan dapat mencegah timbul efek negatif yaitu distorsi dalam transaksi
internasional. Di samping itu P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:
a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak (tax evasion)
b. Memberikan kepastian
c. Pertukaran informasi
d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan perjanjian penghindaran pajak
berganda
e. Non diskriminasi
f. Bantuan dalam penagihan pajak
g. Penghematan dalam cash flow
Sedangkan, terkait dengan subyek P3B, ada 3 kelompok orang atau badan
yang tercakup perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu orang atau badan
yang merupakan penduduk (resident), orang atau badan yang merupakan
penduduk (resident) negara mitra, dan orang atau badan yang merupakan
penduduk (resident) kedua negara (dianggap penduduk baik oleh Indonesia dan
negara mitra).

2.3 Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Penerapan P3B dihampir seluruh dunia didasarkan pada dua model, yaitu
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) model tax
convention atau United Nations (UN) model tax convention. Kedua model itu
mengatur mengenai konsep pembagian hak pemajakan dalam aspek internasional
pada transaksi investasi dan bisnis. Model OECD lebih mengarah kepada
pemegang modal yang melakukan ekspor sedangkan Model UN mengarah kepada
pemilik modal yang melakukan impor agar dapat mempertahankan hak-hak
perpajakannya. Selain itu juga terdapat model Indonesia yang merupakan model
P3B pengembangan dari kedua model, yaitu UN dan OECD.

2.4 Tahapan Negosiasi dan Interpretasi P3B


Proses pembentukan P3B diawali dengan adanya inisiatif dari salah satu
negara untuk mengadakan suatu P3B. Dalam pembuatan P3B melewati beberapa
tahapan, yaitu4:
1. Tahap Penjajakan: dilakukan untuk melihat apakah Indonesia perlu mempunyai
P3B dengan suatu negara.
2. Tahap Perundingan: pemerintah indonesia berpedoman pada kepentingan
nasonal dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum
internasional.
3. Perumusan Masalah
4. Tahap Penerimaan
5. Tahap Penandatanganan: proses persetujuan atas naskah P3B atau merupakan
pernyataan untuk mengikat diri secara definitf sesuai dengan kesepakan para
pihak.
Setelah proses penandatangan selesai, P3B semata-mata tidak dapat langsung
diberlakukan karena setiap negara harus memastikan bahwa P3B dapat diterapkan
dalam hukum domestiknya.
Layaknya sumber hukum lainnya, perjanjian perpajakan juga perlu
diinterpretasi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam aplikasinya. Apalagi
dengan adanya perbedaan bahasa yang tentu saja menjadi penghalang untuk
menginterpretasikan suatu istilah. Bisa jadi suatu istilah tersebut memiliki arti
yang agak berbeda dari terjemahannya. Maka dari itu, interpretasi suatu istilah
harus disetujui oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian. Pada
dasarnya telah diatur untuk menginterpretasi suatu perjanjian dalam Vienna
Conviction on the Law of Treatise tahun 1969. Sedangkan, untuk menginterpretasi
perjanjian perpajakan dapat merujuk pada Model OECD, terutama Pasal 3 ayat 2.

BAB 3
ANALISIS DI NEGARA INDONESIA

3.1 Penerapan Model P3B di Indonesia


Surahmat (2000) menyatakan model P3B yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia sebagai berikut:
“Oleh karena Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang, maka
prinsip yang dianut dalam kebijakan di bidang persetujuan penghindaran
pajak berganda adalah UN Model. Namun demikian tidak berarti bahwa
semua ketentuan dalam UN Model itu lalu digunakan oleh Indonesia.
Prinsip yang dianut adalah suatu kombinasi antara UN Model dan prinsip-
prinsip pokok yang terkandung dalam undang-undang perpajakan nasional.
Perpaduan antara model tersebut menghasilkan suatu model yang disebut
sebagai Model Indonesia yang dijadikan dasar berpijak dalam
melaksanakan perundingan persetujuan penghindaran pajak berganda.”
Berdasarkan pernyataan tersebut maka Indonesia lebih mengarah ke UN Model
yang kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang telah tercermin dalam
model tersebut dan secara teoritis ketentuan dalam UN Model mengikuti
perkembangan dari OECD Model. Perbedaan yang cukup signifikan pada UN
Model dan OECD Model terletak pada isi dari pasal per pasal terutama Chapter III
mengenai Taxation Of Income yang terletak pada Artikel 5 (Permanent
Establishment), Artikel 7 (Business Profits), Artikel 8 (Shipping, Inland
Waterways Transport, and Air Transport), Artikel 10 (Dividends), Artikel 11
(Interest), Artikel 12 (Royalties), Artikel 13 (Capital Gains), dan Artikel 21
(Other Income). Perbedaan ini mampu memberikan perbedaan dalam hak
pemajakannya (taxing right).

3.2 Tahapan Negosiasi P3B yang Dilakukan oleh Indonesia


Sebelum penandatanganan P3B, Presiden Indonesia perlu untuk
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kepentingan-kepentingan nasional, saling
menguntungkan, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena P3B merupakan
persetujuan untuk mengikatkan diri secara definitif antarnegara sehingga tiap
negara yang bersepakat dalam melakukan transaksi internasional harus mematuhi
aturan yang ada dalam P3B dan menerima konsekuensi yang ada dalam perjanjian
tersebut. Pasal 28 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B akan mulai
berlaku pada hari berikutnya setelah tanggal masing-masing Pemerintah saling
memberitahukan secara tertulis melalui saluran diplomatik bahwa formalitas yang
diperlukan di masing-masing negara pihak telah di penuhi.
Ratifikasi yang dilakukan oleh Negara Indonesia melalui penerbitan
Peraturan Presiden tanpa melalui pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah kedua negara yang melakukan perjanjian meratifikasi dan melakukan
pertukaran ratifikasi, biasanya P3B akan berlaku pada tanggal 1 Januari tahun
berikutnya atau sesuai dengan persetujuan. Akhirnya, P3B juga mengatur
mengenai tata cara terminasi apabila salah satu atau kedua negara tidak
menghendaki lagi pemberlakuan P3B. Apabila ingin mengakhiri P3B, Pasal 29
Model P3B Indonesia menyatakan dapat menyampaikan alasan menghentikan
perjanjian tersebut secara tertulis melalui saluran diplomatik pada atau sebelum
tanggal 30 bulan Juni setiap tahun takwin berikutnya setelah jangka waktu 5 tahun
dari tahun dimana P3B diberlakukan. Berikut telah dirangkum data negara mitra
yang melakukan P3B dengan Indonesia:

Daftar Negara Mitra P3B Indonesia


No. Negara Status Penandatanganan Berlaku Efektif
1 Afrika Selatan In Force 15/07/1997 01/01/1999
2 Aljazair In Force 28/04/1995 01/01/2001
3 Amerika In Force 11/07/1988 01/02/1997
4 Australia In Force 22/04/1992 01/07/1993
5 Austria In Force 24/07/1986 01/01/1989
6 Bangladesh In Force 19/07/2003 01/01/2007
7 Belanda In Force 29/01/2002 01/01/2004
8 Belgia In Force 16/09/1997 01/01/2002
9 Brunei In Force 27/02/2000 01/01/2003
Darussalam
10 Bulgaria In Force 11/01/1991 01/01/1993
11 China In Force 07/11/2001 01/01/2004
12 Denmark In Force 28/12/1985 01/01/1987
13 Finlandia In Force 15/10/1987 01/01/1990
14 Hongkong In Force 23/03/2010 01/01/2013
15 Hungaria In Force 19/10/1989 01/01/1994
16 India In Force 07/08/1987 01/01/1988
17 Inggris In Force 05/04/1993 01/01/1995
18 Iran In Force 30/04/2004 01/01/2011
19 Italia In Force 18/02/1990 01/01/1996
20 Jepang In Force 03/03/1982 01/01/1983
21 Jerman In Force 30/10/1990 01/01/1992
22 Kanada In Force 01/04/1998 01/01/1999
23 Korea In Force 11/07/2002 01/01/2005
(Democratic
People's Republic
of Korea)
24 Korea (Republic In Force 10/11/1988 01/01/1990
of Korea)
25 Kroasia In Force 15/02/2002 01/01/2013
26 Kuwait In Force 23/04/1997 01/01/1999
27 Luxembourg In Force 14/01/1993 01/01/1995
28 Malaysia In Force 12/09/1991 01/01/1987
29 Maroko In Force 08/06/2008 01/01/2013
30 Meksiko In Force 06/09/2002 01/01/2005
31 Mesir In Force 13/05/1998 01/01/2003
32 Mongolia In Force 02/07/1996 01/01/2001
33 Norwegia In Force 19/07/1988 01/01/1991
34 Pakistan In Force 07/10/1990 01/01/1991
35 Papua Nugini In Force 12/03/2010 01/01/2015
36 Perancis In Force 14/09/1979 01/01/1981
37 Filipina In Force 18/06/1981 01/01/1983
38 Polandia In Force 06/10/1992 01/01/1994
39 Portugal In Force 09/07/2003 01/01/2008
40 Qatar In Force 30/04/2006 01/01/2008
41 Republik Ceko In Force 04/10/1994 01/01/1997
42 Romania In Force 03/07/1996 01/01/2000
43 Rusia In Force 12/03/1999 01/01/2003
44 Saudi Arabia In Force 09/03/1991 01/01/1989
45 Selandia Baru In Force 25/03/1987 01/01/1989
46 Seychelles In Force 27/09/1999 01/01/2001
47 Singapura In Force 08/05/1990 01/01/1992
48 Slovakia In Force 12/10/2000 01/01/2002
49 Spanyol In Force 30/05/1995 01/01/2000
50 Sri Lanka In Force 03/02/1993 01/01/1995
51 Sudan In Force 10/02/1998 01/01/2001
52 Suriah In Force 27/06/1997 01/01/1999
53 Suriname In Force 14/10/2003 01/01/2014
54 Swedia In Force 28/02/1989 01/01/1990
55 Swiss In Force 29/08/1988 01/01/1990
56 Taiwan In Force 01/03/1995 01/01/1996
57 Thailand In Force 15/06/2001 01/01/2004
58 Tunisia In Force 13/05/1992 01/01/1994
59 Turki In Force 25/02/1997 01/01/2001
60 Ukraina In Force 11/04/1996 01/01/1999
61 Uni Emirat Arab In Force 30/11/1995 01/01/2000
62 Uzbekistan In Force 27/08/1996 01/01/1999
63 Venezuela In Force 27/02/1997 01/01/2001
64 Vietnam In Force 22/12/1997 01/01/2000
65 Yordania In Force 12/11/1996 01/01/1999
sumber: ortax.com, diolah kembali oleh penulis

3.3 Kedudukan Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia


Secara konseptual teoritis, Negara Indonesia menghargai adanya hukum
internasional meskipun tidak dicantumkan dalam UUD 1945 melainkan
dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Sedangkan, perjanjian internasional antara Negara Indonesia dan negara lain
diatur dalam aturannya lainnya, yaitu di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU PI). UU PI mengatur
perjanjian internasional yang memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan
khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dalam
pengesahaannya untuk digabungkan dalam hukum nasional. Perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan khusus dari DPR tercantum dalam
Pasal 10 UU PI, yaitu:
a) Masalah politik, perdamaian, dan pertahanan serta keamanan.
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia.
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e) Pembentukan kaidah hukum baru.
f) Pinjaman dan atau hibah luar negeri
Disisi lain, Pasal 11 UU PI menegaskan bahwa pengesahan perjanjian
internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal
10 UU PI, dilakukan dengan Keputusan Presiden. P3B merupakan perjanjian
internasional yang mengacu pada UU PI terkait dengan prosedur formal
pengesahan (ratifikasi) P3B. Di keenam poin tersebut tidak ada elemen yang
terkait dengan pajak sehingga P3B sebagai perjanjian internasional dapat disahkan
melalui Keputusan Presiden dan dapat secara langsung digabungkan dalam
hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan Pasal 11
UU PI.
P3B yang dapat digabungkan secara langsung dalam hukum nasional
melalui Keputusan Presiden sesuai dengan tipe negara menurut Andrea Amatucci
dkk adalah direct effect, yaitu aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari
undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden
atau melalui ratifikasi oleh parlemen. Tipe negara ini juga dapat menyatakan
aliran mengenai hubungan antara P3B dengan undang-undang nasional, yaitu
monoist. Hubungan monist adalah hukum internasional dengan hukum nasional
merupakan bagian dari undang undang domestik. Aliran hubungan monoist
meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai
tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas
transaksi internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung oleh
hukum pada Pasal 32A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Maka, P3B Indonesia bersifat lex specialis derogat lex generali dari
UU PPh dan apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik maka yang
berlaku adalah P3B (tax treaty superceeding domestic laws).
Adanya asas lex specialis derogate lex generalis dalam ketentuan P3B
sebagai hukum internasional sebuah sifat kekhususan, sedangkan undang-undang
domestik bersifat umum. Sehingga karena kekhususan tersebut, aturan pemajakan
dalam P3B mengesampingkan undang undang domestik yang mengatur hal yang
sama. Undang undang domestik Indonesia pun menganut asas ini tercantum pada
Undang-Undang Pajak Penghasilan tepatnya dalam penjelasan Pasal 32A UU
PPh. Selain itu, P3B juga menganut asas lex superiori derogate lex inferiori yaitu
ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah.
Hukum internasional kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang
domestik. Oleh sebab itu, P3B sebagai hukum internasional yang berkedudukan
lebih tinggi dapat mengesampingkan UU PPh sebagai undang undang domestik
yang memiliki kedudukan lebih rendah.
Adagium hukum lain dalam penerapan P3B yaitu lex posteriori generalis
non derogate lex priori specialis yaitu ketentuan umum yang lebih baru tidak
dapat mengesampingkan ketentuan khusus yang sudah ada sebelumnya.
Ketentuan dalam undang-undang domestik yang telah diubah atau diperbaharui
tidak dapat mengesampingkan ketentuan yang sudah ada terlebih dahulu di dalam
P3B. Oleh karena itu, perubahan UU PPh tidak dapat mengesampingkan P3B
meskipun perubahan tersebut bersifat lebih baru dan lebih relevan dengan kondisi
yang ada sekarang. Apabila ingin melakukan penyesuaian perubahan dalam UU
PPh dengan P3B maka perlu dilakukan renegosiasi P3B.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa P3B mengatur pembagian hak
pemajakan dari masing-masing negara pihak pada persetujuan yaitu dengan
membatasi hak pemajakan dari negara sumber. Apabila sesuai dengan P3B diatur
bahwa negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas suatu jenis penghasilan
yang timbul dari wilayah yurisdiksinya, maka ketentuan domestik yang mengatur
bagaimana pemajakan atas penghasilan itu tidak dapat diterapkan. Sebaliknya,
apabila sesuai dengan P3B diatur bahwa sumber memiliki hak untuk memajaki
penghasilan itu, maka bagaimana cara memajakinya diatur sesuai dengan
kententuan undang-undang domestiknya.

3.4 Hak Pemajakan Negara Indonesia dengan an Another Contracting


States
Rachmanto menyatakan bahwa pasal-pasal yang ada didalam P3B pada
hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan antarnegara
yang mengadakan perjanjian. Negara Indonesia memiliki variasi dalam
kewenangan untuk mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak
pemajakan penuh, pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak
pemajakan, dengan contoh sebagai berikut:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Pasal 6 ayat 1 P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Penghasilan yang
diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari harta
tak bergerak yang berada di pihak Negara lainnya pada Persetujuan dapat
dikenakan Pajak di Negara lain tersebut”, sebagai contoh Koko Xiao (warga
negara Singapura) mempunyai rumah di Jakarta kemudian Koko Xiao
menyewakan rumah tersebut ke Mama Dede (warga negara Indonesia). Atas
penghasilan sewa yang diterima oleh Koko Xiao dikenakan pajak sepenuhnya
oleh Indonesia karena rumah merupakan harta tak bergerak yang terletak di
Indonesia (pada kasus ini di Jakarta). Pada P3B Indonesia – Singapura tidak diatur
mengenai tarif dan tata cara pemajakan sehingga penghasilan sewa rumah tersebut
menggunakan ketentuan UU PPh.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Pasal 11 Ayat (1) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Bunga yang
berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di
Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut” yang selanjutnya disebutkan
dalam Pasal 11 Ayat (2) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Namun
demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan tempat bunga itu berasal, dan sesuai dengan perundang-undangan
Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dan pemilik bunga adalah pemberi
pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan
melebihi 10 persen dari jumlah bruto bunga”, sebagai contoh bunga yang
dibayarkan oleh Mama Dede (warga negara Indonesia) atas pinjaman dari Koko
Xiao (warga negara Singapura) dikenakan maksimal 10% dari jumlah bruto
bunga. Bunga tersebut merupakan penghasilan yang bersumber dari Indonesia
sehingga Koko Xiao dinyatakan sebagai subyek pajak luar negeri namun tidak
dapat diterapkan tarif 20% seperti yang tercantum dalam Pasal 26 UU PPh karena
P3B memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Pasal 9 P3B Indonesia – Amerika mengatur bahwa “....penduduk suatu Negara
Pihak pada Perjanjian akan dikecualikan oleh Negara Pihak lainnya pada
Perjanjian dari pengenaan pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang
diperoleh penduduk tersebut dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara
dalam jalur lalu lintas internasional,” sebagai contoh Amerika memiliki
perusahaan pesawat bernama US Airlines mengoperasikan pesawat terbang
dengan rute Boston-Medan dan Medan-Boston. Atas penghasilan kedua rute
tersebut akan dikenakan pajak di Amerika dan Indonesia tidak boleh melakukan
pemungutan pajak.
Maka dapat disimpulkan bahwa P3B menyatakan bahwa salah satu negara
pihak pada persetujuan diberikan hak untuk memajaki penghasilan uang yang
timbul maka negara itu dapat menggunakan hak pemajakannya sesuai dengan
undangundang domestiknya dan sebaliknya namun apabila dalam P3B dinyatakan
bahwa negara itu tidak berhak memajaki penghasilan yang dimaksud maka hak
pemajakan yang dimilikinya sebagaimana diatur dalam undang undang
domestiknya tidak berlaku.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Simpulan
P3B merupakan ketentuan yang ditetapkan dan dijalankan oleh kedua pihak
yang melakukan negosiasi terkait dengan hak pemajakan. Pembentukan P3B yang
dilakukan oleh Negara Indonesia lebih mengarah ke UN Model karena
kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang telah tercermin dalam model
tersebut namun secara teoritis ketentuan dalam UN Model mengikuti
perkembangan dari OECD Model sehingga isi P3B Indonesia juga tidak selalu
sama dengan UN Model ataupun OECD Model melainkan tergantung dari proses
negosiasi antarkedua negara yang melakukan perjanjian. Dengan menganut kedua
model P3B, Negara Indonesia memiliki variasi dalam kewenangan untuk
mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak pemajakan penuh,
pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak pemajakan
Setelah dilakukannya penandatangan atas P3B sebagai perjanjian
internasional dapat disahkan melalui Keputusan Presiden dan dapat secara
langsung digabungkan dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai
dengan pernyataan Pasal 11 UU PI maka perjanjian internasional dalam hal P3B
menganut aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-
undang nasional monoist. Aliran hubungan monoist meletakkan hukum
internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai tingkat yang lebih
tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas transaksi
internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung oleh hukum pada
Pasal 32A UU PPh. Hingga saat ini, Indonesia telah bermitra dengan 66 negara
terkait dengan P3B.

Anda mungkin juga menyukai